---11. Adelia (1)---

Ternyata, tidak cuma Ina yang terheran-heran dengan pasangannya. Irham juga. Setelah keluar dari kamar mandi, istri kecilnya itu seperti tidak mau terpisah, menempel ke mana pun ia pergi. Ia sedang mengambil celana panjang dari koper, tangan Ina terus melekat di ujung kaus. Saat celana pendeknya dilepas tersisa celana dalam, Ina bahkan memeluk dari belakang erat-erat. Dada Irham membusung juga. Di usia yang sudah sebanyak ini, ia masih bisa menyenangkan perempuan muda yang tengah ranum.

"In?" panggilnya seraya menoleh ke belakang.

"Hm?"

Suara Ina bergetar di punggung. Tak lama kemudian, Irham merasakan kecupan-kecupan kecil. Mau tak mau rasa gelinya tergelitik. Ina sudah seperti kucing saja, manja.

"In, dilepas dulu pegangannya. Aku mau pakai celana," ujar Irham seraya menarik tangan Ina ke depan. "Kamu juga cepetan pakai baju."

Ina mengerjap. Mata beningnya menyorotkan rasa kecewa. Irham tertawa kecil. Setelah memasang celana panjang denim dan membereskan ritsleting, ia segera membenamkan tubuh Ina dalam pelukan. Serentetan kecupan terdengar di ruang yang lengang itu. Sebagai hasilnya, Ina memekik-mekik kegelian.

"Hmm ... udah dulu, ya," ujar Irham setelah puas merambah wajah istrinya. Ia memutar tubuh untuk mengambil kemeja.

"Mas, mau ke mana, kok pakai pakaian pergi?" tanya Ina sembari ikut-ikutan meraih baju ganti dari koper.

"Sarapan. Kamu nggak lapar?" tanya Irham. Tangannya dimasukkan ke lengan kemeja. Gerakan itu menarik perhatian istrinya. Tanpa dikomando, jemari lentik Ina meraih kancing kemeja Irham, kemudian mengaitkannya satu demi satu. Irham menikmati sentuhan-sentuhan dengan berdebar. Rasanya seperti seorang tuan yang dimanjakan dengan layanan prima.

Selesai mengaitkan kancing, Ina merapikan kerah kemeja. Tahi lalat mungil di leher kiri itu menggoda lagi. Ina tidak tahan tidak mengelusnya. Puas menyentuh tahi lalat, tangannya masih penasaran mau lanjut. Akhirnya sepasang tangan mungil itu mengusap bahu Irham. Lembut, perlahan, dan penuh penghayatan. Tidak puas di situ, ia lanjut ke dada. Segera teraba gulungan otot yang kenyal di balik kemeja. Ia tak habis pikir, mengapa gumpalan otot itu membuat galau lagi.

Sekarang usapan itu turun perlahan, merasakan sensasi asing yang mendebarkan. Mengapa ada makhluk yang berbentuk laki-laki? Mengapa semua hal yang ada pada makhluk ini seperti menabuh tubuhnya, membentuk gelombang rasa yang perkasa yang membuat luruh seluruh akal? Bukan hanya itu. Gelombang itu bahkan membakar segala zat yang membentuk raga dan menggoyang jiwa. Namun, Ina menikmati semua itu hingga kedua tangannya berhenti di pinggang Irham dan tak mau pergi dari sana.

Senyum Irham merekah. Ia antara geli dan girang dielus oleh istri kecilnya. "Kenapa?" tanyanya.

Wajah polos Ina merona merah. Ia menutupinya dengan membenamkan diri di dada Irham sambil memeluknya erat. Irham terpaksa membalas pelukan itu.

"Masih mau lagi?" bisiknya.

Ina mendongak. "Mau apa?"

Irham meringis. Apa benar Ina memang masih mau mengulang kejadian di bathtub?

Ya, ampun, In. Calon anak-anak udah terkuras. Perlu waktu buat bikin lagi, kali, batin Irham.

"Nanti malam lagi, ya. Sekarang makan dulu. Kamu nggak perlu tenaga?" tanya Irham sembari menggenggam tangan istrinya.

Mata Ina kontan melebar. Wajahnya menjadi merah padam. "Mas Ir! Emang aku mau apa, sih?"

"Loh, kamu emang mau apa?"

Ina kontan manyun. "Mas pikir aku mau apa?"

Kedua alis Irham terangkat. "Kamu mau yang di kamar mandi tadi, kan?"

"Iiiiiiih! Kok mikirnya ke situ, sih?" protes Ina. Jujur, sebenarnya tebakan Irham tidak salah. Yang salah itu adegan di kamar mandi, mengapa seperti ada yang terlewat dan belum tuntas sehingga mendatangkan kegalauan aneh.

Irham meringis lebar. Beristri perempuan muda yang masih hijau ternyata seaneh ini. Dulu dengan Dwita, ia menjadi pihak yang mengejar dan bermanja-manja. Sekarang terbalik, ia ditempel terus oleh istri kecil ini. Namun, hatinya mengakui Ina semakin menggemaskan saja. Ditangkupnya pipi Ina untuk melumat bibir mungil itu. Tak disangka ia kalah cepat. Bibirnyalah yang dijarah Ina dengan menggebu. Ia sampai terengah dan terpaksa menarik kepala setelah beberapa saat.

"Makan dulu, Sayang!" tegur Irham. Yang ditegur cuma cungar-cungir sambil menjilati bibir. Dengan gemas, Irham memencet hidung mungil Ina hingga perempuan itu kelabakan dan menepis tangannya. "Ayo cepat pakai bedak dan sisiran!"

Irham kemudian meninggalkan Ina untuk menyisir rambut dan memoles gel. Sedangkan Ina terus tersenyum-senyum sepanjang pagi itu. Apalagi saat keluar kamar, Irham tidak berhenti menggandeng tangannya setiap ada kesempatan. Sayang hari masih pagi. Diam-diam ia tak sabar menunggu matahari bergeser ke barat.

Karena bila matahari telah lelah bersinar, hari menjadi gelap. Bila hari telah gelap, berarti akan ada ....

❦❦❦

"In!"

Panggilan Irham menghancurkan lamunan Ina. Ia segera memutar kepala dari menerawang jendela restoran ke wajah rupawan di sampingnya.

"Ngelamunin apa?" tanya Irham. "Biasanya kamu ribut. Kok sekarang pendiam?"

"Heheee, nggak ada. Aku menikmati suasana, Mas."

Alis Irham terangkat. "Jadi renang habis ini?"

Ina berpikir sejenak. Perutnya sudah penuh diisi macam-macam. Masa mau berenang?

"Mas Ir mau renang?"

Irham menyantap salad buah sebagai makanan penutup. "Mmm, kalau kamu renang, aku temenin."

"Enggak usah aja, ya, Mas?"

Irham menoleh. "Terus kamu mau ke mana habis ini?"

Ina menggaruk tengkuk sambil meringis. Ke kasur? Tentu saja ia cuma berani berbisik dalam hati.

"Mmm, nggak tahu, Mas. Mau jalan-jalan, tapi takut kena Covid lagi. Mau renang, malas. Kalau di rumah aku bisa masak, sih, buat ngisi waktu. Kalau di sini, nggak tahu. Nonton film di kamar, kali?"

Irham menatap istrinya lekat-lekat. "Bener lebih seneng di rumah?"

Ina mengangguk saja.

"Habis makan siang kita pulang aja gimana?" tanya Irham lagi. Ia mulai memikirkan setumpuk pekerjaan yang tertunda. Sedari tadi notifikasi ponselnya tidak berhenti berbunyi. Hanya karena sungkan pada Ina ia tidak membuka gawai itu.

"Iya, Mas. Pulang aja nggak papa. Aku mau cobain resep. Mas Ir mau makan apa buat nanti malam?" tanya Ina. Ia sudah membayangkan menyiapkan makan malam bagi suami untuk pertama kali. Oh, romantiiss!

Irham senang. Setelah puluhan pasang musim, ada seseorang yang menanyakan hal seperti itu lagi. Ibunya benar, memiliki istri lebih baik daripada menjomlo selamanya. Kesibukan telah membuatnya lupa bahwa ia sendirian. Kalau tidak terus didesak, mungkin ia nyaman-nyaman saja sebagai duda. Barangkali demi status juga ia mau menikah cepat-cepat dengan Ina.

"Katanya penasaran sama steak semalam? Mau cobain itu?" usul Irham.

Mata Ina melebar. "Boleh! Mas punya oven?"

"Oven? Aah ...." Mulut Irham kontan membuka, tapi tak keluar kata-kata. Saat pergi dulu, Dwita memboyong semua peralatan masak canggih yang pernah dibeli. Sekarang hanya ada kompor, beberapa panci, dan wajan ala kadarnya yang sering digunakan Mak Nah.

Ina terkekeh. "Nggak punya, Mas? Maklum, deh. Kelamaan jomlo, sih."

"Sorry banget, In. Kita nikah dadakan. Aku nggak sempat mikir urusan dapur."

"Iyaaa, Mas. Aku paham," sahut Ina sembari mencibir.

"Ya, udah. Ntar pas pulang kita mampir toko. Kamu pilih aja peralatan yang kamu butuhkan."

Ina langsung bersemangat. Hidup barunya di rumah Irham sepertinya akan asyik. Ia juga berbunga-bunga karena sepanjang menyusuri lorong-lorong swalayan yang khusus menjual perlengkapan rumah tangga, tangan Irham terus menggandeng atau merangkulnya. Ia jadi ketagihan. Tangannya juga tidak mau lepas dari tubuh suaminya.

❦❦❦

Kayaknya aman sentosa aja ya ... komen please ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top