---1. Pandemi---


Pandemi.

Ina terpaksa mendekam di ruang isolasi rumah sakit akibat terjangkit wabah yang ganas, Covid-19. Ruang rawat berkapasitas dua orang itu kini hanya ditempati sendiri. Dua hari yang lalu, teman sekamar dipindahkan ke ICU karena kondisinya memburuk. Dari kabar burung yang ia dengar, wanita berusia empat puluh tahun tersebut meninggal dunia hari ini.

Ina mendesah seraya memiringkan badan. Seharian berbaring membuat punggungnya panas. Seberat apapun, ia harus kuat dan tidak boleh cengeng demi orang-orang yang menyayanginya. Ia harus menang melawan Covid-19.

Penyakit tersebut semula tidak dirasakan berat, hanya pegal dan lemah lesu. Ina mulai curiga ada gangguan yang lebih serius saat tidak ada satu pun bau bisa dicium. Tak lama kemudian, ia demam. Saat memeriksakan diri ke Puskesmas, ternyata positif Covid-19. Ia langsung diopname di RS dr. Soetomo, Surabaya.

Ina masih bernasib baik. Sudah dua hari ia terbebas dari demam, pertanda kesehatannya berangsur pulih. Tiga hari pertama dirawat, ia nyaris tidak bisa bangun. Tubuhnya demam tinggi, napas pendek-pendek, dan seluruh tulang serta sendi ngilu.

Bila mengingat itu, Ina menyesal mengapa tidak mematuhi protokol kesehatan secara ketat. Maskernya sering lepas-pakai-lepas-pakai. Cuci tangan pun tidak tertib. Saat berjualan dan mengantar barang-barang ke pembeli, ia sering lupa harus menjaga jarak 1,5 – 2 m. Bahkan kerap secara refleks menjabat tangan orang. Mungkin itulah penyebab dirinya terpaksa bergabung dengan satu juta rakyat Indonesia yang terserang virus Corona.

Irham, kakak angkatnya, mengirim pesan teks.

Irham: Gimana kondisimu hari ini?
Ina: Baik, Mas. Udah mendingan.
Irham: Syukurlah. Nanti kiriman makanannya dihabisin, ya.
Ina: Makasih, Mas.
Irham: GWS
Ina: Makasih.

Seorang petugas yang mengenakan APD[1] lengkap melakukan pengukuran suhu, frekuensi napas dan nadi, serta tekanan darah. Ina kenal gadis itu. Namanya Indah.

"Suhu, 37 derajat. RR 20. Nadi 84. Tensi 110/70," ujar Indah.

"Bagus, Mbak?"

"Bagus banget! Buang air kecil gimana?"

"Lancar, Mbak."

"Buang air besar?"

"Lancar juga, tapi dikit."

Mata Indah melengkung. Pasti bibir yang tertutup masker itu tengah tersenyum. "Ada keluhan lain?"

"Mmm, cuma lemes."

"Makan dan minum yang banyak. Dokter bilang, kalau semuanya baik, nggak lama lagi boleh pulang."

Ina mengangguk. "Siap!" sahut Ina dengan nada lega.

"Tos jauh dulu!" ujar Indah sambil menggerakkan tangan yang terlindung sarung karet.

Ina terkekeh, lalu membalas tos jauh Indah, perawat yang ceria namun kadang bertingkah absurd itu.

Selesai menjalankan tugas, Indah keluar dari ruang itu, meninggalkan Ina tercenung seorang diri. Salah satu hal yang sangat menyiksa saat menjadi pasien Covid-19 adalah terisolasi. Keluarga dan teman tidak boleh menjenguk. Komunikasi hanya bisa dilakukan melalui telepon atau video call. Terasa sekali saat ia tak berdaya beberapa hari yang lalu. Jerit hati ingin melihat seseorang yang dikenal berada di sisinya. Ia tidak butuh apa-apa, hanya ingin ditemani. Namun, yang ada hanya dinding putih dan teman sekamar yang sama-sama terkapar.

Ternyata begini rasanya menjadi korban pandemi. Sendirian, tak berdaya, stres.

Bukan hanya karena penyakit sendiri Ina stres. Ayahnya sudah lebih dulu terjangkit. Arifin dinyatakan positif seminggu yang lalu. Berhubung ada demam tinggi dan sesak napas, lelaki berusia lima puluh tahun itu diopname di RS dr. Syaiful Anwar, Malang.

Perih hati Ina bila mengingat sang ayah. Entah dari siapa mereka berdua tertular. Mungkin akibat memaksakan diri keluar rumah untuk mencari tambahan penghasilan.

Kakak angkatnya, Irham, sudah berkali-kali mengingatkan, bahkan memarahi. Ia disuruh tetap tinggal di kos. Sialnya, ia bukan tipe orang yang bahagia rebahan sepanjang hari. Kegiatan berjualan segala macam, mulai dari baju, kain, hingga pernak-pernik aksesori anak muda, berlanjut terus. Irham bisa semudah itu melarang karena ia kaya sejak dari kakek-nenek buyutnya. Sedangkan dirinya hanya anak guru sederhana yang mewarisi kemiskinan tujuh turunan. Tambahan penghasilan sekecil apa pun sangat berarti.

Indah masuk lagi, lalu menyerahkan sebuah tas plastik. Di kantung itu, di-stapler nama Ina dan nama pengirim. Selalu begitu paket makanan dari Irham. Barangkali lelaki itu takut kirimannya tertukar untuk pasien lain.

"Kiriman buat Inaya Paramesti," ujar Indah. Dari mata yang menyipit menjadi garis, Ina dapat menduga gadis itu sedang meringis lebar. "Dari Irham Bimantara."

"Makasih, Mbak," sahut Ina seraya menerima bungkusan tersebut. Sebuah kotak makanan dari plastik yang mudah diseka menggunakan kapas alkohol. Kakak angkatnya itu memang teliti dan disiplin dalam segala hal yang menyangkut pencegahan penularan.

"Masnya sayang banget sama Mbak Ina. Setia ngirimin makanan tiap hari," komentar perawat tersebut.

"Iya, Mbak. Dia baik." Untuk hal ini, Ina tidak menampik. Irham adalah panutan dan idolanya sejak kecil.

"Namanya bagus banget. Orangnya pasti ganteng. Adiknya aja cakep gini. Boleh, dong, dikenalin."

Ina tersenyum bangga. Dari cerita keluarga, kakak angkatnya itu memang menjadi incaran wanita. Dulu sewaktu masih muda, pacarnya banyak. Beberapa kali lelaki itu membawa gadis cantik untuk dikenalkan pada ibunya. Setelah gonta-ganti kekasih, Irham akhirnya melabuhkan hati pada Dwita, wanita yang sekarang berstatus mantan istri.

"Loh, Mbak nggak pernah ketemu waktu dia nganterin makanan?"

"Ih, yang nganterin mas-mas ojol. Ganteng nggak, sih?"

Ina meringis. "Ganteng banget. Tapi udah tua."

"Hah? Setua apa?"

"Umurnya hampir tiga delapan."

"Aaaah, itu mah matang, Dik, bukan tua!"

"Dia duda."

"Owww! Nggak pa-pa, malah pengalaman."

"Mau lihat, Mbak?" Ina mencari-cari sejenak dalam galeri ponsel. Tak lama kemudian, wajah Irham Bimantara terpampang di layar.

Indah kontan histeris saat melihat wajah itu. "Auuuuu! Kayak Ariel Noaaaaah! Minta fotonya, doooong!"

Ina mencibir. "Udah sold out, Mbak."

"Hah?"

Ina mencari kembali dalam galeri ponsel, lalu menunjukkan foto Irham bersama seorang wanita matang. "Ini Mbak Adel, pacarnya."

Mata Indah kontan meredup. "Yaaaah, sayang. Aku patah hati sebelum jatuh cinta. Huhuhuhu!"

Indah tersenyum lebar, kemudian meninggalkan kamar seraya melambai. Ina mengintip isi kotak makanan. Ada sayur, buah, serta daging steak. Oh, ia suka steak! Aromanya juga merangsang liur. Dengan tangan yang tidak terpasang infus, ia mengirim pesan kepada Irham.

Ina: Makasih steaknya, Mas
Irham: Dimakan sampai habis, ya.
Ina: Asyiap!
Irham: Aku nunggu kamu pulang.
Ina: 👍

Ah, semenjak ia sakit, Irham semakin perhatian saja. Padahal lelaki itu selalu sibuk dengan pekerjaan. Adel sering kesal dan mengomel karena merasa dinomorduakan. Tak disangka, Irham bisa meluangkan waktu untuknya sebanyak ini. Ina boleh berbangga. Setidaknya, ia lebih berharga di mata Irham daripada Adel.

_____________
[1] APD = Alat Pelindung Diri

===Bersambung===


Tinggalin jejak, ya, biar makin sering apdetnya xixixi #modus

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top