Bagian 8
Sedari tadi, pemuda berparas tampan bak artis Hollywood itu menggeram kesal. Kedua mata hazelnya menatap marah pada dua objek yang sedari tadi ia fokuskan –Dave dan Rifki. Dua orang yang paling Dani benci jika sedang berduaan seperti itu. Bagaimana tidak kesal, Dani hanya sebentar keluar dari kelas untuk mengumpulkan tugas essay dari kelasnya bahasa Indonesia ke ruang guru –dan saat ia balik kembali ke kelas Dave tidak ada dan ia bertambah kesal saat ia tahu bahwa Dave pergi ke kantin bersama Rifki.
Dani menuangkan banyak sambal ke mangkuk yang berisi bakso tanpa ia tahu bahwa ia terlalu banyak menuangkan sambalnya. Pandangannya masih terus fokus pada Dave dan Rifki yang sekarang tengah tertawa entah apa yang mereka bicarakan –sial! Mati saja kau Rifki!
Karena merasa lapar, akhirnya Dani mulai menyendok baksonya dengan satu suapan penuh. Dan beberapa detik kemudian mukanya memrah –
"Huahh... pedes banget. Gila!" segera saja es teh yang ada di samping mangkuk bakso itu dia sambar. Kemudian ia mengibas-ibaskan tangannya di depan mulutnya untuk mengurangi rasa panas di bibirnya.
"Sial. Semua ini gara-gara Rifki yang seenaknya nyuri kesempatan ke Dave." Ia menyambar es teh yang tinggal setengah. Pandangannnya kembali pada mereka. Dengan jarak sejauh ini, Dani yakin, Dave dan Rifki tidak melihatnya.
Saat berniat untuk memakan baksonya lagi, Dani tiba-tiba mersakan ada angin yang menimpa wajahnya yang bersal dari sebelah kanannya. Dan bener saja ada angin. Ada Ariana yang sedang mengipasinya dengan sobekan kardus air mineral –yang entah ia dapat dari mana –dengan cengiran tanpa dosanya.
"Panas ya, Dan? Huh... panas banget!"
Dani sweatdrop karena melihat kelakuan aneh gadis yang ada disampingnya.
"Kalau panas, kenapa bukan lo yang dikipasin? Kok malah gue sih?!"
"Justru itu! Yang panas kan elo, bukan gue." Ariana nyengir lagi dengan masih terus mengipasi Dani.
"Elo lagi kumat ya, Na?"
"Enggak. Gue hari ini waras kok."
"Berhenti gak ngipasin gue?!"
"Gak bisa. Lo masih kepanasen. Gue kasian, Dan, sama lo." Lalu Ariana mengedikkkan bahunya kearah Dave dan Rifki yang sedang berbicara entah apa dan yang makin Dani geram, si Rifki mulai deket-deket Dave duduknya dan membisikkan entah apa –Damn!
"Denger, Na. Jangan kira gue cemburu sama Rifki karena dia deket sama Dave. Gak akan pernah."
Ariana diam. Lalu minum es teh milih Dani yang hampir habis "Gue gak ngomongin mereka, kok." Lalu tiba-tiba seringaian menyebalkan muncul dibibir gadis berbadan mungil itu "Hayo, lhoh! Lo berarti cemburu ;kan? Iya 'kan? Ngaku deh lo."
Dani tak membalas ucapan Ariana. Dia sudah kepalang basah, toh udah sangat keliatan kalau dirinya sedang menahan marah melihat kedekatan Dave dan Rifki.
"Mereka temenan kok dari kecil. Tetanggaan juga –"
"Rumah mereka deketan?!" Dani langsung memotong ucapan Ariana kala mendengar hal tersebut. –duh. Makanya mereka lengket terus begitu.
Ariana mengangguk " –jadi lo gak usah sebel gitu liat mereka deket. Sebelum kenal lo mereka juga udah deket kok."
"Gue udah tau mereka temanan dari kecil, tapi gue curiga, si Rifki ada apa-apa ke Dave. Lo gak liat bagaimana itu orang mandang si Dave?"
Dani semakin geram saja kala Rifki memandan Dave dengan intens tanpa berkedip. Jelas sekali dari penglihatan Dani kalau Rifki udah ada rasa sama Dave –kurang ajar. Seperti tersengat listrik pada kursinya, Dani segera berdiri kala melihat Rifki menyeka kuah makanan yang menetes di dagu Dave dengan ibu jarinya untuk kemudian ia jilat sisa kuah yang menempel di ibu jarinya –brengsek!
"Dani –hei! Lo mau kemana?!"
Tak menggubris panggilan Ariana, Dani tetap berjalan kearah Dave dan Rifki
"Yah... tu anak udah kebakar api cemburu." Melihat bakso yang ada di mangkok Dani masih utuh banyak, Ariana mencoba untuk memakannya. Namun teriakan muncul kala ia merasa bahwa bakso itu luar biasa pedas. "Wassem! Bener-bener tu cowok emang udah cemburu buta." Ariana langsung menandaskan es teh yang telah diabaikan sang pemilik sedari tadi. "Hah... semoga tidak ada perang dunia."
Dengan aura menyeramkan disekitarnya sehingga para siswa yang melewati Dani segera menyingkir, pemuda bertubuh jangkung itu berjalan cepat kearah meja Dave dan Rifki. Cukup sudah! Dirinya sudah muak melihat dari jauh aksi mereka –terutama Rifki yang sok manis pada Dave.
Dengan deheman yang cukup keras dari Dani, pembicaraan seru diantara Dave dan Rifki pun terputus dan mengalihkan pandangannya ke arah Dani yang sedang berdiri di dekat meja mereka.
"Eh, Dani."
"Kalian bersenang-senang, eh?"
Mendengar nada tak bersahabat dari Dani, Dave mengernyitkan alisnya heran.
"Er... lo kenapa, Dan? Lo marah gue tinggal ke kantin?"
Dani terlihat tak mendengar apa yang Dave katakan, ia malah balik melihat Rifki yang sekarang tengah menyeringai di balik gelas yang sedang ia minum.
"Dani?" melihat teman sebangkunya yang tidak respon apa yang dia katakan, dan malah liatin Rifki, Dave mulai heran dan menepuk bahunya hingga Dani kembali menghadap padanya.
*****
Dave
"Dave, lo kan ada janji mau ngerjain tugas matematika bareng gue."
Gue heran sama Dani. Setibanya dia di meja gue hawa-hawanya gak enak gitu dan bikin gue lebih heran, kenapa Dani mandang Rifki dengan mata yang tajem gitu? Apa mereka lagi bertengkar? Tapi sejauh ini mereka gak deket satu sama lain kok.
"Bukannya udah selesai ya? Kan kemaren lo yang bilang."
Sepertinya Dani lupa. Keliatan banget dia jadi salah tingkah begitu.
"M-maksud gue, kan lo bilang ada bab yang kurang lo tau. Jadi ayo buruan ke kelas."
Tiba-tiba Dani pegang tangan gue dan menariknya –menyuruh gue untuk berdiri dan menuju kelas.
"Bentar –"
Belum selesai dengan keterkejutan gue dengan sikap Dani, tiba-tiba tangan kiri gue yang bebas di pegang sama Rifki yang saat kulihat mukanya datar tanpa ekspresi dengan mata yang menatap tajam pada Dani yang sekarang tengah menatapnya balik.
Ini mereka berdua lagi apaan sih sebenarnya?
"Lo gak bisa maksain Dave buat ikut lo, Ardani." Dan gue baru pernah liat, Rifki berekspresi nyeremin gitu waktu liat ke Dani. Rifki mulai berdiri dan pegangan di tangan gue semakin kenceng –ini mereka lagi latihan drama kah?
Dani yang merasa tersinggung dengan ucapannya si Rifki balik memberi deathglare yang lebih padanya.
"Atas dasar apa lo bilang begitu, hah?"
"Lo gak liat dia lagi makan? Bisa tunggu dia selesai dulu, gak?! Atau lo saja yang balik sendiri ke kelas. Dasar pengganggu."
Nah loh! Kenapa suasananya jadi enggak enak begini ya?
"Oh... jadi lo nganggap gue penggangu?!"
"Tepat!"
Muka Dani mulai memerah –sepertinya batas kesabarannya telah habis. Gue yang sedari tadi berada di tengah-tengah mereka serasa dikacangin gitu aja sama mereka. Mereka kagak nyadar apa gue dari tadi disini?
Gue lihat si Dani mulai maju ngedeketin Rifki dengan tangan yang sebelah lagi terkepal. Gawat. Sebelum terjadi yang tidak diinginkan. Mending gue misahin mereka.
"Err... Dani, Rifki... ini sebenernya kalian lagi ada apaan sih? Kok gak nyante gini?" gue mencoba melepas genggaman Rifki pada tangan gue dan gue nyoba dorong pelan badan Dani yang lebih besar dari gue untuk ngejauh dari Rifki.
Mereka malah diem setelah gue tanya. Gak ada yang mau menjawab –dan mereka masih saling adu deathglare dengan mata yang dipicingkan tajam. Bener nih gue harus ngejauhin mereka.
"Oke deh. Gue udah selesai makannya. Ki, gue balik dulu ya ke kelas. Entar kita ketemu lagi." Gue berpaling untuk melihat Dani dan menyeretnya untuk keluar dari kantin "Udah ayo ke kelas."
Sepertinya mereka nyembunyiin sesuatu dari gue deh. Tapi apa?
"Mending entar lo jangan ketemu sama Rifki lagi Dave." Setelah gue dan Dani masuk kelas, muka dani masih bete gitu meski jam pelajaran ke empat udah mau mulai. Ini anak kenapa jadi sering bete-an sih kalau gue lagi bareng sama Rifki. Kemaren juga waktu di parkiran.
"Bagaimana gue gak ketemu sama Rifki? Rumah gue sama dia kan deketan."
"Lo harus pindah rumah. Di deket rumah gue ada yang kosong dan siap di tempatin."
Gue terkejut dan membelalakan kedua mata gue setelah denger apa yang barusan Dani ucapin.
"Lo gila ya? Pindah rumah pala lo? Emang pindah rumah kayak beli mendhoan apa? Gampang banget lo ngomongnya."
Gue jadi marah sendiri. Kenapa dia akhir-akhir ini sering banget ngatur hidup gue sih? Kakak gue bukan, sodara bukan, hanya temen sekelas udah sok ngatur gitu! Rifki aja yang udah temenan sama gue lama gak kayak gini amat.
"Gue bantu. Jika lo gak ada duit, gue kasih. Asal lo mau pindah dari rumah lo yang sekarang."
Ini cowok udah sinting. Gue natap Dani dengan pandangan percaya tidak percaya. Dia kok jadi kayak gini? Gak kalem waktu pertama gue kenal dia.
"Lo sinting ya, Dan? Udah ah. Jangan urusin hidup gue. Lo bukan kakak gue ataupun sodara gue. Cuma temen, Dan. TEMAN. Seorang teman yang baik mestinya gak berlebih ngurusin hidup temennya kayak gitu."
Entah gue salah lihat atau bagaimana, gue jadi merasa kalau muka Dani jadi kecewa begitu. Gue gak salah omong kan tadi? Emang Dani temen gue kok. Tadi gue gak ngomong dia musuh gue 'kan? Duh jadi kasian liat muka dia yang seperti mau dicabut nyawanya gitu. Gue nepeuk bahu Dani pelan.
"Dan, lo baik kan?"
Dia tersenyum lalu mengangguk. Tapi keliatan banget kalau itu senyum yang di paksain. Ada rasa sakit disana –dibalik senyumnya.
"Bagaimana nanti kita belajar matematika bareng di rumah gue? Lo belum pernah ke rumah gue kan?"
"Bener nih, Dave?"
Gue ngangguk "Iya. Gue kan udah janji mau ngajak lo ke rumah gue." Lihat muka Dani yang –ehem –tampan itu tersenyum senang, gue jadi lega. Setidaknya gue gak bakal tega ngelihat temen gue sendiri kecewa karena gue –termasuk Rifki.
*****
Dani
Akhirnya bel jam terakhir bunyi juga. Bagaikan bunyi surga buat gue karena sedari tadi setelah Dave bilang mau ngajak gue ke rumahnya, gue jadi gak sabaran. Ada untungnya juga tadi gue ngambek. Tapi bukannya gue tadi pura-pura, emang betulanbgue bete. Tepatnya gue bete sama si Rifki yang songong itu.
Gue segera beres-beres dan gue lihat, Dave juga udah selesai ngeberesin buku-bukunya.
"Ayo Dave."
Dia ngangguk. Gue ulurin tangan gue –berniat ngegandeng tangannya. Namun uluran tangan gue gak tersambut. Si Dave malah Cuma ngeliatin tangan gue.
"Lo kenapa ngulurin tangan lo gitu?"
Ah, sial! Ini bocah kan gak pekaan banget anaknya. Akhirnya dengan kecewa bercampur malu, gue narik tangan gue.
"Gak papa."
Dia ngangguk-ngangguk aja "Ayo buruan."
Gue pasang muka bete, gimana coba gue mau main skinship-an sama dia kalau dia gak peka sama kode-kode yang gue arahin ke dia. Apa mesti harus secara langsung gitu? –hmm... bisa jadi.
"Dave!"
Mau aja si Dave mau naik ke motor gue, tiba-tiba si pengganggu dateng –Rifki. Ngapain lagi si tu bocah. Ngehalangin jalan kebahagiaan gue terus?
"Sorry ya Dave. Kali ini gue gak bisa pulang bareng lo."
Gue muter bola mata gue bosen. Yaelah, Dave kagak bakal mati kalau gak pulang bareng lo –pengin gue bilang gitu ke dia, tapi ada Dave, entar imej gue ancur.
"Gak papa. Gue pulang bareng Dani kok. Yaudah kita duluan ya, Ki. Ayo jalan."
Sebelum gue nyetater motor gue, gue melirik Rifki yang mukanya seakan-akan dipaksa buat makan kodok mentah –bete banget. Gue menyeringai penuh kemenangan. Sengaja gue biar dia marah. Dan gue ingin ngakak waktu dia ngacungin jari tengahnya ke arah gue yang gue lihat jelas dari kaca spion.
"Rumah lo sepi amat."
Dave jalan kearah lemari es untuk mengambil minuman kaleng buat gue "Orang tua gue kerja dan mereka gak memperkerjakan asisten rumah tangga."
"Jadi lo tiap hari sendirian, dong, di rumah?"
"Enggak. Kadang Rifki main ke sini, kadang juga gue yang main ke rumahnya dia."
Hati gue mencelos. Mereka berdua sering berduaan di tempat sesepi ini? Jangan-jangan Rifki sudah –
"Oiya." Gue nengok kearah Dave yang sekarang berdiri di depan gue yang sedang minum soda yang tadi diberikan Dave "Lo ada masalah kah sama Rifki?"
Gue tidak langsung jawab. Mikir dulu. "Hmm... enggak."
Dave keliatan gak puas dengan jawaban gue "Trus, kok kalian kayak gitu sih tadi di kantin. Jangan kayak gitu lagi ya sama Rifki. Kasihan."
Serasa puluhan ribu volt listrik menyerang tubuh gue, gue langsung kaget mendengar ucapan Dave. Kasihan dia bilang?
" –Rifki orangnya baik kok. Jadi jangan bersikap gak bersahabat lagi dengannya kayak tadi ya? Oke?"
Apa-apaan si Dave? Kenapa dia ngebela Rifki di depan gue serasa gue jadi orang yang bersalah?
Oke. Gue marah sekarang. Dan hati gue sakit waktu Dave ngebela Rifki kayak gitu.
BRAAK!
Gue naruh kaleng minuman gue dengan keras ke meja sehingga terdengar benturan keras dan membuat Dave terlonjak. Gue gak bisa ngendaliin tubuh gue sendiri saat gue maju ke arah Dave dan memojokkannya ke tembok. Terlihat jelas Dave ketakutan dengan tindakan gue.
"Da-Dan? Lo mau ngapain?"
Gue semakin ngedeketin muka gue ke muka Dave sehingga menciptakan jarak yang sedikit diantara gue dan Dave.
"Dani? Gue –"
Dan gue juga tidak sadar lagi, kapan gue memperkecil jarak diantara kami sehingga gue bisa merasakan bibir kenyal Dave begitu terasa manis di bibir gue.
.
.
.
Tbc
A/N : Vote dan komen ya!
Arigatchu~ :*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top