Bagian 20



Kedua mata Rifki mengerjap kaget melihat pemuda yang diketahui juniornya di sekolah kini tersenyum manis dengan melambaikan sebelah tangannya.

"Malam kak Rifki." Sapanya sopan, menunjukkan senyum termanisnya pada Rifki yang masih diam mengamati pemuda itu.

Dengan hoodie berwarna merah, serta celana jeans hitam, dan sepatu nike hitam bergradasi orange itu ia berdiri dengan percaya diri dengan senyum yang tak pudar sedari Rifki membukakan pintu untuknya.

"Wika?"

Akhirnya, setelah lama terdiam, Rifki menemukan suaranya dan kata yang muncul adalah nama dari pemuda manis yang menjadi tamu dadakannya. "Ngapain lo malam-malam ke sini?"

Mendengar nada yang tidak ia harapkan, Wika segera mengendurkan senyumannya dan mengerucutkan bibirnya dilanjutkan dengan ekspresi sedih dengan menundukkan kepalanya.

"Uhhmm... Wika gak boleh main kesini ya kak?"

"Err... gak juga sih." Rifki jadi tidak enak sendiri, menghilangkan rasa canggungnya, Rifki menggaruk tengkuknya yang tidak gatal "Lo tahu rumah gue dari siapa?"

Masih dengan menundukkan mukanya, Wika berkata, "Kak Tyo."

Tyo —grrrr dasar!

Menghela napas, tak mungkin juga ia mengusir Wika dari rumahnya, tidak sopan namanya. Toh dia kesini juga berniat baik kok —pikir Rifki. Dengan lemas —karena memang dia lagi males dikunjungi orang —ia membuka pintu rumahnya lebih lebar untuk membuka akses sang tamu untuk masuk rumahnya.

"Masuk."

Satu kata, dan itu membuat Wika merubah raut wajahnya cerah seperti semula. Dengan perasaan senang, ia melangkahkan kakinya untuk berjalan masuk ke dalam rumah senior idolanya itu.

Seperti seorang anak kecil yang antusias, Wika menjelajahi pandangannya keseluruh ruang tamu milik Rifki.

Oh, jadi ini rumah kak Rifki. Akhirnya gue bisa masuk rumahnya —jerit Wika dalam hati.

Bahkan Wika saking antusiasnya memegang erat tali tas ranselnya yang tersampir dibahunya.

"Silahkan duduk."

"O-oh? Iya kak." Dengan sedikit canggung, Wika menghempaskan dirinya pelan pada sofa empuk di ruang tamu itu.

"Mau minum apa?"

"Gak usah kak, aku kan kesini niatnya Cuma main."

Rifki tersenyum, lucu juga lihat muka canggung juniornya itu "Gak papa lagi. Bentar ya gue ke dapur dulu."

(Rifki's POV)

Gue jalan ke dapur untuk ngebuatin minuman untuk Wika. Sebenarnya gue heran juga, ngapain tu anak bisa nyasar ke rumah gue dan si Tyo —gezz! Tu anak pengin gue pukul juga tu muka lawaknya. Ngapain juga dia mesti ngasih tahu alamat gue ke Wika. Ya sudahlah, meski gue lagi males di datengin orang malam-malam begini, tapi liat mukanya tadi yang keliatan banget kecewanya, gue jadi kagak tega.

Sampai dapur, gue agak bingung mau ngasih minum apa. Mungkin jus jeruk aja kali ya? Tadi gue lihat di kulkas ada kotak jus jeruk. Lagian gue males bikin teh, karena pembantu gue kalau malem jam 7 tepat harus pulang ke rumah, jadi jam 7 kesana gue sekeluarga harus ngurus urusan rumah sendiri.

Saat gue sampe di ruang tamu, gue liat Wika masih saja liat-liat rumah gue kayak bocah yang tertarik dengan suatu mainan. Lucu sih dia. Baru tahu cowok bisa ber-ekspresi imut kayak anak kecil gitu. Ada sih cowok yang lebih manis dari Wika —lo tahu sendiri. Jangan nyuruh gue nyebut namanya. Gue lelah sakit hati terus.

"Lo kesini naik apa?" Wika kaget, mungkin dia gak sadar gue udah di ruang tamu dan naruh minuman di meja. Gue memposisikan duduk berhadapan dengan Wika yang sekarang mukanya memerah —mungkin karena kaget tadi, ni anak gampang banget mukanya memerah alih-alih memang dia punya kulit wajah yang putih bersih.

"Eh, ehmm... naik taksi kak."

"Jadi lo sengaja dateng kesini?"

Dia ngangguk dengan cepat. "Rumah kakak kok sepi? Orang tua kak Rifki lagi dimana?"

"Lagi kondangan ke rumah temen mereka. Adik gue lagi tidur semua."

"Semua? Emang kakak punya adek berapa?"

"Cuma dua. Satu cewek umur 10 tahun, dan yang bungsu cowok baru mau 2 tahun entar 2 bulan lagi."

Tiba-tiba muka dia keliatan seneng. Kenapa lagi ni anak?

"Wahh... pasti adeknya kak Rifki lucu-lucu banget. Jadi pengin liat mereka."

"Eits! Gak bisa. Mereka kalau bangun, gue yang repot. Pembantu udah pulang, gue males ngelonin mereka."

Seperti yang sudah-sudah, Wika langsung pasang wajah bete ke gue mengetahui keinginannya gue halangin. Yah, gue gak mau nanggung resiko adek gue bangun dan bikin gue repot. Biarlah Wika bete, asal hidup gue gak repot malam ini untuk ngurusin anak kecil.

"Udah, kapan-kapan lo bisa main kesini buat liat adek gue. Sekarang minum tuh jusnya."

"Bener nih, kak? Wika boleh main lagi kesini?"

Gue ngangguk sebagai balasan. Yah, biarinlah dia ngomong semaunya.

Dan dia langsung berbisik 'asyik' yang dapet gue denger bisikannya. Dan segera saja, ia mengambil jus yang tadi gue tawarin.

Setelah itu, obrolan kita berakhir. Ruangan jadi sepi. Gue jadi merasa canggung, dan Wika pun mungkin demikian. Karena dia malah kembali melihat-lihat ruang tamu dengan sesekali memainkan jarinya. Gue yang gak mau ambil pusing, ngeluarin ponsel yang ada di saku buat dimainin agar rasa canggung gue bisa tertutupi.

Namun, kesunyian itu berakhir, saat sebuah suara dari arah dapur menghempaskan kita berdua dari pikiran masing-masing.

"KAK RIFKIII"

Sial —itu suara si Adin, adik pertama gue. Duh, kenapa tu anak bisa bangun?

Setelah teriakannya tadi, beberapa detik kemudian dia lari ke ruang tamu, masih dengan mengenakan piama biru langitnya, dan rambut panjangnya acak-acakkan, dia menunjukkan wajah jengkelnya ke gue.

"Cake coklat yang di kulkas kok gak ada?! Kakak yang makan ya?"

Gue belum jawab, Adin malah semakin tajam mandang ke gue. Gue memang tadi yang makan, lah, gue kan gak tahu tu cake satu-satunya di kulkas punya Adin. Tahu gitu gue kagak bakalan makan deh.

"Err... sori deh, besok kakak ganti —" refleks gue nutup telinga gue saat Adin menjerit nangis setelah denger jawaban gue. Parah! Gue lupa kalau adek gue nangisnya bikin tetangga pada tutup kuping karena saking kerasnya.

Gue bingung mau gimana, karena takut si Rifal —adek bungsu gue —bangun akhirnya gue berdiri dan membekap mulut Adin. Dan memang bekerja karena tangisnya teredam, tapi malah dia meronta-ronta. Aduh... mana nyokap belum pulang-pulang lagi.

"Sstt... bisa diam gak? Nanti Rifal bangun, Din." Kali ini gue ngerasa, gue kayak penculik beneran.

"Kak, kasihan tau dia di bekap gitu!" tiba-tiba tangan gue yang nutup mulutnya Adin disingkirin dengan kasar sama Wika. Yang langsung terdengar lagi teriakan Adin yang membahana.

Wika jongkok, mensejajarkan tingginya dengan Adin sambil membelai rambut Adin dengan lembut. Gue kaget, waktu si Adin lama kelamaan tangisnya berhenti, meski masih sesenggukan sih.

"Kakak siapa?" tanya Adin masih dengan sesenggukannya sambil memandang Wika dengan matanya yang sembab.

"Wika. Teman kak Rifki, Adek namanya siapa?"

"A-adin. Kak Rifki jahat, cake nya Adin masa dimakan gitu!" gue mencoba ngalihin pandangan gue dari mereka saat Adin nunjuk gue dengan wajah penuh dendam.

"Besok, kak Wika beliin deh." Ucapnya sambil menyeka air matanya Adin.

"Tapi Adin maunya sekarang!" —dan Adin kembali merengek dengan menunjuk-nunjuk gue dengan kaki yang dihentak-hentakkan dengar kesal. Oke, gue merasa amat bersalah hanya gara-gara sepotong cake.

"Oh iya! Kaka lupa, sebentar ya." Tiba-tiba Wika berjalan ke arah tasnya yang ia letakkan diatas sofa. Setelah itu, Wika mengeluarkan bungkusan berwarna coklat dari tasnya dan langsung mengisyaratkan Adin untuk duduk di sampingnya. Dan ajaib, Adin menurut, padahal baru kenal Wika, tapi udah nurut gitu, sama gue aja tu bocah bandelnya minta ampun.

"Kak Wika bawa pudding, makan pudding ini dulu ya? Ini buatan kakak loh."

Adin menatap kotak yang katanya berisi pudding itu dengan intens —dasar! Anak kecil kalau disogok makanan langsung diem.

"Rasa apa?"

"Coklat sama strowberry. Adin suka?"

Adin mengangguk, lalu mengambil satu cup pudding dari kotak itu untuk segera ia makan, di bantu juga oleh Wika.

Ternyata tu bocah pandai juga nenangin anak kecil, kok dia jadi kayak cewek ya? Perhatiannya ke Adin tulus banget.

Saat gue gi mandang mereka, Wika tiba-tiba balik memandang gue. Seketika gue sama dia jadi canggung karena gue kepergok mandangi dia dan dia tahu kalau sedang di perhatikan.

"K-kak Rifki mau puddingnya? Aku sengaja bikinin untuk kak Rifki sebenernya."

"Eh?" —buat gue?

"Enak loh kak." Tiba-tiba Adin ikut berkata ke gue, mungkin dia udah lupa kemarahannya ke gue akibat tu pudding, "Rasanya kayak pudding buatan kak Dave."

Tiba-tiba tubuh gue kaku saat mendengar nama 'dia' terucap dari mulut Adin. Sial! Kenapa Adin harus nyebut namanya sih? Yah, dulu saat kita masih deket, dia memang sering masakin adek gue berbagai macam makanan. Gak heran kalau Adin dekat dengan dia karena perhatiannya yang tulus pada Adin.

Sejak kejadian itu, gue sama dia memang hampir tak pernah bertegur sapa, berkali-kali Adin juga nanyain dia, karena dia tidak lagi main ke rumah gue.

"Kak Dave? Siapa dia?" tanya Wika dengan wajah penasarannya ke gue.

Gue ngehela napas, duduk kembali di sofa dan mengambil salah satu cup pudding di meja. "Bukan siapa-siapa. Hanya orang lain."

"Orang lain? Kak Dave kan temennya kakak. Ih! Kak Rifki pelupa banget!"

Gue hiraukan omongannya Adin, tapi keliatan banget si Wika masih berpikir si Dave itu siapa "Wika, udah jangan di pikirin gitu." Gue dengan santai memasukkan sesendok puding ke mulut. "Enak." Bener kata Adin, pudding buatan Wika sedikit mirip sama Dave. Apa-apaan ini? Gue jadi inget lagi kan sama dia dan semua kejadian yang nimpa gue.

*****

Jam menunjukkan pukul sepuluh malam, Adin setelah menghabiskan tiga cup langsung menyeret Wika untuk menemaninya tidur. Entah kenapa gue seneng liat keakraban mereka. Dan dengan terpaksa, Wika nurutin kemauan Adin dengan menemaninya tidur dan dia bisa pulang saat Adin benar-benar jatuh terlelap. Bahkan gue mesti bantuin bebasin tangan Wika yang di pegang Adin dengan sangat erat.

"Sori, tadi Adin ngerepotin lo."

Wika tersenyum sambil benerin tasnya, "Gak papa kok. Aku sering main sama anak kecil, kan kakak perempuanku udah ada yang punya anak."

Gue hanya menganggukkan kepala sambil ber-'oh' sebagai jawaban.

"Udah malem kak, aku pamit ya."

"Gue anter."

"Eh? Anter sampe depan?"

"Bukan, gue anter sampe rumah lo. Jam segini naik taksi beresiko banget."

Sejenak, Wika terlihat ragu.

"Udah deh. Gak usah nolak. Itung-itung gue berterima kasih karena bisa nenangin Adin tadi."

Dengan kaku, akhirnya Wika mengangguk dengan muka yang lagi-lagi memerah. Gue sebenernya pengin ketawa kalau Wika lagi malu-malu gitu. Lucu juga tu bocah.

Saat kita ada di luar, kebetulan orang tua gue baru turun dari mobil.

"Rifki? Eh? Ada tamu ternyata." Nyokap ketika liat Wika langsung memberinya senyum. Dan Wika langsung mengajak salaman sama nyokap dan bokap gue.

"Malam tante, om. Saya Wika adik kelasnya Kak Rifki."

"Mau pulang ya? Maaf tadi tante dan om habis kondangan jadi gak bisa menemani nak Wika."

"Ah, gak papa kok. Besok-besok lagi Wika bisa main. Boleh kan?"

"Tentu boleh, nak." Kini Ayah gue yang tadi diem ikutan berbicara, "Rif, anterin temenmu. Bahaya naik taksi jam segini."

"Memang Rifki mau anterin, pinjem mobilnya donk. Dingin kalau naik motor."

Dengan segera, ayah gue nyerahin kunci mobilnya. Dan gue nyuruh Wika untuk masuk duluan ke dalam mobil.

"Bun, Rifki nganter Wika dulu ya."

"Eh tunggi, kak. Kok bunda baru tahu kamu punya temen semanis dia? Dia beneran cowok kan?"

"Ck. Bener cowok lah!"

"Kirain cewek, habis manis banget sih."

Gue hanya geleng-geleng kepala, gak mau urusan sama nyokap lagi, akhirnya gue masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya.

*****

(Dani's POV)

Sial! Makan malam romantis bareng Dave sudah hancur akibat kedatangan trio troublemaker, gue sampe tadi ngelempar sendok ke arah si Ana hingga tercetak cap di dahinya. Bodo! Ngapain juga si Dave ngundang si biang kerok, kan jadi gak romantisnya sama sekali. Harusnya gue udah curiga dari awal, kenapa Dave masak banyak untuk dinner gue sama dia, enggak taunya malah —argghhh gue bener-bener kesel.

"Udah donk, Dan. Masa lo mau ngambek terus?"

"Harusnya lo gak usah ngundang tu cewek sinting."

"Ya maaf." Gue ngelirik ke arah Dave yang kini menunduk dengan raut muka penuh penyesalan. Lama-lama gue gak tega juga sama pacar sendiri nyuekin.

Akhirnya gue mengusap kepala Dave yang tertunduk "Kalau kita ada waktu berduaan, lo jangan mengundang mereka lagi. Setuju?"

Dave mendongak, lalu tersenyum dan mengangguk. Kini kita berada di luar rumah Dave karena waktu sudah semakin malam dan kedua orang tua Dave sudah pulang, gak mungkin gue tetep berada disini, karena berada dekat dengan Dave, gak jauh-jauh pikiran gue kemana-mana. Kalau sampai keblabasan, entar orang tua Dave liat. Bisa-bisa gue di sate sama mereka. Oke, lebih baik gue pulang aja.

"Gue pulang dulu. Besok gue jemput lo ke sekolah."

"Hum. Apa gak ngrepotin? Lo tiap hari puter arah dulu buat njemput gue."

Duh cowok gue imut banget sih? Karena gak mungkin gue nyium dia sekarang, jadi gue ngacak-acak rambutnya dengan gemas.

"Devy sayang, mana ada pacar yang merasa di repotin sama pacarnya sendiri? Gue biasa aja kok."

Dave terlihat memerah gue perlakuin gini. Argghh gila, pengin gue peluk juga ni cowok. Manisnya gak nanggung-nanggung.

Menghindari hal-hal yang tidak gue inginin, gue naikin motor gue. "Gue pulang." Setelah itu, gue memakai helm gue, namun tangan gue di tahan sama Dave. "Apa —"

Gue gak mampu berucap lagi kala Dave dengan cepat mencium kening gue. Tuh kan! Cowok gue emang romantis banget. Malu-malu tapi seringnya dia mau.

"Hati-hati di jalan."

Argghhh gue gak tahan lagi untuk gak nerkam dia, dengan cepat gue narik tubuh kecilnya ke pelukan gue. Bibir gue hampir menempel pada bibirnya, namun sebuah mobil lewat di depan kita. Lampunya memancar tepat mengenai gue dan Dave. Segera saja Dave lepas dari pelukan gue. Sial tu mobil.

"Rifki?" gue denger, Dave menyebutkan satu nama yang bikin emosi gue selalu terpancing.

"Tadi itu si Rifki?"

Dave mengangguk, "Tadi dia liat kita gak ya?"

Gue jadi emosi, kenapa Dave mesti takut kalau tadi Rifki ngelihat? Bukannya bagus karena berarti dia tahu kalau Dave udah milih gue. "Udahlah. Kenapa lo mesti khawatir?"

"Tapi —"

"Gue balik dulu." Gue segera motong ucapan Dave sebelum gue denger namanya dia. Tanpa membuka kaca helm lagi, gue nyalain mesin dan pergi dari rumah Dave yang gue yakin, kini Dave masih ngelihatin gue dari jauh.

*****

(Author's POV)


Dengan muka marah, Rifki menutup pintu garansi dengan keras hingga ayahnya berteriak dari dalam agar Rifki tidak membuat keributan.

Dia sudah terlanjur melihat tadi. Dani dan Dave. Yah, tadi dia melihatnya saat Dani memeluk Dave dan hendak menciumnya.

Sial! Sial! Sial!

Napas Rifki terasa berat, dengan memegangi dadanya "Ternyata masih sesakit ini."

Saat masuk ke dalam, ia melihat kedua orang tuanya yang saling memeluk di sofa sambil melihat tayangan malam di televisi. Melihat itu, Rifki merasa iri. Dia juga ingin merasakan bahagia bersama dengan orang yang dia sayangi.

Dengan lemas, Rifki berjalan melewati kedua orang tuanya dan menaiki tangga menuju kamarnya. Namun, baru satu tangga, bundanya memanggilnya. Ayahnya ternyata sudah beranjak dari ruang TV dan berjalan ke arah kamar mandi.

"Ada apa bun?"

"Kata Ibunya Dave, kamu sekarang jarang main ke rumahnya. Kamu lagi berantem sama Dave."

Rifki mengedikkan bahu.

"Segeralah berbaikan, nak. Gak baik. Kan kalian sudah bersahabat sejak balita."

"Nanti Rifki Pikirkan." Lalu Rifki melanjutkan untuk menuju kamarnya. Namun ia kembali berhenti "Bun?"

"Hemm..." Wanita awal empat puluhan itu melihat anak bungsunya yang kelihatan lesu.

"Bun, bagaimana jika kita mencintai seseorang, tapi orang itu lebih memilih orang lain untuk bersamanya?"

"Kamu baru di tolak cintanya?"

Rifki terlihat gelagapan, ia menggaruk rambutnya, "Bukan. Tapi teman Rifki. Dia minta nasihat Rifki tapi Rifki gak tahu jawab apa."

Sejenak, ibu dari tiga anak itu menaikkan sebelah alisnya heran, namun ia menjawab "Relakan."

"Maksudnya?"

"Relakan cintamu, karena cinta tidak harus memiliki. Membiarkan dia bahagia, itu juga menunjukkan rasa cinta kita yang sesungguhnya."

Relakan ya...

Rifki menghela napas, sedikit sulit untuk merelakannya.

" —dan, lebih baik kau berikan cinta itu pada orang yang mencintaimu. Meski sulit, tapi hal itu bisa membuat hatimu lebih bahagia."

"Akan Rifki sampaikan itu pada temen Rifki." Sedikit, hatinya kini merasa lebih tenang. Merelakan dan memberikan kepada yang lain. Terdengar sulit, tapi dia juga sudah sangat lelah jika terus saja mengejar cinta sahabatnya itu. "Makasih, Bun sarannya."

"Sama-sama, nak. Good luck!" setelah kepergian Rifki, wanita itu tersenyum, "Dasar anak muda jaman sekarang. Mau move on saja pake minta saran."

Tbc

A/N : errr.... lama ya update-nya? Sori ya guys. 

Okey, vote dan komentar untuk part ini saya tunggu! Bantu Rifki buat move on~

Hargai penulis dengan vote dan komentar ya~

Arigatchu~ :*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top