Bagian 18
Senyum penuh kebahagiaan tak pernah lepas dari wajah tampan Dani sejak bangun pagi tadi. Ia mungkin belum pernah merasakan sebahagia ini semenjak ibunya meninggal. Bahkan tadi kakaknya menganggapnya gila waktu membuka kulkas untuk mengambil susu, Dani masih saja senyum-senyum tak jelas sambil menerawang ke atas membayangkan sesuatu.
"Lo habis dapet lotre? Bahagia bener."
Bahkan sekarang, kakak beradik berwajah tampan itu duduk di ruang makan, Dani masih tak menurunkan lengkungan bibirnya. Membuat kakaknya menaikkan sebelah alisnya.
Pertanyaannya yang tadi pun belum ia jawab. Geram, sang kakak menendang kaki adiknya dari bawah meja.
"Ouch! Apaan sih, kak!" seperti tersadar dari sesuatu, Dani kaget dengan tendangan kakaknya hingga nyaris menjatuhkan kotak susu yang ia pegang. Pandangan mematikan langsung ia arahkan pada sang kakak yang kini sedang tersenyum penuh kemenangan.
"Lo yang apaan! Ditanya malah senyum-senyum gak jelas gitu."
Dani menggrundel tak jelas dengan masih mengelus kakinya –ugh ternyata sakit juga.
"Siapa yang senyum-senyum gak jelas? Kayak orang gila aja."
"Lo. adik kakak tercinta~"
Sejenak Dani bergidik ngeri mendengar nada menggoda sang kakak dengan kata 'tercinta'
"Hell –kak, gue udah gede. Plis jangan godain gue lagi. Oh! Satu lagi, gue senyum-senyum itu dari tadi jelas alasannya –asal kakak tahu."
Pria berumur 23 tahun itu menyeringai dibalik gelas susunya yang tengah ia teguk.
"Memang apa alasan lo senyum-senyum senang seperti itu?"
Selesai menghabiskan segelas susunya, Dani berjalan menuju sepatu yang tadi ia taruh di sofa depan tv. Sambil memasang sepatunya, Dani menjawab pertanyaannya kakaknya dari ruang tengah, "Ada deh. Ini urusan anak muda, orang tua gak boleh tahu."
Dari belakang, Leo –kakak Dani terkekeh kemudian menyusul sang adik dan duduk di sebelah Dani yang sudah hampir selesai memakai sepatu.
"Iya...iya kakak emang udah tua, tapi perlu tahu dong apa yang membuat adiknya senang seperti ini."
"Kan ada yang namanya privasi. Jadi, maaf kak, kali ini gue belum mau cerita." Lalu Dani berdiri, merapikan seragam sekolahnya dengan memandang dirinya dari pantulan layar TV flat yang mati. "Kak, gue udah keren belom?"
Tersenyum, Leo mengacungkan jempol tangannya ke depan wajah Dani. "Adik kakak udah keren. Gak nyangka lo udah segede ini, dulu kan kemana-mana lo buntutin gue."
"Gak usah bahas masa lalu deh."
Pria bertubuh jangkung itu tertawa lalu memukul punggung adiknya "Sudah sana berangkat."
Dani mengangguk, ia memakai jaketnya dan mengambil tasnya yang tergeletak dilantai sebelah sofa "Berangkat, kak."
Dengan perasaan senang, Dani berjalan ringan menuju pintu depan, namun belum sempat membuka pintu, kakaknya kembali memanggilnya.
"Apa lagi sih kak?!" kesal Dani.
"Gak. Cuma kakak titip salam buat pacar lo yang jadi wallpaper ponsel juga background laptop lo –aishh siapa namanya... oh! Dave! Iya itu. Hahaha –"
"KAK –" belum sempat Dani mengejarnya, kakaknya sudah lari duluan menuju lantai atas.
Astaga! Kenapa kakaknya bisa tahu? Kapan kakaknya membuka ponsel atau laptopnya? Bahkan memegang ponselnya saja, kakaknya belum pernah –jadi kapan dia melihatnya?
Entahlah.
Mengedikkan bahunya, Dani segera melangkah keluar. Sedari tadi Dave sudah berisik memberi pesan lewat LINE untuk segera menjemputnya karena memang hari sudah mulai siang.
*****
"Lama."
"Sori. Tadi di rumah ada masalah sedikit."
Terlihat wajah Dave sedikit cemas mendengar kata 'masalah' yang tadi Dani lontarkan.
"Masalah? Masalah apa?"
"Biasalah. Kakak gue ngerjain gue."
Sebelah alis Dave terangkat, "Gue baru tahu lo akrab sama kakak lo."
"Jangan salah, dia kalau lagi kumat jailnya, gue habis sama dia."
"Masa?"
"Oh...sudahlah. gue males ngomongin dia." Lalu Dani berhenti berbicara dan memandang wajah Dave dengan serius.
Dilihat sebegitu rupa, Dave langsung merasa wajahnya memanas dan ia kini yakin, warna merah menghiasi wajahnya sekarang.
"Pagi ini, lo manis banget"
PESSHHH
Mungkin, kalau ini di komik, muka Dave bakal memerah dengan kepulan asap keluar dari kepalanya karena ia sudah sangat blushing mendengar ucapan sang kekasih yang begitu manis pagi ini.
"Ap-apa?"
Dengan wajah tanpa dosanya, Dani mengulang kalimat yang tadi "Pagi ini, lo manis banget –OUCH... Dave! Apaan sih?" bukannya mendapat balasan manis dari Dave, Dani malah mendapat injakan keras pada kakinya oleh Dave. Sambil meringis kesakitan, ia memandang heran ke Dave.
"Ha-habis, pagi-pagi udah ngegombal gitu." Terlihat wajah Dave bertambah merah sekaligus khawatir karena melihat muka Dani yang masih meringis kesakitan di atas motornya. "Sakit?"
"Ya iyalah! Lo nginjeknya dari hati, gak tanggung-tanggung sakitnya."
"Err... sori."
"Cium!"
"Eh?" Dave memandang heran ke arah Dani. Dengan polosnya, Dave menelengkan kepalanya –membuat Dani tidak kuasa melihat wah Dave yang seperti kelinci putih yang imut itu.
"Gue belum nerima maaf lo sebelum lo nyium gue."
"Ih! Gak adil banget." Dave bersedekap, agak bete juga karena tak semudah itu Dani memberinya maaf.
"Ini biar impas. Masa nyium pacar sendiri gak mau."
"Ya tapi gak di pinggir jalan gini dong. Bagaimana kalau ada yang liat? Lebih parahnya lagi kalau orang tua gue keluar rumah, kan bisa kacau."
Dani melihat kesekeliling jalan yang nyatanya sepi dan tidak ada orang atau kendaraan yang berlalu-lalang "Sepi. Dan gue juga tahu, orang tua lo udah berangkat. Udah jangan ngelak. Sekarang, cium!" Dani menyodorkan mukanya pada Dave. Seringainya tak lepas dari bibirnya.
Dave sedikit gelisah. Ish! Dani memang tidak mau mengerti situasi dan kondisi. Tau gini, tadi dia gak usah minta maaf kalau akhirnya permintaaan maafnya harus memakai syarat.
Dengan kaku, Dave sedikit-demi sedikit memajukan mukanya, dengan gerakan cepat, ia daratkan bibir merahnya pada pipi kanan milik Dani.
"Loh?! Kok pipi sih?!" Dani menunjuk bibirnya "Disini sayang~ kan itu selera gue posisi ciumannya."
Dave merengut jengkel "Gak ada posisi ciuman favorit. Yang penting ciuman –ah bete gue! Mending gue nyari taksi aja deh."
"Eittss! Iya deh iya. Gue udah maafin lo. Gitu aja ngambek. Buruan naik."
Dengan gemas, Dani merangkul leher Dave dan mengacak rambutnya sampai akhirnya ia daratkan ciuman penuh sayang pada puncak kepala Dave.
Mendapat perlakuan manis itu, seketika jengkel yang tadi Dave rasakan hilang seketika. Ia tersenyum dan meraih helm yang Dani sodorkan padanya.
"Nanti, gue dikasih ciuman favoritnya ya."
Dave langsung memukul punggung Dani main-main. "Dasar mesum!"
Seketika Dani meledakkan tawanya melihat muka Dave yang putih itu kembali memerah dan menunduk menahan malu.
Dani dan Dave tak menyadari, bahwa ada seseorang yang sedari tadi melihat mereka dari ujung jalan sana dengan tatapan marah dan penuh kekecewaan.
****
"Na, cerita lo yang yaoi itu terusin napa, udah bulukan banget gue nuggunya tau." Manda yang sedang duduk disebelah Ariana menyenggol lengan Ariana dengan sebal, namun Ariana tak mengalihkan pandangannya dari smarphone nya.
"An! Oii~ lo dengerin gue napa?!" tetap saja Ariana tak berkutik, ia malah membuat isyarat untuk diam pada Manda dengan tangannya. Kedua matanya masih terpacang pada layar smarphone nya.
"Gue gak nyangka..." lirih Ariana dengan mata berbinar pada smarphone nya.
"Gak nyangka kenapa?"
Ariana memandang takjub pada layar smarphone nya lalu ia memandang Manda yang balik memandang nya heran melihat sahabatnya senyum-senyum bak orang gila di terminal.
"Lo kenapa, Na? Gila lo kumat?"
Bukannya menjawab, Ariana malah menjerit kesenangan "Kyaaaaaaa!!!!"
Manda yang duduk disebelahnya langsung menutup kedua telinganya dengan tangan. Anak-anak lain yang berada di kelas langsung pada sewot dan menyuruh Ariana diam.
"Gila! Gila! Gila! Nda! Jackpot bangettt ini~"
"Apanya? Lo menang undian album Kpop? Atau tiket konser band kesukaan lo? Atau lo dapet hadiah PS?"
Ariana menggeleng sok imut.
"Lalu?"
"Ah, gue gak bisa cerita dulu ke lo. Lo baru jadi fujoshi, masih harus di ospek dulu. Oh! Tadi lo ngomong apa ke gue?"
Manda menghela napas, dia mengelus dadanya dengan penuh sabar. Bersahabat dengan makhluk absurd macam Ariana memang perlu tenaga ekstra. "Gue ngomong, kapan lo nerusin cerita yaoi lo yang ada di blog lo?"
"Yang apa? Cerita yaoi gue banyak!"
"Yang WooSoo itu loh~"
"O-oh itu~ ah, udah dua tahun gak diterusin, gue lupa plotnya. Gue pergi dulu. Ada urusan."
Belum mendapat kesempatan untuk berbalik ngomong pada Aiana, gadis itu langsung melesat pergi keluar dari kelas.
"Astaga tu anak. Kurang sesajen apa sih dulu waktu bayi?"
Sementara itu, Ariana terlihat gembira saat melihat kedua sahabatnya –Dani dan Dave –yang baru saja memasuki gerbang sekolah dan hendak menuju parkiran.
Dengan semangat, Ana langsung berlari menyusul mereka. Namun, tubuh kecilnya terhempas ke belakang hingga jatuh terduduk karena ia menabrak seseorang.
"Arghh sial! Woii bego –Rifki?"
Seketika bulu kuduk Ariana bergidik ngeri saat matanya bersirobok dengan mata tajam Rifki yang tersirat banyak kebencian disana.
Wajah Rifki terlihat sangat marah, terlihat dari napasnya yang memburu dan kepalan tangannya pada kedua sisi tubuhnya.
"Sori Ki, gue kira sapa."
Rifki berbalik memandang Ariana yang kini sedang berusaha berdiri dan menepuk-nepuk roknya yang terkena debu. Tanpa berkata apapun, Rifki pergi meninggalkan Ariana yang masih sibuk dengan debu yang menempel pada roknya.
"Eh? Udah pergi aja tu anak. Ck.. ck.. ck... orang cemburu memang menakutkan."
Mengedikkan kedua bahunya, gadis bertubuh mungil itu kembali berlari menuju target sasaran, siapa lagi kalau bukan Dani dan Dave yang pada saat itu juga mereka sudah berjalan di koridor. Dengan segera, Ariana mencegatnya.
"Ciee~ ciee~ ehem...ehem..."
Melihat ada makhluk absurd yang mencegatnya, Dani segera mendorong gadis itu dengan menekan telunjuknya pada dahinya yang secara otomatis, Ariana terdorong dengan mengaduh kesakitan.
"Ih~ apaan sih lo, Dan! Sakit tahu jidat gue!"
"Salah sendiri pagi-pagi udah nge-absurd."
Dave terkekeh geli melihat tingkah dua orang yang ada di depannya.
"Siapa juga yang nge-absurd. Gue Cuma mau nagih pajak jadian."
"Apa? Siapa yang jadian?"
"Udah lah Dave, jangan pura-pura bego. Ya elo sama Dani lah." Ariana menunjuk Dani dan Dave bergantian. Seringai jail menghiasi wajah gadis itu "Hayoo loh~ gak makan-makan kualat entar!"
"Heh! Ana, lo kalau ngomong di filter dikit 'kek. Emang lo tau dari mana coba?" Dani sudah sangat geram dengan kelakuan gadis yang kini sedang loncat-loncat kesenangan di depannya seraya menunjukkan smarphone nya.
"Dari FB. Lo ngerubah status hubungan lo menjadi 'berpacaran' dan gue tahu, pacar lo pasti ni orang," telunjuk Ariana mengarah pada Dave, "enak banget ya, kemarin sama-sama cabut dari sekolahan eh malah jadian. Kereen~"
Dave mendelik tajam pada Dani yang kini berkeringat dingin karena ditatap tajam seperti itu, "Dan, gue kan udah bilang kita dieman aja."
"Err... gue Cuma ganti status hubungan aja kok gak nyampe nge-tag nama lo di FB. Sumpah. Tapi kan lo tau Ariana makhluk tak berwujud yang tekadang sakti, ya dia langsung tau."
Ariana nyengir lebar sambil bertepuk-tepuk tangan "So?"
"Lo minta aja ke Dani." Ucap Dave sewot.
Dani menghela napas "Baiklah. Tapi jangan kasih tau siapa-siapa!"
"Sipp bro! Eh? Tadi gue lihat Rifki dan dia juga sempet nabrak gue tadi, dia belum tahu hubungan kalian kan?"
Mendengar itu, seluruh tubuh Dave menegang. Firasatnya tidak baik ketika mengingat Rifki.
*****
Rifki
"Brengsek!"
Gue melampiaskan amarah dengan menendang kursi yang ada di ruang klub sepak bola. Gue udah gak niat masuk kelas hari ini. Menuju ke ruang klub mungkin bisa nenangin diri gue yang semrawut gini.
Gue duduk dengan kasar ke salah satu kursi yang ada di ruangan ini.
Brengsek!
Bukannya mereka marah dengan ucapan gue tempo lalu, mereka malah semakin dekat.
Dan apa itu tadi? Mereka masih sempat bermesraan di depan rumah Dave. Ya. Gue tadi liat semuanya. Semua yang mereka lakukan sebelum berangkat ke sekolah.
BRAK!
Gue kembali memukul meja dengan keras. Membayangkan adegan tadi pagi membuat gue geram. Dan yang membuat hati gue serasa remuk, gue yakin kalau mereka sudah menjalin hubungan.
Sial! Sial! Sial!
Kenapa mereka sulit sekali dipisahin? Gue mencoba bersikap dingin pada Dave, berharap ia melupakan Dani karena merasa tidak enak hati pada gue –itu semula harapan gue. Tapi apa? Dave gak peduli lagi ke gue. Mungkin dia sudah ngelupain gue yang dari dulu jadi sahabatnya dan memilih Dani.
Sebegitukah pedulinya dan rasa sayangnya Dave pada Dani hingga rela ngelupain gue?
Dengan frustasi, gue mendorong rambut gue kebelakang. Rasanya pusing dengan segera menyergap. Napas gue sesak.
Gue berharap, rasa ini segera di cabut oleh Tuhan, gue merasa tersiksa dengan perasaan ini. Perasaan yang tak bersambut meskipun orang itu berada di dekat gue.
"Permisi?"
Suara seseorang membuat gue yang semula menunduk kini mendongak dan melihat siapa yang masuk.
Gue belum pernah melihat cowok yang baru masuk ini.
Dia pasti bukan anggota klub sepak bola disini. Mana mungkin ada anggota sepak bola bertubuh kecil dan apa itu? Kenapa seorang cowok bisa memiliki wajah putih bersih seperti itu? Ah! Dave juga memiliki kulit putih dan wajah manis –gila! Kenapa gue jadi kembali mikirin Dave sih? Rambutnya lurus dan sedikit panjang hingga ada anakan rambut yang berada di dahinya, membuat wajahnya terlihat lebih mungil.
"Ya?" gue mencoba menjawab. Dia tersenyum, dan gue lihat dia mempunyai eyesmile saat tersenyum hingga kedua mata bulatnya membentuk bulan sabit.
"Kak Rifki ya?"
Gue mengangguk. Kenapa dia bisa kenal gue? "Kamu siapa?" dengan sopan gue bertanya, pipinya merah sebelum berkata lagi.
"Saya Wika, anak kelas 10-A. kemarin sudah diangkat jadi manejer klub ini."
Gue naikin sebelah alis gue "Manajer? Sejak kapan klub ini punya manajer, dan siapa yang ngangkat lo?" oke, gue mulai bosen ngomong sopan, toh dia adik kelas gue.
"Kak Tyo."
Tyo! Dasar. Jadi kapten malah seenak jidat ngangkat orang jadi manajer.
"Oh..." gumam gue, yah meski gue kurang setuju adanya manajer, tapi gue maleskomentar. Kita lihat aja gimana dia entar kerjanya. Gak beres, tinggal keluarin. Selesai.
Cowok mungil bernama Wika tadi dengan malu-malu jalan ke arah gue. Lagaknya seperti gadis saja, tapi lucu.
"Kak Rifki." Panggilnya, matanya berbinar-binar waktu ngeliat gue. Kenapa ni anak?
"Aku seneng banget waktu di terima jadi manajer disini. Karena... udah lama aku ngefans sama kak Rifki."
Gue kaget waktu dengernya "Eh?"
"Kakak tuh hebat banget dan gagah waktu lagi main sepak bola. Aku jadi ngidolain kakak. Dan sekarang, ketika aku udah masuk klub ini, aku tambah senang, karena...mungkin aku bisa lebih dekat dengan kak Rifki."
"Eh?"
Gue gak bisa berkata apa-apa, gue kini sedang patah hati karena Dave telah jadian dengan Dani, dan kini gue dikejutkan dengan fanboy yang imut tengah berbinar-binar berada deket ma gue.
Tbc
A/N : Saya turutin untuk nerusin ini~ hahahaha nahloh! Nambah satu tokoh lagi! Hahahaha *tabok* ini apaan sih saya? Niatnya mau namatin malah gini jadinya. Yah... saya nurutin permintaan readers supaya Rifki dapet pasangan dan gak ngejar-ngejar Dave lagi. Tapi... yah~ bisa ntar tuh si Wika bikin Rifki takluk, secara Rifki gay kan Cuma buat Dave.
Coba aja gak ada silent readers, pasti saya semangat terus update nya hahaha so, jangan jadi silent readers ya guys~
Latihan untuk menghargai penulis ya~
Hargai penulis dengan vote dan memberikan komentar.
See yaa~ :D
Arigatchu~ :*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top