Bagian 17

Sedari tadi, kedua mata berwarna hazel itu mencari keberadaan seseorang yang baru saja meninggalkan sekolah. Dani –pemuda itu, masih dengan kecepatan sedangnya dalam mengendarai sepeda motornya, ia jelajahi jalanan berharap kedua retina matanya menangkap sesosok pemuda yang sedari tadi ia cari keberadaannya.

Sejak kejadian di kantin tadi, Dave segera kabur dari kerumunan dengan wajah merah. Dani hampir saja melayangkan tinjunya pada wajah menyebalkan Rifki kalau saja Ariana berteriak memanggil Dave yang berlari keluar dari kantin, belum sempat Dani menyusulnya, Dave sudah menghilang dengan cepat keluar dari sekolah dan meninggalkan kelas berikutnya.

Tanpa buang waktu lagi, Dani pun meminta ijin ke guru piket untuk pulang terlebih dulu –karena percuma juga dia tetap mengikuti pelajaran jika pikirannya hanya tertuju pada Dave yang tiba-tiba pergi tanpa ia tahu kemana perginya.

Dani sendiri juga heran, bagaimana Dave bisa keluar dari sekolah padahal gerbang depan ditutup dan dijaga oleh satpam.

“Sial...”

Berkali-kali pula Dani mendesis dan bergumam marah atas aksi bodoh Dave yang kabur hingga membuat ia khawatir seperti ini.

Hell!

Ia sudah tidak ada ide lagi kemana ia harus mencari Dave, jika ia membawa ponselnya mungkin Dani bisa menghubungi Dave. Tapi sialnya saat ia masih di kelas dan menghubungi Dave, ponsel pemuda itu tertinggal di dalam tas yang juga Dave tinggalkan juga di kelas.

“Lo sebenernya dimana sih, Dave?!”

Saat Dani masih dalam keadaan khawatir, tiba-tiba ponselnya berbunyi, membuatnya meminggirkan motornya dan berhenti di tepi jalan untuk menerima telepon.

Nama Ariana terpampang di layar ponsel pintarnya. Dengan cepat ia lepas helmnya dan menerima panggilan itu.

Dave gak ada di pohon angker, Dan.

Tanpa mengucapkan salam terlebih dulu, Ariana langsung to the point.

“Gue juga belom nemuin dia.” Ucap Dani dengan lemas. Ia kembali menghela napas, pikirannya sudah kemana-mana saat dia mengingat raut muka Dave yang menyiratkan banyak ekspresi kecewa saat Rifki mempermalukannya di kantin.

Brengsek!

Lalu... lo sekarang masih mau nyari atau gimana?’ terdengar dari sebrang sana, suara Ariana juga terdengar cemas mengetahui tak ada berita menyenangkan dari Dani.

“Gue masih mau nyari dia sampe ketemu. Lo tenang aja, Na,” Dani sedikit menenangkan diri dengan kembali menghela napas “ini semua gara-gara si brengsek Rifki. Kalau dia enggak –argghh... brengsek!” Dani memukul stang motornya untuk melampiaskan kemarahannya. Dan detik berikutnya Ariana menenangkannya dari saluran telepon dan mencoba menghibur Dani bahwa Dave pasti akan ketemu.

“Oke. Gue akan kabarin entar kalau Dave udah ketemu. Tasnya udah gue bawa. Hm. Thanks.”

Sambungan telepon pun terputus. Dani memijit pangkal hidungnya dengan frustasi. Kemudian ia kembali memakai helmnya untuk kembali melanjutkan mencari Dave. Ia memutar arah untuk kembali menuju daerah rumah Dave. Kali ini ia tak sabaran, hingga ia mengendarai motornya dengan cepat.

Sampai ketika, saat ia melewati sebuah taman yang letaknya agak jauh dari kompleks perumahan Dave, ia menemukan seorang pemuda yang masih memakai seragam yang sama dengannya tengah berjalan menuju sebuah bangku disana.

Tidak salah lagi!

Dani meyakini kalau itu Dave. Ia bahkan tak memikirkan untuk memarkirkan motornya. Ia pinggirkan saja motornya dan ia berlari menyebrangi jalan untuk menuju taman itu.

“Dave!”

Pemuda yang diyakini Dani itu Dave, berbalik. Dani mendesah lega dan sedikit menyunggingkan senyum pada bibirnya ketika tebakannya benar.

Berbeda dengan Dani yang terlihat lega setelah melihat dirinya, Dave terlihat berbeda, ia terlihat tegang dan ekspresi kaget jelas terpampang pada wajah manisnya. Namun ia tetap berdiri diam disana sampai sebuah pelukan merengkuh tubuh kecilnya.

“Dani...” Dave berkata lirih untuk menyebut nama Dani ketika dengan tiba-tiba Dani memeluknya.

“Syukurlah lo baik-baik saja.” Dani menenggelamkan wajahnya pada perpotongan leher Dave dan memeluknya semakin erat.

“Gu-gue emang baik-baik saja kok.”

Memang Dani tak merasakan efek dari pelukannya, wajah Dave mulai memerah kala rengkuhan Dani kini bersifat protektif padanya. Belum lagi kata-kata Dani yang seakan-akan menyatakan kekhawatirannya karena ia kabur dari sekolah, membuat Dave bertambah blushing. Wajarlah,  kini Dani adalah orang yang spesial dihatinya. Mendapatkan perhatian begitu dari orang yang disayanginya pasti akan membuat dirinya melambung.

Dani melepaskan pelukannya –dan Dave bersyukur dan bisa bernapas lega karena ia akhirnya bisa mengontrol detak jantungnya yang mendadak menggila. Namun, harapan itu sirna, saat Dani tersenyum amat manis ke arahnya dan membuat mukanya bertambah merah dengan detak jantung yang semakin lama, semakin membuatnya ingin segera kabur karena takut nanti Dani bisa mendengar detak jantungnya.

Cara alternatif, akhirnya Dave mengalihkan mukanya. Kemanapun, asal jangan memandang muka tampan milik Dani yang sampai sekarang masih tersenyum padanya.

“Err... makasih lo udah khawatirin gue.”

“Bilang makasih kok gak liat ke gue.”

Dave menghela napas, dengan terpaksa ia kembali menghadap ke Dani. “Makasih. Puas sekarang?”

Dani terbahak sambil mengangguk. Itu adalah hal terlucu untuknya, ketika Dave blushing karena dirinya, Dani amat menikmatinya. Dave terlihat berkali-kali lipat terlihat cute karena itu, dan Dani sangat menyukainya.

Dengan gemas, Dani mengacak-acak rambut Dave. Hingga sang pemilik mengurucutkan bibirnya yang justru membuat Dani bertambah gemas dibuatnya.

“Dasar! Bikin orang khawatir aja.”

“Sori deh.”

Dani tersenyum, lalu memegang lengan Dave untuk membimbingnya menuju kursi panjang yang ada di belakang mereka.

“Duduk.” Dani menepuk space kosong tepat disampingnya  pada kursi kayu itu.

Dave menurut, pandangan Dani mengikuti setiap gerak-geriknya, dan Dani kemudian menaikkan sebelah alisnya saat melihat Dave menghela napas lalu menunduk.

“Dave, lo oke kan?”

Dave mendongak, ia arahkan pandangannya ke wajah Dani yang terlihat khawatir dan kemudian Dave tersenyum masam, “Menurut lo?”

“Gak. Lo gak oke. Lo masih marah sama Rifki? Ck. Si brengsek itu memang...”

“Gue gak marah ke Rifki, kok,” Dave kembali menghela napas, kedua bola matanya ia arahkan ke depan, memandang jauh kesana, “mungkin perkataan dia ke gue tadi emang pantes.”

Dani terdiam, cukup kecewa juga marah kala Dave tidak mau menyalahkan Rifki. Bagaimana tidak? Rifki adalah saingannya dalam merebut eksitensi Dave, sekarang Dave malah membelany, tentu saja Dani sangat kecewa sekaligus marah.

“Lo gak marah, tapi kenapa lo tadi lari?”

“Gue gak sanggup denger cacian dia yang lebih ke gue, karena pasti entar gue kepancing emosi. Gue tau tujuan Rifki mencomooh gue karena itu.”

“Jadi... daripada lo entar emosi pada Rifki, lo melimilih pergi?”

Dave mengangguk. Pandangannya masih tak berpaling pada apa yang ada dihadapannya.

“Tapi dengan begitu, lo dianggap pengecut Dave.”

“Gue emang pengecut.”

“Huh?”

Dave memandang tepat pada kedua mata hazel milik Dani “Gue pengecut karena gak bisa memutuskan sesuatu yang sekarang gue hadapi.”

“Maksud lo?” Dani benar-benar belum mengerti dengan omongan Dave ini.

Dani

Gue bener-benr gak tahu apa yang sedang Dave bicarakan saat ini, iya gue tahu dia sekarang lagi dalam fase kecewa berat karena si brengsek Rifki. Tapi feeling gue, ini menyangkut perasaan gue ke Dave.

Astaga!

Jangan-jangan Dave ingin melupakan perasaannya ke gue lagi. Masa gue udah bisa dikatakan hampir mencapai finish untuk bisa mendapatkan Dave, malah harus terjatuh pas di garis akhir?

“Apa perasaan gue ke lo salah, Dan?”

Nah!

Feeling gue tapat kan? Tapi plis Dave, gue beneran gak sanggup kalau lo terus gantungin perasaan gue ke lo kayak gini. Dengan penuh keyakinan, gue ulurkan tangan gue dan gue genggam kedua tangan Dave yang sedari tadi ada di atas pahanya.

Terlihat Dave kaget dengan perlakuan gue, sempet juga dia ingin lepas dari genggaman saat melihat dua gadis yang terkikik geli saat melihat kami saling menggenggam tangan. Namun gue hiraukan, paling dua gadis tadi adalah makhluk sejenis Ariana.

“Dave, plis... lo suka ke gue kan?” tanya gue dengan nada halus.

Agak lama menunggu jawaban Dave yang masih diam menunduk dengan muka gelisah, sampai akhirnya dia mengangguk. Membuat perasaan gue seperti musim semi dengan bunga-bunga bermekaran. Gue kembali meremas tangan Dave dengan lembut, meyakinkan ke dia bahwa semuanya baik-baik saja.

“Tapi, Dan. Si Rifki –“

Dave

Ucapan gue terpotong kala jari telunjuk Dani berada di bibir gue untuk menghentikan ucapan gue selanjutnya.

Dia menatap gue dengan dalam, hingga gue gak bisa ngalihin pandangan gue pada mata kecoklatannya. Bertatapan seperti ini, membuat gue bertambah gugup. Dani memang memiliki wajah yang tampan dengan garis rahang yang tegas. Semua wanita pasti bertekuk lutut padanya hanya karena wajah dan juga kharismanya yang keluar. Tapi, dari sekian banyak wanita yang memujanya, kenapa ia memilih gue yang notabene bukanlah wanita cantik. Gue hanya seorang cowok biasa. Gak punya keahlian khusus dan prestasi yang cemerlang di sekolah. Kenapa Dani bisa suka ke gue? Terlebih Rifki, ia adalah sahabat gue, sudah gue anggap saudara yang gak gue punya. Tapi ternyata, kedekatan kami selama ini membut persahabatan kita hancur karena semua perhatian yang gue berikan padanya. Rifki telah salah mengartikannya, gue tahu itu. Tak bisakah gue kembali seperti dulu lagi? Gue juga gak ingin punya perasaan sayang ke Dani, jika ini membuat semuanya kacau. Tapi gue berhak bahagia kan? Lalu jalan mana yang mesti gue pilih? Itulah kenapa gue menganggap diri gue pengecut, karena gue gak bisa mutusin diantara permasalahan gue sekarang.

“Dave, coba sekali iniii saja, lo gak mikirin Rifki dan persahabatan lo sama dia. Inget Dave, diri lo juga harus dipikirin.”

“Dani...”

Kali ini, gue gak tau apa yang gue rasain saat ini.

“Lo percaya kan sama gue?”

Gue mengangguk. Memang, gue udah sangat mempercayai Dani, tapi... “Tapi gue takut Dan. Gue takut Rifki bakalan semakin musuhin gue.”

“Dave!” gue terperanjat kala Dani menyebut nama gue dengan volume yang cukup keras. Genggamannya pada tangan gue terasa kebas karena saking kuatnya Dani meremas. Gue bahkan sedikit menyerngit takut untuk memandang wajah Dani.

“Dave, plis. Gue udah bilang ‘kan? Sekali-kali lo pikirin diri lo sendiri.”

Gue mengangguk. Tak mampu berkata apa-apa lagi.

“Bagus. Lo percaya kan sama gue? Denger, Dave. Jika lo menuruti kata hati lo pasti semuanya bakal berjalan mulus. Gak usah takut, gue ada dibelakang lo untuk melindungi.”

Jika ini bukan di taman, gue pasti sudah nangis dan menghambur ke pelukan Dani dengan ucapannya yang tadi. Tapi gak mungkin gue ngelakuin itu, meski taman ini sepi karena masih jam kerja, gue malu juga, takut nanti ada orang yang lewat seperti dua gadis tadi saat Dani genggam tangan gue. Gue sebenernya tadi malu banget.

“Thanks Dan. Gue sekarang udah bisa mutusin untuk diri gue sendiri.”

Gue lihat muka Dani terlihat sumringah seperti anak kecil yang akan dibelikan mainan. Gue gak tau dia bisa berekspresi manis seperti ini.

“So, hubungan kita, lo resmiin?”

“Maksudnya?”

“Udah deh, Dave. Jangan pura-pura.”

Gue sebenernya tahu maksud Dani. Tapi gue sengaja berpura-pura tidak mengerti maksudnya. Dan gue udah gak tahan ingin tertawa melihat muka bete Dani.

“Mesti harus dengan cara yang berbeda sepertinya.”

Gue menaikkan sebelah alis gue dengan heran “Hm? Cara seperti ap –“

Seketika kedua mata gue terbelalak kaget kala benda kenyal dan basah itu menempel pada bibirku. Napasku tercekat kala hembusan napas Dani begitu terasa di kulit wajah gue yang kini tak ada jarak antara gue dan Dani. Gue semakin terpojok ketika tangan Dani mendorong kepala bagian belakang gue untuk memperdalam tautan bibir kami. Bahkan gue gak sadar gue telah membuka bibir gue karena sekarang, lidah Dani telah mengeksplore seluruh benda yang ada di dalam mulut gue.

Entahlah, gue merasa menikmati dengan apa yang kita lakuin saat ini. Sampai kami sama-sama kehabisan napas dan saling melepas tautan erat tadi dengan diakhiri sebuah senyuman.

“Cara seperti ini yang gue maksud. Lihatlah, lo nerima ciuman gue. Berarti lo juga terima kalau sekarang kita pacaran.”

“Eh?”

“Jangan mengelak lagi. Lo udah mutusin untuk diri lo sendiri kan? Dan gue yakin, inilah keputusan lo.”

Gue kali ini tak bisa mengelak. Memang benar itu faktanya. Gue sekarang menerima Dani. Itu keputusan gue. Tanpa berkata, gue tersenyum kearahnya dan merekatkan genggaman tangan gue padanya.

Oh God! Gue seneng banget! Gue janji Dave, gue gak bakal ngecewain lo. Gue pasti akan jagain lo sepunuh hati.”

“Gue tahu.”

“Damn! Gue yakin, ntar malem pasti gue gak bakal bisa tidur karena saking bahagiannya gue.”

Gue tertawa denger omongannya yang hiperbolis. “Gue bakal kasih lo obat tidur kalau begitu.”

“Gak usah. gue rela gak tidur demi bayangin lo kok. Apalagi bayangin ciuman tadi.”

Seketika seluruh badan gue menegang. Ciuman.

Hell! Gue baru inget kalau ini di taman. Ini tempat umum!

Astaga!

Seketika gue melihat ke kanan dan kiri di sekitar taman. Sedikit lega karena taman ini sangat sepi dan kita berada di kursi taman yang jarang ada keramaian.

“Lo kenapa Dave?”

“Err... tadi gak ada orang kan waktu kita lagi... hmm...”

Dani tertawa kemudian mengacak-acak kembali rambut gue “Tenang Dave, gak ada yang lihat kok. Meski ada yang lihat, gue juga gak peduli. Gue bakal nunjukin kalo lo adalah orang yang gue cintai.”

“Apaan? Iya kalo gue cewek sih oke. Hubungan kita kan gak bisa diterima oleh orang banyak. Jadi jangan sembarangan kalau melakukan hal tadi di tempat umum.”

“Bodo!” kemudian Dani menyipitkan matanya dengan seringai jail pada gue “mau ciuman lagi?”

Gue menghela napas, dasar mesum!

Tanpa berkata, gue beranjak dari kursi dan melangkah pergi dengan langkah yang cepat. Tak peduli jika Dani memanggil gue dari belakang.

Hingga sebuah sentuhan yang menggenggam tangan gue, membuat laju jalan gue melambat..

“Gue anterin lo pulang. Masa gue biarin pacar gue jalan kaki ke rumah.”

Ingin tersenyum, tapi gue coba tahan dengan menggigit bagian dalam pipi gue supaya tak melengkungkan senyuman. Gue hanya balas menggenggam tangan Dani sampai kita menuju motornya.

Kali ini, ijinkan gue egois, untuk diri gue sendiri.

End? Or....

 

A/N :

Yoshh~ maaf ya baru update readersku tercintaa~ oke readers, guys, sob, bro minta vote dan komentarnya, jangan jadi silent readers ya~

Hargai penulis dengan vote dan komentar :D

Arigatchu~ :*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top