Bagian 14

A/n : maaf baru update >.<

Dani

“Apa?!”

“Lo denger gue, Ki. Itu alasannya.”

Gue terperanjat saat denger apa yang barusan Dave ucapin ke Rifki? Tunggu dulu... ini bukan mimpi kan? Karena jika ini mimpi, gue pengin mimpi ini bakal jadi kenyataan. Tapi ini semua nyata karena gue masih bisa rasain nyeri di perut gue akibat pukulan si brengsek Rifki tadi.

Gue menghela napas lega. Lega banget. Akhirnya setelah melewati siksaan ini, gue bisa denger perasaan Dave yang gue harepin dari dulu –Dave juga suka sama gue. Oh thanks God! Gue gak bisa nyembunyiin lengkungin bibir gue untuk tersenyum senang, apalagi saat gue tahu, Rifki terlihat kaget sekaligus marah pada waktu bersamaan setelah denger ucapan Dave.

“Lo pasti bohong kan, Dave?”

Terlihat sekali kalau Rifki gak bisa nerima apa yang tadi Dave lontarkan padanya.

Dave diam bergeming, ayolah Dave. Jelaskan secepatnya kalau lo beneran suka sama gue dan cinta ke gue agar ini cepat selesai.

Namun, Dave masih diam berdiri dengan kedua tangannya terkepal. Hei! Kenapa dia?

Gue lihat Rifki maju mendekat ke arah Dave. Mau apa dia?

Sial!

Tubuh gue masih lemes banget. Tadi pukulan Rifki kuat banget gak nanggung-nanggung mungkin sekarang di perut gue terdapat lebam biru.

“Itu ...”

“Kenapa? Lo tadi gak serius kan ngomongnya?”

“Rifki, gue...” Ayolah Dave! Lo kan tadi udah bilangsuka ke gue, kenapa sekarang malah lo diem begitu?

Rifki sekarang sudah berada di depan Dave yang kini menundukkan kepalanya sehingga raut mukanya sekarang tak dapat gue lihat. Dan kini, Rifki mencekeram bahu Dave kuat, menekannya agar cepat merespon ucapannya.

“Lo tadi bohong kan, huh? Aku yakin, lo tadi Cuma ngomong tanpa berpikir.”

BRENGSEK!

Apa dia kata?

Tanpa berpikir?

Cukup sudah, mengabaikan rasa sakit yang menyerang tubuh gue, gue bangun dan berjalan cepat ke arah Dave dan Rifki. Segera saja gue dorong tubuh Rifki agar menjauh dari Dave.

“Apa lo tuli? Kan tadi lo denger Dave ngomong begitu.” Gue menggeratakkan gigi gue. Kesel juga lama-lama sama orang yang gak mau nerima kenyataan.

“Gue gak lagi ngomong sama lo.”

Rifki balik dorong gue, lalu kembali ia mandang Dave yang masih saja gak ngehadap ke Rifki.

“Dave, lo gak serius ‘kan? Setidaknya kalo lo suka, itu ke gue karena gue yang dari dulu deket sama lo.”

Apa-apaan dia? Emang kalau dari dulu deket bakal jatuh cinta? Gak semua gitu!

Jadi gue ikutan memndang ke Dave dan nunggu agar dia mau berbicara.

“Dave, tadi yang lo ucapin bener kan? Lo beneran suka ke gue?”

Sedikit gue ngelirik ke Rifki yang mukanya kembali marah.

“Diam.”

Akhirnya, setelah menunggu bermenit-menit untuk Dave bersuara, kini ia mengucapkan satu kata tapi kata itu bermakna ambigu untuk gue ngertiin.

Tiba-tiba Rifki mendorong bahu gue kasar. Yang gue balas dengan deathglare yang tajam

“Apa sih urusan lo, Ki?!”

“Heh, lo gak denger? Dave nyuruh lo diem –“

“Bukan Dani –“ tiba-tiba Dave kembali bersuara di tengah-tengah perseteruan gue sama Rifki, dan dia langsung memandang Rifki “ –tapi lo, Ki. Lo yang harus diam. apa perlu penjelasan lebih? Udah cukup tau kan lo? Gue udah capek.”

“Lo nyuruh gue diem?” ucap Rifki seperti berbisik, matanya memerah dan mukanya terlihat sekali amatlah kecewa setelah mendengar ucapan Dave. “....HARUSNYA LO NYURUH DANI BUAT DIAM DAN NGEJAUHIN LO! Harusnya lo suka ke gue Dave, bukannya cowok brengsek ini!”

BUGH!

 

“Ouch!”

Batas kesabaran gue udah habis kala Rifki teriak-teriak di depan Dave yang berdiri diam dengan menguncang-guncangkan tubuh ringkih Dave. Sevara refleks, gue layangkan tinju ke mukanya dengan amat keras, entah dari mana gue dapet tenaga itu. Tapi gue sangat marah jika gue di hina oleh mulut cowok ini yang sekarang terjatuh dengan hidungnya yang mengeluarkan darah.

“BRENGSEK!”

Gue kaget waktu  Rifki masih sanggup berdiri dan berlari hendak menerjang gue dengan kepalan tangannya. Namun, dengan mudah gue tahan tangannya dan kembali memukul perutnya hingga ia kembali terjatuh.

“Gue gak mau bikin lo mati konyol seperti ini, Ki. Berhenti dan terima apa yang ada.”

“Gue gak akan nyerahin Dave ke lo.”

Gue abaikan omongannya.

Napasnya terlihat sekali tersendat-sendat. Mungkin tenaganya telah habis. Gue berjalan mendekat pada Dave yang sedari tadi hanya melihat perkelahian gue dengan Rifki.

“Kita pergi dari sini.”

Gue pegang tangannya, namun segera oleh Dave di tepis.

“Puas kalian berkelahi seperti ini? Cih! Kekanak-kanakan sekali kalian berdua. Apa dengan kekerasan mampu menyelesaikan masalah?!”

“Gue hanya pertahanin, apa yang mesti gue miliki –yaitu lo Dave. Lo gak seharusnya suka sama orang seperti Dani!”

“Apa lo bilang?! Memang kapan lo miliki Dave seutuhnya –“

“CUKUP! Gue bilang, cukup. Apa kalian gak ngerti apa yang  gue ucapin?!” Dave terlihat sangat marah dengan mata coklatnya yang bergantian memandangi gue dan Rifki dengan tatapan tak percaya.

“ –gue bukan barang yang dibuat rebutan oleh kalian. Ini semuanya salah! Gak semestinya kalian kayak gini ke gue. Dan gue –gue akui, gue juga biang masalah dari kalian.”

Gue gelengin kepala gue, gak, Dave. Lo gak salah!

“Lo gak salah, Dave. Tapi dia –“ gue nunjuk Rifki “ –dia yang bikin kekacauan ini.”

“Apa? Lo bilang gue yang salah –“

“Aku pergi.”

Seketika, gue menahan napas saat Dave hendak menuju ke pintu untuk keluar pergi. Tanpa menunggu lagi, gue pegang lengannya –yang sialnya, hal itu juga dilakukan oleh Rifki yang pada saat yang bersamaan ikut memegang tangannya Dave.

“Jangan pergi.” Lagi, gue dan Rifki berkata dalam waktu yang sama.

“Jika kalian terus seperti ini, gue gak akan ngurusin kalian lagi. Minta maaflah satu sama lain.”

Gue dan Rifki melepaskan genggamannya pada tangan Dave dan gue ngelirik Rifki sedikit yang gue lihat, dia tak ada niat untuk mandang gue sama sekali. Oke, gue juga males baikan sama lo.

“Gue gak sudi berbaik hati padanya.”

Ucapan sarkastik dari Rifki membuat Dave berbalik, dan membuat gue menggeram jengkel.

Oh yeah? Deal! Gue juga males berbaik hati maafin lo setelah lo bikin gue babak belur begini. Makasih.

“Baiklah.”

Lalu yang terjadi selanjutnya diluar dugaan gue, Dave megang pergelangan tangan gue. “...Ayo, Dan, kita pergi dari sini.”

Lalu ia narik gue. Oh my... semalam gue mimpi apaan sih sampai ngalamin kejadian begini?

Gue nengok kebelakang dan menemukan wajah Rifki yang tak dapet di deskripsikan. Ancur.

Dia sepertinya hendak menyusul, namun badannys tetap berdiri mematung di sana. Akhirnya, sebelum gue menutup pintu ruangan itu, gue berikan seringaian padanya.

*****

Rifki terduduk lemas di lantai keramik ruang mading sepeninggal Dave dan Dani dari sana. Raut mukanya tak terbaca. Kedua matanya memandang kosong. Rifki merasa kalau dia sekarang tak memiliki tulang untuk menyangga tubuhnya agar tetap berdiri. Ia sungguh tak menyangka bahwa Dave akan meninggalkannya sendiri dalam keadaan seperti ini.

“ARGHH!”

Untuk melampiaskan kekesalannya, ia meninju lantai dengan keras, hingga dengan cepat, tangannya membiru pekat menghiasinya.

Sial!

Ia tidak pernah semarah ini sebelumnya.

Sungguh! Jika ada hal yang lebih menyakitkan dari ini, Rifki pasti tidak akan merasa kaget, karena ini pun sudah sangat menyakiti hati, tubuh bahkan  jiwanya.

Klek!

 

Terdengar pintu ruangan itu berderit dan sesosok perempuan bertubuh kecil menyembulkan kepalanya yang berambut sebahu itu, kedua matanya menjelajahi isi ruangan itu –yang sedetik kemudian ia terbelalak kaget kala menemukan orang yang begitu ia kenali terduduk lemas di tengah ruangan.

“Astaga! Rifki?!” Ariana segera memekik dan berlari menghampirinya. Ia berjongkok untuk mengamati keadaan cowok yang ada di depannya itu.

“Lo kenapa bisa jadi begini?! Tuh kan! Udah gue bilang juga gak usah ngurusin mereka lagi.”

Rifki tidak merespon apa yang diocehkan oleh Ariana. Dia masih diam dengan pandangan kosong kedepan. Bahkan saat Ariana menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajah Rifki, ia tak berkedip.

“Hellow? Lo masih hidup kan, Ki?”

“Mungkin.”

Ariana menelengkan kepalanya bingung –ni orang, lagi ngelindur atau kenapa? Ariana kembali mengguncangkan bahunya.

“Lo oke kan?”

“Kenapa gak gue aja yang Dave pilih?” kini Rifki berbalik memandang Ariana yang malah sekarang ketakutan melihat Rifki yang berkelakuan tidak wajar “ –kenapa, Na? Kenapa harus Dani –si brengsek itu?”

“Err...” Ariana bingung juga harus menjawab apa, lah orang ia juga gak tahu persis duduk permasalahannya tadi yang ada disini.

“Gue selalu ada untuknya, dari dulu gue yang paling deket dengannya, tapi kenapa –“ Gadis itu memandang Rifki dengan tatapan prihatin sembari menunggu kelanjutannya “ –tapi kenapa bukan gue yang ada di hatinya?”

Duh... kasihan bener ini cowok, pasti tadi mereka berantem ngerebutin Dave disini. Sial banget gue gak liat. 'Kan lumayan bisa di rekam dan buat jadi tontonan gue sewaktu-waktu –Ariana segera menggelengkan kepalanya setelah berpikir hal bodoh tadi.

“Udahlah, Ki. Lo terima aja. Uhmm.. kan cinta datang pada siapa aja. Mungkin lo selalu ada di dekat Dave dari dulu, tapi baginya, lo itu hanya sahabat.”

“Sahabat ya?” tiba-tiba Rifki terkekeh kemudian tertawa miris.

Melihat itu, Ariana merangkak mundur dengan memandang aneh pada Rifki –Astaga! Itu cowok udah gila kah? Pikirnya takut.

“Ki, lo mau kemana?” Ariana ikutan berdiri saat Rifki berdiri dan melangkahkan kakinya untuk keluar dengan langkah yang tertatih-tatih.

Rifki tak menjawabnya, ia masih saja berjalan dan meninggalkan Ariana yang masih bingung dengan kondisinya sekarang.

“Hah, semoga dia pulang dengan selamat dan tidak mencoba bunuh diri.” Ia mengambil tasnya yang tadi tergeletak di lantai. Dan seperti ia ingat sesuatu, Ariana tersentak kaget “Bangke! Jangan bilangRifki mau bunuh diri. Woii Ki! Tungguin gue!”

*****

“Motor gue gimana Dave?”

“Tenang, motor lo aman di titipin satpam sekolah. Kotak obatnya dimana? Entar gue obatin luka-lukanya.”

“Ada di dapur deket kulkas.”

Setelah menitipkan motonya Dani ke satpam, Dave memutuskan mencari taksi untuk mengantar Dani pulang ke rumahnya.untung tadi keadaan sekolah sudah sepi, jadi tak ada pandangan curiga pada dirinya dan Dani yang kacau begitu –terlebih Dani yang mukanya mulai keliatan ada lebam-lebam dari pukulan Rifki.

Beberapa menit kemudian Dave kembali ke ruang tengah dengan membawah kotak P3K serta satu baskom kecil yang berisi es. Ia letakkan di meja dan mengambil handuk kecil yang ada di tasnya.

Dengan hati-hati, Dave menempelkan handuk basah itu pada luka-luka yang ada di muka Dani.

“Ouch!”

Mendengar Dani merintih, Dave menempelkan handuknya lebih pelan lagi disertai dengan tiupan-tiupan kecil dari mulutnya untuk meredakan sakitnya.

“Maaf. Apa sakit?”

“Sedikit.”

Sejenak, hanya keheningan yangada di ruangan seluas itu. Dave masih tetap membersihkan luka-luka yang dimiliki Dani dan Dani dengan senyum tulusnya, ia memandang Dave dengan lembut, menyaksikan wajah Dave dari dekat yang tak mungkin membuatnya bosan.

“Dave.”

“Hmm.” Setelah selesai membersihkannya, Dave menuangkan antiseptik pada kapas untuk ia oleskan pada luka di muka Dani.

“Tadi, yang lo katakan bener kan?”

Masih terus menyelesaikan pekerjaannya dengan luka-luka di muka Dani, Dave mencoba menjawab “Yang mana?”

“Yang lo bilang, bahwa lo suka sama gue.”

Dave menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengolesi obat, lalu menghela napasnya pelan “Entahlah.”

Jawaban ambigu dari Dave, tak mampu melunturkan senyuman Dani. Ia masih terus memandangi Dave dengan gembira.

“Jika itu benar, gue seneng banget. Jadi perasaan gue gak bertepuk sebelah tangan.”

Sentuhan terakhir, Dave memberikan  plester pada dagu dan ujung bibir Dani yang terluka. Dan dia sedikit mengabaikan apa yangDani ucapkan.

“Gue tahu, pasti suatu hari nanti lo juga bakal balik menyukai gue.” Lalu Dani memegang tangan Dave dan meremasnya dengan lembut.

“Dave, apa hubungan kita sekarang lebih dari sekedar sahabat sekarang?”

Dave tak mampu berkata, ia hanya memandang balik pada Dani yang memandanginya lembut disertai senyuman yang begitu bahagia. Dan tanpa Dave sadari, Dani mencoba mendekatkan wajahnya pada Dave. Ia ingin mengulang kejadian yang tadi di ruang mading yang tertunda dengan ini.

Namun, kini kembali gagal saat Dave menjauhkan mukanya dan berdiri hingga genggaman tangan mereka terlepas.

“Ah! Sepertinya sudah sore. Gue harus kembali sebelum nyokap nyariin gue.”

“Tapi Dave –“

“Ah, lo besok gak usah berangkat. Nanti gue yang ijinin ke guru. Oke. Gue balik sekarang.”

Dave dengan gugup menyambar tasnya dan melangkahkan kakinya dengan cepat. Saat sampai di depan pintu, ia kembali berbalik dan memandang Dani yang kini heran melihatnya.

“Semoga lekas sembuh, Dan.”

 –BLAM!

Pintu pun tertutup. Kini Dave bersandar pada pintu dengan menghela napas keras-keras seraya memegangi dadanya.

“Kenapa jantung gue berdetak cepat gini waktu dekat dengan Dani?”

Lalu ia menggeleng kuat-kuat dengan menutup kedua matanya.

“ –gue beneran suka sama Dani?”

Tbc

 

A/N : buat readers yang setia nungguin cerita ini, makasih yaaa~~~ aduh maaf banget update nya ngaret lama.

Gimana part ini? Ciee~~ si Dave udah sadar tapi mencoba sok gak sadar(?) *ini ngomong apa?*

 

Oke cukup curcolnya, silahkan setelah baca, diusahakan vote dan komentar~

Vote dan komentar kalian adalah semangatku untuk bisa nerusin cerita ^^

See ya~~ Arigatchu~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top