Bagian 13
Rifki
Gue gak nyangka dengan apa yang diceritakan Ana tadi pagi saat gue menanyakan masalah Dani dan Dave yang membuat Dave menjadi berantakan seperti kemarin.
Dani, si keparat itu!
Beraninya dia menyatakan cinta pada Dave –dan yang paling buruk, ia menciumnya agar Dave mau menerima cintanya.
Kedua tangan gue terkepal diatas buku sejarah. Guru yang sedari tadi dengan semangat mengajar di depan tak gue gubris sama sekali. Sebenarnya dari awal pelajaran otak gue gak konsen dan jiwa gue serasa gak ada di kelas.
Hati gue panas setelah denger apa yang Ana jelaskan tentang mereka.
“Dani mencium Dave –katanya sih. Hingga Dave –yah...mungkin shock, sehingga dia menghindar darinya.”
Masih terdengar di telinga gue apa yang tadi gue dapet informasi dari Ana. Bagaimana bisa Dave tidak menceritakannya ke gue dan malah justru Ana yang tau? Apa dia udah gak nganggep gue ada lagi?
Gue masih inget kemarin Dave menangis –dan dia nangis hanya untuk laki-laki brengsek bernama Dani itu?
Shit!
Persetan dengannya! Gue gak terima meski hanya satu tetes air mata Dave jatuh kedua kalinya hanya untuk menangisi laki-laki itu.
Karena gue udah gak tahan lagi, saat bel tanda pelajaran hari ini selesai, gue langsung masukin buku ke dalam tas. Tanpa peduli lagi, gue bawa tas gue untuk keluar dari kelas bahkan sebelum guru itu keluar dari kelas. Gue harus nyari keberadaan Dani untuk ngasih pelajaran ke dia.
Dasar sial! Sudah gue duga tu cowok emang bejad! Mungkin jika waktu itu Dave tidak bisa melarikan diri, ia akan habis berakhir di ranjang bersama Dani.
Membayangkan itu, gue semakin marah. Gue gak akan ngebiarin itu terjadi. Dani gak akan gue ijinin menyentuh Dave lagi.
Dengan gegabah, gue berjalan cepet di koridor yang penuh dengan siswa-siswa yang baru saja keluar kelas.
Kalau kayak gini bagaimana gue bisa nyari tu cowok dengan cepat?
Pada akhirnya jalan gue terhambat karena ada Ana yang tiba-tiba halangin jalan gue dengan berdiri di depan gue dengan teman ceweknya yang gak gue kenal.
“Lo mau kemana gugup kayak gini?”
“Minggir, Na. Gue gak ada urusan sama lo.”
Bukannya itu cewek minggir, malah dia berkacak pinggang dengan memasang wajah marah ke gue.
Aduh! Ribet amat si hidup gue kalo udah ketemu sama ini cewek –gak ribet-ribet amat sih, karena dia udah mau cerita masalah Dave dan cowok brengsek itu –gue males nyebut nama tu cowok –tapi nyuruh Ana cerita juga ngerepotin. Duit tabunganku entar terkuras habis buat beli tiket konser band kesayangannya si Ana.
Siaaal!
“Na, plis! Gue lagi kepepet nih. Ada urusan. Makanya lo minggir!”
Gue dorong tubuh kecil si Ana, masa bodo dia mau jatuh pa gimana, segera saja gue lari menuju kelasnya Dave –kelas 2-2 –namun, gue harus menelan kekecewaan yang dalem karena saat gue lihat kelasnya, gak ada satu siswa pun yang ada. Padahal ini baru saja bel? Masa kelasnya udah kosong? Apa kelas ini pulang lebih awal?
Dengan lemas, gue berbalik. Hah~ niat gue buat ngehajar bule sialan itu tertunda deh.
Tapi mungkin Ana tau. Mungkin tadi dia ngehadang gue mau ngasih tahu keberadaan Dave, paling enggak nanti saat ketemu Dave gue tau Dani ada dimana –bego banget gue tadi gak tanya ke dia.
Keberuntungan lagi di pihak gue, Ariana masih belum pulang dan ia sekarang lagi duduk di kursi yang ada di koridor bareng temen cewek yang tadi bareng sama dia –gue baru tau Ariana punya temen cewek, biasanya kan dia gabungnya sama anak cowok atau enggak jalan sendirian kayak orang hilang.
“Ana!”
Saat gue panggil, dia langsung pasang muka jutek dan melipat kedua tangannya di depan dada. “Ngapain lo?! Tadi suruh gue pergi, sekarang manggil-manggil!”
“Sori deh, eh? Lo liat Dave?” ucap gue to the point.
Bukannya langsung jawab, Ana malah menyuruh temennya untuk pergi dari sini. Pinter juga ini cewek, dia mungkin gak ingin masalah ini kesebar sama yang lain.
“Gak tau gue. Tadi siang aja pas jam istirahat dia gak pernah ke kelas.” Ucap Ana setelah temannya pergi.
Hati gue mencelos, jangan-jangan waktu istirahat dia bareng lagi sama Dani.
“Apa... –apa dia dari tadi sama Dani?”
Ariana menggeleng, dan itu bikin gue sedikit lega. “Malah, mereka terlihat semakin merenggang aja. Gue gak liat mereka ada interaksi kayak dulu.”
Gue menyeringai, baguslah “Jadi beneran lo gak liat mereka berdua? Kok kelas lo udah sepi sih?”
“Tadi pulang lebih awal sebelum bel, jadi udah pada pulang, dan gue gak liat Dave setelah itu –ah! Gue inget. Tadi siang Dave ada di ruang mading.”
Dan saat itu juga, Ana tiba-tiba manggil seorang cowok bertubuh kecil itu yang gue denger dari Ana bernama Bayu.
“Bayu! Sini deh!” Ana manggil tu cowok, meski mukanya bingung gitu, tu cowok akhirnya mendekat kearah kami.
“Ada apa?”
“Lo tadi kan yang nyuruh Dani ke ruang mading kan? Sekarang lo tau dia dimana? Rifki nyariin nih.”
Sejenak dia ngeliatin gue dulu sebelum menjawab “Dia ada di ruang mading, gue suruh dia untuk mewawancarai Dani disana –“
“Apa?! Dave ada bareng Dani di ruang mading?!” gue langsung motong omongan cowok itu begitu tau kalau sekarang Dave bersama Dani. Sial!
Kenapa gue selalu kalah cepet sih?
Mungkin karena nada gue yang seperti membentak dan marah, cowok bernama Bayu itu mengangguk kaku “I-iya.”
“Dan lo ngebiarin mereka berduaan di ruangan sepi seperti itu?!”
“Sabar, Ki. Lo positive thingking aja. Tadi kan Bayu udah ngomong kalo cuma wawancara.”
Gue alihin pandangan gue ke Ariana, “Lo salah kalo gue mesti berpikir positif setelah kejadian itu, Na.”
Tanpa mau denger penjelasan mereka, gue segera lari menuju ruang mading. Kali ini gue gak bisa berpikir positif. Yang dihadepin sekarang itu Dani. Gue tahu dia gak bakal hanya diam saat berduaan dengan Dave. Cowok normal aja jika lihat Dave telanjang bulat mereka bakal horny!
Dan benar saja, saat gue membuka pintu mading yang tak terkunci, gue langsung dihadiahi pemandangan dimana Dani sedang mencondongkan tubuhnya ke arah Dave.
(Author’s POV)
“BRENGSEK! LO MAU NGAPAIN DAVE, HAH?!”
Dave menahan napasnya dalam-dalam saat Rifki tiba-tiba masuk dan langsung melayangkan tinjunya pada sebelah kiri wajah Dani yang membuatnya terpental dan nyaris terlentang di lantai.
Hell!
Bahkan Dave tak menyadari adanya orang lain yang masuk ke ruangan ini. Ia tak mendengar ada derit pintu maupun dobrakan pintu –jika tadi Rifki beneran mendobrak pintunya –sungguh! Dave tidak menyadarinya sama sekali.
Entahlah, mungkin tadi ia terlanjur terhisap ke dalam mata hazel Dani yang seakan-akan membuatnya tenggelam dan tak bisa mengalihkannya ke yang lain sampai tanpa sadar, saat Dani mulai mendekatkan wajahnya pada dirinya, ia refleks menutup kedua matanya –menunggu sesuatu yang akan terjadi antara dirinya dan Dani.
Namun, semua yang sudah dibayangkan Dave hancur seketika kala suara keras bernada mengancam menerobos indera pendengarannya yang membuatnya kembali membuka mata dan mendapati Dani yang jatuh terduduk di lantai dengan sedikit darah yang merembes keluar dari sela bibirnya.
“Rifki?”
Seakan tak peduli dengan suara Dave yang memanggil dirinya, Rifki masih menatap tajam pada sosok Dani yang kini masih menetralkan rasa pusingnya akibat pukulan Rifki yang mengenai wajahnya dengan keras.
Rifki berjalan mendekat pada Dani yang masih saja terduduk dengan kepala yang menunduk pusing.
“Bangun!” perintahnya dengan penuh penekanan, mengetahui sang lawan tak merespon ucapannya dengan masih diam dan menunduk, Rifki mencengkeram kerah seragam Dani dan menariknya pasrah untuk berdiri “BANGUN GUE BILANG, BRENGSEK!”
“RIFKI –“
BUGH!
Terlambat
Dave memandang ngeri kala Rifki kembali melayangkan tinjunya yang kuat, kali ini kearah perut Dani yang membuat sang korban sesak napas dan terbatuk-batuk dengan napas tersendat.
Ini tidak bisa di teruskan!
Dave menggeleng kuat. Ada apa ini sebenarnya?
Ia segera lari menuju kedua orang yang kini saling pandang dengan pandangan berbeda, Rifki dengan pandangan dendam yang membunuh, sedangkan Dani dengan pandangan mengejek yang seakan menertawakan raut muka marah Rifki.
Dave sadar, tubuhnya tak sebesar Dani maupun Rifki. Tapi dia ingin memisahkan mereka yang sedang adu pandang dengan pandangan membunuh.
“Berhenti!” Dave mencoba menyingkirkan tubuh Rifki yang menduduki tubuh Dani yang lemas di lantai. Ia jadi khawatir kondisi Dani di bawah sana. Namun Dave tak kunjung mendapatkan kekuatan untuk bisa menyingkirkan tubuh Rifki.
“RIFKI! BERHENTI GUE BILANG!”
“Minggir Dave! Gue harus kasih pelajaran sama orang cabul ini!”
Astaga!
Ini salah paham!
Dave semakin ngeri saat Rifki kembali ingin melayangkan tinjunya pada wajah Dani.
Ini tidak bisa di biarkan!
Akhirnya dengan seluruh kekuatan penuh, Dave memberikan tinjunya pada dagu Rifki sebelum Dani kembali babak belur olehnya yang mengakibatkan Rifki terdorong ke belakang dan memandang Dave dengan raut muka tak percaya.
“Cukup, Ki. Apa yang lo liat gak seperti yang lo pikirin.”
Cih!
Rifki meludahkan darah akibat tinjuan Dave yang cukup keras. Ada gigi yang goyang di dalam mulutnya.
“Gak seperti yang gue pikirin?!” Rifki menyeringai “Gue tahu, kenapa lo akhir-akhir ini menjauh dari Dani...”
Rifki sengaja memotong ucapannya, membuat Dave maupun Dani yang sekarang dengan susah payah mendudukan dirinya menunggu ucapan Rifki selanjutnya.
“...si brengsek itu telah berbuat sesuatu yang menjijikan padamu –bukan begitu?”
Baik Dani maupun Dave wajahnya berubah tegang. Tak ada suara yang memecahkan keheningan itu setelah ucapan dari Rifki.
“Ya gue –“
“Dani nggak ngelakuin apapun pada gue.”
Saat dimana Dani untuk pertama kalinya bersuara sejak adanya Rifki, malah ucapannya terputus oleh Dave dengan ucapan yang membuat Dani bingung.
Hei! Apa Dave telah melupakan ciuman itu?
Mengingatnya, Dani sedikit kecewa karena Dave telah berusaha melupakan dimana untuk pertama kalinya ia mencicipi rasa manis dari bibir Dave.
“Lo mencoba membelanya setelah apa yang dia lakukan pada lo? Lucu sekali.” Rifki terkekeh geli, namun dalam tawanya, terdapat rasa sakit yang terpendam di dalamnya.
Sebegitukah rasa pedulinya Dave pada Dani sehingga ia membelanya?
Apa bener Dave telah menyukai Dani?
Dave mengabaikan ucapan Rifki yang seakan-akan mengejeknya. Ia berjalan melawan arah darinya dan mendekat pada Dani yang masih terduduk lemas dan juga kini mulai tercetak beberapa memar di wajah tampannya. Dave mengeluarkan handuk kecil yang sering ia bawa dari dalam tasnya dan berjongkok untuk membersihkan beberapa titik darah di sekitar sudut bibirnya.
“Sakit?” Dave ikut mengernyitkan alisnya kala Dani mengaduh saat Dave membersihkan luka-lukanya.
Sementara itu, Rifki mengepalkan kedua tangannya dengan kencang, mukanya memerah melihat adegan yang menurutnya memuakkan berada di depannya.
Apa-apaan mereka?! Dirinya –Rifki masih ada disini. Akankah mereka melupakan fakta itu dan melakukan adegan sok mesra dan dramatis?
Menjengkelkan!
Dan kejadian selanjutnya amatlah cepat. Rifki berdiri dan berjalan ke arah Dani dan Dave yang belum menyadari posisi dirinya. Rifki menarik lengan Dave dengan kasar, tak sampai hitungan detik, Rifki memegang kepala Dave dan menempatkan bibirnya pada bibir Dave.
Tentu saja Dave amatlah terkejut dengan kejadian ini.
Terlebih Dani! Ia seakan-akan ingin menebas leher Rifki jikalau tubuhnya sehat seperti sediakala.
Yang Dani lakukan hanya menahan emosinya yang sudah sampai batas maksimal dan memakinya.
“BRENGSEK –“
Sebuah suara hantaman keras terdengar.
Bukan! Itu bukan dari Dani yang dengan cepat ia mendapatkan tenaga ekstra, tapi itu berasal dari Dave.
Untuk kedua kalinya, Rifki mendapat bogem mentah dari Dave. Dengan pandangan marah, kesal dan jijik bercampur jadi satu.
“Apa maksud lo, Ki?!”
Rifki menunduk untuk meredakan rasa pusing yang tiba-tiba menyerangnya setelah mendapat pukulan yang cukup keras Dari Dave. Lalu ia meludah dan tertawa lirih.
“Jawab pertanyaan gue, Rifki!” satu oktaf suara telah Dave keluarkan sebagai tanda betapa marahnya ia sekarang karena Rifki tak kunjung menjawab pertanyaannya.
“Gue juga ingin merasakan bibir lo sama seperti si brengsek itu –“ Rifki menunjuk Dani yang kini sudah berdiri dan hendak menyerangnya, namun keinginannya harus terhalang karena Dave menahannya.
“Jangan halangi gue Dave. Gue mau merobek mulutnya yang kotor itu!”
“Hei! Kalau dengan mencium Dave, kotor, lalu lo dulu apa? Bangkai?” –dan Rifki kembali tertawa dan kali ini cukup keras.
“SIALAN! –“
“Jelaskan apa maksud lo Rifki.” Dave kembali bertanya dengan nada lirih.
Rifki berhenti tertawa “Gue suka sama lo.” –detik itu pula Dave dan Dani terbelalak kaget “ –Dani menunjukkan rasa sukanya ke lo dengan cara begini ‘kan? Bahkan lo membela Dani. Maka gue menirunya. Tidak ada bedanya ‘kan? Tapi kenapa lo marah ke gue saat gue lakuin apa yang Dani lakuin ke lo.”
Kedua tangan Dave terkepal setelah mendengar ucapan Rifki yang dengan mudah terlontar padanya tanpa mengetahui perasaannya yang sekarang seperti apa.
“Itu beda, Ki.”
Rifki mendecih “Apa bedanya? Sama-sama di bibir kan? –oh! Tunggu dulu, apa lo dan Dani sudah bermain di ranjang?!”
“KEPARAT LO RIFKI!” Dani yang sedari tadi diam, kini berteriak marah karena mengucapkan yang tidak-tidak padanya –terlebih pada Dave.
Mengabaikan hujatan dari Dani yang kini melenguh kesakitan akibat berteriak, Rifki kembali memandang Dave “ –apa yang beda, huh?”
“Tentu berbeda, ciuman lo dan Dani berbeda. Alasannya –karena gue juga suka sama Dani.”
“Apa?!” ucapan bernada tak percaya itu keluar secara bersamaan antara Dani dan Rifki setelah apa yang Dave ucapkan.
“Lo denger gue, Ki. Itu alasannya.”
Kini ketiga pemuda dalam ruangan itu memiliki ekspresi muka berbeda dengan saling memandang. Rifki yang terlihat tak baik dengan muka yang terlihat hampa, Dave yang tak berekspresi –dan Dani, ia adalah satu-satunya orang yang di ruangan itu yang tersenyum lega.
Ah, apa kau bisa merasakan kebahagiaan yang menguar dari dalam diri Dani?
Tbc
A/N : kayaknya dua atau tiga part lagi, cerita ini bakal selesai. Yatta ne~
Kalau ini sudah selesai, cerita-cerita lain bakal menyusul pastinya ^_^ *kalau bisa*
Hmm... entahlah, aku rasa di cerita pada part ini gak ada feel yang saya tangkap. Padahal aku selama ngetik dengerin lagu-lagu mellow dari FTISLAND -_-
Oke readersku tercinta *ketjup basah* bersediakah kembali memberi komentar dan vote disini. Itu akan membuat saya semakin bersemangat untuk cepet update ^_^
The last, see you at the next part, Arigatchu~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top