15

🌹🌹🌹

Kevia demam. Kata itu cukup untuk membuat seorang Andra kelabakan. Setelah adiknya itu menelponnya untuk membelikan obat demam di apotek jika pulang nanti, tanpa menunggu selesai latihan basket Andra langsung melesat pulang.

Sekarang Kevia sedang meringkuk dibawah selimut menunggu Andra pulang. Sungguh benar-benar hari yang sial untuknya.

Ceklek.

Suara pintu terbuka. Tanpa membuka mata Kevia tahu jika itu Andra yang sebentar lagi pasti akan mengomel.

"Lo pasti telat makan lagi, kan? Setiap lo telat makan pasti kayak gini. Udah tahu kayak gitu dan lo masih bandel aja."

Tuh, kan, benar. Bahkan Andra masih mengenakan baju basket dibalik hodienya. Andra menyibak sedikit selimut yang menutupi adik kembarnya itu. Ia menempelkan punggung tangannya ke dahi Kevia.

"Ck, panas. Kita kerumah sakit sekarang." Andra membuka seluruh selimut yang menutupi tubuh Kevia yang berbalut piama biru bergambar kartun kucing itu.

"Andra, nggak usah lebay, deh. Gue cuma pusing. Dan jadi tambah pusing dengerin lo ngomel-ngomel." jawab Kevia dengan suara serak nan lemah.

Andra menghela nafas kasar, " Nggak ada penolakan. Pake jaket lo, tunggu disini gue ganti baju dulu." Andra menarik paksa Kevia hingga duduk, "Kalo lo nggak mau, gue laporin Papa." ancamnya.

"Ih, iya-iya. Dasar tukang ngadu."

Dengan tubuh lemasnya Kevia bangkit dan berjalan menuju lemari pakaian guna mengambil jaketnya. Jika Andra benar-benar mengadu kepada Papanya, bisa ribet urusannya.

"Andra buruan! Gue pengen cepet-cepet tidur." ucapnya setelah selesai memakai jaket dan duduk bersandar di tempat tidurnya.

"Iye." jawab Andra yang sudah berlalu menuju kamarnya.

Dia harus cepat-cepat membawa adik kembarnya ke dokter sebelum Mamanya pulang. Jika Mamanya tahu kalo adiknya itu sakit, sudah pasti ia yang akan kena ceramah panjang lebar selama dua kali dua puluh empat jam.

Kini Andra dan Kevia sudah berada di perjalanan menuju rumah sakit terdekat. Sebenarnya ini terlalu lebay, tapi Andra tidak mau mengambil resiko karena saat ini suhu badan Kevia tinggi sekali. Bahkan sejak masuk mobil hingga sekarang mata Kevia terpejam terus. Ia menjadi panik.

"Kev, bangun, Kev." Andra menepuk pelan pipi Kevia saat mobilnya terjebak lampu merah. Tidak ada respon dari Kevia. Andra semakin panik.

Andra melajukan mobilnya dengan cepat setelah lampu sudah berubah hijau. Setelah sampai mobil Andra langsung berhenti di depan pintu IGD. Tanpa basa-basi Andra segera membopong tubuh lemah adiknya ke dalam.

"Dok, tolong adik saya." ucap Andra sambil meletakkan tubuh Kevia ke salah satu brankar.

Kebetulan IGD sedang kosong, jadi Kevia bisa cepat ditangani.

"Kenapa ini?" tanya dokter jaga sambil membawa alat tensi dan stetoskop.

"Badannya panas, Dok." jawab Andra yang mulai panik karena Kevia tidak membuka mata hingga sekarang.

"Sebentar, saya periksa dulu."

"Mas, tolong parkirin mobilnya dulu." Ditengah kepanikannya, seorang satpam menegur Andra karena mobilnya masih di depan IGD.

"Oh, iya, Pak. Sus, titip adik saya sebentar."

Setelah pendapat anggukan dari suster jaga yang membantu dokter, Andra segera pergi memarkirkan mobil.

"Eh, lo biji kedondong. Ketemu lagi kita. Lo ngapain disini? Jadi tukang parkir?" Baru saja Andra menutup pintu mobil yang sudah terparkir rapi, suara menyebalkan menyapa telinganya.

Natha dengan seringaiannya yang menyebalkan itu datang entah darimana.

Andra menghela nafas kasar, "Gue nggak ada waktu buat ngladenin lo." ucap Andra sambil berjalan kembali ke IGD.

"Sok sibuk lo. Gue tanya, Lo ngapain disini? Nggak dijawab." tanya Natha yang ikut berjalan disebelahnya, "Eh, gue mau nanya lagi, dong. Lo beneran gebetannya Melodi? Atau lo cuma deket biasa doang? Kayak temen gue si Reno."

Andra diam mengabaikan Natha yang mengoceh, ia lalu masuk IGD tanpa peduli dengan sosok Natha.

"Woi, dikacangin gue. Jadi penasaran." Natha pun memutuskan masuk IGD mengikuti Andra.

"Loh, Sus, pasien yang disini kemana?" tanya Andra saat tak mendapati Kevia di brankar yang tadi.

"Sudah dipindahkan ke ruang rawat, Mas. Pasien harus diopname."

"Eh, siapa yang sakit?" tanya Natha yang sudah berada di samping Andra.

"Di ruang apa, Sus?" Andra mengabaikan pertanyaan Natha.

"Ruang melati nomor tujuh belas, Mas. Di lantai tiga."

"Makasih, Sus."

Setelahnya Andra langsung berlalu menuju ruang yang disebutkan tadi.

"Ya elah, gue dikacangin lagi." gumam Natha yang masih memperhatikan kepergian Andra, "Woi, tunggu gue."

Entah kenapa ia penasaran dan hatinya menyuruhnya untuk mengikuti Andra. Kepo sekali dia. Natha setia berjalan di belakang Andra hingga membuat Andra jengah.
"Lo ngapain, sih, ngikutin gue?" tanya Andra. Kini mereka sedang berada di dalam lift menuju lantai tiga.

Natha mengedikkan bahu. Ia juga tidak tahu kenapa ia harus menghabiskan waktu untuk mengikuti Andra.

"Kalo lo mau ngajakin gue berantem, gue sibuk sekarang."

"Siapa juga yang mau ngajak berantem. Gue cuma penasaran aja siapa yang bikin lo sibuk kayak gini."

Andra tidak membalas lagi ucapan Natha karena lift sudah berhenti di lantai tiga. Andra keluar lift dengan buru-buru. Ia harus cepat melihat keadaan adiknya. Tanpa basa-basi Andra langsung masuk begitu saja setelah menemukan kamar rawat adiknya, ternyata di dalam masih ada seorang dokter dan dua suster yang memeriksa.

Sedangkan Natha mematung melihat siapa yang berbaring lemah dengan wajah pucat di dalam ruangan itu. Tadi ketika ia ingin ikut masuk juga, terhenti di depan pintu yang masih terbuka. Ia menutup pintu tidak jadi masuk.

"Melodi." gumamnya yang masih mematung di depan pintu yang sudah tertutup, "Jadi Melodi sakit? Terus di biji kedondong itu yang bawa dia kesini?" tanyanya entah kepada siapa.
"Shit, gue keduluan lagi." umpat Natha sambil mengacak-acak rambutnya.

Kegiatan Natha tertenti ketika ponselnya bergetar memunculkan nama maminya

"Astaga, gue lupa kalo mau jemput nyokap. Pasti ngomel, nih." gumamnya sambil berlalu untuk menemui sang ibu yang sedang cek up.

****

Mata Kevia terbuka perlahan lalu tertutup lagi karena merasakan pusing di kepalanya.

"Shh." desisnya.

"Lo udah bangun?" suara Andra yang setia menunggui adiknya dari semalam.

"Andra? Lo disini? Ini jam berapa?"

"Ya iyalah, siapa lagi. Sekarang jam enam pagi. Lo bikin gue khawatir tau nggak semalam." Andra mengusap pucuk kepala adiknya pelan, "Masih pusing? Gue panggilin dokter dulu."

Baru saja Andra ingin bangkit, tapi tangannya di cekal oleh Kevia.

"Nggak usah, gue udah nggak apa-apa, kok. Dra, gue laper, beliin makanan, dong." rengeknya kepada Andra.

Andra tersenyum, "Mau makan apa gue beliin."

"Tumben baik sama gue." cibir Kevia, "Karena lo lagi baik, gue mau makan seblak." kata Kevia sambil tersenyum manis.

Pandangan Andra berubah datar, "Gue beliin seblak, tapi lo harus opname selama sebulan disini."

"Jahat banget, sih, lo." rajuk Kevia.

"Tunggu, gue beliin lo makanan dulu di bawah. Gue tinggal bentar gak apa-apa, kan?"

"Hm. Nggak usah khawatir, gue udah sehat kali."

"Kalo ada apa-apa telfon gue."

"Iya, udah sana. Gue keburu laper."

Akhirnya Andra keluar dari ruangan adiknya. Sebenarnya agak berat meninggalkan Kevia sendirian, namun mau bagaimana lagi, adiknya lapar dan ia harus membelikan makanan.

Ceklek.

Baru saja Kevia memejamkan mata, suara pintu terbuka membuatnya membuka mata kembali.

"Andra, kok, lo cepet bang--"

Bukan Andra melainkan Natha yang sekarang sudah berdiri di tengah pintu yang terbuka.

"Gue Natha, bukan Andra." ucapnya sambil menutup pintu kembali.

Natha berjalan mendekat kearah Kevia yang masih kaget karena kehadiran Natha.

"Gimana keadaan lo?"

"Baik."

"Ck, gimana lo bisa bilang baik? Tuh, lihat, tangan lo diinfus, muka lo pucet."

"Udah tahu kalo gue sakit, pake nanya."

"Ya, ceritanya basa-basi doang." ucap Natha sambil duduk di kursi samping brankar.

"Darimana lo tahu kalo gue dirawat disini?"

"Semalam gue nggak sengaja ketemu sama gebetan lo." ucapnya sedikit ketus.

"Gebetan?" tanya Kevia bingung.

"Hm. Tuh, si biji kedondong. Yang di kedai es krim waktu itu."

Kevia mengerutkan kening, mengingat-ingat siapa yang dimaksud Natha.

Kevia mengulum senyum ketika ia sudah mengingat siapa yang dimaksud Natha, "Andra maksud lo?"

"Hm." jawabnya tak ikhlas.

Kevia semakin tersenyum ketika melihat ekspresi Natha.

"Nggak usah senyum-senyum lo, cuma cowok model begitu doang. Gantengan juga gue." Natha memalingkan muka.

"Lo bawa apaan?" tanya Kevia ketika melihat kresek di tangan Natha.

"Nih, gue bawain bubur ayam buat lo. Tanpa kacang." Natha menyodorkan bubur ayam yang baru saja ia buka kepada Kevia, "Ck, sini gue suapin aja. Tangan lo kan sakit."

Baru saja Kevia akan menerimanya, Natha menarik kembali buburnya karena tangan kanan Kevia diinfus.

"Gue bisa sendiri, tangan gue masih bisa digerakin. Sini."

"Nggak usah ngeyel. Diem. Buka mulut lo, aaa." Natha menyodorkan sesendok bubur ke mulut Kevia.

Tak punya pilihan lain, Kevia pun menerima suapan dari Natha. Toh, dia juga lapar dan Andra belum kembali juga.

"Lo nggak sekolah?" tanya Kevia yamg baru menyadari jika Natha mengenakan pakaian kasual.

"Gue ijin. Gue nggak mau lo dijagain sama biji kedondong itu mulu."

"Namanya Andra." ralat Kevia.

"Iya itu lah. Nih, makan lagi."

"Udah. Gue udah kenyang."

"Baru juga tiga suap. Makan yang banyak, Mel, biar cepet sembuh." nasihat Natha.

"Kenapa? Lo khawatir gue sakit?"

"Ya iyalah. Pake nanya."

Kevia terdiam mendengar jawaban Natha. Ia tidak tahu dengan hatinya, apakah ia harus senang atau tidak.

Melihat ketetdiaman Kevia Natha menjadi sedikit tidak enak. Mungkin benar kata Mira kemarin. Ia harus pelan-pelan mendekati Melodinya lagi.

"Maksud gue, khawatir karena lo ketua tim sukses gue. Sedangkan pemilihannya tinggal seminggu lagi."

Baru saja Kevia terlena sudah jatuh lagi. Natha memang tetap Natha. Dari dulu tidak pernah berubah. Sama halnya seperti dirinya yang hanya jadi bahan lelucon oleh Natha.

"Tenang aja. Gue udah dapat masa banyak. Meskipun sakit gue bisa kampanye lewat sosmed."

****




Maafkan karena telat update. Banyak hal terjadi di kehidupan nyata jadi sedikit tidak fokus.

Natha gengsian ternyata.

Salam dunia halu

By : V

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top