prologue.
Rumah megah dengan nuansa putih yang menghias interiornya pun hanya dihuni oleh dua orang manusia, yakni sepasang suami-istri tersebut tak biasanya dipenuhi dengan para pelayan di setiap sudutnya, posisi mereka pun sempurna dalam bersiap siaga menjalankan tugasnya. Padahal hidangan dan meja sudah tertata sebelum mereka ada seingat sang tuan rumah.
Nagao Kei bertanya-tanya mengapa dan bagaimana bisa ada pelayan-pelayan ini dalam sekejap mata, meski ia tahu ini adalah hari penting untuknya dan dia, sesosok wanita yang ia cari keberadaannya pun baru akan menuruni anak tangga dengan gaun hitamnya.
Seketika pria berambut dark navy panjang dengan ikat ekor kuda tersebut membelalakkan matanya.
"Hitam?" seru Nagao tak percaya. "Kau siap melayat atau merayakan hari jadi pernikahan?"
Sang wanita yang dimaksud hanya menjawab dengan santai. "Apa bedanya?"
Nagao mendadak datar sesaat menatap sang wanita yang sekarang tengah menuruni satu persatu anak tangga tersebut sembari menjinjing gaunnya yang sama sekali tak senada dengan kemeja putihnya mulai dari kepala hingga kakinya.
"Setidaknya satu di antara aksesorismu berwarna putih atau semacamnya. Kau benar-benar membuat rencana hari jadi ini seperti pemakaman," ucap Nagao ketus dengan wajahnya datarnya.
"Aku tidak masalah." Tsukihana Aoyuki berhenti di dua anak tangga terakhir dan menatap pria yang berstatus suami tersebut sebelum akhirnya membalas dengan ketus juga. "Seharusnya aku yang bertanya, untuk apa kau memakai putih padahal kau tahu kita tak bahagia? Asal kau tahu saja aku tidak mau berpura-pura."
Nagao menghela napas kasar. "Baiklah, dasar keras kepala. Aku akan lebih menghargainya jika kau katakan dengan sedikit lebih sopan dan ramah," sarkasnya.
"Aku tidak pernah berkata aku orang yang ramah, setidaknya untukmu."
"Kau--!" Nagao ingin sekali mencabik-cabik Aoyuki, terlebih mulut pedas pahitnya yang terlalu terus terang dan apa adanya itu sudah sangat membuatnya jengkel sekali.
Ia menghela napas kasar untuk kedua kali. "Akh, terserah! Jangan sampai kau merusak suasana dan rencananya," tegas Nagao sembari menatap lurus pada manik permata Aoyuki, sebelum akhirnya ia pergi.
Sementara Aoyuki hanya diam menatap kepergian Nagao yang memasuki kamarnya sendiri, sebelum akhirnya menghela napas kecil.
"'Kan tidak salah," gumamnya sembari mengibas sejenak rambut navy pendeknya, kemudian mulai mengamati setiap sudut ruangan dari rumah megah tersebut yang telah meriah dengan hidangan dan meja yang romantis nan mewah sebagaimana melukiskan keduanya sebagai pasutri bahagia di hadapan para tamu undangan, terutama masing-masing keluarga.
Sesaat membuat Aoyuki bergidik geli melihat bagaimana ruangan tersebut ditata dengan begitu manis dan bagai penuh cinta semata-mata untuk mengelabui mereka.
Entah mengapa malah membuatnya tertawa hambar. "Ha ha ha, aduh, menyedihkan." Aoyuki menggelengkan kepalanya.
Sementara Nagao berkaca memastikan penampilan akhirnya selagi ia menggulung lengan kemejanya yang ia ganti menjadi hitam tersebut hingga siku dipadu dengan celana slim fit putih agar penampilannya tak sesuram itu, alih-alih agar senada dengan gaun hitam Aoyuki untuk menciptakan kesan pasutri pada tamu, ia sendiri menggerutu dan enggan mengaku ketika harus merubah penampilannya karena Aoyuki yang ada benarnya juga tersebut.
Nagao menghela napas panjang. Setidaknya ia masih bisa waras bertahan dengan oknum tidak ramah bernama Tsukihana Aoyuki dalam pernikahan kontrak yang berjalan sampai detik ini di hari jadi keduanya yang ketiga tahun sekarang.
Ia memandang dirinya yang telah berpakaian senada dengan sosok yang ia enggan sebut sebagai istrinya tersebut dengan kesal. "Aah, berapa lama lagi kontrak ini akan berakhir?" gerutunya sebelum ia mengambil sebuah kotak kecil, kemudian dibawanya dalam saku celananya sesaat ia meninggalkan kamar menuju ruang utama hari jadi tersebut dirayakan.
Bagaimanapun, dia memang harus bertahan.
Nagao melihat arlojinya, segera setelah itu ia menelusuri sekitar ruangan sebelum akhirnya ia mendapati Aoyuki berdiri di balkon mengamati para tamu yang akan tiba. Tanpa basa-basi ia segera menghampiri sang wanita.
"Hey," panggil Nagao dengan datar sebelum akhirnya ia sedikit menarik paksa tangan kiri Aoyuki sebelum sang wanita berkata apa-apa.
Sementara Aoyuki yang terkejut sesaat akan mengeluarkan sepatah kata pun menatap Nagao dengan kesal, bahkan nyaris menampar sang pria. "Kau ini sialan sekali," dengusnya sebal.
"Berbicara denganmu juga tak ada bedanya. Sekarang diam dan pakailah," jawab Nagao sedikit memerintah sembari mengeluarkan dan membuka kotak kecil yang ia bawa dari kamarnya, kemudian memasangkan cincin pernikahan keduanya yang biasanya tak pernah mereka pakai itu di jari manis kiri Aoyuki yang tentu saja dengan paksa.
"Ugh ...." Aoyuki memandang geli nan jijik pada cincin yang melingkar cantik di jari manis kirinya saat ini. "Berapa lama aku harus memakai benda keramat ini?" Bagi dia yang merasa jijik, cincin ini membuatnya gatal dan tampak menggelikan sekali.
"Sampai aku mengizinkanmu melepaskannya," jawab Nagao terus terang sembari memakai cincin pernikahan lainnya di jari manis kirinya.
"A-ap--"
"Mereka datang. Bersiaplah, cerewet." Nagao beranjak pergi begitu saja, setelah menyela ucapan sang wanita.
"H-hah? Hey!" seru Aoyuki tak terima sebelum akhirnya ia melihat ke bawah balkon di mana beberapa tamu undangan perayaan hari jadi pernikahan kontrak keduanya telah tiba.
Wanita bermulut pedas dengan wajah tegas tersebut menghela napas panjang yang kemudian memutuskan untuk bergabung dengan sang pria yang suka mengkritik tingkahnya itu untuk menyambut beberapa tamu yang telah datang.
Tersisa berapa lama lagi Aoyuki harus bertahan sekarang.
Perayaan hari jadi pernikahan kontrak Nagao dan Aoyuki berjalan dengan baik tanpa kendala, meski keduanya sibuk dengan masing-masing kerabat dan temannya. Cukup untuk dikatakan hangat dan mesra. Entah karena terbiasa atau memang keduanya telah profesional dalam berpura-pura menjadi pasutri yang sakinah mawaddah warahmah.
Segera setelah cukup puas menikmati sekitar ruangan yang meriah dan hangat dengan kerabat dan teman lainnya, salah satu teman Nagao Kei beralih padanya dan bertanya "Nagao-kun, bagaimana kabarmu?"
"Nyaris gila," jawab Nagao sembari meneguk champagnenya.
Sang teman dengan rambut panjang yang berwarna seindah lavender dan manik dualnya tersebut hanya terkekeh pelan. "Tidak heran," balas Genzuki Tojiro namanya.
"Huh, kukira kalian sudah cukup akrab," goda salah satunya lagi. Setidaknya mencairkan suasana, meski ada niatan juga.
"Ha ha, lucu sekali, Haru."
Sementara Aoyuki yang memandang Nagao dengan lirikan penuh intimidasi tersebut menghela napas, kemudian kembali mengalihkan pandangannya pada kakek dan neneknya yang menjadi satu-satunya kerabat yang ia miliki dan undang di situ.
"Sepertinya semakin tidak mudah, ya, untukmu," ucap sang nenek sembari mendekat pada anak asuhnya tersebut.
" ... Begitulah, aku tak terlalu memusingkan dia," jawab Aoyuki dengan tenang.
"Meski begitu, kau harus berpura-pura lagi memanggil 'suamimu', karena sudah hampir waktunya makan malam bersama." Si kakek angkat bicara dengan sedikit menggoda.
"Ughh ...." Aoyuki menggerutu. Melihat wajah Nagao saja enggan apalagi mendengarnya bicara.
Si kakek hanya terkekeh. "Ajak pelayan lain bersamamu. Aku yakin Yorutsuki dan Asatsuki hanya akan menghajar suamimu."
"Bukan suamiku."
"Yah, kau tahu itu terjadi nanti."
"Kakek!"
"Baik, baik." Sang kakek menggelak tawa saking puas melihat reaksi anak asuhnya. Pun istrinya juga terkekeh pelan.
Aoyuki pun mendengus sebal dengan kakek-neneknya, sebelum akhirnya meninggalkan mereka bersama dengan seorang pelayan pria yang dia bawa untuk menghampiri Nagao yang berada di balkon tengah bercanda tawa bersama dengan dua orang teman dekatnya.
Enggan memanggilnya, Aoyuki berdehem saja.
Seketika canda tawa Nagao dengan dua temannya lenyap sesaat Nagao segera mengalihkan perhatiannya pada Aoyuki karena deheman yang entah bagaimana sedikit mengintimidasinya.
"Ada apa?" tanya Nagao dengan tatapan tidak santai.
Sang pelayan membungkukkan diri sedikit. "Sudah saatnya makan malam bersama, Tuan. Mari masuk untuk segera memimpin makan malam perayaan hari jadi Anda dengan Nona," ucap sang pelayan sebagaimana ia diminta Aoyuki untuk menggantikannya berbicara.
Sementara Nagao diam mengamati sang pelayan sesaat sebelum akhirnya menatap Aoyuki yang segera mengalihkan pandangannya. Seketika membuat tatapannya mendatar pada sang wanita.
Genzuki dan Kaida Haru yang ada di sana pun bisa melihat bagaimana mereka saling memandang satu sama lain dengan intimidasi dan kesal bagai perang dingin yang sudah terasa. Pun mereka tahu jika keduanya tak memiliki hubungan yang indah seindah kepalsuan mereka.
Nagao mendengus sebal. "Baiklah, ayo," ucapnya tegas sebelum akhirnya berjalan mendahului Aoyuki bersama dengan Genzuki dan Haru yang mengikuti segera setelah menyapa Aoyuki.
Aoyuki hanya diam melirik Nagao yang telah mendahuluinya, sebelum ia membalas sapaan Genzuki dan Haru dengan anggukan. Segera setelah mereka beberapa langkah jauhnya, ia menyusul kemudian, alih-alih menjaga jarak dengan Nagao tentu saja.
Tak perlu berbasa-basi, makan malam bersama pun siap di mulai sesampainya Nagao dan Aoyuki di satu meja panjang dengan kerabat dan teman-teman keduanya yang telah duduk manis dan rapi.
Memandang kerabat dan teman yang bahagia membuat Nagao sedikit tak tega jika suasananya rusak begitu saja, terlebih rencananya dalam membangun kesan pasutri yang sakinah mawaddah warahmah tersebut gagal dalam satu kedipan mata.
Sesaat ia terus melirik Aoyuki yang duduk berhadapan dengannya.
Sementara Aoyuki yang mengerti pun hanya mendengus sebelum membuang muka. Toh ia masih punya hati untuk tidak membuat khawatir kakek dan neneknya.
Nagao menghela napas sebelum akhirnya berdiri sembari mengangkat gelas champagnenya untuk bersulang sebagai pembukaan. Syukurlah disambut ramah dan antusias oleh kerabat dan teman, termasuk Aoyuki yang ikut bersulang, bagaimanapun dia tuan rumahnya juga.
Segera setelah itu, mereka makan dengan tenang dan senang.
Di tengah suasana hangat dan mesra antar kedekatan masing-masing keluarga yang tak mengetahui kebenaran di balik pernikahan Nagao Kei dan Tsukihana Aoyuki yang di jalankan kontrak tersebut, ibunda Nagao Kei memanggil Aoyuki dengan senyum.
"Aoyuki, sayang, bisa tolong berikan garam yang tak jauh darimu?"
Aoyuki yang dipanggil pun menoleh, kemudian beralih pada garam yang memang tak jauh darinya, sebelum akhirnya kembali menatap sang ibunda mertua dengan senyum ramah nan lembut dan berkata, "Maaf, tidak."
Seketika Nagao menyemburkan air yang diminumnya, kakek dan nenek Aoyuki hanya diam sembari melirik ibunda mertua anak asuh mereka, Genzuki yang menutup mulutnya, Haru membelalak sampai menjatuhkan makanannya kembali ke piringnya, sementara sang ibunda mertua yang terdiam dengan senyum kikuk di wajah.
Jawaban Aoyuki yang terdengar seisi ruangan tersebut nampaknya membuat hening tercipta saking terkejutnya mereka mendengar jawabannya yang notabenenya tertuju langsung pada sang ibunda walau mertua.
"E-eh?" nampaknya sang ibu mertua kebingungan, walau dia siap meluapkan amarah.
Aoyuki masih tersenyum. "Maaf, maksud saya, saya telah menyiapkan sejumlah pelayan yang siap melayani kalian apa saja. Silakan meminta pada mereka, nee, Okaa-sama," jawabnya terus terang dengan sopan santun nan anggun.
"Tolong berikan ini pada Okaa-sama," ucap Aoyuki pada salah satu pelayan yang paling dekat dengannya tersebut.
Sang pelayan dengan sigap memberikan garam pada sisi ibunda mertua. "Silakan, Nyonya," ucapnya sebelum menjauh.
"A-ah, i-iya, terima kasih." Ibunda Nagao yang merupakan mertua Aoyuki tersebut terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya memanggil sang anak. "Nagao Kei."
Nagao yang sesaat terbatuk-batuk tersebut langsung sembuh mendengar namanya dipanggil lengkap oleh sang ibunda seperti itu. "Y-ya?" jawabnya dengan senyum kikuk.
Perlahan sang ibunda menatapnya dengan senyum seribu makna. "Rupanya kau memiliki istri yang tangguh dan pemberani, ya? Ibu terkesan." sarkasnya masih dengan senyum.
"I-iya, begitulah, ha ha ha!" Nagao tertawa renyah pun mulai berkeringat dingin seketika, sebelum akhirnya menatap Aoyuki dengan tajam. "Wanita gila!" batinnya yang tersalur pada tatapan tajamnya pada Aoyuki.
Sementara Aoyuki hanya menatap datar, sebelum akhirnya membuang muka dan menyeruput santai nan anggun tehnya, kemudian berkata, "Saya tahu diri saya, tapi terima kasih atas pujiannya, Okaa-sama, sa--"
Alih-alih membalas sarkas sang ibu mertua, bibirnya mendadak terbungkam dengan bibir lain yang tak pernah mau ia duga, yaitu milik Nagao yang menempel pada bibirnya cukup lama.
"Bajingan!"
Sekarang kakek Aoyuki yang terbelalak tak percaya sampai yakiniku jatuh dari mulutnya, sang nenek pun mengedipkan matanya beberapa kali seolah berharap ini hanya rekayasa, Genzuki sendiri menjatuhkan cangkir tehnya, Haru malah tersedak makanannya, sementara sang ibu mertua hanya menutup mulut sembari mengipasi dirinya sendiri.
Ketika dirasa cukup membuat Aoyuki diam dan ciut, Nagao perlahan melepas ciuman dadakan tersebut, kemudian menatap tajam dan kesal Aoyuki dengan wajah yang masih (sangat) dekat sebagai peringatan terakhir untuk dia agar tutup mulut.
Selang beberapa lama mereka terus begitu, Nagao baru menyadari jika ia membuat suasana tegang dan canggung. Ia buru-buru menjauh dan kembali duduk.
"Ah! Ahahah! M-maaf! Kebiasaanku jika ada bekas makanan di bibirnya, haha! Iya, 'kan, sayang?" ucapnya dengan sedikit penekanan dan senyum manis yang kikuk sesaat menatap Aoyuki dengan tatapan tajam yang mengejek itu.
Aoyuki yang masih terdiam dan setengah mematung itu seketika hanya mengangguk dan membalas dengan senyum, sebelum akhirnya menunduk sesaat, kemudian mengangkat wajah kembali dan menatap Nagao dengan penuh benci dan amarah sampai tangannya mengepal erat di bawah meja.
" ... Hari jadi yang menarik," ucap sang ibunda Nagao sembari melanjutkan makannya.
"Aku setuju," timpal nenek Aoyuki yang kemudian mengusap mulutnya dengan tisu.
Kakek Aoyuki hanya menghela napas berat, kemudian meneguk sakenya.
"Penuh kejutan, ya," timpal Genzuki dengan senyum tiba-tiba.
Haru menyikut Genzuki kasar. "Tojiro ... !" serunya dengan nada rendah.
Sementara Nagao dan Aoyuki hanya terkekeh canggung dengan tanggapan dan reaksi mereka, sebelum akhirnya kembali menatap satu sama lain dengan kesal dan penuh dendam abadi seolah siap meledak-ledak dan membalas satu sama lain setelah perayaan hari jadi ini berakhir.
"Dia benar-benar harus diberi pelajaran!"
Mereka hanya ingin menjatuhkan satu sama lain sebagaimana pernikahan kontrak atas dasar bisnis dan kuasa ini seharusnya berakhir.
Story By -freude
Presented For Nagao Kei
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top