8. Orang-orang mulai salah paham


Sakha mulai hilir-mudik ke rumah ini secara bebas tanpa hambatan. Binar tidak mau repot-repot menegur lagi. Ditambah semakin hari Arum semakin dekat dengan Sakha. Siang ini mereka mengerjakan foto iklan untuk tugas kuliah Arum.

Dia memberi tahu apa yang mesti disiapkan Arum. Kertas putih besar, lampu belajar, reflektor, dll. Sakha juga membiarkan Arum belajar memotret ala kadarnya dulu barulah dia mengoreksi.

Binar punya kegiatan sendiri. Merajut boneka-boneka kecil yang biasa dia jadikan gantungan kunci. Tidak dijual, kalau terkumpul banyak dia minta Arum antarkan ke panti asuhan bersama hadiah lainnya. Dia melakukan ini sejak sepuluh tahun lalu. Ketika dia akhirnya sendirian di dunia ini.

Dari pintu kamar yang dibiarkan terbuka, Binar mendengar mereka berdiskusi. Tentang objek foto yang transparan atau tidak, yang akan berpengaruh ke letak kamera serta penempatan lampu dan reflektor, lalu perlu tidaknya rules of third. Hal-hal yang asing untuk Binar.

"Nanti editnya nggak usah berlebihan. Malah objeknya jadi nggak natural lagi. Foto kayak gini kamu cukup main di crop, level sama saturasi."

Arum mengiyakan. Terdengar senang. Binar mendecih. Makin akrab saja berdua. Sama sekali bukan pertanda bagus. Arum akan sering berpihak ke Sakha. Gara-gara ganteng, katanya? Ganteng dari mananya sih?

Gantengan juga Umar. (Pendapat ini akan ditentang mati-matian oleh Arum, dan mungkin Ida, lalu ibunya Sakha)

Setelah tugas Arum selesai, Sakha sempat pulang. Tapi kembali lagi pukul dua tepat. Arum sudah menyalakan TV. Binar hendak kabur ke kamar tapi Sakha tahu-tahu menarik kursi makan ke dekat kursi rodanya. Bukannya duduk di sofa yang masih luas.

Kedua kaki Sakha sengaja diluruskan. Menghalangi kalau-kalau Binar mendadak melajukan kursi roda.

"Kali ini kamu pegang mana, Bi?"

Sedikit bete melirik layar TV. "GS Caltex."

Arum mengangkat tangan. "Aku samaaa."

"Kenapa pilihan klub kita selalu beda sih?"

"Selera kita emang beda."

Sakha berubah pikiran. "Ya udah aku ikut pegang GS Caltex."

"Nggak seru kalau bertiga GS Caltex semua."

Arum yang duduk sendirian di sofa pura-pura tidak dengar, membiarkan perdebatan terjadi, karena lumayan lucu mendengarnya. Binar banyak bicara kalau ada Sakha di sini. Walau sebalnya Binar sungguhan. Lebih baik daripada cuma diam.

"Taruhan ya, Bi. Kalau IBK Altos menang, kamu mau nurutin satu permintaanku."

"Kalau kalah?"

"Kamu boleh minta satu ke aku."

"Aku nggak bakal minta."

Sakha berkacak pinggang. Merasa tertantang. Mengulurkan dua jari ke depan Binar. "Dua permintaan kalau IBK kalah."

Binar menjabat dua jari Sakha. "Deal."

Dia tersenyum sambil menatap jari yang disentuh Binar. Meski taruhan mereka timpang, tidak masalah. Sakha sudah cukup senang melihat antusias kecil yang terbit di wajah Binar.

Tidak perlu menunggu sampai set akhir. IBK Altos terus memimpin di set satu dan dua dengan performa menyerang yang baik. Arum ketiduran di set ketiga. Binar cemberut sendirian ketika GS Caltex harus kalah di kandang sendiri.

"Pemain GS yang rambut pirang, siapa namanya, Bi?"

"Kenapa? Cantik? Tubuhnya bagus?" tuduhnya. Dia senewen karena tim jagoannya kalah.

"Beban tim. Dari tadi Silva mulu yang gebuk bola."

"Lagi underperform dia."

Layar sedang menayangkan sesi wawancara dengan setter IBK asal Thailand, yang menjadi MVP dalam pertandingan kali ini.

"Aku pikirin dulu satu permintaan ini. Kamu nggak boleh ingkar."

"Hmmm."

"Pulang ya."

"Bentar." Menahan kepulangan Sakha. "Satu permintaannya boleh dituker sama ikan aja? Ibumu bilang ikan kemarin diminta Jio, jadi kamu udah nggak punya."

Sakha melihat ke arah akuarium, cukup menggiurkan. Tapi dia menggeleng. Kalau mau, dia bisa melakukan berbagai cara untuk menculik beberapa ekor lagi. Mudah dilakukan.

Binar mengangkat dua telapak tangannya. "Sepuluh ikan?"

"Nggak worth it, Bi."

"Semua deh." Toh, dia bisa beli lagi. "Akuariumnya silakan angkut juga."

"Aku nggak pinter rawat ikan."

"Emang apa yang kamu minta?"

"Nanti dipikirin dulu."

***

"Sakha, biar Ibu tanya sekali lagi biar lega."

"Apa?"

"Kamu sebenernya temenan atau lagi ngejar Binar, Ka?"

Bukan berarti Ibu tidak suka Binar.

Ibu hanya heran dengan tingkah anaknya beberapa hari ini. Setelah diamati dan dicerna, cara berteman bukanlah seperti itu. Sudah dia pastikan tempo hari ketika makan bubur, tapi belum mendapat kesimpulan yang pasti.

Meski tidak sepenuhnya Sakha tumbuh di rumah ini, dia tetaplah ibunya. Dia mengenali beberapa gestur yang bahkan Sakha sendiri tidak sadari. Seperti sorot mata yang melembut ketika nama Binar disebut. Hanya sekilas. Tapi dia sudah menangkap banyak momen tersebut.

"Apa Binar nggak risi kamu selalu dateng ke rumahnya?"

Sakha mengerti. Ini interogasi lanjutan. "Udah terbiasa kok dia, Bu. Aku juga berteman sama Arum. Ida juga kenal baik. Serumah aku jadiin temen semua. Ibu nggak perlu khawatir."

"Kamu berubah banyak." Ibu tersenyum di balik kacamata. Menghentikan gerakan jarum yang dia gunakan untuk menjahit daster yang robek. "Tapi Ibu senang. Seperti melihat kamu sebelum ayahmu nggak ada. Waktu cepet banget ya, Ka. Saat itu umurmu masih sepuluh."

Sakha tidak ingin dialihkan. "Aku cuma pengin ngehibur Binar."

"Kalau dia nyaman dan ada perasaan ke kamu gimana?"

"Binar nggak semudah itu suka. Lagian dia masih nunggu seseorang."

"Kalau kamu? Kamu yang suka Binar. Terus gimana nanti?"

Sakha tidak punya jawaban yang lebih baik. "Kayaknya aku banyak pertimbangan deh, Bu. Ini bukan soal kondisi dia."

"Tapi Ibu nggak akan maksa. Kamu bisa menikahi siapa pun, yang kamu benar-benar cintai. Jangan menikah karena sesuatu yang bukan dari hati kamu."

Hati Sakha merasa dicubit. "Ibu tahu?"

"Belum. Kamu kan nggak cerita. Kamu nggak banyak cerita."

Sakha menunduk.

Ibu membetulkan letak kacamata, melanjutkan gerakan jarum. "Ibu bukan Ibu yang baik, Ka. Ibu banyak salah sama kamu di masa lalu. Ibu nggak mau kalau bahagiamu semu seperti yang pernah Ibu jalani. Di sisa umur Ibu, Ibu paling pengin lihat kamu bahagia."

"Aku main ke rumah Umar sebentar." Sakha beranjak dari kursi, memilih keluar dari rumah. Menghindari percakapan yang semakin dalam. Belum apa-apa dadanya sudah sesak dan matanya basah. Akan banyak lapisan yang dia buka jika membicarakan masa lalu. Sakha menghindari itu.

Dia sungguhan ke rumah Umar. Duduk di lantai teras, disuguhi kopi hitam dan pisang goreng. Padahal dia bilang tidak usah, hanya main sebentar.

"Berantem sama ibumu?"

"Cuma main. Nggak boleh? Nyuruh pulang?" Sakha hendak berdiri sambil mendekap piring pisang goreng.

"Bapak tirimu dateng ngerusuh?"

Sakha duduk lagi, meletakkan piring di tempat semula. Umar ini bukan pembaca situasi yang baik. Malah menyeret satu orang yang Sakha benci setengah mati.

"Mantan bapak tiri maksudku."

Segala dikoreksi!

"Kalau beli layangan di mana sih, Mar?"

"Hah?"

"Tapi bukan yang gocengan ya. Yang gede. Punya ekor cantik."

"Kalau cuma mau nanya layangan, kenapa mukanya pake ditekuk begitu? Ada, besok aku temenin beli. Masa kecilmu emang kurang bahagia apa, pulang-pulang cuma buat main layangan."

"Emang, kan?"

Hening. Umar kali ini terdiam. Takut-takut menatap Sakha sembari meringis lebar.

"Santai." Sakha mengibaskan tangan. Tertawa melihat muka bersalah Umar.

"Katanya kamu punya keluarga baik selama di sana. Aku cuma denger dari orang."

"Hm." Sakha mengangguk. Tidak peduli dengan rumor yang beredar tentang keluarganya, atau tentang dirinya yang punya keluarga baru di kota sana hingga jarang pulang. Sebagian kan memang fakta.

"Apa ibumu nggak cemburu?"

"Aku nggak banyak cerita ke Ibu."

"Kamu masih satu KK sama ibumu kan, Ka?"

"Udah lama pindah domisili."

"Ikut KK keluargamu yang di sana?"

"Enggak, KK sendirian."

"Oh. Orang-orang nih kalau ngomong bumbunya banyak bener."

"Mau gabung, Mar?"

"Gabung apa?" Bengong sejenak lalu mengumpat. "Dih. Geli. Amit-amit! Najis!"

Sakha tertawa. Kira-kira begitulah reaksi Binar kalau dia iseng menawarkan hal yang sama. Bonus geplak kepala.

Umar belum selesai. "Keluarga yang kamu maksud keluarga pacarmu, kan?"

"Ceritanya panjang."

"Aku siap dengerin."

"Tapi males cerita."

Umar menipiskan bibir. "Terus kenapa deketin Binar?"

Tidak Ibu, tidak Umar. Semua salah paham. "Kayak lagi deketin ya? Padahal enggak. Temenan cowok sama cewek tuh beneran ada."

"Wah. Wah." Umar geleng-geleng. "Aku takut nanti bukan Binar yang paling nangis, tapi kamu sendiri, Ka. Nangis berember-ember."

"Lagian dia nggak akan nangis cuma gara-gara aku. Setiap aku muncul, dia kayak lihat beruk."

Umar langsung mengangguk.

"Kenapa ngangguk?!"

"Ha? Oh, nggak boleh?"

"Aku nggak se-beruk itu, Mar!"

Umar mengernyit. Lelah menghadapi pancaroba sikap Sakha. Untung tidak lama kemudian anaknya pamit.

Sakha banyak menghela napas sepanjang jalan. Entah itu omongan Ibu, omongan Umar, saling bersahutan di kepalanya. Bukan tentang Binar. Sesekali Sakha menendang kerikil kecil yang dia temui sebagai ungkapan kesal.

Kakinya berhenti ketika sudut matanya menangkap cahaya dari jendela kamar Binar. Refleks berseru saat perempuan itu hendak menutup jendela.

"Binaaarrrr, tunggu!"

Tidak lagi jalan, Sakha lari.

"Berhenti di situ. Jangan deket-deket. Satu meter dari jendelaku." Trauma dengan kejadian kemarin saat Sakha bahkan merecoki jendelanya.

Dengan patuh, Sakha mundur dua langkah. "Udah boleh ngomong?"

"Aku nyuruh kamu mundur, bukan diem."

Sakha salah fokus setelah mengamati beberapa kali. "Jendelamu nggak aman, Bi. Nggak kamu pasang teralis?"

"Ada sebelumnya tapi aku suruh orang lepas."

"Pasang lagi aja."

"Kamu lari ke sini cuma mau ngomentarin jendelaku?"

Baiklah. Binar sudah terlihat mengantuk. "Aku udah tahu mau apa, Bi."

"Bilang cepet."

Lagi pula apa sih yang bakal keluar dari mulut Sakha? Jalan-jalan seperti ide Arum tempo hari? Binar rasa bisa menyanggupinya. Hanya sehari. Itu pun beberapa jam saja.

"Kamu harus ngikutin ke mana pun aku pergi selama seminggu."

"Udah gila?!"

"Dengar dulu." Refleks bergerak maju.

"Tetep di situu!"

Sakha mengangkat kedua tangan sambil mundur lagi. "Kalau aku ajak kamu pergi, kamu harus mau."

Binar memejamkan mata kesal.

"Nggak tiap hari kok, Bi."

Memang ada bedanya? Bukannya cuma satu permintaan?! Dia tidak mengantisipasi akan dicurangi begini.

"Kamu curang!"

"Curang apanya. Aku cuma minta satu hal. Ada aku nyebutin tujuh hal?"

Tidak memberi Binar kesempatan bicara.

"Udah ngerti, kan? Aku pulang deh. Kamu cepetan tidur. Kalau mimpiin Adam berasa mimpi buruk, kamu boleh mimpiin aku."

"Dijamin ketindihan?"

Tergelak. "Kamu lucu, Bi."

Lucu gigimu.

Binar mengambil sembarangan benda yang bisa dijangkau tangannya, melemparnya ke arah Sakha.

Sakha memungut benda yang menghantam hidungnya lalu jatuh ke rumput. Sebuah gantungan kunci berbentuk bintang. Bugil tanpa baju. Warnanya biru. Terbuat dari kain wol.

Dia amati benda sebesar telapak tangan itu. Sejenis gantungan kunci yang pernah dia lihat di ranselnya Arum.

"Bikinan kamu sendiri, Bi?" Sepertinya iya.

Jendela di depannya sedikit terbanting. Sudah tertutup dari dalam.

"Ini buatku, kan?"

"...."

"Aku simpen ya. Awas kamu ngadu ke ibuku."

***

Binar dan semua jengkelnya:


Makasiiy masih ngikutin cerita ini❤

Minggu/19.05.2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top