7. Biawak pun suka hujan

Hari ke enam Sakha pulang ke rumah, kalau tidak salah hitung. Sebenarnya tidak membosankan seperti yang dia kira. Dia menikmati kepulangannya kali ini. Ibu benar. Mungkin karena ada Binar.

Hari ini dia tidak perlu memutar otak untuk mencari alasan muncul di depan Binar. Arum pagi-pagi datang ke rumah dan meminta tolong padanya. Ayla yang terparkir tiga hari di halaman Ibu akhirnya berguna selain ke pasar. Untung kemarin-kemarin sudah dia cuci.

Sakha tidak tanya bagaimana Arum dan keluarganya berhasil membujuk Binar agar mau pergi ke kondangan kerabat di kota sebelah. Yang bisa dipastikan akan banyak orang, akan banyak pertanyaan dan raut bingung melihat Binar. Tante dan omnya sudah berangkat sejak kemarin.

Binar tampak cantik dengan terusan brukat berwarna burgundi. Rambut selehernya disanggul sederhana. Ada sekitar satu menit Sakha termangu dan lambaian tangan Arum menyadarkannya.

"Aku duduk di belakang, mau sambil ngirim tugas. Ribet kalau di depan." Menolak didebat, Arum langsung membukakan pintu depan untuk Binar.

Meski bimbang harus membantu seperti apa, Sakha tetap mendekat ke pintu yang terbuka. Untuk yang ini dia tidak bisa main gendong saja.

Binar mengulurkan kedua tangannya ke Arum.

Tapi Arum justru menoleh padanya. "Tolong gendong aja, Mas. Biar cepet. Bajuku ribet banyak aksesori takut kesangkut sama bajunya Mbak Binar."

Binar protes. "Banyak alasan ya kamu. Cuma pegangin tanganku nggak bakal lama. Kayak biasanya."

"Bukan protes, aku realistis, Mbak."

"Emang bakal nyangkut? Belum dicoba!"

"Kalau ada yang mudah kenapa mesti ribet. Mas Sakha kuat kok gendong Mbak."

"Kamu juga kuat. Tenagamu kayak badak. Semua beladiri dicobain."

Sakha menyimak pertengkaran mereka dengan santai. Tidak menyela. Menurutnya belum perlu dilerai.

Binar melanjutkan. "Tapi ini bukan masalah Sakha kuat apa nggak. Kamu ngerti nggak sih? Udah untung aku mau diajak pergi."

"Aku nggak merasa repot kok, Bi." Sakha angkat bicara.

Arum mengecek ponsel yang berdenting-denting. "Aduh, tinggal sepuluh menit lagi batas ngumpulinnya. Ayo cepetan! Bisa mati aku!"

"Siapa suruh semalem kamu ..." Kalimatnya tidak selesai. Terkesiap. Sakha merunduk di depannya dan menaruh tangan kiri di bawah lututnya. Tangan lain melingkar di punggungnya. Mengangkat tubuhnya dalam sekali gerakan.

"Agak nunduk, Bi."

Perintah yang dituruti Binar itu nyaris membuat dahinya terantuk pelipis Sakha. Untung refleksnya masih bagus jadi sempat mundur tepat waktu.

Sakha mendaratkan tubuh Binar dengan mulus di jok depan. Berniat memakaikan sabuk pengaman tapi tangan Binar bergerak lebih cepat. Dalam sedetik sabuk tertarik mulus dan terpasang sempurna.

Arum melipat kursi roda lalu memasukkannya ke bagasi. Mereka berangkat. Arum dengan segera membongkar tas laptop. Sibuk sendiri di kursi belakang.

Sakha melihat kedua tangan Binar meremas tali tas di pangkuan. "Rileks, Bi. Aku bawa mobilnya bakal hati-hati."

Seperti menjemput istri habis lahiran, Sakha menyetir dengan tenang. Bahkan jalanan yang tidak rata dan banyak lubang terasa mulus dilalui.

Setelah berhasil mengirim tugas, Arum buka suara. "Mobil Tante Retno baru, Mas?"

"Mobil anak sulungnya."

"Oh, mobil Pak Kades. Aku belum dibolehin bawa mobil sama Mama, Mas. Lain kali boleh ya kita jalan-jalan bareng. Mbak Binar biar lihat kota. Nggak melulu berjemur sama ngerajut. Aku takut Mbak Binar jadi ijo."

Binar menoleh, memberi pelototan biar Arum tidak banyak omong apalagi memberi ide yang asbun.

"Boleh. Aku masih lama di sini."

Arum bertepuk tangan. Menjulurkan lidah ke Binar yang memberi pelototan kedua.

"Kamu bisa ngerajut apa aja, Bi?"

"Ngerajut bibirmu juga bisa."

Sakha tergelak. Arum mencolek lengan Binar, sok tua bilang, "Jangan galak sama temennya. Yang akur. Berteman, berteman."

Tangan Arum pun kena tepis Binar. Dikibas-kibaskan karena cukup sakit.

"Mas Sakha, aku kasih tahu satu hal penting."

"Apa tuh?"

"Nanti kalau Mbak Binar udah meleleh esnya, kalau dia udah bisa ketawa lepas, Mas harus sering-sering nyelametin diri. Ketawanya nabokin orang. Sesaat nggak kerasa. Malemnya pegel semua."

Binar mendecak, memutar bola mata. Arum punya tandem yang cocok soal melebih-lebihkan sesuatu. Mereka berdua seperti bekerja sama untuk merecoki hidup Binar. Dengan Arum dia baru saja mulai terbiasa dan nyaman. Lalu datang yang baru.

"Kamu bilang masih lama di sini. Sampai kapan lamanya?" Binar akan senang kalau jawabannya seminggu atau dua minggu.

"Sebulan paling."

"Yaa, kok bentar sih, Mas?"

"Lama lho, Rum. Biasanya aku pulang cuma beberapa hari. Nggak nyampe seminggu. Jarang pulang pula."

"Kenapa? Nggak betah ya jauh-jauh dari pacarnya di Jakarta?"

Sakha berdeham. Binar tidak sengaja menangkap ekspresi ganjil lelaki itu. Tapi bukan urusannya. Dia tidak akan tanya. Dia telanjur bete dengan jawaban sebulan paling.

"Terus sekarang kenapa jadi sebulan? Udah putus sama pacar ya, Mas?"

Binar yang tersedak. Arum mengambilkan botol air yang dia bawa. Mengulurkan ke depan. Lalu menunggu jawaban Sakha.

Masalahnya, Sakha malas bahas ini. Tidak tahu kalau Arum akan menelisik cukup jauh.

"Fokus lihat jalan aja. Kamu capek kalau ngeladenin dia."

"Kalau aku diem malah ngantuk."

"Aku heran. Ibumu bilang kalau kamu pendiem. Pendiem kayak gimana maksudnya."

"Pas tidur, misal. Aku diem banget."

Binar salah telah membantu. Niatnya biar Arum diam. Tapi malah dia sendiri yang kesal.

"Binar punya piaraan baru lho, Rum."

"Hah? Apa, apaa? Aku nggak lihat ada yang keliaran di rumah."

Binar malas menyahut.

"Bunga matahari. Tapi belum tumbuh sih."

"Tapi Mbak Binar nggak bakat ngerawat bunga. Ntar mati gimana?"

"Aku beliin lagi."

"Kenapa bunga matahari, Mas? Kaktus lebih cocok."

"Biar ada yang nemenin Binar berfotosintesis."

Akhirnya semua diam. Arum tertidur di belakang. Sakha menyalakan radio, menggantikan kecerewetannya yang bisa membuat Binar lelah.

***

Mereka tiba di kota sebelah, di sebuah gedung pertemuan yang megah. Arum bangun dengan sendirinya. Sakha selesai parkir dan cekatan turun untuk mengambil kursi roda Binar.

Tidak perlu drama penolakan seperti tadi, Binar terima saat Sakha membantunya keluar dari mobil.

"Aku kayaknya nggak ikut masuk."

"Kenapa?" Arum urung melangkah.

"Kami nggak berniat bayarin bensin ya. Kamu rugi kalau milih di luar dan nggak makan di dalam." Binar tidak berniat kasar. Tapi itulah yang keluar dari mulutnya.

Sakha mengedikkan bahu. "Oke deh. Minimal makanlah ya."

Lalu dia berjalan di belakang Binar dan Arum. Tidak banyak memperhatikan sekitar, dia sibuk dengan ponsel. Membuka grup chat studio miliknya. Jam segini karyawan Sakha selalu meributkan mau makan siang apa. Sakha nimbrung dengan mengirim stiker random.

"Halo, Binar. Bawa siapa ini? Adam-adam itu ya? Kenalin sama Tante dong."

Sakha mandiri. Tidak perlu dikenalin-kenalin. Dia menjulurkan tangan. "Sakha, Tante. Temennya Binar sama Arum."

"Oh, temen. Maaf Tante salah kira."

Si Tante berlalu saat dipanggil oleh tamu lain. Sakha pamit memisahkan diri ketika Binar dan Arum beramah tamah dengan keluarga besar. Takutnya dikira Adam lagi kan. Capek mesti menjelaskan.

Sakha melihat-lihat stan makanan yang ingin dicoba. Dia memilih pangsit kuah dan celingukan mencari kursi. Saat itulah tidak sengaja bertemu dengan mata Binar yang tampak mencarinya. Sakha mengangkat mangkuk kertas dan diberi anggukan kecil oleh Binar.

Jutek, galak, tapi nyariin. Sakha menyeringai ringan. Menemukan kursi di belakang stan sate ayam.

Dia tidak sempat tanya kerabat mana yang punya hajat. Tapi cukup meriah dan megah. Banyak stan makanan dan band pengiring yang nyanyinya jelas. Binar dan Arum tidak lagi terlihat, tenggelam di rombongan keluarga. Sakha asyik pindah dari satu stan ke stan lain. Alamat tidak makan sampai nanti malam.

Kemeriahan acara membuat tamu-tamu tidak sadar kalau hujan turun dengan deras. Sakha menutup acara kulinerannya dengan es kuwut dan memilih jalan-jalan di teras luar. Sumpek di dalam meski pendingin ruangan berfungsi baik.

Tidak disangka ada yang menyusulnya. Sakha tersenyum melihat satu nampan dengan berbagai jenis makanan di pangkuan Binar.

Binar seketika melindungi makanan-makanan itu dengan sebelah tangannya. Entah bercanda atau bukan. Trauma dicomot seperti mendoan kemarin sepertinya. Membuat senyum Sakha berubah geli.

"Udah selesai makannya?"

Sakha menepuk perutnya yang rata. "Kenyang banget. Kamu makan gih. Pasti capek denger cingirnya keluarga."

"Hah. Bangeet!" Sambil menjejalkan satu somay utuh ke dalam mulut. Pipi Binar yang tembam menggembung sebelah.

Dia diam menyaksikan pipi itu mengunyah dan terus mengunyah. Tidak mengajak bicara selagi Binar fokus dengan makanannya. Tatapan Sakha seperti ayah yang melihat anaknya doyan makan. Kalau imajinasi ini diteruskan, bisa-bisa dia mengelus kepala Binar dan mengeluarkan pujian karena sudah makan dengan lahap.

Hujan masih menemani hingga mereka pulang. Arum tepar di kursi belakang berbantalkan tas laptopnya. Binar lumayan terkantuk-kantuk karena Sakha memilih diam sepanjang menyetir. Mungkin ada makanan yang nyelip dan mengakibatkan giginya sakit.

"Gigimu sakit?"

"Ha? Oh, enggak."

"Ngantuk?"

Menggeleng.

Binar bimbang ingin tanya lagi. Tapi akhirnya memilih tidak. Sudah bagus kalau Sakha punya waktu-waktu mode hening begini.

"Lagi mikir."

"Mau minta duit bensin tapi sungkan? Aku cuma bercanda. Kita mampir pom terdekat."

"Btw, namanya Adam?"

Binar tertegun. Tidak siap nama itu disebut lagi. Apalagi dengan raut wajah yang tumben serius, Sakha sepertinya akan mengeluarkan pertanyaan maha penting.

"Persis nggak sama Adam-nya Inul? Ada kumisnya gitu?"

Sungguhan maha penting.

Binar membuang muka ke arah lain. Mengulum bibir biar tidak tertawa. Memangnya apa yang dia harapkan dari Sakha selain hal-hal konyol?

"Kalau iya, jangan dibolehin cukur kumis. Nanti malah aneh."

Binar berdeham.

"Kamu masih ada fotonya? Belum dihapus semua, kan? Kasih lihat ke aku."

Binar tidak merespons. Masih membuang wajah ke arah jendela.

Sakha menyerah. Binar rupanya tidak rela Adam-nya dijadikan bahan lelucon.

***

Setelah mandi dan berganti baju, Binar menikmati sore yang masih gerimis kecil dari jendela kamar. Sendirian. Arum pulang ke rumahnya sendiri. Jadinya tenang.

Rumah Tante Retno juga cukup hening dari jarak ini. Tapi lalu lalang terlihat di jendela dapur rumah itu. Tampak Sakha yang sedang bermain dengan keponakannya. Binar ingat nama anak kecil itu. Sering diceritakan padanya.

Tak lama mereka meninggalkan dapur. Jio muncul di pintu dan berlari ke arah hujan. Sakha menyusul. Seperti dua anak kecil yang lepas dari pengawasan orang dewasa. Tante Retno ke mana? Apa tidak cemas itu cucunya hujan-hujanan. Sebagai om, Sakha juga malah ikutan, bukannya mencegah.

Jio dibiarkan main sendiri. Sakha tiba-tiba menyeberang ke rumahnya. Binar punya firasat tidak enak. Baru juga sebentar dia menikmati sore yang tenang.

"Binar." Sakha menghampiri jendela kamarnya dan mengulurkan tangan. "Lama nggak hujan-hujanan, kan?"

"Minggir tanganmu. Jendelanya mau aku tutup."

"Mau galauin Adam tapi bukan Adam-nya Inul itu?"

Boro-boro ketawa. Wajah Binar mengerut tidak suka.

"Makanya. Sini. Hidup itu nikmatin aja."

"Dengan hujan-hujanan? Nggak. Aku udah mandi."

"Apa salahnya mandi sehari tiga kali, Bi?"

Jendela kamarnya cukup lebar. Binar sampai harus naik ke kusen, menjulurkan tangan maksimal untuk bisa meraih daun jendela. Ditambah ada Sakha yang sengaja menghalangi.

Melihat Binar yang ngotot, Sakha pun mengalah. "Iya, iya, awas kamu jatuh. Aku bantu tutupin."

Terlambat. Binar telanjur hilang keseimbangan. Mau tak mau jatuh ke arah Sakha yang tidak siap dengan gerakan serba mendadak itu. Apalagi tubuh Binar yang jatuh menimpa tubuh lelaki itu.

Kejadiannya cepat. Sakha sempat menahan tubuh Binar tapi sedikit terlambat. Tapi setidaknya perempuan ini tidak jatuh ke tanah. Melainkan menimpa tubuh Sakha.

Dan dia siap mendengar omelan Binar.

"M-maaf. Tubuhku lumayan berat. Aku coba bangun. Tapi agak lama. Maaf."

Hati Sakha mencelos.

"It's okay, Binar. Pegangan ke tanganku."

Tapi Binar memilih bertumpu ke rerumputan dan perlahan membutuhkan tenaga lebih banyak untuk menyingkir dari atas tubuh Sakha.

Toh, sudah basah. Binar tidak perlu marah-marah. Dia hanya pasrah merasakan setiap tetes hujan jatuh di kulitnya.

Sakha duduk di sebelahnya. Menyibak rambut agar tidak menghalangi mata. Dia yang kerap ngomel ketika pemotretan outdoor dan hujan turun, sekarang tampak kalem.

Untuk saat ini, dia sedang ikut-ikutan suka hujan.

Binar yang masih diam coba mengingat sesuatu.

"Ah, kamu udah baca." Dengan nada sarkas sambil menertawakan diri sendiri. "Tentu aja udah baca. Cuma orang tolol yang percaya kamu nggak buka sama sekali agendaku."

"Kamu makin ilfeel?"

"Ya. Tentu. Siapa yang nggak ilfeel sama kamu."

"Belum sadar kalau salah satu halamannya ilang, Bi?"

"Aku nggak buka lagi."

"Sori udah lancang."

Binar mendongak ke langit. Lalu tatapannya berpindah ke jari-jari kakinya yang kebas. Tidak sempat berpikiran sedih karena suara Sakha keburu terdengar.

"Yang ini kebetulan kok. Aku baru inget hujan-hujanan ada di wishlist kamu. Mumpung lihat kamu di jendela. Sekalian."

"Kamu ngetawain wishlist-ku yang isinya sepele itu?"

"Kenapa mesti ketawa? Apa-apa yang kamu tulis belum tentu orang lain bisa lakuin. Berjemur, misal. Aku morning person tapi nggak suka berjemur. Kalau ada kerjaan di luar, subuh aku udah di jalan. Atau kadang subuh aku baru pulang."

"Aneh ngelihat aku berjemur?"

"Nggak sih. Kalau kamu nawarin gabung, aku pasti mau."

Ujungnya begitu. Binar bisa duga.

Sakha masih tetap mengawasi Jio dari kejauhan. Anak usia tujuh tahun itu masih main di bawah talang air. Girang bukan main.

"Seumuran kita main hujan-hujanan tuh nggak aneh, Bi. Nggak akan kena marah juga."

"Oh ya?"

Terlihat payung merah yang berjalan mendekat. Ibu sudah pulang dari arisan di rumah Bu RW. Menoleh ke rumah di kanan dan kiri. Syok melihat tiga anak basah kuyup. Terutama cucu kesayangannya. Tidak perlu tanya, sudah ketahuan siapa biang keroknya.

"SAKHAAA!"

***

Aku kemarin siang beneran ketemu biawak di jalan pas lagi naek motor wkwkk😭 Dia tiba2 nongol dari pinggir jalan, posisi aku pelan dan lgsg ngerem. Sempet ngelag takut disamperin untung dia kaget duluan sama klakson mobil terus ngacir😭🤣

Kamu ada cerita apa? Boleh sini ceritaaw~

Jumat/17.05.2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top