6. Binar dan hari-hari berisiknya


"Bi, aku mau ke pasar nemenin Ibu."

Binar membuka mata akibat suara itu. Mengerjap beberapa kali. Tangan kirinya terjulur mencari jam weker di meja. Menyipit melihat jarum jam. Masih jam lima pagi.

Ini bukan pertanda bagus. Dia bahkan mulai terngiang-ngiang suara Sakha. Atau mungkin barusan dia mimpi lelaki itu kemudian terbangun. Otaknya pasti mengenalinya sebagai mimpi buruk.

"Kamu titip sesuatu, Bi?"

Binar berjengit. Jendelanya diketuk pelan dua kali. Bukan mimpi buruk, tapi kenyataan buruk. Orang gila mana yang mengetuk jendela tetangga pagi buta dan tanya hal tidak penting? Ada. Sakha orangnya.

"Kalau bingung, aku kasih pertimbangan. Ibu bilang pasarnya apa-apa ada. Kamu mau ayam warna-warni nggak?"

Binar menaruh bantal di atas wajah. Berniat tidur lagi. Berharap orang gila di luar jendela menyerah dengan sendirinya.

"Atau kelinci, Bi?"

Harapan sepele Binar terlalu muluk-muluk.

"Yang bisa dipegang gitu, Bi. Kalau ikan kan nggak bisa. Kamu pegang bengek dia, Bi."

Lama-lama dia merasa namanya bukan lagi Binar, tapi panggilan hewan berwarna merah muda. Binar melempar bantal di wajah ke arah jendela. Menimbulkan suara ribut sesaat. Sakha terjungkal karena kaget mungkin. Kalau iya, syukurin.

"Oke, terakhir. Kalau marmut, Bi? Niatku baik. Biar kamu punya temen kalau Arum nggak ke sini. Atau kamu cukup temenan sama aku? Tapi malem nggak bisa tidur di rumahmu."

Berteman dengan Sakha? Lebih baik Binar berteman dengan domba-dombanya Umar.

Binar akhirnya menyumpal telinga dengan earbud. Bodoh amat Sakha berbusa di luar sana. Dia baru bangun ketika Ida mengetuk lirih dan membuka pintu kamar. Masuk lalu mengambil keranjang baju kotor.

"Ketemu orang gila di depan, Da?"

"Ada orang gila baru?"

"Orang kota itu tuh."

"Kamu juga orang kota, Bin. Sesama nggak boleh saling ejek." Ida terkekeh.

Kalimat Ida membuatnya jadi berpikir. Iya, mereka sama-sama di Jakarta selama ini. Apa mungkin sesekali mereka pernah berpapasan di suatu tempat? Kalau pun iya, entah salah siapa yang tidak mengenali lebih dulu.

Namun, wajar bila tidak mengenali. Terakhir bertemu saat mereka sekitar umur duapuluh. Sakha kebetulan pulang ketika orangtua Binar meninggal. Lalu setelahnya, seperti bukan teman kecil yang akrab, mereka menjalani hidup masing-masing. Seperti seharusnya.

Sepuluh tahun berlalu. Mereka bertemu lagi. Binar dalam keadaan seperti ini. Sakha dalam keadaan yang jauh lebih baik. Terlepas tingkahnya yang menyebalkan, Sakha tumbuh seperti lelaki baik-baik. Mudah dibayangkan hidup Sakha seperti apa di kota sana. Pasti dikelilingi banyak orang, lingkungan kerja menyenangkan, bertemu perempuan cantik.

Yang terakhir kenapa pula dia pikirkan sih?

Beruntung suara Ida segera menariknya dari lamunan. "Rumah depan sepi. Kayaknya pada pergi, Bin."

Binar menyibak selimut. Beringsut bangun. Dia bisa pindah ke kursi rodanya sendiri. Lalu melaju ke halaman samping. Mesin cuci sudah dinyalakan, sambil menunggu selesai, Ida menyapu halaman. Binar menyambar satu roti gandum di meja dan menunggu matahari sedikit meninggi.

Dia menikmati pagi lainnya yang mesti dia jalani. Kadang senang, kadang bosan, kadang biasa saja. Tapi firasatnya pagi ini sedikit tidak enak. Sudah tiga kali dia menoleh ke sisi kanan. Antisipasi kalau-kalau ada manusia muncul mendadak. Sejauh ini masih aman.

Sehari saja. Sehari ini saja biarkan harinya berjalan tenang, Tuhan.

***

Sakha terdampar di pasar burung. Ibu masuk ke bangunan tiga lantai, sementara dia berkeliaran di sisi luar bangunan pasar. Mencium tahi berbagai hewan sembari memikirkan ingin membelikan Binar sesuatu.

Dia terus berjalan hingga melewati pasar hewan lainnya. Sampai tak sadar kalau Ibu sudah selesai belanja dan mencarinya.

"Kamu mau beli apa sebenarnya?"

Sakha mengambil alih dua plastik besar di tangan Ibu. "Binar sukanya apa ya, Bu?"

"Buat gantiin ikan yang kamu culik?"

"Hmm."

"Beliin aja tanaman."

"Kaktus?"

"Gimana kalau sarapan dulu?" Ibu menyeret lengan anaknya ke gerobak bubur ayam yang cukup ramai. Ibu memesan dua untuk dimakan di tempat dan tiga untuk dibawa pulang.

"Buat siapa, Bu?"

"Binar. Ibu pernah bawain terus dia suka."

"Nanti yang antar bubur aku aja ya."

Ibu menyipit senang. Bibirnya melengkung senyum. "Kepulangan kali ini seru, kan? Ada Binar."

Sakha tidak mau mengakui. Pura-pura sibuk meniupi bubur.

"Kamu pasti banyak nostalgia ya." Ibu masih bicara sambil menunggu buburnya sedikit dingin. "Ibu ngerti kok. Bukan mau godain kalian."

"Iya, Ibu nggak bisa godain kami. Binar ilfeel sama aku. Tiap hari bakal tambah ilfeel kayaknya."

"Kenapa kamu nunjukin sisi yang beda ke dia?"

Sakha menarik sudut bibir, menciptakan senyum kecil.

"Jadi jawabannya cuma senyum, Ka? Kalau Ibu nanti salah menyimpulkan gimana?"

"Seperti?"

"Ibu coba lihat dari sisi Binar ya. Perempuan itu sekuat apa pun tampak luarnya, hatinya beda lagi. Dia mungkin akan berpikir begini dan punya kesadaran kalau cinta nggak melulu dimulai dari rasa senang. Bisa jadi jengkel makanya keinget terus. Apalagi kamu setiap hari muncul di depannya. Dia bakal terngiang-ngiang entah suara atau wajahmu. Terbawa ke mimpi, bercokol di pikiran, kemudian sampai di hati. Menetap di sana bahkan tanpa kamu sendiri sadari. Perempuan pintar dalam urusan memendam perasaan, Ka."

Sakha sukses terbatuk.

"Hati-hati, Sakha." Ibu menepuk punggung bungsunya sambil menahan tawa.

"Apa sih, Bu? Katanya nggak mau godain."

Gagal. Akhirnya tertawa melihat muka cemberut Sakha. "Makan buburnya. Hati-hati."

***

Suara pintu diketuk. Binar mencegah Ida yang menaruh sapu. "Jangan dibukain, Da."

"Eh?"

"Paling yang biasanya."

"Siapa? Tukang galon?"

"Pagiii, everybody!"

Yang dibicarakan muncul sendiri lewat samping. Berhubung baju-baju belum dikeluarkan dari pengering dan dijemur, dengan segera mereka mengetahui siapa gerangan pengetuk pintu yang kemudian memilih jalur samping rumah.

"Oh iya, bener. Nggak usah dibukain pintu." Ida kemudian membalas sapaan. "Pagi, Sakha."

Sakha tersenyum ke Ida sebentar. Lalu ke Binar. Tapi mukanya kecut sekali. Pasti masih kesal karena Sakha mengganggu tadi pagi.

"Aku bawa amanah dari Ibu." Mengangkat plastik bubur di tangan kanan. "Bubur kesukaannya Binar."

Perhatian Binar sempat tertuju ke plastik bening di tangan kiri Sakha. Merasa tidak penting, lalu beralih. Lebih penting bubur dari Tante Retno.

"Terus ini, bunga."

"Mana bunganya?" Ida bantu menerima plastik bubur, bertanya heran melihat pot berukuran sedang yang kosong. Hanya ada media tanam di dalam.

Sakha melihat Binar yang tampak lebih tertarik dengan bubur dari Ibu. Tahu begini dia pakai jurus ngibul yang biasanya. Bilang kalau bubur ini darinya. Meski Ibu ngotot membayari.

Ida membawa bubur ke dapur. Sakha meletakkan pot yang dia bawa di tepian bekas kolam ikan yang kosong.

"Isinya biji bunga matahari, Bi. Ada sih yang udah tumbuh pohonnya, tapi seru kayak gini nggak sih? Kamu lihat dia tumbuh dari nol."

"Nggak ada seru-serunya. Sama aja."

"Nanti pasti seru. Sering-sering disiram ya, biar cepet tumbuh."

Binar tak habis pikir. Bisa-bisanya dia diberi bunga tapi bunganya dalam bentuk biji yang ditanam.

"Kata abangnya yang jual kalau rawatnya bener, 80 hari udah berbunga, Bi."

Binar memandangi pot yang diletakkan Sakha. "Selain suka ganggu, kamu suka bikin orang repot juga."

"Nggak repot, Bi. Dia bisa jadi temen kamu. Kamu seneng berjemur, dia juga butuh berjemur."

"Terus kamu berekspektasi aku bakal ngobrol sama bunga matahari?"

"Loh, kenapa enggak? Dia juga makhluk hidup, Bi."

Ida datang membawa dua mangkuk di atas nampan bersama dua gelas teh. Ditaruh di atas pangkuan Binar.

Saatnya Sakha pamit. Tapi gelagatnya terbaca Ida. "Mau ke mana? Itu buat kalian."

"Idaaa. Kenapa siiih. Biarin dia mau pulang. Biariiin."

Sakha gemas melihat rajukan Binar. "Tapi buburnya cuma tiga. Arum nggak nginep di sini, Da?"

"Nanti malam." Ida bahkan membawakan kursi ke dekat Binar. "Duduk, Ka."

"Terus kamu nggak makan sekarang?"

"Mau jemur baju dulu. Aku sarapan nanti. Titip bentar bayi besarku."

"Bayi besar apanya." Sakha duduk, melempar senyum ke muka ditekuk di sebelahnya. "Dia bisa ngelakuin banyak hal sendirian. Ngomelin orang, misal."

Ida menghilang ke dalam, keluar-keluar membawa keranjang cucian. Mulai menjemur.

Dan orang gila mana yang makan dua porsi bubur dalam satu jam terakhir? Begini amat demi berteman dengan Binar.

Untuk Sakha yang terbiasa tidak sarapan, ini cukup berlebihan. Tapi setiap sendoknya masuk dengan mulus ke perutnya. Binar juga demikian. Sepertinya lahap makan karena buburnya dari Ibu, bukan dari Sakha.

Semangkuk bubur ternyata cukup ampuh meluluhkan seorang Binar. Maksudnya, perempuan ini tidak coba mengusir Sakha. Sia-sia semua tingkah konyolnya beberapa hari terakhir.

Sakha juga baru tahu, sekadar melihat orang makan di sebelahnya, bisa menimbulkan rasa tenang seperti ini.

Lalu suara serdawa Sakha merusak momen tenang di antara mereka. Binar menoleh dengan raut datar.

"Maaf, Bi."

"Kamu udah makan bubur di pasar tadi?"

"Kok tahu?"

"Kamu nggak terbiasa sarapan?"

"Kok tahu lagi?"

"Nggak ada yang buatin?"

"Nggak sempat."

"Kerjaan kamu bukannya lebih fleksibel?"

"Sarapan sendirian nggak enak." Meski Sakha tidak selalu sendirian. Dia punya beberapa orang yang memastikan dia tidak kesepian dalam beberapa hal.

"Bukannya kamu udah terbiasa?"

"Gimana kamu bisa tahu aku terbiasa, Bi?"

"Aku ingat."

"Yang mana?"

"Ingat bagian kamu ninggalin rumah dari umur tujuhbelas. Mendiang Mama yang cerita soal kabar apa pun."

"Kamu duluan yang ninggalin rumah. Kita gagal satu SMP, gagal pula satu SMA."

Binar masuk ke sekolah voli saat itu. Sakha cukup sedih karena, entah karena alasan yang mana. Anggap saja dia sedih harus kehilangan teman sebaya yang menyenangkan. Yang dibilang Umar benar. Binar yang dulu sangat berbeda dengan sekarang. Makanya dulu Sakha senang berada di dekatnya.

Tapi dengan keadaan Binar yang sekarang pun, Sakha masih ingin berteman. Bukan sekadar balas budi atau hal-hal lainnya yang pernah terjadi di masa lalu mereka.

Sakha mengalihkan pikirannya sendiri, sebelum ke mana-mana. "Kalau atlet gimana, banyak makan protein?"

Binar menunduk, kembali ke sisa bubur yang kemudian dia aduk gamang. "Aku bebas makan apa pun sekarang."

"Ah, maksudnya kamu jadi doyan makan semuanya? Makanan ekstrem apa yang pernah kamu coba, Bi?"

Binar mengangkat wajah. Berhasil teralihkan. Sedikit mengingat. "Belalang goreng."

"Aku juga pernah. Awalnya geli tapi gurih ya ternyata."

Binar mengangguk. "Aku nggak kaget kalau kamu pernah makan sate biawak."

Sakha tertawa geli. Meneleng untuk memperhatikan wajah Binar seutuhnya, bukan cuma tampak samping. "Kenapa? Aku banyak tingkah kayak biawak? Yang kalau dilepas dari kandang nguber yang punya. Siapa tahu biawaknya cuma iseng, ngajak main, eh orang-orang keburu panik."

Tawa Sakha masih berderai beberapa detik. Halaman Binar penuh dengan semerbak wangi jemuran baju, tawa renyah lelaki ini, dan sinar matahari yang mulai menyiram pot kosong di sudut sana.

Binar merapatkan bibir, menggigit di bagian dalam. Mengambil mangkuk kosong dari tangan Sakha dan diletakkan di nampan kemudian menekan tuas kursi roda. Berbalik begitu saja.

"Lah, aku belum minum lho, Bi."

"Minum di rumahmu sendiri sana."

Ida selesai menjemur, nyengir melewati Sakha. "Arum nggak bohong. Kalian aneh tapi lucu."

"Kenapa dia tiba-tiba bete? Aku nggak ngapa-ngapain padahal."

Ida berhenti dan meneliti wajah Sakha dengan serius.

"Jangan bikin bingung, Da."

"Lain kali hati-hati kalau senyum atau ketawa. Iya sih, kayaknya itu, kalau aku nggak salah."

Sakha masih bingung. Sudah dua perempuan yang mengingatkannya untuk berhati-hati. Dia menoleh ke pintu tempat Binar menghilang. Mulai kepikiran omongan Ibu saat makan bubur tadi.

... cinta nggak melulu dimulai dari rasa senang. Bisa jadi jengkel makanya keinget terus. Apalagi kamu setiap hari muncul di depannya. Dia bakal terngiang-ngiang entah suara atau wajahmu. Terbawa ke mimpi, bercokol di pikiran, kemudian sampai di hati.

Tidak mungkin sih. Percayalah, orang seperti Binar tidak akan semudah itu. Kalimat Ibu masih bisa dibantah, disanggah, dipatahkan. Hanya saja tidak Sakha lakukan tadi.

Katakanlah Sakha ini biawak di dalam kandang. Tapi yang membukakan pintu kandang bukan Binar. Jadi, Binar tidak perlu panik. Kalau sampai dikejar ya cukup lari saja sampai puyeng biawaknya.

Entahlah. Kenapa pula dia malah berandai-andai jadi biawak. Sepertinya efek bubur ayam dua mangkuk. Pikirannya jadi ngantuk.

***

Mari sebentar singkirkan fakta bahwa hati mereka sama2 udah ada yg punya (meski sama2 gak jelas jg hubungannya), kira2 antara Sakha sama Binar siapa yg fell first and fell harder duluan? 😭✋

Rabu/15.05.2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top