5. Wishlistmu, wishlistku
Alien: binar
Alien: kamu kehilangan sesuatu ga?
Binar: ga
Alien: aku anggap udah kamu buang ya
Binar: apa yg kamu temuin?
Alien: agenda
Binar: aku ambil skrg
Binar: kamu baca?
Alien: belum, emg boleh?
Binar melempar remot TV ke sudut sofa. Menggerakkan cepat tuas kursi roda ke pintu, melewati turunan di teras dengan mulus. Seingatnya dia sudah membuang agenda itu di tempat sampah. Harusnya sudah diangkut ke tempat pembuangan. Bukannya malah di tangan Sakha. Bagaimana bisa.
"Binar? Nyari Ibu?" Retno senang melihat kehadiran Binar di pintu. Jarang sekali, hampir tidak pernah, anak ini menyambangi rumahnya.
"Nyari anak Tante."
"Oh, mau ambil buku sampul hitam?"
"Tante tahu?"
Tante Retno tersenyum. "Masuk, Bi. Ibu ninggal mendoan takut gosong. Kamu ambil sendiri di kamarnya. Sakha lagi main ke rumah abangnya. Nggak usah sungkan, kamar Sakha nggak ada barang berharganya."
Karena sudah diberi izin, Binar tidak sungkan melajukan kursi rodanya masuk lebih dalam. Sementara Tante Retno kembali lagi ke dapur setelah menunjuk kamar di dekat anak tangga. Binar menuju ke sana. Membuka pintu tanpa ragu. Dia hanya perlu mengambil buku miliknya lalu keluar sebelum pemilik kamar pulang.
Tante Retno benar. Tidak ada barang berharga di kamar yang Binar buka. Kamar ini terlalu bersih dan kosong. Hanya koper yang dibiarkan terbuka di dekat meja, menampilkan tumpukan baju yang tidak dipindah ke lemari. Di dinding tidak ada bingkai foto yang tergantung, meja yang dihampiri Binar juga sama kosongnya. Agenda yang dia cari tergeletak di atas meja sendirian.
Binar mengambilnya dan berbalik. Tante Retno datang dari arah dapur membawa sepiring mendoan hangat. "Ketemu, Bi?"
Binar mengangguk. Menutup pintu di sampingnya.
"Nih, kamu bawa pulang buat cemilan." Meletakkan piring di atas agenda yang ada di pangkuan Binar.
"Piringnya?"
"Halah, gampang." Kemudian teringat sesuatu. "Maafin anak Ibu yang jail ya, Bi. Ibu udah suruh mangkuknya biar ditinggal aja, malah sama dia langsung dibawa pulang. Sengaja itu dilama-lamain biar bisa gangguin kamu."
Ah, kini Binar mengerti. Sudah dia duga. "Nggak apa-apa. Pulang ya, Tan. Makasih."
"Udah gitu minta ikanmu."
Binar tidak lihat ada ikan di kamar Sakha tadi.
"Tapi ikannya diminta Jio. Kalau Sakha keterlaluan, bilang ke Ibu ya, Bi."
"Iya."
"Dia aslinya pendiem kok, Bi."
Sepertinya Tante Retno ini tidak mengenal baik anak bungsunya. Tapi bukan urusan Binar.
Dari jalan tampak Sakha yang berlarian, lalu rem mendadak saat berpapasan dengan Binar di halaman rumah. "Kamu cepet banget ke sininya."
Dengan nada menuduh. "Kamu udah baca?"
"Belum. Dibilang belum." Sakha memegang hidung.
"Gimana bisa kamu temuin? Kamu ngorek sampah?"
"Nggak sengaja ketinggalan pas mau diangkut kemarin pagi. Jatuh di jalan, aku bantu simpen." Melihat apa yang dibawa Binar di pangkuan. "Piringnya nanti aku ambil ya."
"Ibumu bilang nggak perlu dibalikin."
"Masa?"
"Boleh minggir?"
"Tentu boleh. Apa sih yang nggak boleh buat Binar."
Sakha segera menepi, memberi jalan, lalu tangannya usil mencomot mendoan. "Bagi satu."
***
Binar sebenarnya sudah curiga. Sejak dia keluar dari kamar mandi, bukan hanya suara Arum yang dia dengar dari ruang tengah. Begitu membuka pintu kamar, bibirnya menipis disertai tarikan napas panjang. Melihat Sakha duduk tenang di sofa.
Dia beralih menatap sepupunya yang asyik makan kuaci. "Rum, ambilin piring di tudung saji. Cuciin terus kasih ke dia."
"Bukan mau ambil piring. Numpang nonton TV, Bi. Kamu mau ke mana?" Sakha juga heran kenapa dia bisa mendarat di sofa ini. Niatnya ingin mengajak Binar main ke sungai. Banyak anak-anak kecil main air. Tapi dia urungkan setelah tanya ke Arum.
Binar berniat mengambil alat rajutnya di bawah meja sofa dan membawanya ke kamar, tepat ketika Sakha mengganti channel TV. Menayangkan sorak penonton yang familier. Tangan Binar urung meraih wadah berisi gulungan benang. Punggungnya kembali menegak di kursi roda.
Arum yang peka langsung berniat mengganti channel. Tapi tangan Sakha segera menghentikan, kepalanya menggeleng. Lalu melirik Binar yang tatapannya tertuju ke layar TV.
"Kamu pegang mana, Bi?"
"....."
Arum pun mencoba meski ragu. Takut Binar sedih. "Aku jagoin Pink Spider ah. Ada pemain favoritnya Mbak Binar."
"Bener, Bi? Yang mana? Mukanya mirip semua."
Tidak sangka dijawab. "Punggung nomor 10."
Arum dan Sakha saling berpandangan. Aman untuk dilanjutkan. Binar sepertinya tidak masalah.
"Aku pegang lawannya. Hyundai Hillstate. Denger-denger mereka win streak-nya belum pecah. Puncak klasemen juga. Spike-nya Moma beneran ngeri."
"Mas Sakha tahu banyak soal voli?" Arum bertanya heran. Bukan dibuat-buat. Meski mereka sedang berkerjasama tanpa janjian sebelumnya.
"Ha? Oh, asistenku suka voli. Sejak liga Korea mulai dia selalu ngoceh soal Hyundai. Nggak cuma itu, liga Brasil sama Jepang juga kadang. Tapi aku nggak nangkep semuanya."
"Apa bagusnya Hyundai?" tanya Arum lagi.
"Solid. Mau bertahan atau nyerang, mereka sama-sama kuat. Middle blockernya berfungsi. Mereka receive bolanya bagus." Binar yang menjawab.
Sakha tersenyum. "Jadi kamu pegang Hyundai, Bi?"
"Pink Spider."
"Bagusnya apa?"
"Variasi serangan lebih banyak."
"Kayak katamu, middle blockernya Hyundai bagus. Dia sering cetak poin dari bola quick. Ada variasi serangan juga dong." Ada untungnya Sakha mendengarkan ocehan Dito.
Binar menoleh padanya. Seperti ingin bilang sesuatu tapi ragu.
Sebelum dikatai cerewet. "Oke deh. Aku sendirian."
"Mainnya bakal full set nggak sih?" Arum sudah tidak khawatir kalau sepupunya akan sedih. Binar malah tampak fokus menyimak set satu. Seperti pengamat voli. Tidak berkedip sama sekali.
"Biasanya kalau mereka ketemu full set. Lima set."
Sakha nimbrung setelah mereka diam beberapa menit. "Itu barusan kena anulir poinnya kenapa dah itu? Komentatornya Korea, kalau Binar mungkin ngerti dari permainannya, aku sama Arum masih ngang-ngong."
"Dia ngelakuin back attack tapi kakinya sebelum lompat nginjak garis. Nggak boleh. Harus di belakang garis pertahanan." Binar menjelaskan.
"Tapi sebelum itu kayaknya pemain Pink ada yang rambutnya kena net, kok poinnya nggak ilang?" Sakha jadi ketagihan tanya-tanya. Mumpung orangnya mau bicara.
"Pelatih sama pemain Hyundai nggak minta VAR. Wasitnya lengah."
"Oh gitu."
"Jeli juga kamu," puji Binar. Entah sadar tidak.
"Mata fotografer emang beda." Arum memberi jempol dan ringisan senang pada Sakha.
Tapi Sakha nyengirnya ke arah Binar.
Set satu dan dua selesai. Kemenangan sementara ada di Hyundai. Sakha meletakkan tangannya di punggung sofa. "Udah boleh sombong belum nih?"
Binar menoleh padanya. TV masih menayangkan iklan dalam bahasa Korea. "Belum. Siapa tahu kena comeback di set tiga."
"Pernah ketikung poinnya?"
"Semua kemungkinan ada."
Arum bangkit dari sofa. Membuka kulkas dan membawa banyak snack. Sakha ikutan berdiri. Mengambil tiga kaleng soda. Satu dia ulurkan ke Binar. Hampir dia bukakan sekalian tapi Binar menolak. Dari gerakannya membuka tutup kaleng barusan, tampak mudah sekali.
"Tangan kamu kuat dong, Bi? Coba geplak tanganku." Sakha menjulurkan satu telapak tangannya.
Binar mendongak. Dengan matanya, sepertinya coba mengumpati Sakha.
Sakha menunggu. Entah itu geplakan ringan atau kencang. Sebenarnya dia lebih tertarik mengajak Binar salaman. Tapi takut kena usir.
"Udah mulai. Kamu ngehalangin pandanganku."
"Oh, maaf." Sakha kembali duduk anteng di tempatnya semula.
Set tiga, Hyundai mulai kocar-kacir. Sakha pun gemas. "Lah ini kenapa tiba-tiba mainnya jelek gini. Tadi bagus. Wipawee malah ditarik keluar."
"Cedera bahunya belum sembuh total."
"Real Moma gendong timnya lagi."
"Kamu atau asistenmu yang sebenernya ngikutin liga voli?"
"Ya aku pernah ikut nonton sesekali. Pas masih ronde satu atau dua. Sekarang ronde berapa ya, Bi?"
"Empat kalau nggak salah."
Arum lama-lama jadi nyamuk. Tapi dia tidak keberatan. Justru senang Binar banyak bicara seperti ini. Sebelumnya dia tidak berani membawa-bawa topik voli ke dalam percakapan, bahkan menghindari channel yang sedang mereka tonton sekarang. Suka kelabakan sendiri bersama Ida ketika tidak sengaja muncul tayangan voli.
Ternyata tidak apa-apa.
"Menang, Rum. Jagoan kita menang!" Binar berseru dan mengajaknya melakukan tos.
Arum menyambut tos dan memeluk Binar dari belakang.
Sakha beranjak, mengambil tempat sampah. Membersihkan kulit kacang dan kuaci yang berserakan di meja dan sebagian berceceran di lantai.
"Gitu aja sedih." Binar menegur.
"Kasihan Moma."
Karena Arum fokus jadi nyamuk, jadi tidak menyimak penuh tiga set terakhir. Saat akhirnya poin Hyundai ditikung. "Kenapa kasihan?"
"Dia mulu yang dikasih bola. Kan capek. Mentang-mentang bayarannya paling mahal."
"Justru karena paling mahal, paling diandelin nyetak poin."
"Pemain asli Korea lebih mahal tuh."
"Kamu pengin digeplak tadi? Sini aku geplak bibirmu."
"Milihnya kenapa bibir sih?"
"Biar diem."
"Jangan digeplak. Aku diem mandiri aja."
Tiba waktunya Sakha undur dari rumah Binar. Ruang tengah sudah lengang.
"Mas Sakha! Mas Sakha!"
Arum heboh memanggil namanya. Intonasinya pelan tapi penuh semangat.
Sakha yang hendak menyeberang pulang, berhenti, menunggu hingga Arum tiba di hadapannya.
"Apa?"
"Makasih ya buat hari ini. Aku nggak tahu kalau Mbak Binar ...."
"Maksudnya trauma sama segala tentang voli?"
Arum mengangguk. "Selama ini kami nggak berani nyoba. Nggak berani bahas. Takut dia sedih."
Magrib sudah lewat. Sakha tidak bisa ngobrol banyak. Belum mandi. "Dia punya semacam wishlist, Rum. Aku nggak sengaja nemuin agenda yang dia buang."
"Oh ya?"
"Nggak sengaja baca."
"Isinya apa aja, Mas?"
"Aku nggak inget semuanya."
"Mas Sakha mau bantu wujudin satu per satu?"
"Kalau cukup waktuku di sini, aku pengin bantu."
"Salah satunya barusan? Nonton pemain favoritnya dia tanding?"
"Iya. Tapi kebetulan doang tadi. Aku nggak tahu ada jadwal voli sore ini." Sakha melirihkan suara. "Jangan kasih tahu Binar. Takut dia ilfeel."
"Nggak akan." Membuat gerakan menjahit mulut. "Tapi kalau ilfeel sih udah, Mas. Semenjak di rumah, dia nggak suka sama orang yang sok akrab. Biasanya suka nanya-nanya gimana kejadiannya kok bisa pake kursi roda."
"Sikap Binar bisa dimaklumi. Aku juga nggak betah sama orang-orang model begitu."
"Andai Mas Sakha datang lebih awal."
Sakha tertawa kecil. Mengibaskan tangan. "Nggak ada bedanya."
"Ada. Mungkin Mbak Binar udah bisa jalan lagi sekarang. Dia nggak akan berhenti terapi cuma gara-gara sedih mikirin orang itu."
Dahinya berkerut. "Orang itu di mana sekarang?"
"Sakha! Pulang, Nak. Kamu belum mandi."
Sakha melihat Ibu di ambang pintu. "Kanjeng Ratu sudah memanggil. Udah ya, Rum. Kamu nginep apa pulang?"
"Nginep."
"Jagain tuh bayi gedenya."
"Aku malah yang manja ke dia. Mas Sakha tahu? Dia dulu kapten di timnya. Masih kebawa sampai sekarang sikap mengayominya. Meski dia keadaannya begini, jangan salah. Dia paling nggak mau ngerepotin orang."
Sakha tersenyum mendengarnya. Lanjut pulang. Ibu menutup gorden di setiap jendela, samar mengomeli Sakha.
"Binar pasti kebauan sama kamu yang kecut. Tadi pamitnya mau main ke sungai lihat bocah main air. Tahunya muncul dari rumah depan. Ibu heran, kenapa kamu jadi sering gangguin Binar. Kamu suka dia, Ka?"
"Hm, apa?"
"Kamu suka Binar?"
Sampai di kamar, setelah menyambar handuk, Sakha mampir ke meja dan membuka lacinya. Mengeluarkan satu sobekan kertas berwarna kuning pudar. Mencoret angka empat.
"Belum, Bu."
"Belum?!"
"Maksudnya, enggak."
***
Ketemu lagi ... kapan nih? 🤣
Masukin ke library atau readlist ya, biar dapet notip. Makasiiy 🤗
Gak ada niatan bucin ke bang jhope, tapi napa jadi bucin gini aku. Tiap buka ytube nyarinya "jhope focus" 😭🤏 kalo ada army di sini, kalian liat dah itu bang jhope nyanyi bareng rapline yg judul Tear di konser Speak Yourself Japan. Doi pake kaos dior+belt auranya gilaa siang-siang😭😭
Selasa/15.05.2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top