39. Titik di mana kita belum ingin menyerah
Binar tidak ingat kapan terakhir dia pergi ke tempat Sakha.
Atau mengirimi lelaki itu pesan, yang kadang penting-kadang tidak, tapi dulu senang-senang saja ketika dilakukan. Dia juga tidak peduli apakah lelaki itu akan datang menonton pertandingan perdana Blue Phoenix atau tidak.
Binar hilang antusias atas kabar-kabar sederhana yang masih dan sering masuk ke notifikasinya.
Dia sudah berhenti melakukannya sejak bulan lalu. Berhenti ingin tahu tentang Sakha.
Selama itu pula, Sakha yang datang padanya. Yang mengiriminya pesan, menghujaninya dengan stiker-stiker lucu yang gagal membuat tertawa. Jika pesan berisi sesuatu yang penting maka Binar akan balas, lalu mengabaikan pesan-pesan lainnya.
Dia tidak memaksakan diri memaafkan Sakha. Meski melihat bagaimana Sakha mencurahkan, sebisanya, perhatian-perhatian dan waktu untuknya sebagai bentuk rasa bersalah.
Tidak kapok datang meski Binar bersikap jauh lebih dingin dari yang pernah Sakha temui.
"Arum ke sini lusa. Nginap seminggu. Sebaiknya kamu nggak datang."
"Oh, udah selesai KKN-nya?"
"Bawa juga sepatu kamu. Sama benda-benda kamu yang sering ketinggalan di sini."
"Siap."
Bedanya dengan yang dulu, Sakha yang sekarang tidak terlalu mendebatnya. Menghindari hal-hal kecil yang sekiranya membuat Binar sebal.
Yang tidak berubah adalah cerewetnya. Mereka hanya berdua dan setiap Sakha datang unitnya langsung dipenuhi polusi suara. Lelaki itu tidak peduli apakah Binar dengar atau tidak.
"Arum tahu kita ...?"
"Nggak."
Sakha nyengir. "Ibu ternyata bisa jaga rahasia."
Sebaiknya Arum memang tidak tahu. Binar akan pusing menghadapinya. "Bukan bisa jaga rahasia. Ibu tahu hubungan kita bakal memburuk. Buat apa dikasih tahu ke orang-orang."
"Aduh, counter-nya ngena sekali."
Setelah menutup laptopnya, Sakha mondar-mandir mengambil benda miliknya yang tersebar di unit ini. Binar mengawasi dari konter dapur dengan segelas air putih.
Lelaki itu semalam menginap di sini. Tidur di sofa. Bukan kali pertama, sebelumnya pernah beberapa kali. Binar sudah malas untuk mengusirnya setiap saat.
"Hari ini aku antar Naira ketemu dokter."
"Sakit?" sahutnya sambil lalu.
"Nah, kamu nggak dengerin apa yang kubilang kemarin." Sakha menunjuk akuarium kecil di meja samping televisi. "Haruskah rakyat-rakyat kita aku ungsikan juga, Bi?"
"Terserah."
"Aku tinggal deh. Tapi pastiin kamu rajin kasih makan ya. Pastiin juga Arum nggak apa-apain mereka."
Binar melirik dua ikan kecil di dalam akuarium yang dibawa Sakha ke sini bulan lalu. Entah apa maksudnya. Mungkin ingin menandai wilayah dalam bentuk ikan. Atau jadi teman ngobrol ketika menginap di sini. Binar pernah dengar Sakha mengajak mereka bicara tengah malam.
"Ikan sekecil itu digoreng juga sayang minyaknya."
"Betul."
"Tapi terserah Arum."
"Jangan dong, Biii."
"Kenapa? Kamu juga makan ikan. Nggak merasa berdosa, kan? Apa bedanya sama mereka? Ikan juga toh."
"Oke. Aku bawa mereka dulu."
"Bawa aja. Aku nggak ngalangin."
Sakha menyandang ransel di satu bahu, sedangkan tangan lain erat mendekap akuarium. Alih-alih segera pergi, lelaki itu terpaku memandangi Binar dari tempatnya.
Risi karena ditatap seperti itu. "Apa?"
"Kamu tumben banyak ngomong pagi ini."
"Karena perlu ngusir kamu."
"Counter lagi. 0-2."
***
Arum menggantikan Sakha jadi polusi suara di sini. Binar jadi tidak terlalu kesepian setiap membuka pintu. Bedanya, Sakha tidak membuat berantakan. Arum, ya, kalian tahu.
Baru dua hari tapi apartemen Binar seperti habis kena angin ribut.
Arum sungguhan tidak tahu tentang hubungannya dengan Sakha. Hanya bertanya satu kali saat itu, apa kemungkinan Sakha datang ke pemakaman Opa. Tanya seperti itu karena di sana ada Adam. Arum terlihat kesal dengan keberadaan lelaki itu tapi situasi membuatnya harus menahan diri.
"Mbak masih kontekan sama Adam?"
Mendengar pertanyaan ringkas dan to the point tersebut, tampaknya Arum ingin dianggap serius.
"Masih. Sesekali dia tanya kabar."
"Maksudnya apa, Mbak? Ada niat balikan, huh?"
"Apa aku terlihat bego di mata kamu, Rum?"
"Iya."
Anak ini makin berani. Mana tidak ada tanda-tanda ingin menarik kalimatnya.
"Urusan mantan aku nggak bego, Rum." Dia bodoh dalam urusan Sakha.
"Pasti sambutan Mbak ke dia ramah deh."
"Iya. Aku nari piring di depan Adam."
Arum menekuk wajah. Tidak tertawa. Padahal Binar sendiri ingin tertawa.
Kapan terakhir dia tertawa?
Ah, baru kemarin pagi. Saat Sakha pamit pulang. Lelaki itu tidak sengaja tersandung keset di dekat pintu. Akuarium tak pelak meluncur dari tangannya. Pecah seketika dan menimbulkan suara ribut.
Binar turun cepat dari kursi tinggi, melihat keadaan di depan pintu. Sakha yang setengah kuyup berusaha menangkap ikan-ikan yang menggelepar di lantai. Binar tidak fokus ke ikannya. Matanya mencari serpihan kaca akuarium, lalu bergantian mengawasi gerakan Sakha.
Setelah berhasil menangkap ikan-ikan, tanpa terkena gores pecahan, Sakha berlari ke dapur. Memberi penyelamatan darurat dengan memasukkan mereka ke gelas minum Binar.
Saat itulah Binar berbalik, menahan kedutan bibir. Melihat kepanikan yang sedikit menghibur. Dia lantas masuk kamar dan mengambil hair dryer. Saat keluar, Sakha sibuk membereskan kekacauan yang dia buat sendiri. Tinggal sedikit lebih lama karena harus mengeringkan bajunya juga.
Arum menggoyangkan tangan di depan muka Binar. "Kenapa kok tiba-tiba senyum sendiri?"
"Hm? Nggak."
"Mbak beneran nari piring?"
"Nggak!"
"Ya udah sih, hapus aja nomornya. Blokir langsung. Mantan yang pernah nyakitin kok malah dibudidaya."
Andai anak ini tahu ada yang lebih penting ketimbang mengomel soal Adam.
***
Apa yang Binar katakan ke Arum tidak sepenuhnya benar. Bukan sesekali Adam menghubunginya, tapi setiap hari. Binar pusing menghadapi dua manusia yang membombardir ponselnya pagi-siang-malam.
Tapi belakangan Sakha lumayan absen di notifikasinya. Menghilang seminggu karena Arum lalu keterusan hingga seminggu berikutnya. Dari akun Dito yang iseng dia jelajahi, Binar memastikan keberadaan Sakha yang memang di luar kota.
"Hai, Bin."
"Hai ...?" Binar terkejut menemukan Adam di koridor fakultasnya. Bukan kebetulan, kan?
"Kamu juga ambil kuliah lagi?"
"Jemput kamu."
"Aku nggak minta dijemput."
"Aku udah bilang di chat. Mungkin kamu lupa."
Binar melanjutkan langkah, diikuti Adam. Dia berterima kasih pada lelaki ini atas banyak bantuan yang diberi padanya ketika mengurus Opa yang terakhir kalinya. Tapi sama sekali tidak berharap hubungan mereka jadi dekat lagi.
Karena sudah jauh-jauh ke sini, Binar tidak menolak ikut di mobil Adam. Tapi seperti yang seharusnya, dia tidak terlalu tertarik menciptakan obrolan. Adam berusaha sendirian mencairkan suasana sebelum akhirnya menyerah.
Lelaki itu mengganti pertanyaan yang berhasil membuat Binar membuka mulut. "Kamu masih sama Sakha, Bin?"
"Masih."
"Aku kira dia bisa lebih baik dari aku. Tapi dia nggak ada waktu Opa—"
"Urusan dia baik apa nggak, nggak ada hubungannya sama kamu."
"Ada. Aku pengin menebus semua kesalahanku, Bin. Jadi aku peduli sama siapa kamu sekarang. Aku nggak mau kamu disakiti lagi."
"Baru sadar sekarang kalau aku nggak pantas disakiti?"
Adam terdiam selama sisa perjalanan. Saat tiba, masih bersikukuh mampir sebentar. Binar mengizinkan daripada ribut dan jadi tontonan orang di parkiran basemen.
Mereka hanya berdua di dalam lift yang bergerak ke lantai sebelas.
"Tapi aku boleh, buat berusaha lagi, Bin?"
"Hidupku udah rumit. Jangan coba-coba maju lagi, Dam. Perasaanku udah mati buat kamu."
Adam tersenyum tipis. "Tapi pastiin kamu nggak mengulang kesalahan. Pastikan pilihan kamu saat ini nggak bikin kamu kecewa."
"Makasih atas perhatian kamu. Aku percaya sama dia."
Lift terbuka. Terlihat Sakha yang menunggu di depan pintu unit Binar, menyandar di dinding dan sibuk menggulir ponsel. Kebetulan yang tidak terlalu menyenangkan kalau sampai terjadi keributan di sini.
Sakha menyadari lift terbuka. Dia menoleh ke sana, ke Binar yang sudah selangkah keluar dari lift, dan seseorang yang masih berdiri di dalam lift. Yang sengaja menahan pintu tetap terbuka.
Sakha melambaikan tangan ke Adam. Melempar senyum dan berniat menghampiri. Tapi Binar bertindak cepat. Dia maju dan menahan langkah Sakha.
"Bi, bentar. Aku mau bicara sama dia. Biarin aku—"
"Oleh-olehku mana, Yang?"
Yang? Sakha mengerutkan wajah. Bingung dan kaget. Sejak kapan ada panggilan Sayang di antara mereka. Tapi boleh juga meskipun sekarang untuk keperluan sandiwara.
Binar menipiskan bibir, matanya sedikit melolot. "Kan kamu dari luar kota."
"Oh. HAHA." Sakha merangkul Binar. Membawanya merapat ke pintu. "Kita lihat di dalam aja."
Binar menoleh sejenak. "Makasih udah diantar pulang. Semoga kamu sama Sienna sehat-sehat."
"Kamu juga."
"Sandinya kamu ganti," bisiknya. Lalu mengecup pipi Binar yang jaraknya begitu dekat. Bukan dalam rangka berakting seperti pasangan lovey-dovey demi mengusir mantan, tapi sungguhan kangen.
Dan mumpung ada kesempatan. Tidak mungkin Binar menggamparnya di saat Adam masih ada di sana.
Tapi hanya menunggu waktu. Lift menutup dan Sakha langsung dihempas. Dia yang tidak siap dengan gerakan cepat Binar, terdorong hingga punggungnya menabrak dinding.
Dengan raut datarnya, Binar membuka pintu.
Sakha segera mengikuti masuk. "Tahu bakal diginiin, aku cium bibir kamu sekalian. Nggak papa deh dibanting."
Tapi ketika Binar berbalik tiba-tiba, Sakha sontak berhenti. Dia mundur selangkah dan menciptakan jarak aman. Seketika lupa kalau perempuan ini mantan atlet voli, bukannya atlet MMA.
"Bi, mau adu panco?"
Binar sukses terperangah. Orang aneh. Malah mengajaknya adu panco. Harusnya tanya kenapa Adam bisa mengantarnya pulang.
"Muka bengong kamu selalu gemesin. Mikir apa sih, Yang?" Membaca mimik wajah Binar. "Oh, yang barusan. Aku percaya sama kamu. Nggak perlu ya aku tanya kenapa dia muncul di sini. Mantan tobat terus minta balikan nggak cuma dia doang."
"Tapi banyak yang berhasil juga."
Sakha terbatuk. "Udah 0-3 aja, Bi. Ampun jangan main ulti dulu. Aku laper. Dari bandara langsung ke sini."
Binar menyalakan televisi. Melihat lelaki itu menguprek dapur, yang mana sudah jadi kebiasaannya setiap ke sini. Mendadak jadi orang lapar yang tidak makan berhari--hari. Entah cuma alasan biar tidak langsung kena usir atau apa.
Karena tidak menemukan apa-apa di kulkas, Sakha hanya membuat mi rebus. Binar sepertinya memesan katering di restoran depan gedung. Ada kartu nama resto tersebut di meja dapur.
"Aku punya rekap kabar buat kamu. Harus mulai dari mana dulu? Hmm." Mengetuk jari di meja konter, di sebelah mangkok yang sudah tandas isinya dalam semenit.
Suara televisi yang tadinya sedikit kencang berganti samar-samar. Sakha tersenyum, menganggap jika Binar bersedia mendengarnya.
"Seminggu pertama kerjaanku cuma di dalam kota, jadi bisa bolak-balik antar Naira ketemu dokter. Minggu kedua aku keluar kota. Aku ngabarin kamu meski cuma kamu read."
Binar menoleh dan hanya mengangkat satu alisnya.
Sakha coba mengartikan. "Naira ngebolehin? Boleh. Dia agak membaik meski belum banyak. Asal aku setor muka aja ke dia. Asal aku bisa dihubungi."
Lanjut menjelaskan ketika Binar terlihat tidak mau berkomentar. "Dokter bilang Naira punya attachment issue dan anxiety. Kenapa baru sekarang bawa dia ketemu psikiater? Dia yang akhirnya mau. Mama dan aku udah pernah bujuk tapi dia justru nangis histeris. Dia bilang bakal berusaha sembuh sendiri dulu. Aku coba dukung, dengan pulang ke rumah dan sering-sering ada di rumah. Nurutin semua yang dia mau. Mama juga demikian. Jaga mentalnya stabil biar nggak sampai nyakitin diri sendiri lagi."
"Kegiatanku bakal seputar antar dia terapi dua kali seminggu. Antar dia jalan. Antar main-main. Lupain soal dia yang pengin kerja. Untungnya yang ini mau dengar dan nunggu sampai dia sembuh. Mama bilang kayak ngerawat Naira versi lima tahun. Padahal pas aku ketemu di umur sepuluh, lucu anaknya. Tapi kehilangan Papa jadi pukulan terberat buat dia. Awal mulanya dari sana. Nyari-nyari sosok Papa di aku. Aku yang tinggal lama di rumah itu, emang otomatis punya beberapa sifat Papa."
"Kita sama-sama tahu rasanya, Bi. Kehilangan sosok Papa. Terlebih kamu. Tapi kamu bisa mati-matian tegar melanjutkan hidup."
"Mungkin aku yang salah. Aku nggak becus jagain dia dan Mama. Sampai akhirnya malah rumit gini. Lalu nyeret kamu."
Dan ini yang pernah Sakha takutkan, tapi tetap dia lakukan. "Aku terburu-buru bawa kamu ke hidupku. Tanpa nyiapin parasut atau apa. Aku biarin kamu terjun bebas sendirian."
Lengang. Binar tidak lagi menoleh dan memberi reaksi. Lempeng ke layar televisi.
"Bi, kamu masih dengerin aku ngomong? Apa udah tidur? Drama mana yang kamu tonton sih kok serius amat? Oppa-oppa korea itu lagi? Kamu lucu. Calon warga Korut tapi nontonnya drama Korsel. Oppa Jong Un nanti marah."
Mengabaikan lelucon itu, Binar akhirnya bicara. "Berguna buat orang lain itu perlu, apalagi keluarga, tapi pastiin kamu nggak capek sendiri. Kamu nggak kehilangan apa-apa. Nggak kehilangan diri sendiri."
Kehilangan diri sendiri.
Sakha tersenyum meski Binar tidak menoleh padanya. "Iya. Aku bakal ingat baik-baik. Makasih, Mah, masukannya."
Bisa-bisanya memanggilnya dengan Mamah Dedeh lagi.
"Kamu pengin gantian cerita, Bi?"
"Nggak. Males ngomong."
Sakha mencuci mangkok serta panci yang dia pakai. Memastikan sekali lagi dapur kecil itu sudah bersih dan rapi. Lalu memakai lagi jaketnya.
"Keluar sebentar ya. Kalau sejam belum balik, panggil ultraman. Aku mungkin disandera—"
"Naira."
Sakha tertawa kecil mendengar nama itu disebut dengan intonasi sarkas.
Binar tidak sempat tanya hendak ke mana. Orangnya sudah melesat menutup pintu.
Tidak sampai satu jam lelaki itu sudah kembali. Membawa kantong belanjaan. Sekalian mengaturnya ke dalam kulkas.
Binar membiarkan. Mendengar senandung lirih serta bunyi benda beradu ketika ditata.
Dia harus akui, ketimbang dirinya, lelaki itu lebih bisa mengerjakan apa-apa dengan baik. Juga keberadaannya yang mampu mengisi tempat-tempat kosong.
Kadang seperti melihat sosok Ayah yang Binar tidak punya. Kehadiran yang memberi rasa aman dan tenang. Atau seperti seorang Ibu, yang berisik tapi penuh perhatian.
Hal-hal kecil yang akan dia rindukan nanti. Ketika mungkin hubungan ini tidak selamat.
Bukan hanya Sakha yang terburu-buru, kan? Binar juga yang tergesa melangkah masuk ke hidup Sakha. Padahal badainya belum selesai.
Jadi di titik ini, titik sekarang, Binar belum ingin menyerah. Masih mengulur sedikit waktu, menunggu sebentar lagi, apakah hatinya bisa memaafkan dan memaknai kehadiran lelaki ini lebih dalam.
Andaikata nanti tidak sanggup, Binar akan berpamitan dengan layak.
***
Kamu tim Binar stay, atau tim Binar pamitan? 😭👋
Selasa/10.09.2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top