38. Hilang-kehilangan


Beberapa hari berlalu dari malam yang Naira ingat sebagai pertama kalinya Sakha marah.

Entah bisa disebut marah atau bukan. Sakha menyusulnya ke kamar, meminta maaf karena sudah membentak, dan tidak coba menyalahkannya. Tidak coba mengungkit apa pun. Apalagi menyebut nama perempuan itu.

Lalu besoknya Sakha tetap muncul di rumah ini. Membawa koper besar dan memindahkan baju-baju ke dalam lemari. Seakan tadi malam tidak terjadi apa-apa. Seolah akan tinggal di rumah ini dalam waktu yang lama.

Naira belum sepenuhnya percaya. Dia yakin besok lusa Sakha akan lelah sendiri, mengabaikan keluarga ini dan memilih perempuan itu.

Namun, yang tidak bisa dipungkiri, rumah ini mendadak hidup kembali. Setelah kelam yang cukup lama.

Ada yang menemani Mama membuat pesanan kue di dapur ketika malam. Kadang Naira urung turun, pilih berhenti di tengah anak tangga dan duduk mendengarkan Mama yang hanya lancar bercerita jika dengan Sakha.

Semua seperti kembali semula. Seperti saat Sakha masih tinggal di sini, melakukan perannya dengan baik, dan sebelum Naira begitu serakah ingin memiliki Sakha.

Minggu demi minggu berlalu, tidak ada yang berubah. Kakaknya selalu pulang ke rumah ini. Tidak pernah absen di dapur Mama kecuali diusir karena terlihat kelelahan.

"Mas Sakha mau bikin apa, Ma? Mondar-mandir ke balkon atas."

Mama menyerahkan nampan berisi teh dan kudapan ke tangannya. "Antar ini ke sana dan lihat sendiri."

Naira menurut. Pintu menuju balkon setengah terbuka, memperlihatkan punggung Sakha yang menghadap ke dinding pembatas. Naira hampir mencapai ambang pintu.

"Haruskah aku kuliah lagi? Ambil jurusan yang sama kayak kamu."

Kakinya berhenti melangkah.

"Aku belajar ya, bukan main di playground." Ngapain ajak anak kecil."

"Sekolah kalau sama gebetan aja jadi semangat. Apalagi sama aku."

"Yang ada diusir dari kelas gara-gara berisik."

"Hari pertamamu gimana? Ada anak kelas yang usil ke kamu?"

"Aman. Kabar Naira sama Mama kamu baik?"

"Baik. Naira lusa mau interview. Dia mau nyoba kerjaan lain selain terbang. Doain keterima, Bi. Biar dia rajin bangun pagi lagi."

"Ikut seneng dengernya. Kamu nggak maksa-maksa dia, kan?"

"Nggak. Aku sama Mama santai kok. Asal dia rajin makan kami udah seneng. Kurus banget akhir-akhir ini. Kami nggak tahu kalau udah apply-apply. Kaget semalam tiba-tiba bilang mau kerja dan keluar dari goa."

"Kesambet apa jam segini udah bangun, Nai?"

Saat itulah Sakha menoleh. Mendapati Dito dan Naira berdiri di balik pintu kaca yang terbuka separuh.

Naira mendecak sebal ke Dito, lalu melangkah keluar. Menaruh nampan yang dia bawa ke meja kecil. Kemudian melirik layar ponsel kakaknya yang sudah menampilkan menu home.

"Mama suruh antar ini."

"Si Tante tahu aja gue belum sarapan." Dito mencomot ubi goreng dan duduk di kursi besi.

Sakha mendekat. Alih-alih mengambil teh atau ubi, tangannya meraih ponsel. Mengeceknya sebentar sebelum disimpan ke saku. Naira memperhatikannya diam-diam. Menangkap senyum kecil superkilat yang Sakha kira orang lain tidak menyadarinya.

"Udah gue bersihin. Sisanya gue serahin ke lo, Dit. Gue bantu bukain tutup catnya aja."

"Mau diapain dindingnya?" Naira memandangi dinding balkon yang cemong-cemong. Cat lamanya selesai dikelupas.

"Abang lo pengin ngasih mural. Berhubung nemunya vendor mahal, jadilah nepotisme ini terjadi."

Sakha menendang pelan betis Dito. "Balikin duit yang gue transfer kemarin."

"Hei, jangan. Udah lewat buat beli tiket presale babak pertama bulan depan. Gue mau lihat Luna tanding. Lo mesti ikut, Nai. Binar nggak ada sih kalau lo males ketemu dia. Dia sibuk jadi maba."

Sakha membiarkan Dito bicara sesukanya.

"Lagian dia kalau mau nonton nggak usah tiket-tiketan segala. Tinggal melipir gabung ke bench."

"Ini mau nonton apa? Voli ya?"

"Bukan. Gue lagi ngoceh soal sabung ayam."

Naira merengut dan Sakha tertawa. "Naira ikut, gue ikut."

"Kalian nggak bisa milih. Tiketnya udah kebeli tiga."

Mural selesai dalam dua hari karena dikerjakan selonggarnya Dito. Santai seperti menggambar di dinding rumah sendiri.

Naira kerap menunggui Dito yang bekerja, kadang hingga larut malam. Mereka jarang bicara karena sering berakhir cekcok. Tapi Naira betah duduk di sana. Di kursi yang dulu sering digunakan Papa untuk mendengar anak-anaknya bercerita.

"Kenapa gambarnya juga bunga matahari?"

"Abang lo yang minta."

Naira menoleh ke sudut balkon. Ada lima pot bunga matahari yang sudah mekar, berbaris di dekat besi pembatas. Dibeli Sakha belum lama ini.

"Dia terobsesi sama warna kuning juga akhir-akhir ini. Ada hubungannya kali sama Binar." Dito menghentikan gerakan kuasnya, menoleh demi memergoki ekspresi Naira saat nama itu sengaja dia sebut.

Memang kentara sekali perubahannya. Dito betul-betul pusing kalau jadi Sakha. Kapan bisa bahagia. Jika beban bernama Naira memilih bebal.

"Kok diem?"

"Dari tadi kan diem."

"Hati lo masih sakit denger nama itu?"

"Jangan sok peduli."

"Biar gue lurusin ya. Gue pedulinya ke abang lo, bukan ke lo, Nai. Berhubung dia sayang sama lo, ya gue juga."

Naira melepas satu sandalnya. Melempar ke punggung Dito. "Tarik lagi omongan lo!"

"Nyenyenye." Meledek dan kembali bekerja.

Tapi tak lama dia terpingkal. Sandal kedua yang dilempar padanya, meleset dan masuk ke kaleng cat.

Dito mengambil sandal pertama di dekat kakinya. "Biar nggak iri." Enteng menyeburkannya ke kaleng cat yang sama.

"Mas Sakhaaaa!"

"Ngadu lo sana. Ngadu doang lo bisanya. Mentang-mentang punya abang."

"Tuh, kamu dipanggil." Mama terkekeh mendengar keributan setiap dua anak itu ditinggalkan berdua.

Sakha sedang mengukur air untuk memasak nasi dengan jari telunjuk. "Heran. Dari kecil nggak pernah akur."

***

"Cowok yang di Bali waktu itu ... ke mana? Kok nggak pernah kelihatan lagi."

Binar tidak ada kelas sore, jadi iseng mampir ke markas Blue Phoenix. Mereka selesai latihan dan salah satu menghampiri Binar yang duduk di tribun kosong. Yang lain menyapa dengan lambaian tangan. Binar juga tidak berharap dihampiri terlalu banyak orang saat ini.

"Ada kok. Nggak mungkin gue bawa ke mana-mana."

"Tapi tiap gue ketemu pasti lo lagi sendirian. Dan ini, lo sering ke sini belakangan."

"Ya dia sibuk. Punya dunianya sendiri." Binar terkekeh. "Masih pacaran, Lun. Apa sih yang diharapkan? Ke mana-mana selalu berdua? Yang nikah aja nggak begitu."

"Kalian lagi LDR emangnya?"

Kalau dipikir juga lucu. Tapi ini keputusan mereka bersama. Meski pada kenyataannya, ketika dijalani, bertemu seminggu sekali itu tidak cukup. Apalagi kalau seringnya gagal bertemu.

Ada kalanya Sakha punya pekerjaan di akhir pekan. Atau acara orang rumah; ulang tahun Mama Erina, tahlilan Om Aryo, atau Naira yang tiba-tiba mengajak liburan keluarga. Naira yang ini dan itu. Naira yang banyak bergantung ke Sakha.

Di paruh tahun pertama hubungan mereka, barangkali memang jatahnya Binar untuk banyak mengalah.

"Sori kalau ungkit hal ini, tapi gue harap nggak keulang lagi kejadian Adam."

"Masalahnya aja beda, Lun. Kali ini lebih apa ya, nggak bikin capek tapi juga nggak lebih baik dari sebelumnya. Rasanya tenang kalau inget gue punya dia. Tapi kadang pengin dia sering muncul. Terus bebas gue cariin kapan pun." Mengibaskan tangan. Kenapa jadi ujung-ujungnya mengeluh.

"Intinya, masih bisa gue atasi."

"Kuat-kuat, Bin."

"Kuatlah. Semua cobaan udah gue cobain, Lun."

"Yaa bukan berarti lo boleh terluka lagi."

"Sakha nggak melukai gue."

"Dulu tampang kayak Adam juga nggak ada yang ngira bisa brengsek dan melukai lo. Eh, setelah minta maaf ke lo, nggak nongol lagi kan si Brengsek?"

Binar menggeleng. "Adam kayaknya berubah lebih baik. Buktinya dia sayang dan mau ngerawat anak dari mantan istri."

"Jangan tergiur sama mantan yang udah tobat."

"Astaga, nggak ya. Ngawur banget. Sakha jauh lebih baik dari dia."

Luna mengalihkan. "Nanti ada acara makan malam tim. Ikut yuk?"

Binar menyalakan layar ponsel yang sejak tadi dalam genggaman. Daya baterainya tersisa 2% tapi panggilan atau pesan yang dia tunggu tidak pernah muncul. Bukan dia tidak menghubungi Sakha lebih dulu. Sudah dia lakukan.

"Salamin sama anak-anak. Gue gabung next aja." Lalu Binar pamit.

Dia tidak mampir ke mana-mana. Langsung pulang ke apartemen. Kalau-kalau Sakha sudah menunggu. Lelaki itu senang muncul tiba-tiba tanpa mengabari lebih dulu. Tahu-tahu menyambut di belakang pintu.

Mereka saling berbagi sandi apartemen, dan Binar tidak keberatan ketika tahu sandi milik Sakha. Tanggal ulang tahun Naira. Sakha pun cerita bagaimana bisa sandi tersebut digunakan sampai sekarang.

Binar paham. Ada beberapa hal yang ketika dirinya masuk ke hidup seseorang, tidak lantas semua berubah menjadi tentang dirinya. Ada yang tetap dibiarkan seperti seharusnya.

Binar sudah setengah langkah memasuki lobi gedung apartemen. Tapi yang dia temui di lobi justru orang berbeda. Langkahnya surut ketika mendengar namanya disebut, ditanyakan ke petugas lobi.

Menyadari kedatangan Binar, lelaki itu menoleh dan berbalik. Menghampiri Binar dengan gestur tergesa dan panik. "Syukur kamu belum pindah apartemen. Pihak panti nggak bisa menghubungi kamu."

Tunggu. Panti asuhan yang dulu kerap Binar kunjungi? Atau panti tempat O—

"Opa masuk rumah sakit. Panti hanya bisa menghubungi salah satu nomor darurat. Kamu ingat, nomorku yang itu—"

Binar tidak menunggu kalimat Adam selesai. Dia berbalik cepat. Mengeluarkan ponsel dan mencari taksi yang bisa membawanya ke sana.

"Sebelah sini. Aku antar." Adam menangkap tangan Binar. Menarik pelan dan membawa Binar yang linglung ke arah basemen. "Sama aku aja, Bin."

Binar mengiakan tanpa berpikir. Situasinya mendesak untuk berpikir apakah sampai harus merepotkan Adam. Yang terlintas hanya bagaimana caranya bisa menemui Opa secepat yang dia bisa.

Tangannya yang gemetar coba menelepon Sakha saat mobil Adam membelah lalu lintas, menuju tol luar kota. Ketika tidak kunjung diangkat, Binar mengirim dua pesan singkat sebelum benda itu sekarat.

***

Opa tutup usia.

Sakha mendengar kabar itu di hari berikutnya. Ibu mengabari dengan suara yang setengah marah. Kenapa ponsel Sakha tidak bisa dihubungi sejak kemarin sore, justru di situasi yang penting.

Dia sempat menjelaskan jika ponselnya mati total terkena air. Tidak tuntas karena Ibu sibuk melaporkan keadaan Binar, yang sudah bisa Sakha bayangkan sehancur apa.

Begitu suara Ibu tidak terdengar lagi, ketika Mama masih diam prihatin dengan kabar tersebut, Sakha menoleh ke Naira yang ikut mendengar dan mengetahui kabar yang disampaikan Ibu.

"Nai, kamu diantar Dito ya."

"Nggak mau."

"Aku drop kamu di tempat interview, lalu aku suruh Dito buat datang. Dia libur hari ini."

"Mas Sakha udah janji."

"Ayolah, Nai. Dito bakal nungguin sampai kamu selesai kok."

"Kakakmu benar, Nai. Atau sama Mama ya. Biar Mama siap-siap sekarang." Mama sigap melepas celemeknya, bersiap masuk kamar untuk ganti baju.

Tapi baru saja Mama maju selangkah, Naira bergerak cepat menghadang pintu utama. Tangannya menyambar vas kaca di meja ruang tamu. Menggunakannya sebagai ancaman.

Mama tersentak memegang dada. Terkejut melihat apa yang dilakukan putrinya. Ketakutan timbul perlahan di sepasang mata teduhnya.

Berbanding terbalik dengan Sakha yang berusaha tetap tenang. Meski gambaran-gambaran mengerikan terbentang di benaknya.

"Mas harus tepati janji. Mas nggak boleh pergi!"

Mama menghela napas kasar. Bersiap maju untuk merebut vas tersebut. Tapi kalah cepat dengan Naira yang membenturkan vas itu ke dinding. Membiarkan air dan beberapa tangkai bunga mawar terberai di lantai. Sementara tangannya masih memegang setengah pecahan vas. Sama sekali tidak gentar apalagi berniat mendengar bujukan apa pun.

Sakha menahan lengan Mama sebelum situasi jadi runyam. Membuat keputusan cepat dengan memberi anggukan ke Naira. "Ayo lanjut siap-siap. Aku janji nggak akan ke mana-mana selain pergi antar kamu."

Mama menatap putranya penuh rasa bersalah. Kemudian luruh ke lantai dengan lengan yang masih digamit Sakha. Tangisnya tidak bisa lagi dibendung ketika Naira sudah masuk ke kamar untuk bersiap.

"Ma, katanya ada pelanggan yang ambil kue pagi ini." Sakha berjongkok di samping Mama, menghapus pipi basah itu dengan ibu jari.

"Pergi saja dari rumah ini, Sakha. Jangan pedulikan kami," katanya lirih tapi penuh penekanan.

Sakha menggeleng.

"Mama bantu bereskan baju-baju kamu. Jangan khawatirkan apa-apa. Pergi temui Binar sekarang. Naira biar Mama yang urus. Dia bukan tanggung jawab kamu."

Bagaimana bisa bukan? Sakha menghabiskan sebagian besar umurnya di rumah ini, alih-alih rumah Ibu. Dia diselamatkan dan pernah tumbuh baik di sini. Dia terikat bukan hanya dengan rumah ini, tapi juga orang-orang di dalamnya.

Dia percaya ada saatnya nanti Naira akan kembali seperti dulu.

Sakha membawa Mama bangkit dari lantai, mendudukkannya di kursi dan mengambilkan segelas air putih.

"Sakha."

"Aku bisa temui Binar besok, Ma."

***

Sakha tidak bisa datang ke rumah lereng bukit. Hanya bisa menemui Binar di unit apartemen milik perempuan itu beberapa hari setelahnya.

Dia sudah mengantisipasi kemarahan seperti apa yang akan dia hadapi.

Bohong. Dia sebenarnya tidak benar-benar siap. Dia tidak punya muka untuk bertemu Binar dan bertanya seperti apa kondisinya.

Binar sepertinya juga baru sampai. Masih mengenakan outer-nya. Rambutnya tampak berantakan. Wajahnya masih sembap. Mungkin sepanjang jalan terus menangis.

Kemarahan Binar bukan sesuatu yang meledak-ledak. Bukan berupa bantingan barang. Atau tangisan yang meremas hati. Tapi diam yang tenang, yang sanggup membuat sekujur tubuh Sakha kebas. Seperti sekarang.

Mereka duduk di kursi yang berbeda. Sakha terpekur di sofa. Binar duduk di kursi yang menghadap ke jendela yang terbuka satu, memunggungi Sakha. Menatap hari yang beranjak sore dengan semilir angin yang sama sekali tidak membantu. Dia tetap merasa sesak.

Binar marah ketika melihat Sakha. Tapi sial, dia juga sangat mengerti kenapa lelaki itu tidak bisa datang tempo hari. Seolah tidak perlu berpikir keras untuk tahu.

Selain marah, Binar juga lelah. Semua perasaan bergejolak penuh di dada. Dia ingin Sakha pergi dan datang lagi ketika hatinya sedikit sembuh. Sehingga dia tidak perlu mengatakan apa pun yang mungkin menyakiti Sakha sekarang.

Tapi baiklah, karena lelaki ini bersikeras tidak mau pergi, mari lihat sejauh apa Binar bisa menyakitinya dengan fakta-fakta yang dia miliki.

"Selain kalian, Opa jadi salah satu sumber kekuatanku buat rajin terapi. Aku datang ke panti lebih sering. Ketawa sama Opa lebih sering. Dengerin cerita yang selalu diulang. Atau mengenang mendiang Oma sama-sama, mendiang mama-papaku. Banyak yang aku lakukan bersama Opa sebelum aku normal kayak gini. Aku juga pengin bawa kamu ke Opa lagi karena pertemuan pertama kalian belum berkesan. Tapi kemarin justru Adam yang nemenin aku ke sana. Tadinya kupikir kamu bisa menyusul."

Sakha masih diam mendengarkan.

"Pihak panti hanya bisa menghubungi Adam. Lucu, bukan? Aku dulu kayak orang gila nyari dia. Tapi sekarang nomornya aktif lagi dan entah sejak kapan. Karena dulu dia akrab dengan Opa, nomornya jadi kontak darurat kedua. Aku bersyukur Adam ada di saat aku bingung. Dia juga tinggal, bantu aku ngurus kepulangan jenazah Opa ke rumah."

Sakha seketika merasa jadi manusia paling tidak berguna. Bahkan mantan yang menyakiti Binar, masih memiliki fungsi. Lalu dia harus menyebut dirinya apa? Yang merasa bangga karena berhasil memiliki hati Binar tapi gagal menjalankan perannya. Tidak ada di samping Binar saat perempuan ini butuh kehadirannya.

"Opa nggak sakit apa-apa, penjaga panti bilang dehidrasi. Aku pikir saat tiba di sana, masih bisa ngobrol dan jagain Opa. Tapi Opa udah kesulitan bicara, keadaannya memburuk saat aku tiba di sana. Kamu tahu apa yang Opa patah-patah katakan sebelum pergi?"

Sakha mengangkat wajah. Memandang punggung Binar dengan perasaan getir.

"Opa ingin melihat cucunya menikah. Tapi aku nggak bisa wujudin, atau setidaknya kasih kepastian biar Opa lega. Kamu nggak di sana. Kamu nggak datang saat Opa dimakamkan. Aku nunggu kamu. Berharap kamu muncul di menit terakhir. Mungkin kita bisa ... kita bisa menikah di depan jenazah Opa."

"...."

Suaranya yang tenang mulai bergetar. "Bahkan untuk sekadar bilang 'tenang Opa, jangan khawatir, aku punya Sakha'. Aku nggak berani."

"...."

Binar sampai di ketakutan terbesarnya. Tarikan napasnya terdengar berat. "Gimana kalau ternyata aku gagal lagi."

"...."

"Mungkin aku juga salah dalam menilai diri sendiri. Aku nggak sekuat yang aku kira. Aku nggak sesabar yang aku sangka. Aku nggak cukup punya hati yang lapang buat nunggu sampai keadaan kamu membaik."

"Binar."

"Jadi, Sakha ... kalau kamu pengin pergi sekarang, silakan. Ini juga nggak mudah buat kamu. Bisa jadi kamu akan kehilangan mereka. Nggak sebanding, Sakha. Nggak sebanding kamu mempertahankan satu orang lalu kehilangan dua orang yang berjasa dalam hidup kamu."

Sakha bangkit dengan segala ketakutan yang  menyeruak. Mendekati Binar yang bergeming, kehabisan kata-kata, tercekat.

Dia berlutut, mengambil jemari yang terasa dingin untuk digenggam hati-hati.

Lalu Sakha luruh dan menumpukan kening di lutut Binar. "Aku minta maaf, Bi. Benci aku tapi jangan suruh aku pergi."

Binar menunduk. Gerakan kecil yang membuat gumpalan yang dia tahan akhirnya tumpah seketika. Berebutan jatuh di atas punggung tangan Sakha.

"Aku pengin tinggal. Aku nggak bisa pergi, Bi. Izinkan aku tetap tinggal."

***

Tersisa: 39, 40, sama epilog~

Aku nangis pas nulis chapter ini. Nangis pula pas ngedit😭👊

Semangat yha. Besok senin😭🤝

Minggu/08.09.2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top