35. Karena kita belum 'selesai'
"Selamat pagi, Bu. Suaminya disuntik dulu ya."
Sakha menoleh ke pintu, menghela napas. Dan terjadi lagi.
Dia menatap suster yang mendorong troli tersenyum ke Binar, kemudian juga ke dirinya. Mungkin sudah SOP menyapa pasien harus begitu. Tidak cukup hanya senyum dan selamat pagi-siang-malam.
Atau mungkin pasien dan penunggu di kamar ini dianggap punya aura pasangan suami-istri. Suster yang masih muda ini kebanyakan menonton drama sepertinya.
Dari kemarin Binar juga tidak berniat meluruskan, hanya diam dan membalas senyum sang suster.
Maka Sakha yang melakukannya. "Tapi kami bukan suami-istri lho, Suster." Ekor matanya melirik Binar yang duduk bersedekap, tampak tenang di sofa. Seperti menunggu Sakha akan mengoreksi sejauh mana.
"Iya, Pak. Saya tahu."
"Maafin ya, Sus. Dia kaku orangnya. Nggak bisa dibercandain dikit."
Fitnah dunia macam apa ini?
Sakha meluruskan lagi. "Saya sama dia temenan dari kecil, Sus. Emang mungkin kelihatan deket tapi arahnya nggak ke sana."
"Oh, belum. Ya semoga lancar ya, Pak. Resepsinya mau sekalian di Bali?"
Sakha melongo.
"Saya ada rekomendasi beberapa tempat bagus. Yang banyak orang belum terlalu tahu."
"Nggak, Sus. Rencana di kampung halaman kami." Binar menyudahi koreksi Sakha yang sia-sia.
Suster tersebut tersenyum, selesai menyuntik dan berlalu.
Sakha menyipit ke arah Binar. Melayangkan protes yang tidak berani disuarakan karena sekarang Binar mode melawan. Tidak ada yang tahu kalimat mana yang akan Binar lempar padanya.
Sebaiknya Sakha antisipasi dengan tidak memancing candaan tepi jurang yang biasanya mudah lolos begitu saja tanpa beban. Balasannya lebih pedih ternyata.
"Kamu lagi mikir apa?"
Sakha tersadar. "Hm? Enggak lagi mikir apa-apa."
"Aku sih bebas mau pakai adat apa."
Kan. Apa Sakha bilang.
"Minta maaf ya, Bi, kalau aku banyak salah. Aku minta maaf pokoknya."
Binar tergelak melihat kekalahan Sakha. Kemudian turun ke lobi mengambil baju ganti yang diantarkan temannya.
***
Sakha pulang setelah tiga hari dua malam menginap di rumah sakit.
Binar yang siaga menemani bahkan yang mengurus administrasi. Dia jadi tahu isi dompet Sakha meski tidak berminat mengabsen semuanya, hanya mengambil salah satu kartu debit. Lelaki itu yang menyerahkan sendiri dompet padanya. Melarang Binar mengeluarkan uang pribadi sekalipun bisa diganti nanti.
Dan Binar tersenyum melihat foto Tante Retno ada di salah satu slot penyimpanan.
Sakha menerima kembali dompetnya. Mereka sedang menunggu jemputan sopir Pak Bagus di kursi lobi.
Selama tiga hari ini Sakha jadi banyak mengenal sisi lain Binar. Yang kalau susah tidur punya jurus menggerakkan telunjuk di depan mata sampai pusing sendiri. Yang habis mandi tidak lekas mengeringkan rambut. Yang makan ayam ternyata tidak bisa bersih, tersisa banyak daging di tulang.
Lalu mereka sempat berdebat masalah per-ayam-an. Gara-gara Binar sering memesan bagian dada tanpa tulang.
"Apa enaknya daging tebel gitu, Bi?"
"Apa enaknya gigitin tulang?"
"Bagian paha paling juara. Dagingnya juicy."
"Eh, ini gigiku ya, mulutku juga. Terserah aku kalau suka dagingnya doang."
Binar masih sama seperti perempuan kebanyakan. Kalau kalah dan malas berdebat lagi langsung defensif dan sensitif. Sakha ingat baik-baik untuk tidak membahas ayam lagi di masa depan. Atau sesekali digunakan untuk meledek sepertinya seru.
Keadaan Sakha sudah membaik, tapi Binar tetap mondar-mandir ke kamar yang ditempatinya setiap satu jam sekali.
Pertanyaannya setiap menguak pintu;
"Kamu bosen nggak? Mau aku cariin film bagus? Suka genre apa?"
"Atau komik? Temen kamarku bawa. Kamu suka komik atau novel?"
"Kamu udah minum obat?"
"Kamu lagi pengin makan apa? Sebutin, aku bikinin. Aku bisa masak kalau ada niat."
Persis ibu hamil yang ditanya ngidam apa. Sakha cuma diare, sudah mendingan, dan hanya ingin tidur. Selama di rumah sakit tidurnya tidak nyenyak. Dia kerap terbangun dan memperhatikan wajah tenang Binar yang tertidur di sofa atau kadang di sisi ranjang dekat lengannya.
Makanya dia masih mengantuk sekarang. Tapi gagal tidur karena sebentar-sebentar Binar muncul.
"Gimana kalau kamu masuk terus tutup pintunya, Bi?" Sakha yang mulai lelah melihat tingkah Binar.
Bukan kesal. Sakha hanya gemas.
Dia menghitung di dalam hati. Menunggu Binar yang masih menyandar di kusen pintu. Mengantisipasi keputusan mana yang diambil perempuan itu.
Oke. Sesuai dugaan. Binar melakukannya. Melangkah masuk dan tidak cuma menutup pintu, tapi juga menguncinya. Ini yang di luar dugaan.
Sakha yang berbaring di kasur, berubah meringkuk dan menyilangkan kedua tangan di dada. Memasang wajah takut. "Tolong aku jangan diapa-apain."
Binar tertawa dan duduk di kaki ranjang. Mengeluarkan kutek dari saku celana pendeknya. Cobaan betul, Sakha mesti lihat pemandangan kaki mulus Binar. Apalagi ketika kaki itu setengah diluruskan di sisi ranjang saat dipakaikan kutek.
Sakha pilih menimpa wajah dengan bantal daripada pikirannya makin ke mana-mana.
Mendadak tawa Binar terdengar lagi. "Sori, sori. Udah aku tutupin pake selimut."
"Temen-temenmu pada ke mana?" Sakha menyingkirkan bantal. "Kayaknya gabut bener nyamperin ke sini terus."
"Ngumpul di sebelah kok. Bakar-bakar. Mau nggak? Aku ambilin yang nggak pedes kalau mau."
"Aku cuma pengin tidur bentar."
Binar mengerti dan langsung diam. Melanjutkan kutek di jari tangan sambil sesekali melirik Sakha yang sungguhan tidur.
Selesai mewarnai jarinya, Binar punya waktu untuk mengamati wajah polos itu. Sekuat tenaga menahan keinginan untuk mengusap kepala Sakha, takut membangunkan. Jadi hanya iseng menyandingkan telapak tangan di dekat tangan Sakha yang berada di sisi bantal. Membandingkan ukuran jari kelingking mereka.
Entah buat apa. Binar rasa dia mulai gila. Mungkin karma. Dulu dia tidak mengerti dengan tingkah aneh Sakha setiap kali datang padanya dengan cengiran atau ide-ide konyol. Sekarang dia melakoninya sendiri.
Binar masih di kamar itu selama beberapa saat sebelum berjingkat keluar. Menutup pintu tanpa suara. Dia akan kembali merecoki Sakha sore nanti.
***
Namun, Sakha baru terlihat setelah lewat jam makan malam.
"Pangeran Tidur akhirnya bangun."
Menyugar rambut yang berantakan, Sakha memasuki dapur terbuka dengan cengiran. Hanya ada Binar di sana.
Binar menyambutnya dengan tepuk tangan sebentar sebelum berdiri. Membuka kulkas, mengambil sesuatu untuk dihangatkan di panci. Dari baunya sih sup sapi.
"Berdasarkan cerita Ibumu, kamu nggak ribet makannya kecuali sayur. Dan kamu harusnya udah lapar."
Di meja lalu hadir air putih hangat lebih dulu. Sakha mencomot kuaci milik Binar. Melihat punggung perempuan itu menjauh lagi.
"Aku udah bangun dari tadi sebenarnya. Udah mandi tapi tidur lagi."
"Yang penting nggak mendadak pulang aja."
"Kamu jadinya pulang besok, Bi?"
"Aku ada urusan ke kampus, masih ada berkas yang kurang. Tapi nggak buru-buru. Kamu balik Jakarta hari apa?"
"Belum tahu. Kapan pun kalau aku, Bi."
"Oke." Mematikan kompor, menuang sup ke mangkok, dan membawa piring berisi nasi.
"Oke?"
"Ya, maksudnya, bareng gitu."
"Apa, Bi? Bareng aku? Kamu kesambet apa?"
"Seriusan."
Sakha sontak berdiri dan mengambil piring dari Binar yang kewalahan.
"Kamu yang masak, Bi?"
"Nggaklah. Aku beli tadi."
Makan yang harusnya selesai beberapa menit, jadi ngaret dan sup pun berubah dingin. Napsu makan Sakha belum sepenuhnya kembali. Tapi yang menarik, ada Binar yang menemaninya sambil ngobrol ngalor-ngidul.
"Hai, Lun. Gabung sini?" Sakha menyapa Luna yang berkunjung dari sebelah.
Luna menggeleng. "Takut jadi nyamuk." Terkekeh singkat dan lanjut menaiki tangga.
"Emang kita lagi pacaran, Bi? Orang lagi makan."
"Kamu makannya suka lama biasanya?"
Sakha menilik piringnya. Nasi yang porsinya tidak terlalu banyak hanya berkurang beberapa sendok.
"Gawat deh. Makin lelet kayaknya."
Tapi mereka sama-sama tahu, sambung-menyambung cerita membuat Sakha tidak fokus makan.
"Aku jadi mikir ulang semuanya, Ka. Ada hikmahnya aku kecelakaan malam itu. Walau sakitnya udah nggak ngerti lagi. Udah sakit hati dikhianatin, sakit ditinggalin, sakit fisik juga. Aku marah sama Tuhan saat itu."
"Apa hikmahnya? Buat nggak mencintai orang lain lebih dari diri kamu sendiri?"
"Yap. Salah satunya itu."
"Lainnya apa? Mamah Dedeh, tempat dan waktu dipersilakan."
Binar melempar kulit kuaci, kena hidung Sakha dan jatuh ke mangkok. Sakha menyingkirkan kulit itu tanpa mengomel.
"Aku juga otomatis gagal ikut Liga Korea."
"Kamu nyesel nggak?"
"Sekarang sih nggak."
"Jadi hikmah keduanya apa?"
"Kayaknya buat ketemu kamu. Tuhan ngatur waktu buat kita ketemu lagi."
Dengan segera wajahnya memanas, dan dijamin pasti memerah. Sakha menutupinya dengan menunduk. Mengumpulkan bulir nasi yang berpencar. Mencari kesibukan tidak penting yang bisa mengalihkan pikirannya biar tidak terbang.
"Oke, ketiga?"
"Aku hampir nggak mau tinggal di rumah itu lagi. Pernah kepikiran dikontrakin atau dijual sekalian."
Kali ini masuk akal untuk Sakha. Dia ikut bersimpatik. "Ternyata tetap jadi tempat paling nyaman, ya?"
"Iya."
"Keempat?"
"Aku jadi dekat sama Ibu kamu."
Baiklah, bisa diterima juga. Kenyataannya memang begitu. Ibu senang berteman dengan Binar, begitu pun sebaliknya.
Saat dirasa Binar belum ingin melanjutkan, Sakha mengangkat piring dan mangkoknya. Menyergah Binar yang hendak mengambil alih. Dia bisa melakukannya sendiri.
Tapi Binar tetap berdiri. Menawarkan minuman yang dia bawa dari vila sebelah. "Mau wine?"
"Mau."
"Dikit aja ya. Kalau mabok nggak ada Umar, aku yang repot."
Sakha meringis, mengeringkan tangan dengan tisu. Bergabung dengan Binar yang pindah duduk ke kursi depan akuarium.
Perempuan ini sungguhan hanya memberinya satu teguk dari takaran normal wine di gelas kaca.
"Argh, mendingan nggak usah sekalian nggak sih? Ini dikit banget, Bi. Nggak nyampe lambung, udah habis di lidah."
"Kamu habis sakit. Nggak boleh sebenernya kan minum ini."
"Terus ngapain nawarin." Biar ngomel tapi tetap diminum. Tidak ribut minta lagi. Binar meledek dengan menyenggol gelas kosong Sakha dengan gelasnya yang masih terisi banyak.
"Terusin, Bi. Terusin. Kamu isi lagi gelas kamu itu."
Lampu di atas mereka tiba-tiba berkedip dua kali lalu padam. Tapi tidak dengan lampu halaman dan ruangan lain. Lampu hias di akuarium persegi besar di depan mereka tetap menyala. Masih terlihat jelas ikan-ikan berlarian saling mengejar.
Sakha menoleh. Melihat pantulan lampu akuarium di wajah Binar dan dirinya sendiri.
"Lihat deh, Bi. Kita jadi Tuan dan Nyonya Sherk."
"Oh iya." Binar meladeni. "Kalau biru, jadi Avatar kita."
"Coba kuning. Minion, pikachu, simpsons."
"Apa sih."
"Kamu yang apa, Bi. Bisa receh juga ternyata."
Keduanya tertawa pelan. Meski sudah lewat jam sebelas, Luna pun sudah pulang ke vila, penghuni rumah sebagian besar sudah tidur. Mereka sadar untuk menjaga suara percakapan dan tawa tetap rendah.
"Ka, kamu tahu kenapa kita ketemu lagi di sini?"
Sakha memiringkan kepala. Menggeleng kecil dan memberi gestur untuk Binar melanjutkan.
"Urusan kita belum selesai."
"Yang mana?"
"Sesuatu yang kamu mulai, yang kamu tinggalkan, yang mungkin kamu bawa pergi sebagian."
Sakha mengeryit bingung. "Bahasa bayinya gimana, Bi?"
"Hatimu. Hatiku."
Oke, Binar mulai dangdut. Mulai keluar semua sifat aslinya. Sakha menahan semburan tawa. Dia senang karena bisa mengenal Binar lebih dekat dengan segala randomnya. Tapi mari dengar apa yang selanjutnya—
"Aku sayang kamu."
Sakha terbelalak, terhenyak. Tercekat kaku.
Bibir Binar membentuk senyum yang lengkungannya sampai ke mata. Lembut berkata, "Aku cinta kamu."
Sakha mengerjap sekali. Mengamati betul-betul, mencari kejujuran, merangkum seluruh wajah Binar dalam jangkauan matanya. Ditingkahi debar-debar halus di dada. Hati kecil yang bersorak-sorai. Perasaan antara tidak percaya dan percaya. Tapi ini tidak cukup baginya. Terasa kurang. Tidak membuatnya jadi lega dan percaya.
Maka dia memangkas habis jarak. Merengkuh dan merasakan manisnya wine dari bibir Binar. Memejamkan mata, lalu membiarkan seluruh perasaannya luruh oleh sebuah pengakuan. Sebuah penerimaan yang mengakhiri semuanya.
Segala penantian dan rindu miliknya, tuntas detik ini.
Sakha akhirnya tahu apa yang orang cari di dunia ini. Alasan-alasan yang membuat mereka ingin tetap hidup. Karena ternyata dunia masih menyimpan satu manusia yang membuat seseorang ingin menetap. Ingin hidup selamanya.
***
Bu Retno anaknya nih buu... Dah berani kiss tetangga depan rumah 🙂🙃😌
Senin/02.09.2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top