31. Segala bentuk kacaumu, kacauku [2]


Tanpa prasangka apa-apa, Binar melaju pulang.

Ida muncul dan lebih dulu menyongsongnya. Menuruni undakan teras terburu-buru, tersandung dan nyaris terjerembab ke arahnya.

"Tamunya siapa?" Binar menangkap kedua tangan Ida. "Udah lama nunggu? Kamu kok nggak telepon."

Tampak cemas. "Maafin aku, Bin. Aku tadi nyuruh dia masuk. Tapi setelah aku pikir, seharusnya langsung aku usir."

"Siapa, Da?"

"Aku nggak yakin kamu siap ketemu."

Binar mengerti siapa yang dimaksud Ida. Orang itu kini berdiri di ambang pintu. Memberi Binar senyum yang masih diingatnya.

Binar membeku. Bukan karena terpana dengan senyum itu. Dua tahun dia menantikan hari ini datang. Sekarang dia bingung memilah perasaannya, mencari-cari, apakah ada sebersit rindu di antara marah dan kecewa.

Dan lihat, siapa yang lelaki itu bawa kemari. Binar menurunkan pandangannya ke gadis kecil yang ikut menyembul di celah pintu. Memeluk salah satu kaki lelaki itu.

Kejutan macam apa ini?

Gadis kecil itu dititip ke Ida, dibujuk dan dibawa masuk ke rumah. Sementara sang Ayah bicara dengan Binar di halaman.

Binar tak habis pikir. Masih tak percaya. Orang yang pernah dia mati-matian tunggu dan cari, yang hilang ditelan bumi, sekarang muncul dengan sendirinya.

Di saat dia sudah ikhlas. Tidak mengharapkan apa-apa lagi. Dan penjelasan terlambat seperti apa yang pantas dia dengar sekarang.

"Kamu ke sini karena mau pamer kalau hidupmu bahagia, sementara aku masih di titik rendahku?" Binar menyerang langsung. Sudah bagus dia tidak menampar Adam sebagai ucapan selamat datang lagi di hidupnya.

"Aku datang untuk minta maaf."

"Kenapa baru sekarang?" Tanpa intonasi yang meninggi. "Sejak malam itu, melihatmu datang ke pertandingan terakhirku dengan perempuan lain, aku nunggu kamu."

"Aku sengaja menghilang, menutup semua akses. Semuanya, bahkan temen-temenku. Biar kamu nggak terlalu sakit."

"Tapi aku tetap sakit. Aku berharap kamu ada. Saat itu."

Adam terdengar penuh penyesalan. "Maaf, Binar."

"Kamu tahu tentang kecelakaan itu dan kondisiku setelahnya. Itu yang makin bikin kamu merasa nggak perlu datang? Karena menurutmu sia-sia. Kamu nggak mungkin bisa terima kondisiku sekalipun aku memohon."

"Bukan. Karena aku menikah minggu depannya. Dengan perempuan yang kamu lihat malam itu." Ada kegetiran dalam nada bicaranya. "Pernikahan bisnis seperti keluarga pengusaha lainnya. Dulu aku ngetawain hal ini, sampai aku harus mengalami sendiri. Saat itu hubungan kita lagi di titik jenuh dan aku terdesak dari mana-mana. Kamu tahu, mamaku nggak pernah setuju dengan kita."

Anehnya, Binar tidak merasakan sakit di dada. Tangannya tidak berkeringat dingin, tidak gemetar. Dia mendengar penuturan Adam dengan tenang. Tanpa kemarahan, atau gejolak lainnya yang membuat dada sesak.

"Aku buktiin ke kamu kalau aku emang bukan yang terbaik buat kamu. Selama kita bareng, aku sadar kamu banyak ngalah. Sabar sama mamaku, keluargaku. Kamu banyak menyesuaikan sama inginku. Dan aku jadi seenaknya sama kamu. Bukan maksud bahwa hal yang aku lakuin benar dan kamu mesti bersyukur. Aku tetap salah. Aku pengecut, Bin. Ketemu kamu saat ini, jujur aku malu banget."

Ada sisi hati Binar yang lega mendengarnya. Mungkin akhirnya hanya ini yang dia butuhkan. Pengakuan salah dari lelaki ini. Bukan lagi soal kenapa dia ditinggalkan, apakah dia pantas diperlakukan seperti itu.

Sudah berlalu. Binar tidak ingin mengungkit masa lalu dengan seseorang yang sudah menikah dan bahagia. Lagi pula, percuma. Memangnya setelah ini apa? Mereka sudah punya hidup masing-masing.

"Apa Sakha orangnya?"

Binar mengerjap. Terkesiap saat nama itu tiba-tiba diseret masuk dalam percakapan mereka.

"Orang yang bikin kamu sembuh. Bisa lupain aku, bisa selapang ini. Sakha, ya?" Adam bisa melihatnya dengan jelas dari gelagat Binar saat dia menyebut nama itu. Karena dia pernah mencintai perempuan ini begitu dalamnya.

Binar membuang pandangan ke arah lain.

"Sudah aku duga. Makin kelihatan, Bin. Aku masih ingat kamu gimana. Ternyata hanya butuh setahun. Hebat ya dia."

Adam meneruskan. "Kamu terlihat baik-baik saja. Kamu hanya kaget lihat aku dan itu wajar. Tapi selebihnya kamu tenang banget. Minimal kamu nampar aku, Bin."

"Kamu kenal dia?"

Adam tersenyum. Binar lebih peduli tentang ini. "Oh, nggak. Tadinya aku nggak kenal dia. Sakha datang ke aku beberapa bulan lalu. Katanya tahu alamatku dari temen fotografernya, yang juga temenku. Dunia sempit."

"Buat apa dia nyari kamu?"

"Traktik kopi, sama obat salep."

"Buat apa dia nyari kamu?" ulangnya, menuntut. Binar ingin jawaban yang serius.

"Dia ngenalin diri sebagai teman kamu dari kecil. Karena dia ramah, dan aku kenal baik sama temen dia yang juga temenku, kami sempat ngobrol. Tapi bukan tentang kamu. Kita malah ngalor-ngidul bahas peluang bisnis. Pas mau pulang dia nonjok aku tiga kali." Adam menoleh, ingin melihat reaksi Binar lagi.

"Lanjutin."

"Tapi jangan salah sangka, aku ke sini bukan mau ngerengek ngadu pernah ditonjok teman baikmu. Aku pengin dimaafin, Bin. Aku cuma pengin hidup tenang sama Sienna."

"Anak kamu?"

"Anak tiri. Tapi aku sayang banget sama dia. Kayak anak sendiri. Bukankah wajah kami kalau dilihat lama-lama terlihat mirip?"

"Istri kamu tahu kamu ke sini?"

"Nggak tahu. Dia nggak mungkin tahu."

Binar rasa ada sesuatu yang terjadi. Haruskah dia bertanya lagi demi rasa empati yang tersisa?

"Kabur sama selingkuhannya."

Ada jeda panjang. Binar menunjukkan raut empatinya. Sama sekali tidak terlintas pikiran untuk menertawakan nasib Adam.

Justru lagi-lagi hal lain yang melintas di pikiran Binar, dan ikut diaminkan mulutnya. "Kamu hanya ketemu Sakha sekali itu?"

Adam tertawa. "Serius, Bin? Minimal kamu ketawa. Aku dapat karma hanya dalam waktu satu tahun."

Binar tidak ikut tertawa.

"Aku memang salah, Bin. Tapi boleh tersinggung nggak sih? Jadi nyesel langsung bawa nama Sakha. Harusnya aku simpan di akhir, nanti pas pamitan." Sedikit bercanda sebelum kembali serius.

Berdeham. "Karena sepertinya kamu nggak tahu. Dia nggak cerita kalau nemuin aku. Kalian lost contact?"

Binar tidak ingin menjawabnya. "Jadi cuma ketemu sekali. Dia baik-baik aja waktu itu?"

"Sangat baik. Pukulannya mantep juga."

"Dia bilang apa pas mukul kamu?"

Mencoba mengingat. "Nggak bilang apa-apa."

Baiklah, cukup. Binar sudah melenceng terlalu jauh. "Apa yang bikin kamu mutusin datang? Kamu bisa nerusin hidup, seolah nggak terjadi apa-apa kan."

"Banyak yang terjadi selama dua tahun, Bi. Aku renungi semuanya. Kamu selalu muncul di pikiranku. Aku juga nunggu sampai punya nyali buat ke sini. Makasih, Bin. Makasih udah biarin aku bicara."

Kini mereka hanya bicara tentang mereka. Yang sudah lalu. Binar banyak mendengarkan. Dia sangka akan timbul nyeri, ternyata tetap biasa saja. Mati rasanya cukup ampuh.

Binar membenak. Berterima kasih ke diri sendiri yang telah bertahan sejauh ini. Memaafkan orang yang meninggalkannya dan bertemu lagi dengan perasaan ringan. Dia tidak menyangka bahwa, saat dijalani, ternyata dia telah benar-benar ikhlas untuk yang satu ini.

***

Sakha terbatuk karena asap rokoknya sendiri. Tapi tetap tidak kapok. Malah menyalakan rokok berikutnya.

Dito sudah beberapa kali menyindirnya yang keranjingan dengan rokok belakangan. Hanya Dito yang saat ini berani menegurnya. Mungkin cuma soal waktu Dito akan menerobos masuk ke apartemennya dan mengomel karena berantakan.

Sikap Dito membuat Sakha sedikit lupa kalau sekarang tidak ada yang peduli kepadanya. Tentunya selain Ibu yang jauh di sana. Jadi dia terima sindiran Dito dengan hati lapang. Dia lupa selain Naira, dia punya sosok adik lainnya. Yang sama cerewetnya.

Tempat Sakha bukan lagi dapur dan rumah dua lantai yang penuh kenangan. Setelah mengurus pembatalan ini-itu yang cukup menguras mental, mengirim broadcast sebisanya, terhitung sudah seminggu Sakha belum menginjakkan kaki lagi di sana. Dito sebagai gantinya. Datang memantau kondisi rumah dan melapor padanya.

Sementara dia banyak menghabiskan waktu ketika malam di sini. Balkon apartemen menjadi tempat dirinya melepas lelah sekaligus menunggu kantuk datang. Sendirian bersama sebungkus rokok dan sekaleng bir.

Tidak banyak yang dia lakukan. Hanya duduk melamun dan membiarkan pikiran melayang ke mana-mana. Sedangkan ponsel dibiarkan diam membisu di dekat asbak. Notifikasi grup telah dia matikan. Benar-benar tenang dan sunyi.

Perhatian Sakha tercuri saat membuang abu rokok. Layar ponselnya menyala. Muncul sederet nomor tanpa nama, masuk ke kotak chat-nya.

Kalimat pembukanya terlihat di pop up. Cukup menggelitik dan membuat Sakha tergugah untuk membukanya.

085xxxxxx: brengsek kamu

Naira? Bukan, bukan. Naira masih tersimpan dengan nama.

Ini datang dari nomor ... ah, kini dia tahu dari siapa.

085xxxxxx: kamu pikir aku bakal say thx krn kamu udh pukul adam?
085xxxxxx: ga akan, jangan pede

Sakha bergeming. Tapi tak lama kekehan kecil terbit di bibirnya. Dia membaca pesan itu sekali lagi, mengeluarkan ke tampilan home, dan mengembalikan ponsel ke tempat semula.

Skenario yang ada di kepala Sakha; meski terkejut dan bingung, atau mungkin marah, Binar saat ini merasa bahagia dan lega.

Adam mungkin sudah rampung mengurus perceraiannya, datang meminta maaf, dan butuh sedikit waktu untuk mereka kembali bersama.

Seperti salah satu wishlist yang Binar tulis. Bertemu lagi dengan lelaki itu dan memaafkannya.

Jadi ya, Sakha bisa membayangkan pertemuan mereka setelah dua tahun seperti apa.

Binar, Binar. Naif sekali. Enaknya jadi Adam. Berbuat salah dan datang langsung dapat maaf.

Tidak. Sakha tidak ingin mengingat lagi bagaimana dia bisa menemukan Adam. Malas untuk diingat dan dijelaskan, kecuali Binar yang minta.

Yang kemudian dia sadari, takdir tetap bekerja seperti semula. Sakha tidak pernah bisa punya tempat di samping Binar. Dia ditakdirkan hanya jadi penonton.

Benar-benar definisi penonton bahkan sampai akhir. Tidak di pertandingan Binar, tidak di hidup nyata Binar.

Menyedihkan.

"Bang Sakha!"

Teriakan dari unit di bawahnya. Sudah dua hari begini. Di tengah lamunan ada yang tiba-tiba memanggilnya.

"Hoi."

"Masih hidup, Bang?"

"Alhamdulillah masih nih, Dit."

"Oke. Sehat-sehat orang sehat ya. Kalau yang perokok nggak tahu."

"Bangke."

"Udah makan, Bang? Nggak mau nyari makan?"

Sakha terbatuk lagi.

"Bang! Gue bilang apa! Jompo kan jadinya. Berhenti nggak."

"Gue cuma batuk, uhuk, bukan jompo. Kayaknya lama-lama gue bisa mati di tangan lo, Dit."

"Nah. Lo pilih dah tuh mau tanggal berapa."

"Nyebut, Dit."

Sakha tidak bercanda. Dito benar-benar menempelinya secara ketat. Rela membeli unit di bawahnya persis padahal pilihan pertamanya bukan di sini. Takut bosnya ini punya akal pendek dan lewat begitu saja.

Tenang. Sakha masih ingin hidup yang lama. Walaupun sekarang benar-benar hampa dan kadang membuatnya bertanya; apa yang sebenarnya orang-orang cari di dunia ini.

***

"Ck. Harusnya aku nggak maki dia."
"Tapi masa tersinggung?"
"Agak kasar sih emang."
"Duh. Tolol banget kamu, Binar."

Arum heran karena kakaknya tiba-tiba seenaknya menghentikan cerita di tengah jalan. Mengangkat tangan, meminta waktu padanya untuk mengotak-atik ponsel. Sepertinya mendadak kepikiran sesuatu.

Sepuluh menit sudah berlalu dan Arum tidak mau bersabar lagi. Dia sudah menunggu seminggu untuk cerita satu ini. Cerita dari Ida tidak membuatnya puas. Dia mau dengar versi korban langsung.

Ditambah raut Binar serius sekali menekuri layar ponsel. Terakhir malah membenturkan ujung ponsel ke dahi dan mengacak-acak rambut sendiri.

Nah, sekarang Arum penasaran dengan ini. Repot sekali jadi adiknya Binar. Ada mulu yang bikin penasaran. Seingatnya, Binar tidak pernah ribut ingin tahu urusannya. Mana pernah sekali-kali gantian.

Arum yang selalu mengorek dan mengulik ini-itu. Mengemis cerita. Apa boleh buat. Lumayan seru. Tapi awas saja kalau endingnya balikan dengan Adam. Arum musuhi Binar sampai nenek-nenek.

"Siapa sih?"

"Di-read doang."

"Iya. Siapa, Mbakkuh?"

"Apa susahnya ngetik balasan? Yang sakit kan cuma hati, bukan tangan."

Percuma. Jadi lebih baik kembali ke topik utama.

"Halo. Kita lagi bahas Adam nih." Menjentikkan jari tiga kali, Arum coba menyadarkan meski diabaikan. "Tolong fokus dan lanjutin ceritanya bisa dong. Bukan malah ngomong ngelantur. Jadi istrinya kabur ke mana? Adam terbilang cakep masa diselingkuhin. Eh bisa ding. Mbak Binar cantik tapi juga diselingkuhin. Emang bukan masalah fisik. Tapi ada niat dan kesempatan. Waspadalah, waspada—"

"Berisik! Diem dulu nggak?"

"Kenapa malah aku yang dibentak coba? Jadi istrinya, eh mantan istrinya, kabur ke manaaa—hmmpph??"

Binar menjejalkan penutup mata ke mulut Arum.

Arum melempar kesal penutup mata, mencebik dan menarik selimut. "Udah ah, tidur. Capek ngadepin anak PAUD habis didatengin mantan yang bawa anak."

Mengabaikan Arum, Binar masih menyesali tindakan impulsifnya. Sambil menggigit bibir coba mengirim pesan lagi. Tapi jarinya ragu menekan kirim, malah lari ke foto profil Sakha.

Sudah bukan lagi foto Sakha di puncak gunung dengan latar lautan awan yang indah. Sekarang berganti ke gambar warna hitam pekat.

Rasa lelah membuat Binar berhenti berpikir macam-macam dan meletakkan ponsel. Berbaring di sebelah Arum yang sudah mendengkur.

Binar memandangi langit-langit kamar. Kata siapa otaknya jadi diam. Dia sedang memikirkan Sakha sedang apa. Juga membayangkan sesedih apa menghadapi situasi yang serba-salah.

"Semoga kamu nggak sendirian."

"Semoga ada yang hibur kamu."

"Semoga kamu cepat pulih."

Doa itu tanpa sadar terus dia bisikkan. Semoga-semoga lainnya.

Dan, terakhir. "Semoga kita ... ketemu lagi."

***

Sakha sableng. Di mana2 yg uring2an biasanya cowok, ini Binar u suruh gemes sendiri perkara gak u bales🤣🤡

Gak dar der dor kan konpliknya? Aman kan?😭👌

Semoga pas udah ketemu lagi masih aman yaa🙃

Jumat/23.08.2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top