28. Sebuah nama yang menjadi asing
Setelah mengelilingi lapangan tenis seperti orang gila, Sakha akhirnya berhenti persis pukul satu dini hari. Dia melangkah gontai ke studio. Menyalakan lampu dan membuka showcase. Mengambil air mineral dingin lalu membawanya ke meja kerja.
Sakha membuka laptop. Menuju ke satu folder tersimpan yang ketika dibuka akan menampilkan ratusan foto. Tanpa memeriksa lagi isinya, tanpa berpikir dua kali, Sakha memilih opsi delete.
Juga ke ponsel yang tergeletak di dekat botol. Sakha mencari nomor Binar dan tanpa ragu menghapusnya.
Akhirnya hari seperti ini benar-benar tiba. Mungkin hati kecilnya juga sudah lama menantikannya. Sakit yang saat ini timbul akan membaik seiring berjalannya waktu.
Atau mungkin tidak.
"Bang?"
Sakha terkesiap. Dari pintu toilet, Dito muncul dengan handuk kecil di leher.
"Nggak balik, Dit?"
"Tadinya mau pulang. Tapi seru juga lihat orang gila lari tengah malem. Aku tungguin, siapa tahu butuh temen makan."
"Yuk. Makan di mana?"
Dito menangkap lemparan kunci mobil dengan satu tangan. Meninggalkan handuk dan mengantar bosnya berkeliling mencari makan yang sebenarnya hanya dalih. Kalau sedang sedih, Sakha tidak butuh makan seperti kebanyakan orang. Cuma butuh angin.
Tapi lihat, sepanjang jalan yang dilintasi mobilnya, penuh dengan deretan papan reklame berwarna biru. Jelas biru. Ini merupakan kawasan markas Blue Phoenix.
"Sialan lo, Dit. Malah dilewatin jalan ini."
"Kita bisa muter depan, dan lewat sekali lagi." Dito tertawa tanpa tahu apa yang terjadi. "Saking ikonik banget. Gue aja masih ngerasa Binar bagian dari BP, Bang. Sebagian besar fans gue yakin belum lupain dia. Nungguin dia comeback."
Kemudian enteng sekali bertanya. "Kalau bisa jalan lagi, apa kemungkinan Binar bakal balik ke BP?"
"Mungkin."
"Atau dia bakal pindah klub? Banyak yang ngincer Binar."
"Mungkin."
"Masa lo nggak ada ngobrolin ini sama Binar, Bang? Rugi banget. Sebulan ngapain aja. Main gundu sama uler tangga?"
Sakha berkata jujur. "Soal rencana masa depan, itu urusan dia."
"Kalau tandatangan Binar? Nggak minta juga?"
"Nggak."
"Ah, gue tahu. Lo nggak ngaku ya kalau lo ini fans abadinya Binar?"
Sakha menghela napas. Dalam semenit dia mendengar nama Binar disebut berkali-kali. Bukan mengganggu dan membuat risi, tapi lumayan mencubit perasaannya.
"Paling nggak kalau Binar balik nanti, harus jadi asisten pelatih sih. Pasti makin bagus tuh. Musim kemarin kureng banget. Manajemen buruk, taktik gampang kebaca lawan, pemain banyak yang underperform. Udah beli pemain asing tapi gagal ngangkat tim. Intinya, Binar mesti balik."
"Pulangin gue, Dit."
"Ke rumah yang mana nih? Rumah yang ..."
"Jangan diterusin." Sakha memberi peringatan karena tahu kalimat selanjutnya apa.
"Rumah yang buka pintu langsung ketemu Binar?" Dito menutup kelakarnya dengan kalimat menohok. "Manusia nggak boleh serakah, Bang."
"Ya. Rumah gue mungkin emang di sini." Yang tidak ada Binar-nya.
Sakha jadi sadar akan sesuatu. Tuhan mungkin memberi satu bulan yang kemarin bukan untuk hal yang sia-sia. Sakha jadi punya kesempatan muncul di depan Binar, bicara banyak dengan perempuan itu, mengaguminya dari jarak dekat, lalu diam-diam menuntaskan rindu. Karena akan berakhir seperti ini.
Binar sekarang hanya bisa dia kenang sebagai sebuah nama yang pernah hidup lama di hatinya.
***
"Kenapa dibuang? Masih bagus gini, Bin." Ida memastikan. Membawa layangan ke hadapan Binar. Siapa tahu pemiliknya berubah pikiran.
"Itu benda bawa sial."
"Contoh sialnya apa?" Ida yang biasanya tidak banyak tanya, mendadak ribet. "Kalau bunga mataharinya?"
"Biarin." Jawabannya masih sama seperti tempo hari.
"Biarin, biarin. Tapi tetep kamu siram tiap hari. Aneh banget kamu, Bin."
Ida tidak perlu tahu kalau Binar sedang "bersih-bersih". Sekarang tinggal dua benda yang diberikan Sakha sebelum orangnya pergi. Binar belum tahu isi flashdisk itu. Tidak tahu juga apa tulisan di balik lipatan kecil berbentuk bintang.
Ingat, dia tidak membenci Sakha. Dia hanya sedang mengatasi perasaannya sendiri. Melindungi hatinya dari kemungkinan patah hati yang tidak ingin diulang.
"MBAK! Mbak, lihat!" Arum lari dari dalam kamar. Laptop di pelukannya bahkan nyaris meluncur ke lantai.
"Nggak, nggak. Layar laptop kurang gede." Heboh sendiri. Entah apa yang ingin ditunjukkan.
Arum mencabut kasar sesuatu dari laptopnya. Binar sekilas mengenali benda kecil tersebut. Seingatnya dia simpan di laci. Tapi dengan tabiat anak ini, Binar tidak lagi terkejut kalau benda mana pun bisa Arum temukan.
Mendengar keributan yang terjadi, Ida ikut mendekat sambil membawa centong sayur. Menunggu Arum yang menekan-nekan remot setelah menancapkan flashdisk di salah satu port TV.
"Aku nggak bisa berkata-kata! WOAAAH! KALIAN HARUS LIHAT."
"Apa sih, Rum?" Ida penasaran.
"Kamu lihat sendiri, Da! Bentar, bentar. Sabaaaaarrrrr!"
Tadinya TV menampilkan berita pagi. Kemudian berubah menjadi layar putih dengan empat folder. Arum membuka dari urut pertama. Folder berjudul 2018. Seketika file berupa foto memenuhi layar TV. Arum membuka foto secara acak. Ternganga dan menggesernya satu per satu.
Binar terdiam, terpukau. Dia tidak tahu kalau di tahun itu Sakha juga datang. Dia pikir Sakha hanya datang saat pertandingan terakhirnya, seperti yang pernah lelaki itu racaukan ketika mabuk.
Sadar dari kekaguman, Arum dan Ida akhirnya bersuara. Berebutan.
"Ini semua dari Mas Sakha, Bin?"
"Mbak tahu hal ini? Tahu kalau dia pernah datang buat nonton?"
"Bin? Kalian pernah ketemu di Jakarta?"
"Foto-fotonya cantik semua, Mbak!"
"Bener. Sakha pinter ambil momennya."
Lanjut ke tahun berikutnya. 2019. Binar masih ingat apa saja yang terjadi di tahun tersebut. Tapi tidak dia suarakan. Membiarkan dua orang di sisi kanan dan kirinya berdecak kagum berkali-kali. Entah kagum dengan potret Binar atau karena kemampuan Sakha.
Binar menyandar ke punggung kursi roda. Menunggu sampai Arum selesai membuka setiap folder. Binar turut menyaksikan setiap gambar dirinya di sana.
Butuh waktu untuk mengendalikan diri, menenangkan debar jantung, menyingkirkan bayangan Sakha dari pikiran.
"Mana flashdisknya."
"Apa?"
"CABUT SEKARANG JUGA!"
Ida dan Arum tersentak dan saling tatap. Sama-sama merasakan suasana yang berubah drastis.
"Cabut terus bawa sini. Kamu nih kurang ajar. Barang orang main dibuka sembarangan!"
Demi nada galak kakaknya, juga tatap tajamnya, Arum menciut dan menurut. Menelan semua ledekan. Tidak berani pula tanya-tanya lagi dan bergegas menyerahkan flashdisk ke tangan Binar.
***
Hari-hari terlewati. Mungkin sudah sebulan lebih sejak Sakha pergi.
Bunga matahari di tepi kolam ikan akhirnya berbunga. Binar kerap memandangi bunga yang sudah mekar sempurna itu. Tanpa berniat mengabari si pemilik bunga. Meski hatinya ingin melakukannya.
Sebagai gantinya, beberapa hari ini dia menekuri layar laptop. Berlama-lama membuka kumpulan foto miliknya. Tidak ada yang istimewa. Arum dan Ida terlalu berlebihan.
Namun, besok lusanya berbeda. Binar memandanginya dengan hati tak keruan. Bom waktu yang dia simpan menemukan waktu yang tepat untuk meledak.
Dan kerinduan itu datang tanpa bisa dia bendung. Dia rindu langit-langit arena, euforia pertandingan, gemuruh penonton dan segala sesuatu yang pernah menjadi bagian dari perjalanan karirnya.
Binar pikir dirinya sudah cukup kuat untuk menerima kondisi bahwa dia telah meninggalkan semuanya di belakang. Dia kira bisa melanjutkan hidup dengan fase yang berbeda. Ternyata dia hanya pura-pura menerima.
Pagi itu dia akhirnya terpekur di halaman samping. Kalah dan melepas topeng. Bahunya bergetar halus. Binar menangis tanpa suara.
Tiga orang di rumah itu mengerti. Mereka tidak berani mendekat, hanya menatap prihatin dari celah pintu dan bicara dengan nada pelan.
"Kapan terakhir dia nangis? Bukannya udah lama ya, Rum?"
"Mbak Binar sensitif akhir-akhir ini, Tan."
"Apa ada hubungannya dengan Sakha?"
"Mungkin bukan. Tapi aku juga nggak tahu, Tan. Kalau udah begini, Mbak Binar jadi tertutup banget. Aku sama Ida nggak berani nyinggung apa-apa kecuali dia yang ngomong duluan."
"Tapi masih sering datang ke rumah Tante. Kelihatan baik-baik aja. Ngobrol kayak biasanya."
"Kayaknya cuma lagi kangen sama temen-temen klub volinya."
"Kamu yakin bukan tentang Sakha?"
***
Binar yang menangis pagi ini membuat Retno kepikiran sepanjang hari. Dia berniat bicara dengan Sakha. Menunggu pukul lima sore. Jam-jam yang dirasa anak lelakinya sudah tidak sibuk.
Tanpa disangka, Sakha menghubunginya lebih dulu. Retno mematikan keran dan mengangkat panggilan. Menyalakan mode loudspeaker seperti biasanya.
"Kebetulan kamu telepon. Tadinya Ibu pengin telepon. Takut kamu masih sibuk."
"Kenapa, Bu?"
Retno kemudian ingat jika Sakha hanya menelepon untuk hal-hal penting. "Kamu duluan saja yang ngomong."
"Aku jemput lusa ya, Bu."
"Sebentar, Ibu belum paham. Ada apa?"
"Ketemu keluarga Naira. Mama sebenarnya bilang nggak usah, tapi aku sama Naira pengin ada acara lamaran resmi."
"Oh. Sudah pasti tanggalnya?"
"Belum. Tapi yang pasti akhir tahun ini, Bu. Ibu nanti nggak perlu repot. Resepsinya bakal jadi satu tempat."
"...."
"Rencananya maju karena satu-dua hal. Lagian aku sama Naira tetap bakal nikah, Bu. Lebih cepat lebih baik."
"...."
"Aku cuma mau ngabarin itu. Ibu pengin bilang apa tadi?"
Buyar sudah semua kalimat di kepala Retno. Butuh waktu beberapa saat untuk mengatakan sesuatu yang lain. Yang tidak ada kaitannya dengan Binar.
Saat dirasa bisa memberi respons, Retno justru menoleh. Merasakan kehadiran seseorang di ambang pintu dapur. Dia refleks berusaha mematikan loudspeaker. Sedikit panik dan membuat layarnya justru macet.
Suara langkah terdengar menyusul. "Kok berhenti di tengah jalan sih, Mbak? Sungkan ya bilangnya? Udah sini aku aja yang bilang."
Melupakan ponselnya yang entah masih tersambung dengan Sakha atau tidak, Retno tertarik dengan kabar baik yang sepertinya ingin Binar sampaikan.
"Mbak Binar akhirnya mau terapi lagi, Tantee. Aku udah reservasi dan ngurus ini-itunya. Besok ketemu dokternya dulu. Nah, Mbak Binar agak takut. Dia minta ditemani Tante besok. Kalau Tante nggak repot, tolong dampingi kakakku yang manja ini ya. Dia bilang maunya sama Tante aja."
Binar melihat sejenak wajah Tante Retno yang tersenyum hangat, lalu ke ponsel di dekat bak cuci itu. Benda itu tidak bersuara lagi. Malah mungkin sudah dimatikan dari seberang sana. Terlihat saat Tante Retno mengeceknya sebentar sebelum ditaruh lagi.
Lalu wanita paruh baya itu menghampiri Binar. Merunduk dan melingkarkan kedua tangan untuk merengkuh bahunya.
Tepukan-tepukan kecil di bahu membawa arti yang berbeda. Binar tercekat. Terlebih saat kepalanya dibelai lembut.
"Maafin Ibu yang nggak bisa berbuat apa-apa. Maafin juga Sakha."
Binar termangu. Membiarkan dirinya tenggelam di dalam pelukan dan usapan itu. Hanyut. Kehilangan kata-kata. Patah.
Arum ikut merunduk, alisnya berkerut melihat reaksi Tante Retno yang tidak nyambung. "Kenapa Tante malah minta maaf?"
Tante Retno bahkan sampai menangis. Arum semakin heran. Apa yang tidak dia ketahui?
***
Bunganya mekar, orang-orangnya yg layu💔
Sabtu/17.08.2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top