27. Menyerah

"Karena Ibu juga seorang perempuan, Bi."

Binar menghindar, menghabiskan roti gandum. Berniat pulang setelah ini. Kaget karena tiba-tiba dirinya dibaca begini. Padahal sebelumnya masih aman.

Tapi Tante Retno masih menunggunya dengan sabar. "Satu saja yang ingin Ibu tahu. Kamu boleh jawab, boleh tidak. Apa yang akhirnya bikin kamu melihat Sakha, Bi?"

"Sakha nggak menuntut siapa pun jadi sempurna di matanya."

"Mungkin karena dia lahir dari Ibu yang banyak kurangnya ini."

Binar menggeleng. "Aku rasa bukan karena itu." Memberi jeda. "Karena dia baik."

"Bukannya dia selalu nyebelin? Suka bikin kamu kesal."

Sudut bibir Binar berkedut menahan senyum. "Ada satu-dua obrolan kami yang menyenangkan."

"Tapi pasti dia nggak tahu ya?"

"Anak Tante nggak bisa dipuji dikit."

"Iya. Jangan." Tante Retno tersenyum lembut. "Makasih udah jujur soal perasaanmu, Bi. Ibu janji jaga rahasia ini." Mengedipkan sebelah mata. "Cuma kita berdua yang tahu."

Tentu. Cukup di antara mereka. Sakha tidak perlu tahu. Percuma.

Binar pamit, berterima kasih untuk sarapannya dan diantar hingga mulut pagar.

Ada tatap khawatir yang gagal Tante Retno sembunyikan lebih lama. Binar memilih pura-pura tidak lihat.

Ini perasaannya. Tidak perlu dikasihani siapa-siapa. Toh, Binar bertekad untuk lupa secepatnya.

***

"Kalian nggak janjian kemarin?"

Sakha berangkat ke rumah Mama sebelum subuh. Mengantar Naira yang katanya ada jadwal penerbangan pagi. Tapi ketika sampai, Naira sudah naik taksi dan Mama bingung dengan anak-anaknya yang miskom.

Mama sibuk di dapur karena ada pesanan kue. Tidak bisa mengobrol lama dengan Sakha. Dia sempat disuruh mengambil sesuatu sendiri di kulkas. Tapi memilih meniti anak tangga. Lalu membuka pintu kamar Naira yang tidak terkunci.

Dia tidak berniat masuk, hanya berdiri di ambang pintu. Menyapukan pandangan ke isi kamar yang mendadak sangat rapi. Semoga bukan firasat buruk.

Kembali turun, Sakha diajak bicara sambil Mama mengangkat loyang dari oven. "Naira mungkin terbiasa sebulan ini nggak diantar kamu, Ka. Makanya dua hari ini berangkat sendiri."

Tapi Naira membalas pesannya semalam. Juga malam sebelumnya.

"Loh, kamu langsung pulang?"

"Sebentar. Lihat bubur ayam kesukaan Mama dulu, udah buka apa belum."

"Naira waktu libur mana pernah pengertian kayak kamu."

Sakha menutup pintu rumah. Merapatkan jaketnya dan berjalan beberapa ratus meter. Begitu sampai, dia masih menunggu ibu penjual yang menata dagangan di teras rumah. Tersenyum saat mengenali pembeli pertamanya ternyata Sakha.

"Lama nggak kelihatan, Ka?"

"Iya nih, Bu. Aku habis pulang kampung."

"Pantes Naira sering sendirian tiap Ibu papasan. Biasanya jalan sama kamu. Ini habis nganter Naira kerja?"

Sakha mengangguk sekenanya. Biar tidak ditanya-tanya lagi.

"Kapan nikahnya?"

"Gosip yang udah kesebar gimana, Bu?"

Jangan-jangan seperti di rumah lereng bukit. Aneh sekali gosip tentang dirinya.

"Anak-anak kos Bu Erina sih. Pada nebak kalian nggak jadi nikah."

"Kenapa?"

"Nggak cocok kata mereka. Maaf ya, Ka, tapi Ibu agak sependapat."

"Aku sejelek itu buat Naira, Bu?" selorohnya.

"Bukan gitu maksudnya. Tapi kemistri kalian nggak masuk kalau lebih dari kakak-adik."

Sakha cuma tersenyum.

"Memangnya saat diminta nikah sama Naira, nggak ada perempuan lain yang kamu sukai, Ka?"

Senyum Sakha makin lebar.

"Ibu nggak maksud apa-apa. Tapi kok momennya pas banget. Mungkin udah jadi takdirnya kalian buat berjodoh ya. Siapa sangka Pak Aryo sama Bu Erina besarin calon mantunya sendiri."

Sakha tidak bicara apa-apa selagi menunggu buburnya dibungkus. Dia juga tidak menyangka kalau candaan Papa soal menjaga Naira jadi hal yang serius.

"Tapi selama kalian nyaman jalaninnya, saling cinta, nggak usah dengerin omongan orang. Yang penting kalian berdua sama-sama bahagia."

Kenapa mendadak banyak orang mengatakan hal yang sama? Semua meyakinkan Sakha. Seolah memang keraguannya terlihat begitu jelas.

***

"Aku kaget kamu di sini, Bin."

"Lapangan ini punya kamu?"

"Ha ha. Penginnya." Umar tertawa sumbang lalu mengerut. Merasa salah bicara padahal niatnya hanya menegur Binar yang sudah lebih dulu ada di lapangan menjelang sore.

Membiarkan domba-dombanya masuk ke lapangan dan menyebar ke beberapa sudut, Umar duduk bersila di rerumputan. "Aku kira kamu nggak ke sini kalau nggak ada Sakha."

"Dia nggak sepenting itu."

"Oh, bagus, bagus." Umar memberi jempolnya. "Kalian harus sama-sama batu. Kalau Sakha sendirian, kasihan."

Binar tidak tahu maksudnya dan tidak ingin tanya.

"Meksi pada akhirnya, aku tetap kasihan sama kalian berdua sih."

"Nggak usah bertele-tele, Mar."

"Kalian sama-sama ada perasaan. Iya, kan? Betul kan aku?"

"Kata siapa?" Binar langsung defensif. "Sakha bilang sendiri? Aku juga bilang?!"

Umar kicep. Menyesal sempat meremehkan Binar yang kembali ke setelan pabrik. Sekarang jadi kentara sekali perbedaannya. Kalau ada Sakha, muka Binar tidak sekecut ini. Padahal dirinya dan Sakha sama-sama menyebalkan. Cuma beda di tampang dan nasib.

"Selama dia nggak bilang apa-apa, nggak usah bikin asumsi sendiri. Kasihan Tante Retno kalau anaknya jadi bahan gosip terus."

"Tapi bukan aku yang bikin gosipnya, Bin."

"Domba-dombamu lebih bisa dipercaya."

Umar tertawa dan menyerah untuk basa-basi. Tapi bibirnya sulit diam. "Sakha lagi ngapain ya? Sering lihat dia seliweran, terus tiba-tiba nggak ada, aneh jadinya."

Tanya sendiri, ditebak sendiri. "Lagi pacaran kali ya. Atau kerja. Enak banget jadi dia kerja ketemu artis mulu. Atau nggak kerja sambil liburan ke tempat-tempat bagus."

Binar mendongak ke langit cerah yang kosong. Cukup berangin tapi belum ada anak-anak yang menerbangkan layangan.

"Kamu udah lihat instagram-nya? Nggak ada tuh mukanya satu pun. Isinya cuma capung sama pohon. Mentang-mentang udah laku terus nggak mau pasang foto sendiri."

Layangan dari Sakha masih dia simpan. Apa sebaiknya dibuang saja? Biar tidak menjadi kenangan.

Ada yang lebih praktis dan mudah. Sebaiknya Binar sekalian hilang ingatan. Karena ingatannya tentang lelaki itu tidak cuma sebatas layangan.

"Aku ternyata ngomong sama angin!"

"Apa?"

"Kamu bengong mikirin apa, Bin?"

"Capung."

"Hah?"

***

Naira menunggunya di depan pintu apartemen. Tidak menunggu di dalam padahal memegang keycard. Lucunya, gadis ini dulu semena-mena mengganti sandi dengan tanggal ulang tahunnya.

Unit ini dia beli ketika Papa masih ada. Berempat merayakan rumah barunya. Seperti baru terjadi kemarin. Sekarang terasa berbeda. Termasuk hubungannya dengan Naira yang harus mengalami perubahan.

Sakha tidak tahu persisnya kapan Naira memandangnya dengan cara berbeda. Perhatian-perhatian yang diberi gadis ini terasa berat untuk dia terima. Seakan utang budinya dengan keluarga Naira semakin menggunung.

"Kamu udah lama nunggu?"

"Belum."

"Nggak masuk?"

"Lupa bawa kartu aksesnya."

"Sandinya masih sama kok."

"Oh ya?" Lalu memasukkan sendiri tanggal lahirnya. Pintu berdenting tanda terbuka. Naira nyengir sendiri.

Menunggu Sakha keluar dari kamar, Naira menyiapkan makanan yang dia bawa. Keduanya menikmati makan malam dengan volume TV yang dilirihkan.

Membiarkan Naira makan lebih dulu, Sakha memperhatikan raut wajah gadis ini. Tidak ada yang ganjil. Tapi tenangnya Naira perlu dia waspadai.

"Mas Sakha."

"Hm?"

"Aku udah bilang ke Mama kalau kita menikah akhir tahun ini."

Sakha meletakkan sendoknya, urung memulai makan. Meski terkesiap, tak satu pun kalimat reaktif keluar dari mulutnya.

Hanya bertanya pendek. "Apa kata Mama?"

"Mama bilang terserah aku. Terserah kita."

Naira menerima tatapan bingung itu dengan senyum tipis. Seakan mengerti kakaknya pasti akan terkejut. Naira tidak punya pilihan selain mempercepat rencana pernikahan mereka.

"Kenapa mesti buru-buru?"

"Pada akhirnya kita nikah."

"Kita sepakat lakuin ini tahun depan, Nai."

"Kenapa nggak bisa tahun ini?"

"Kamu tahu semuanya. Kamu tahu aku belum—"

"Belum bisa melupakan Kak Binar?" Kenyataan yang ditemui Naira ketika menyusul kakaknya minggu lalu. Kenyataan yang membuatnya semakin takut.

Sakha mengangguk, mengakuinya. "Kasih aku waktu lagi. Aku nggak mau kamu terluka."

"Tapi apa ada bedanya? Sekarang atau nanti, apa Mas Sakha bisa lupain dia? Bahkan tahun depan atau tahun berikutnya, aku yakin tetap nggak bisa. Karena aku mengenal Mas Sakha, aku nggak akan terluka. Aku juga bisa jadi sebaik Kak Binar."

"Ini bukan masalah siapa yang lebih baik, Nai. Kamu tetap baik tanpa harus dibandingkan dengan siapa pun."

"Lalu kenapa setahun ini aku tetap gagal? Semua usaha yang aku lakuin nggak bisa menggeser posisi Kak Binar. Emangnya dia siapa? Sampai bikin Mas segininya. Dia nggak tahu apa-apa soal Mas. Dia nggak pernah ada waktu Mas butuh. Kenapa Mas harus ngasih semuanya ke dia?"

Usaha Sakha juga sama gagalnya. Dia tidak tahu kalau kepulangannya ke rumah Ibu justru memperumit keadaan. Tapi dia tetap mengambil pilihan sulit itu. Mengikuti kata hatinya; mendekati Binar.

Tidak bisa dipungkiri dia merasa bahagia. Sayangnya, kebahagiaan sementara itu tidak hidup abadi. Sakha punya realitanya sendiri.

Makanan di meja terlupakan. Tidak ada lagi yang berselera untuk makan.

Naira tertunduk dalam, menenangkan diri. Menghentikan rentetan kalimat yang dia tahu, bisa dia lontarkan dengan bebas dan Sakha tidak akan balas menyerangnya.

Setelah tergugu lama, Naira berdiri dan berpindah duduk di sebelah Sakha. Tanpa mengatakan apa pun, memegang separuh wajah Sakha dan bergerak untuk menyatukan bibir mereka.

Sakha refleks menghindar. Bibir Naira hanya mendarat di pipi.

Seketika suasana menjadi canggung. Sakha membuang pandangan ke arah lain sementara tangan Naira perlahan menyingkir dari wajahnya.

Naira beranjak, mengemasi tasnya dalam diam. Sakha juga bangkit dan meraih jaket. Tanpa berusaha membujuk Naira yang sedih dan kecewa. Dia membawa kunci mobil, mengikuti langkah Naira, kemudian memakaikan jaket miliknya di bahu Naira ketika mereka di dalam lift yang bergerak turun.

"Mas sayang kamu, Nai."

"Bukan. Mas hanya nggak bisa menolak permintaan Papa saat itu."

Sakha tidak bisa menyangkal. Tapi sampai saat ini, rasa sayangnya ke Naira tidak berubah.

"Ini nggak lebih dari balas budi. Aku ngerti dan paham. Tapi karena Mas sudah janji dengan Papa, bisakah Mas berusaha menjalani ini, seenggaknya dengan setengah hati? Aku nggak minta sepenuhnya, Mas. Cuma separuhnya. Apa sesulit itu?"

Sakha sudah berusaha sebisanya untuk mencintai Naira. Meski berkali-kali gagal. Di satu sisi, dia bisa memahami Naira yang semakin posesif. Naira yang masih sangat terpukul kehilangan sosok seperti Papa.

"Bukan harus lupain dia, tapi karena udah saatnya Mas menyerah. Apa pun yang Mas lakukan, Kak Binar tetap nggak bisa menyukai Mas, kan?"

"Nai—"

"Atau andai dia menyukai Mas, Mas tetap nggak bisa meninggalkan aku. Mas nggak bisa meninggalkan aku dan Mama."

Sakha melangkah keluar lift lebih dulu. Mendahului Naira yang kemudian terdengar mengimbangi langkah lebarnya. Membiarkan Naira menang. Apalagi setelah melihat gadis itu menyeka pipi.

Sepanjang jalan, Sakha bungkam. Naira sempat takut melihat kakaknya yang diam. Tapi demi egonya yang juga terluka, dia memilih melakukan hal yang sama. Bahkan saat turun di depan rumah pun, keduanya kompak bisu. Naira berbalik dan Sakha langsung melajukan mobilnya pergi.

Sakha mampir ke studio foto miliknya. Hanya untuk memarkir mobil, lalu menyelinap ke lapangan tenis di seberang studio. Untungnya sudah kosong. Sakha sedang malas bertemu dan bicara dengan siapa pun.

Dia mulai lari mengelilingi lapangan. Tidak menghitung berapa kali putaran. Hanya terus berlari sampai tubuhnya kepayahan. Sialnya, menit demi menit, dia tak kunjung merasa lelah.

Yang ada hanya rasa putus asa yang terus menekan dada. Wajah-wajah yang tidak ingin dia kecewakan membayangi benaknya. Mendiang Papa. Mama. Naira. Orang-orang yang berharga dalam hidupnya.

Dan juga, Binar. Yang malam ini ingin dia ingat lebih lama. Untuk yang terakhir.

Kakinya masih terus berlari. Keringat mulai membanjiri sekujur tubuh. Senyum getirnya masih melekat.

Naira benar. Berapa kali Sakha berniat melupakan Binar? Bahkan dari lama. Tapi lihat, dia selalu kembali ke titik awal. Datang ke pertandingan perempuan itu, menghilang beberapa tahun, kemudian datang lagi dengan perasaan yang masih sama.

Apa yang sebenarnya dia harapkan? Binar yang saat ini tidak dimiliki siapa-siapa mendadak menyukainya, kemudian Sakha punya alasan kuat untuk meninggalkan Naira?

Sakha memelankan kecepatan larinya. Mengusap kasar entah keringat atau air mata yang mengganggu.

Dia tidak sendirian. Ada banyak di dunia ini, mungkin jutaan, orang-orang yang akhirnya menyerah dengan keadaan, melepas sesuatu yang sudah di depan mata. Bukan karena tidak bisa berusaha, tapi karena tidak bisa memilih.

Seharusnya ini lebih mudah. Sakha hanya melepas seseorang yang tidak mencintainya, dan hidup dengan seseorang yang mencintainya.

***

InsyaAllah selesai di chapter 34+epilogue. Doain nulisnya lancar ya. Biar mereka bisa cepet bahagianya. Monmaap yg nulis juga capek hati+ bingung mau kasihan sama yg mana😭😭🙏

Kamis/15.08.2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top