24. Dibiarkan patah dan tak tumbuh

Sakha mengerjap beberapa kali sebelum matanya bertemu jam dinding, yang samar kemudian perlahan menjadi jelas, menunjukkan pukul lima. Pening luar biasa menyergap ketika dia coba mengangkat kepala dari sofa.

Menunggu peningnya berkurang, Sakha mengamati dinding dan langit-langit. Ini jelas bukan rumah Ibu. Dan dia mengenali ini di mana.

Rumah Binar.

Dia memejamkan mata. Mengais ingatan yang bisa dia temukan. Semoga bukan hal yang memalukan. Dia lama tidak mabuk. Dari pengalaman dulu-dulu, pasti ada saja sesuatu yang tidak semestinya keluar dari mulutnya.

Tanpa menunggu kesadaran yang sulit penuh, Sakha memaksakan diri bangun sambil mengerang lirih. Kemudian tersaruk menuju pintu utama dengan pikiran yang masih linglung.

Sakha terduduk di gazebo sebelum mencapai pintu rumahnya sendiri. Duduk merunduk, menangkup wajah dengan kedua telapak tangan. Pagi masih begitu tenang dan dingin. Lampu-lampu belum dimatikan. Tapi tak lama terdengar pintu dibuka dan suara langkah yang menghampirinya.

"Habis dari mana?" Suara lembut Ibu bertanya lirih. "Kamu nggak pulang, tidur di mana?"

"Rumah Umar. Ketiduran di sana." Masih menyembunyikan wajah di antara telapak tangan.

"Lain kali Ibu marahin Umar. Kali ini Ibu biarkan." Tangan Ibu mengusap kepala Sakha. "Seenggaknya dia antar kamu pulang. Meski salah pintu."

Sakha terperanjat. Menegapkan duduknya. Tergagap. "I-ibu ... lihat?"

"Lihat kamu keluar dari rumah Binar barusan? Ibu nggak lihat."

"Y-yang semalam?"

"Ibu tungguin sampai Umar keluar sendirian."

Sakha mengacak rambutnya sendiri. Tidak muncul pembelaan apa pun. Ibu juga tidak mencercanya. Dia pikir akan kena jewer karena berani mabuk. Ketahuan pula. Ditambah tidur di rumah tetangga. Kalau kepercayaan Ibu tidak besar, pasti dirinya sudah dituduh macam-macam.

"Kemarin saat Naira nggak di sini, Ibu enteng bercandain kamu sama Binar. Ibu tahu sikap Ibu salah. Nggak semestinya Ibu bikin lelucon tentang kalian, apalagi sampai punya harapan lebih. Selain itu, mungkin malah menyakiti hati kamu."

Masih terlalu pagi dan terlalu teler untuk memahami maksud Ibu. "Aku nggak merasa sakit hati."

"Sulit kan berada di dekat Binar? Terlepas kamu senang melihatnya setiap hari. Kesenangan itu hanya bertahan sebentar sampai kamu menyadari kalau kalian nggak bisa bersama." Ibu menghela napas. "Kamu nggak mungkin bisa menyakiti hati Naira."

"Naira perempuan baik. Sebaik seperti yang Ibu dengar di cerita-ceritamu." Ibu menggenggam tangan putranya. "Nggak ada alasan bagi Ibu untuk nggak merestui kalian."

"Apa ini artinya Ibu bakal berhenti bercandain aku sama Binar?" kekehnya.

Ibu mengangguk. "Maafin Ibu."

"Aku udah tanya ke Naira kemarin. Dia bilang nggak keberatan tinggal di sini. Kapan pun aku mutusin pindah, dia akan ikut."

"Sebesar itu cintanya ke kamu, Ka?"

Pertanyaan yang membuat Sakha tergugu, alih-alih mengiakan. Entah baginya mana yang lebih baik. Dicintai sebesar Naira mencintainya, atau terus mencintai perempuan lain yang tidak bisa dimilikinya.

Naira cukup baginya. Bersama dengan Naira, dia juga bisa bahagia. Nah. Sudah seperti jargon partai saja.

Tapi yang bikin capek, Binar masih berkeliaran di pikirannya. Tidak mau pergi.

"Kamu nggak serius masih suka Binar kan, Ka?" Ibu sepertinya juga ragu. "Nggak mungkin perasaan kanak-kanak itu masih kamu simpan."

Sakha tidak menjawab. Menghindari tatapan Ibu dan mengulang jargon partai.

***

Binar melihat sofa ruang TV yang sudah kosong. Ida datang beberapa menit yang lalu dan membawa plastik penuh belanjaan. Sembari menata sayur serta daging ke kulkas, Ida bercerita, Binar tidak mendengarkan. Sibuk mematung di dekat sofa.

Seolah orangnya masih di situ. Harusnya pamit kalau pulang. Biarpun rumahnya hanya sepelemparan batu. Jadi Binar tidak panik mencari ke kamar mandi. Takut orangnya muntah dan pingsan di sana.

"Arum jadi ke sini semalam?" Ida lewat di sampingnya, melihat selimut di sudut sofa dan melipatnya.

"Hm?" Binar menyahut sekenanya. "Ya."

"Terus sekarang di mana?"

"Pulang? Ya. Dia buru-buru pulang."

Ida menyimpan selimut ke lemari. Melewati Binar lagi dan bicara sambil lalu, "Kayaknya bukan Arum deh. Tapi satunya. Tetangga depan. Parfumnya ketinggalan di selimut tuh."

Binar bergeming. Ida mulai mengenakan celemek dan menoleh dengan senyum penuh makna. Siap mendengar penjelasan dari pemilik rumah. Jika tidak, dia tidak memaksa. Ida sekilas bisa menilai kalau situasi di antara mereka cukup rumit. Belakangan sepertinya bertambah rumit.

"Panjang umur." Ida mendengar pintu diketuk. "Tapi kepagian nggak sih? Biasanya Sakha muncul pas kamu berjemur."

Ketukan berhenti, berganti dengan suara merdu.

"Itu adiknya." Binar masih saja salah bicara. "Calon istrinya."

Ida meletakkan pisau. Melihat Binar yang tidak bergerak. "Biar aku yang buka."

"Kamu lanjut aja." Binar berbalik. Mungkin Naira ingin melabraknya? Karena tahu calon suaminya habis menginap di sini semalam.

Bisa jadi.

Naira tersenyum lebar saat pintu dibuka.

Binar sebaliknya, tampak bingung. Bingung harus memasang tampang seperti apa. Kalau menuruti kata hati, dia harus galak dan tak tersentuh. Tapi perlahan dia membalas senyuman Naira.

"Aku ganggu ya, Kak? Habisnya aku bangun orang rumah udah nggak ada."

"Mungkin ke pasar."

"Boleh main di sini dulu, kan?"

Binar membuka pintu lebih lebar. Naira antusias melangkah masuk. Mungkin dikiranya akan melihat banyak piagam dan medali di rumah ini. Tapi yang Naira lihat adalah rumah besar dengan perabotan yang sedikit. Saat mendongak ke lantai dua ekspresinya mendadak sedih. Sakha pasti sudah cerita.

Binar bergerak ke jendela, menyibak gorden. Menawarkan kursi kecil di dekat jendela. Tempat dia biasa merajut dan tempat Arum nyerocos tentang apa pun.

Ida muncul membawakan teh hangat dan kue kering.

"Ibu minta kami tinggal di sini nanti." Naira menyesap tehnya. Menikmati pemandangan pekarangan rumah yang telah ditinggalkan kabut.

Nanti yang dimaksud adalah nanti setelah mereka menikah. Binar langsung paham. Sama mengertinya jika Naira hanya bercerita. Bukan sedang pamer.

"Aku nggak keberatan. Di sini tenang. Jauh lebih tenang daripada di kota. Kita nanti bisa tetanggaan, Kak. Seru ya."

Ya. Sepertinya akan seru sekali.

Binar ingat. Tante Retno pernah iseng bilang padanya jika ingin menantu yang dekat agar Sakha tidak perlu pergi jauh lagi. Sekarang hal itu bukan masalah lagi. Naira bersedia tinggal di sini. Masalah selesai.

"Keputusan yang bagus. Kamu bakal betah banget, Nai."

"Sebenarnya di mana pun nggak masalah. Tapi kerjaan Mas Sakha banyak di Jakarta. Kayaknya butuh satu-dua tahun kalau mau pindahan ke sini."

Kalian jangan khawatirkan Binar. Dia tidak apa-apa. Tapi Arum yang tiba-tiba datang, masih mengenakan baju tidur dan sandal berbulu, membuat situasi berubah. Pasti Ida yang membuat anak ini lari kesetanan kemari.

Apalagi tatapan Arum ke Naira langsung sengit. Peringatan dari Binar diabaikan. Arum menjadi Arum yang sangat menyebalkan.

"Itu kursi punyaku." Dengan kekanakan menunjuk kursi kayu yang ditempati Naira.

"Oh, maaf." Naira bergeser ke kursi satunya.

"Jangan di situ juga. Itu punya Mbak Binar."

"Arum!"

Naira berdiri. Sekarang dua kursi kecil itu dirangkul Arum. Tidak boleh ada yang duduk di sana.

Binar menatap bosan ke sepupu tunggalnya itu. "Dia sebetulnya masih anak SD, Nai. Badannya doang yang gede. Yuk kita ke halaman samping aja."

Untungnya Arum tidak mengikuti ke halaman. Mungkin berhasil ditahan Ida. Tidak ada tanda risi di wajah Naira. Sepertinya tidak terganggu dengan tingkah Arum barusan.

"Setahuku Kak Binar anak tunggal."

"Adik sepupuku. Dia sehari-hari emang aneh begitu. Maaf ya."

"Posesif ke kamu ya, Kak?" Naira tertawa kecil.

Binar membiarkan Naira salah paham. Arum bertingkah begitu karena alasan lain.

"Aku dulu juga kayak Arum. Kami tinggal di gang. Kebetulan Papa punya kosan. Kalau ada anak kos yang ganjen ke Mas Sakha, pasti aku galakin. Kadang nggak pandang bulu. Temen cowok pun tanpa sebab aku sinisin."

Sebetulnya mudah terlihat. Dari gestur yang Naira tunjukkan setiap menyebut nama Sakha. Begitu jelas kalau Naira tidak suka membagi Mas Sakha-nya ke siapa pun.

"Terus ke pacarnya Sakha gimana?"

"Pacar? Mas Sakha nggak pernah pacaran. Banyak yang deketin tapi nggak pernah sampai ke tahap itu."

"Karena kamu ...?"

Kedua tangan Naira sontak mengibas. "Bukan. Aku justru dukung kalau ada yang deketin." Berdeham. "Tapi dulu."

"Sakha terlalu sibuk sama mimpinya?"

"Alasan pertama dan mungkin satu-satunya, karena Mas Sakha nggak bisa lupa sama cinta pertamanya."

Cukup. Binar tidak akan bertanya lagi.

***

"Aku sama Ibu ninggalin notes di pintu kulkas. Kamu dibangunin nggak bangun. Aku bahkan teleponin kamu berkali-kali."

Naira mengangkat kedua tangan. "Nggak jalan ke dapur jadi nggak lihat notes-nya. Terus nggak bawa HP."

"Habis dari rumah Binar?"

"He'em." Meneliti ekspresi Sakha yang lumayan serius. "Takut banget idolanya aku rebut."

"Dimintai tolong sama Ibu tuh."

"Apa?"

"Nyuci pantat panci."

Naira mendecih, komat-kamit dengan julid dan saat Sakha lengah berhasil mencuri cium di pipi.

Hal yang setahun belakangan jadi lumrah baginya. Naira masih sebatas itu, tidak berlebihan dan Sakha membiarkan. Seharusnya memang tidak apa-apa, kan? Hubungan mereka memang harus berkembang.

Namun, Sakha malah mempertanyakannya saat ini.

Sakha meneruskan langkah. Dan yang pertama dia dengar saat menemui Binar di halaman samping,

"Barang Naira ada yang ketinggalan?"

Dia kemari bukan untuk itu.

"Barusan dia ke sini. Tapi nggak bawa apa-apa seingatku."

Sakha belum bersuara.

"Belum waktunya aku berjemur. Kali ini kamu nggak boleh nimbrung."

"Oke." Mengiakan dengan mudahnya.

Binar menahan Sakha dengan pertanyaan bernada tuduhan. "Kamu mau ambil bunga mataharimu buat dibawa pergi?"

Sakha melirik pot di tepian kolom kosong. "Itu punyamu, bukan punyaku. Kalau mau buang tunggu aku pergi dulu."

"Terus? Kenapa kamu bikin bingung?"

"Bagian mana yang bikin kamu bingung?"

Tolong kembalikan Sakha versi begajulan. Lebih mudah dihadapi. Binar tidak perlu keluar banyak omongan. Paling-paling cuma kesal.

"Soal semalam, ehm, aku nggak ingat kenapa bisa datang ke rumahmu."

"Kamu diantar Umar."

"Oh." Manggut-manggut. "Oke. Umar. Aku ingat dikit bagian itu. Selebihnya enggak."

"Kamu mabuk. Umar nggak berani antar kamu pulang. Dititip ke sini." Binar diam-diam meneliti. "Kenapa? Ada yang kamu ingat?"

Sakha menggeleng. "Kalau aku ngomong aneh-aneh, jangan dipercaya. Jangan dimasukin hati. Aku cuma ngelantur."

Binar diam sesaat. Kedua tangannya yang ada di pangkuan saling bertautan. Matanya tidak berkedip menatap Sakha yang memilih tetap berdiri meski ada bangku kosong yang juga ditempati lelaki itu setiap ke sini.

"Kamu nggak ngomong apa-apa."

"Kamu yakin aku nggak bilang sesuatu?"

"Keadaanku jauh lebih sadar ketimbang kamu yang teler. Terserah kalau nggak percaya."

Sakha gamang. Tampak ingin mengatakan sesuatu. Beberapa kali membuka bibir lalu mengatupkannya lagi. Akhirnya berkata pendek dengan senyum canggung. "Aku percaya."

Dalam hitungan detik, cengiran Sakha muncul. "Tuh, sinar mataharinya udah muncul. Aku pulang dulu."

Sebelum Sakha terlalu jauh, "Besok jam berapa?"

Sakha berhenti. Berbalik tanpa mendekat lagi. "Pergiku? Nggak usah repot-repot. Aku tahu berat kehilangan teman baik hati dan ganteng kayak aku. Aku takut kamu nangis kejer."

Binar tidak memasang raut jengkel yang biasanya. Dia menunggu kalau-kalau ada yang ingin Sakha katakan lagi. Tidak apa-apa kalau masih hal tidak penting.

"Bi, sebelum aku pergi, ada tempat yang pengin kamu kunjungi lagi nggak?"

"Aku bisa minta antar Arum."

"Oh, oke."

Namun, Sakha masih bergeming.

"Maafin aku ya, Bi."

"Dimaafin."

Sakha berkacak pinggang, terkekeh melihat respons cepat Binar. "Hei, kok semudah itu? Emang kamu tahu salahku apa? Aku belum bilang."

"Nggak perlu bilang. Aku yakin salahmu banyak. Dengan tingkah kamu yang kayak gini pasti banyak yang pengin mukul kamu. Aku cuma salah satunya." Binar terlambat menggigit bibir. Senyum tipisnya tercipta. "Tapi aku maafin. Baik kan aku?"

Sakha takut tidak mau pulang karena betah melihat senyum Binar. Urusan pamit jadi berat. Tapi untuk jujur, jauh lebih tidak bisa dia lakukan.

"Berapa kali kamu datang?"

"Hm-hm?"

Binar mengangkat sedikit alisnya.

"Datang ke mana, Bi?"

***

Ada yg kangeeen? 🐣

Kamis/25.07.2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top