23. Yang sama-sama kita pendam

"Pantas diumpetin terus, bening banget kayak embun." Setelah mengelap tangan di kaos, Umar lalu mengulurkannya. "Halo Naira, aku Umar. Teman baik Mas Sakha-mu."

Sakha sontak merinding mendengar sebutan itu keluar dari mulut Umar.

"Oh ya. Halo juga." Naira clueless karena orang ini tidak masuk ke cerita-cerita Sakha. Tapi tetap menjabat tangan Umar.

"Udah jangan lama-lama. Kena sirep kamu nanti." Sakha memutus tautan tangan mereka. Kemudian menunjuk jalan. "Lanjut, Mar."

"Ayo bareng aja. Kalian mau jalan-jalan, kan?"

"Duluan aku bilang."

"Enakan jalan rame-rame."

"Kita bukan mau karnaval. Tuh, dombamu awasi. Jangan sampai masuk ke rumah Binar lagi."

"Tapi nggak khawatir dombanya masuk ke rumah ibumu ya? Orang aneh. Gimana ceritanya kamu suka sama dia, Nai?"

Naira cuma nyengir. Salah satu anakan domba mendekat ke kakinya. Dia tidak ragu apalagi risi dan malah menggendongnya. Dia juga yang memimpin jalan, mengikuti domba dewasa lainnya.

Meninggalkan dua orang di belakang.

"Udah cocok hidup di sini tuh. Aku kira bakal jijik sama domba. Lengket gitu malahan. Apa dia jodohku?"

Sakha meraup wajah Umar.

"Bercanda. Aku mana tega nikung temen sendiri. Dia ke sini karena kamu kelamaan ya? Kamu pasti nggak cerita ke dia kalau sengaja lama karena ada Binar."

"Nggak sengaja lama. Dari awal emang pengin sebulan di rumah Ibu."

"Semua cowok sama. Terus dia udah ketemu Binar?"

"Udah."

"Reaksinya?"

"Biasa aja."

"Mana mungkin. Pasti ada api cemburu."

"Aku nggak mikir sampai sana, Mar."

"Makanya aku kasih tahu. Biar kamu ada persiapan."

"Persiapan apa?"

"Perang Dunia 3. Atau malah Perang Dingin. Binar kayaknya nggak suka ribut."

Dari belakang, Sakha selalu awas memperhatikan Naira. Takut kalau mendadak domba Umar banyak tingkah. Tapi rupanya perempuan itu senang dikelilingi para domba.

"Tunggu, yang ada api cemburu-nya siapa?"

"Pastinya bukan Binar." Lantas terbahak. "Ngarep banget Binar cemburu."

Sakha menepis kesal jari Umar yang menunjuknya.

"Eh, Binar, mau ke mana?"

Secepat kilat Sakha berbalik. Masih kalah cepat dengan Umar yang mengenali suara kursi roda lebih dulu.

"Ikut kalian."

Binar melihat Umar yang terbelalak, sedangkan Sakha tampak biasa saja. Justru Umar yang memundurkan langkah, menemaninya. Sakha tetap melangkah di depannya. Jadi Binar bisa menilai gestur lelaki itu. Juga arah tatapannya ke mana.

Wajar. Sakha sudah lama hidup dengan Naira. Bentuk perhatiannya luas, bahkan untuk hal-hal kecil yang luput dari mata.

"Mau main layangan ya?"

Binar menoleh. Umar mengajaknya bicara.

"Eh tapi nggak bawa layangan."

"Nyari angin."

"Tapi mungkin kita bakal sepet lihat pemandangan pasangan di depan."

"Bukannya mereka lucu?"

"Tergantung kamu lihatnya gimana."

Apanya yang lucu. Umar benar. Sampai di lapangan, Binar terganggu dengan perhatian-perhatian kecil yang Sakha beri ke Naira. Seperti dua anak kecil, mereka berjongkok di tepi lapangan yang lain.

"Nyari apa mereka?" bertanya ke Umar. Yang sedang melihat ke arah yang sama.

"Semanggi empat daun."

Binar berhenti menatap mereka. Mencari kesibukan. Dia ke sini untuk mencari angin. Memang dapat angin tapi tidak dengan suara senda gurau di kejauhan.

"Orang kayak Sakha mulus ya urusan asmaranya." Umar berkomentar. "Bisa jadi bukan gara-gara muka gantengnya. Tapi karena dia orangnya baik, tulus."

Binar gagal melamun.

"Aku pikir waktu dia kabur dari rumah, dia bakal kesepian dan sendirian. Aku kira dia bakal berubah banyak, ternyata masih sama kayak Sakha yang dulu."

"Orang yang mesti dikhawatirin itu diri kita sendiri."

"Sebelumnya kamu emang khawatir ke Sakha? Soal apa?"

Binar tertohok. Matanya kembali ke sisi lapangan. Perempuan itu terlihat sedang bercerita. Raut wajahnya begitu ekspresif. Sakha memberi anggukan sebagai respons, sambil tangannya menyibak rerumputan. Tapi dalam setiap beberapa detik, Sakha akan sedikit mengangkat wajah dan menatap lurus ke mata Naira.

Jenis tatapan yang hangat sekaligus teduh.

"Jangan dilihatin terus, Bin. Takut kamu nggak kuat."

Tanpa berpaling ke Umar. "Emang apa yang bakal terjadi kalau aku lihatin mereka terus? Nggak akan ngubah realita apa pun."

"Realita punya Sakha nggak berubah. Tapi punyamu mungkin berubah."

Akhirnya Binar menoleh. "Kamu salah makan, Mar?"

"Eh?"

***

Arum sedang sibuk-sibuknya dengan tugas akhir semester makanya jarang tidur di rumah Binar. Ida juga punya urusan sendiri di rumahnya. Binar sungkan meminta Ida untuk menginap.

Dia sudah berteman akrab dengan sepi. Tapi kemarin hari-harinya sempat ramai. Lalu mendadak semua orang sibuk. Ada rasa kehilangan yang tidak dia mengerti.

Memang tidak apa-apa. Dia punya beberapa kegiatan untuk membunuh waktu, menunggu sampai pagi datang.

Tapi rasanya tidak cukup. Semua yang dia lakukan tidak semenyenangkan biasanya.

Binar mendekat ke jendela, hanya membuka satu sisi. Melihat rumah di seberang menjadi favoritnya belakangan ini. Padahal dulu biasa saja. Seperti rumah-rumah lain, tidak ada yang istimewa. Sebelumnya Binar tidak pernah datang ke jendela hanya untuk melihat rumah itu.

Mungkin yang sebenarnya dia pikirkan hanya satu orang. Yang tiba-tiba dua hari ini suaranya jadi samar. Kehadirannya jadi absen. Tawanya tidak terdengar dekat.

Rumah ini, juga halaman di samping, berubah jadi tenang. Terasa sekali perbedaannya.

Lalu bagaimana besok lusa kalau orangnya sudah pergi?

***

Sakha membuka pintu hati-hati, tanpa menimbulkan kerit. Mendapati Ibu yang sudah tertidur. Di sebelah Ibu ada Naira, yang ikut tidur. Pemandangan yang menyenangkan hatinya.

Naira cepat akrab dengan Ibu. Begitu pula sebaliknya. Mereka mengenal satu sama lain lewat cerita Sakha, juga obrolan-obrolan di telepon. Saat bertemu tidak canggung lagi.

Setelah beberapa saat memperhatikan keduanya, Sakha menutup pintu kembali.

Dia perlu membereskan baju, melipatnya dan mulai menata ke koper. Tapi ketika berniat merapatkan celah gorden, Sakha tertahan karena jendela kamar Binar terbuka.

Meski terhalang teralis, masih terlihat Binar yang melamun di sana. Sepulang mengunjungi Opanya tempo hari Binar memang sedikit berubah. Mungkin ingat dengan Adam. Jadi banyak diam dan murung. Apalagi saat di lapangan tadi sore, Binar seperti Binar yang dia temui sebulan lalu.

Sakha mengambil ponsel. Sudah membuka room chat, bersiap mengetik pesan. Tapi justru menekan ikon panggil.

Kebetulan diangkat.

"Belum tidur?"

"Ya."

"Udahan mikirin Adamnya. Tidur, Bi. Telat besok fotosintesisnya."

"Ya."

"Binar is back, huh?"

"Kalau nggak penting, aku tutup."

"Kamu pengin aku ke situ sekarang?"

"Nggak perlu."

"Di rumah ada siapa?"

"Sendirian."

"Udah makan?"

Tut. Sambungan ditutup sepihak. Sakha geleng-geleng tak habis pikir. Sebanyak apa cintanya Binar ke Adam. Sampai susah sekali move on.

Sakha menyimpan ponselnya ke saku, lalu ke kamar hanya mengambil jaket. Urusan melipat baju bisa besok. Dia lantas keluar rumah. Melambaikan tangan ke Binar yang bersiap menutup jendela. Orangnya ingin sendiri. Jadi Sakha tidak memaksakan datang dan mengganggunya seperti biasa.

Dia berjalan ke rumah Umar. Seperti dugaan, jam sebelas, rumah itu masih ramai. Umar duduk di sisi teras. Lalu sisi lainnya dipenuhi bapak-bapak yang main remi sambil merokok. Ada botol miras di antaranya.

Karena rumah Umar ada di ujung jalan, lumayan jauh dari tetangga, setiap saat sering menyetel lagu dangdut dengan speaker besar. Sakha merasa seperti masuk ke dunia yang berbeda.

"Naira mana?"

"Ya kali aku ajak dia ke tempat dugem lokalan begini."

Umar menghentikan game di ponselnya. "Gini-gini mahal lho semua sound itu."

Sakha duduk dan mengambil bungkus rokok Umar.

"Balik lusa?"

"Hm."

"Kenapa sama Binar?"

Sakha bingung kenapa tiba-tiba jadi ke Binar. Tapi menanggapi juga. "Kamu juga ngerasa aneh, Mar?"

"Dombaku aja tahu."

"Iya, Binar emang lagi sedih kayaknya. Keinget mantan."

"Nggak salah?"

"Aku lebih tahu soal dia." Menyalakan ujung rokok.

Umar masih sangsi. "Selain inget mantan, ada lagi?"

"Inget mama sama papanya. Mungkin."

"Selain itu?"

"Lagi berantem sama Arum? Aku nggak lihat Arum dari kemarin. Biasanya seliweran."

Umar dengan dahinya yang berlipat dan mata yang menganalisis. "Kayaknya bukan deh."

Membuang abu rokok ke asbak. "Sini aku ceritain. Kamu nggak ikut masuk kemarin pas ke panti jompo."

Mengalirlah cerita Sakha. Singkat tapi jelas.

"Ah, gitu doang. Masa langsung keinget mantan?"

Orang ini lama-lama menyebalkan. Sakha malas meladeni lagi.

"Bentar, aku mules."

Sakha ditinggal sendirian. Menghabiskan rokok kedua dengan pikiran apakah Binar sudah tidur, atau malah sulit tidur. Semoga Binar kepikiran bikin mie kuah sambil menonton sesuatu yang lucu. Atau merajut sampai mengantuk. Pokoknya apa pun yang bisa mengenyahkan kenangan tentang Adam sialan itu.

Sakha menyambar gelas berisi air putih dan meminumnya. Terasa asam dan getir. Memberi sensasi terbakar di tenggorokan.

Lima menit saat Umar kembali dari kamar mandi. "Ibumu masih suka bikin tuak kelapa?"

"Udah lama enggak."

"Terus yang kuminum apa? Rasanya kayak sama."

Umar mengecek gelas yang kosong. Terkejut panik. "Ini tuak beneran. Punya bapakku, aku minta segelas belum kesentuh. Kamu habisin?!"

Sakha mengangguk sambil nyengir. "Habis sekali minum."

"Tapi kuat alkohol, kan?" Umar sedang malas direpoti.

"Aman." Sakha mengacungkan dua jarinya membentuk huruf O. "Minum sebotol juga pernah."

Umar yang masih berdiri, mengambil ke dalam sebotol dan gelas untuk dirinya sendiri.

"Ini dijamin kan kamu bisa pulang sendiri?"

"Iyaa."

Umar pun menuang ke gelas Sakha. "Ibumu soalnya galak banget. Aku pernah dituduh ngajakin kamu mabok."

"Aman. Aman."

Harusnya Umar tidak teperdaya. Sakha tepar di gelas keempat. Menggunakan paha Umar sebagai bantal tidur sambil sesekali meracau tidak jelas.

"Duh. Apa kubilang. Aku yang repot!" Menggerutu sendiri. "Sebotol apanya. Air tajin?"

Tiba-tiba Sakha bangun dan beranjak. Meraba-raba tikar mencari ponsel. Umar bantu meletakkan benda itu ke tangan Sakha.

Takut ada apa-apa di jalan, Umar mengekori sahabatnya itu. Jalannya sudah sempoyongan. Ada saja tingkahnya. Bertemu pohon di tepi jalan, dipeluk, diajak bicara, dibelai-belai.

Sakha berakhir tergeletak di aspal. Umar sigap membantu bangun dan memapahnya. Bisa runyam kalau sampai ada orang yang lihat. Umar pun mempercepat langkah meski cukup kewalahan.

Alih-alih berbelok ke rumah Sakha, dia pilih mengetuk pintu rumah Binar.

"Bin, buka. Ini Sakha." Umar menepuk pipinya sendiri. "Maksudnya ini Umar, bawa Sakha yang lagi mabuk. Tolong bukain pintunya cepet."

Ampuh. Nama Sakha disebut dan pintu terkuak tak lama kemudian.

"Kamu apain Sakha?" Sarat tuduhan. Terdengar cemas dan panik.

"Mabuk. Tanyain aja pas orangnya bangun. Kamu mundur biar aku bawa dia masuk."

"Kenapa nggak diantar pulang malah ke sini?"

"Ibunya galak. Aku nggak mau diomelin tengah malem gini."

Binar mundur dan Umar bergegas membawa Sakha masuk.

Sakha ditinggalkan di sofa depan TV. Umar lantas buru-buru pamit sebelum Binar banyak tanya lagi.

Cukup lama Binar ada di samping sofa, mengawasi Sakha yang sepertinya tidur. Tidak bergerak sama sekali.

Tapi semakin lama Binar di sini, semakin dia tidak ingin beranjak. Arum akan menertawakannya jika tahu apa yang dia lakukan.

Tidak ada salahnya, kan? Dia hanya mengajak bicara Sakha. Sekadar bicara. Karena tidak bisa dia lakukan ketika lelaki ini dalam keadaan sadar.

Ada banyak. Tapi mungkin cukup satu atau dua hal saja.

"Binar yang sekarang, yang banyak berubahnya, masih tetap Binar yang kamu kenal. Ini masih Binar yang mengingatmu dengan baik saat kita kecil dulu."

"...."

"Agak sulit ya mendekati dan berteman dengan Binar yang ini? Makasih karena kamu nggak nyerah."

"...."

"Karena kamu nggak nyerah, aku jadi terbiasa dengan kehadiranmu."

"...."

"Tapi, Ka, asal kamu tahu. Aku nggak terbiasa bergantung ke orang lain. Adam sekalipun."

"...."

"Kenapa harus datang ke hidupku sih? Kamu berisik. Kamu punya banyak kejutan. Bikin repot."

"...."

Suaranya melirih. "Aku yang salah. Aku yang kurang tegas saat kamu datang."

"...."

"Terus kalau kamu udah pergi. Aku gimana?"

"...."

"Aku nggak apa-apa, kan?"

Tidak perlu menunggu Arum, Binar sekarang sedang menertawakan dirinya secara lirih. Apa yang sudah dia katakan. Dia pasti hanya terbawa perasaan sentimental karena teman baiknya sebentar lagi pergi.

Mencegah hal bodoh lainnya terucap, Binar memutuskan berangkat tidur. Dia meninggalkan ruang TV. Bergerak ke kamar.

"Aku ... di sana hari itu, Bi."

Binar terhenti persis di ambang pintu. Menoleh. Sakha masih memejamkan mata.

Baiklah. Binar akan tanggapi sekenanya. "Di sana mana?"

"Pertandingan terakhirmu."

Binar mulai mengernyit.

"Aku ... lihat kamu pegang tropi. Senyum lebarmu. Konfeti-konfeti. Orang itu juga di sana. Di pinggir lapangan. Bawain kamu bunga. Sementara aku ...."

Tidak dilanjutkan.

Binar diam mencerna kalimat Sakha.

"Jarimu sempat cedera. Sakit banget, ya? Tapi kamu masih maksa main sampai set akhir. Aku hari itu ... nggak sempat bilang selamat, Bi. Tadinya aku ingin menemuimu. Tapi lagi-lagi aku melewatkan kesempatan ketemu kamu."

Binar berubah serius. "Jari bagian mana yang cedera?"

"Jarimu cedera."

"Jari yang mana?"

"Jari manis? Kelingking?"

Binar mencelos.

"Dua jarimu ... cedera."

Kehilangan kata-kata untuk bertanya lagi. Binar membuka semua ingatan. Wajah-wajah penonton yang bisa dia ingat, yang pernah terekam sepasang matanya. Tapi gagal. Dia tidak menangkap satu kali saja wajah Sakha.

Sakha bersuara lagi. "Binar ... selamat atas semua kemenanganmu selama ini."

Butuh waktu untuk menjawab. Pikirannya berkecamuk. Sesuatu bergulung hebat di hatinya.

Senyap beberapa saat. Binar masih diam membeku dan kelu.

"Lain kali katakan saat kamu dalam keadaan sadar."

Benaknya tertawa. Kamu juga, Binar. Katakan saat lelaki ini dalam keadaan sadar.

Binar menggeleng. Berubah pikiran. Menyadari bawah, "Kita mungkin, sama-sama nggak bisa mengatakannya secara langsung."

***

Aku lumayan nyesek ngetik chapter ini. Kayak, kenapa pada terlambat sih😭😭😭

Selasa/16.07.2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top