2. Bayi berusia 372 bulan
Konfeti yang berhamburan di langit-langit arena berganti dengan langit-langit putih yang bisu. Lampu blitz kamera berganti dengan lampu membosankan yang menjadi temannya selama seminggu terakhir. Sorak-sorai kemenangan berganti dengan sapaan perawat yang masuk, menyuntikkan ini-itu ke selang infus, membuatnya mengernyit menahan perih. Atau visit dokter dan segala kalimat motivasi yang gagal menghibur.
Kamar rawat inapnya dipenuhi buket bunga dan parsel buah. Sekuriti rumah sakit yang hilir-mudik membawanya masuk. Binar diam tak bereaksi banyak. Tahu-tahu saat dia membuka mata, benda-benda itu semakin menggunung di sudut ruangan.
Binar menolak menemui siapa pun.
Untungnya, semua orang mengerti. Semua orang mau memahami kenapa dia menolak dijenguk. Dia butuh waktu untuk menerima. Meski tidak yakin sampai kapan.
"Kamu mau buka salah satunya, Bi? Tante lihat ada beberapa surat dari penggemar kamu."
Tante Hanum masih bersamanya dari seminggu lalu. Bergantian dengan suami dan anaknya untuk menemaninya. Binar belum mengatakan apa pun, sekadar terima kasih karena dia tidak sendirian di ruangan ini selama berhari-hari.
Dari jendela ruangan, dia terus menyaksikan hari-hari berganti. Melupakan sekarang tanggal berapa, hari apa. Membiarkan ponselnya tergeletak bisu di atas meja. Dia menutup mulut bukan hanya untuk urusan makan saja. Jangankan berteriak, melempar benda yang bisa dia raih, dia hanya menangis tanpa suara. Itu pun kadang membuat tantenya ikut tersedu-sedu.
Dengan kondisinya sekarang, tidak hanya karirnya sebagai atlet voli yang tamat, bahkan mimpi-mimpinya yang lain.
Tiga minggu kemudian, dia diperbolehkan pulang. Tantenya yang mengurus semuanya. Entah itu obat, hasil pemeriksaan kakinya, termasuk mencarikan rumah sakit yang dekat dari rumah. Binar akan menjalani rangkaian terapi agar kakinya kembali berfungsi. Meski hanya duapuluh persen peluang untuk sembuh.
Dia hanya singgah sebentar di apartemen yang selama ini dia tempati, mengambil beberapa barang dan ikut pulang dengan tantenya di hari yang sama. Pulang ke rumah yang tenang di kaki bukit. Dia akan memulai hidup dengan sekadar hidup di sana.
Liga musim ini telah selesai. Binar tidak memperpanjang kontrak kerjasama dengan klub yang kemarin dia antarkan menjadi pemenang. Bukan tidak mau, tapi tidak bisa.
Ini hanya kemalangan yang lain. Sebelumnya dia telah kehilangan ayah dan ibu saat usianya menginjak duapuluh. Ketika jalan menuju mimpinya sudah terlihat, sudah dekat. Seperti mengulang, dia kembali ke titik terendah. Bedanya, sekarang dia tidak bisa melakukan apa-apa tanpa bantuan orang lain.
Tantenya mengubah beberapa sudut rumah agar mudah dan aman baginya. Semua benda yang sekiranya Binar butuhkan dipindah ke lantai satu, termasuk kamar yang dulu dia tempati di lantai dua.
"Tante sudah carikan orang buat bantu kamu bersih-bersih rumah. Karena kamu lebih nyaman sendiri, dia nggak akan nginap. Datang seminggu empat kali. Atau berapa kali nanti, kamu bisa ganti semau kamu."
Binar hanya mengangguk. Masih belum mau banyak bicara.
"Tadinya tante harap kamu mau tidur di rumah tante beberapa hari dulu. Lagian Arum jadwal kuliahnya mulai padat, rumah nggak selalu berisik seharian. Tapi kamu sepertinya kangen berat dengan rumah ini."
"Tante."
"Hmm?"
Tapi Binar mendadak bingung bilang apa. Berakhir bungkam lagi.
Tantenya tersenyum penuh pengertian. "Sama-sama. Kamu nggak merepotkan siapa-siapa. Kami sedih dengan apa yang menimpa kamu, tapi kamu lebih sedih dari siapa pun. Terlepas yang sudah terjadi, kami senang bisa melihat kamu lebih dekat, lebih sering. Seperti Arum, kamu sama berharganya buat kami, Bi."
***
Di antara semua yang berusaha ingin menemuinya di rumah sakit, mereka-mereka yang kerap mengirim pesan meski Binar tidak membalasnya, ada satu nama yang tidak pernah muncul lagi. Orang yang seharusnya ada bersamanya.
Beberapa bulan terlewati, masih sama. Binar masih menunggu satu orang. Tapi rupanya hanya menambah kesedihan dan putus asa. Dia semakin lelah dengan hidupnya sekarang. Dia mulai menolak berangkat terapi. Mulanya hanya sekali dan dimaklumi oleh tantenya. Hingga mudah baginya melewatkan jadwal terapi berikutnya.
Dan dia menjalani hidup yang seperti ini.
Bangun pagi seperti orang normal, berjemur di halaman samping, kemudian tenggelam di dalam kamar. Hidupnya kembali seperti anak bayi. Yang takut bertemu orang, yang menangis karena tidak mau orang lain melihat kondisinya lalu kasihan padanya. Tidak suka orang bertanya ini-itu. Dia mengisolasi diri dan ini nyaman untuknya.
Hanya beberapa orang yang dia bebaskan menginjak teritorinya. Tante Hanum, Om Budi, Arum, dan Ida—gadis seumurannya yang bantu mengurus rumah. Dan satu lagi, Tante Retno. Tetangga depan yang tinggal sendirian. Yang sering mengetuk jendela kamarnya hanya untuk mengajaknya bicara sepuluh menit. Tidak setiap hari. Tapi kerap datang.
Obrolannya klise. Tapi karena klise, Binar jadi sering menanggapi. Seperti;
"Ida masakin kamu apa, Bi?"
"Gempa tadi, Bi. Kamu lagi apa? Ibu lagi mandi. Untung cuma sebentar dan pelan."
Selalu membahasakan dirinya 'Ibu' di depan Binar.
"Dombanya Umar makin banyak. Kalau kecil gitu masih lucu ya, Bi, coba udah gede. Nyebelin. Mana ada yang mampir ke halaman Ibu kemarin, eek banyak. Padahal Ibu habis nyapu."
"Arisan ibu-ibu mau mulai lagi. Kamu mau ikutan, Bi? Bisa titip ke Ibu. Lumayan hlo, Bi. Sekali narik dapet dua juta. Eh, tapi kamu mah duitnya udah banyak ding."
"Kamu inget, bungsunya Ibu? Dia cerita habis kerja bareng Reza Rahadian. Jelasin banyak tapi Ibu cuma paham dia bagian motoin aja."
"Biii, kamu mau kue lapis?"
Atau,
"Ibu beli apel kebanyakan. Bantu habisin ya."
Kalau dipikir-pikir, Tante Retno sudah terlalu sering datang. Tapi selalu hanya sepuluh menit. Tidak pernah lebih.
Binar tidak keberatan kalau misal lebih dari sepuluh menit. Sejak saat itu, jendela kamarnya selalu terbuka lebar.
***
Ida pulang dan Arum akan datang. Atau tak jarang mereka berkumpul di rumah ini. Ida pulang larut karena Arum menahannya lebih lama. Menonton serial bersama, selebihnya membicarakan cowok-cowok ganteng di desa sebelah. Binar kadang menyimak dengan raut datar. Tidak kenal dengan nama-nama yang mereka sebutkan.
Semua yang ada di dunia, tidak lagi menarik untuknya. Tempat-tempat indah yang mereka bicarakan, diskon besar di pusat perbelanjaan, taman hiburan yang baru diresmikan walikota, atau festival musik. Karena Binar tidak bisa mendatangi tempat-tempat itu.
Dia berhenti tertarik dengan apa pun. Meski satu kabar masih dia tunggu. Ponsel tidak pernah lepas dari gantungan lehernya. Siapa tahu yang dia tunggu akhirnya mencari.
Bukan dia naif. Dia memikirkannya berkali-kali. Tapi ada setitik harap kalau ada beberapa orang yang akan tetap tinggal di sisinya. Apa pun kondisinya.
Ida selesai menjemur cucian pagi ini dan lanjut membuat sarapan di dapur. Harum pewangi dengan aroma lavender menemani Binar di halaman samping. Dia lebih sering keluar rumah di pagi hari, meski hanya di halaman. Tidak melakukan apa pun. Hanya melamun.
Tapi dalam lamunannya, dia sering mengingat semuanya. Tak jarang membuatnya tiba-tiba menangis. Tapi belakangan dia lelah mengusap pipi, bosan menangis. Entah pertanda baik atau bukan.
Ketukan pintu menariknya dari lamunan. Ida yang sibuk di dapur sepertinya tidak dengar.
"Siapa? Aku di samping."
"Antar makanan dari Ibu Retno."
"Bisa taruh di meja? Makasih ya."
Tidak ada suara lagi. Binar kembali menyandar rileks di punggung kursi roda dan memejamkan mata. Momen favorit yang dia tunggu telah tiba.
Matahari bergerak naik dan cahayanya jatuh persis menimpa kulit wajah. Kegiatan yang jadi alasan dia masih ingin hidup dan bangun setiap paginya. Bahkan untuk sesuatu yang orang lain lewatkan. Dianggap buang-buang waktu. Binar sekarang punya banyak sekali waktu untuk hal-hal tidak berguna seperti ini.
Binar membuka mata saat merasakan kehadiran seseorang. Atau tepatnya, sepasang mata yang memperhatikannya. Dia menoleh ke sisi kanan.
Seseorang menyibak celah jemuran.
"H-hai, Binar."
Binar bergeming, menelan ludah. Jarinya meremas lengan kursi roda. Sedikit panik. Tidak terbiasa melihat orang datang selain yang dia temui setiap hari.
Tapi senyum yang dipamerkan padanya membuat Binar perlahan tenang. Senyum yang familier karena juga dimiliki seseorang yang sering Binar temui.
Dia kemudian mengangguk pendek sebagai balasan. Hampir lupa siapa lelaki ini. Wajahnya tampak asing kecuali senyumnya. Tadi dia dengar nama Tante Retno disebut, yang seingatnya punya anak lelaki tiga. Jadi yang ini anak tengah atau bungsu?
Senyum lebar kembali merekah di pipi itu. "Setelah sekian tahun, aku jadi kurir makanan lagi. Cobain. Masakan ibuku masih yang terenak se-RT."
Dia ingat akhirnya. Anak bungsu di rumah depan. Sakha. Sudah berapa lama dia tidak melihatnya?
"Cuma ngasih itu. Pulang ya, Bi."
Sudah?
Tidak ribut bertanya kenapa Binar duduk di kursi roda, seperti yang orang-orang lakukan saat bertemu dengannya lagi? Juga tatapan iba. Sekian detik meneliti, Binar tidak menemukan sorot kasihan di mata Sakha.
Mungkin ibunya sudah cerita. Jadi tidak kaget lagi. Bisa memberi reaksi lebih baik daripada orang lain.
Binar meneleng lalu menjulurkan leher. Punggung itu telah menghilang. Tertutup jemuran Ida.
"Binar!"
Binar berjengit. Jemuran Ida memunculkan sosok Sakha lagi. Kali ini tidak cuma berhenti di sana, lelaki itu mendekatinya tanpa ragu.
"Khawatir ada kucing di depan." Menaruh bungkusan plastik di atas selimut yang menyelimuti kaki Binar. "Siapa tahu kucing sekarang doyan cabe. Jangan sampai masakan Ibu nggak sampai, takutnya besok ada kuis dadakan dari Ibu, kamu jawab apa coba."
Dibanding menanggapi, Binar memperhatikan gesturnya sekali lagi. Sekarang dari jarak dekat. Dan juga matanya. Tapi mata Sakha melengkung karena bibirnya sedang tersenyum, lagi. Binar lelah disenyumi, lelah menilai. Sulit ditebak apa yang ada di kepala orang ini.
"Kamu nggak tanya kenapa ibuku ngasih makanan?"
Alis Binar berkerut.
Jika di rumah sebelum-sebelumnya enggan mengatakannya, sekarang dia malah tidak tahu malu. "Katanya syukuran anak bungsunya pulang dalam keadaan sehat dan makin ganteng."
Kalian yang jadi saksi. Ibunya tadi yang bilang seperti itu.
"Oh."
"Hm?" Menuntut respons lanjutan.
"Sampaikan makasihku ke ibu kamu."
Sakha mengangguk, lalu berdeham dan melihat sekeliling. "Kamu lagi apa, Bi?"
"....."
"Oh, fotosintesis."
Mulut Binar terbuka, hendak protes.
"Nanti main ya."
"Aku sibuk fotosintesis."
"Hm, sore deh. Mumpung kamu juga cuti."
"Aku bukan cuti. Aku berhenti ..." Untuk apa pula dia menjelaskan. Kalau tidak ingat anaknya siapa, Binar sudah usir.
Sakha mengangguk-angguk. "Apa pun sebutannya. Kita pernah jadi temen dan tetap temenan, kan?"
Tiba-tiba menjulurkan kelingking ke hadapan Binar.
Binar tidak mau menyambutnya. Terlalu kekanakan. Sakha menautkan sendiri kelingking kanan dan kirinya. Menepuk bahu Binar sok akrab, lalu sungguhan pulang.
***
Bikin cogil tuh rada susah ya? Gampang bucin, ntar kayak brondongnya Indi. Kebablasan dikit takutnya malah kayak Emil, belangsak😭🤣🤣
Chapter 3 insyaAllah kamis yaa~ 🤗
Senin/06.05.2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top