18. "Menangkap" Sakha
Sudah kepalang tanggung. Ketimbang ribut di jalan dan menjambak Arum, Binar terpaksa ikut bertandang ke rumah abangnya Sakha.
Meski sampai di sana entah akan beralasan macam apa. Biar Arum yang pusing memikirkannya. Binar cuma akan diam.
Mereka bertemu Ibu Lurah yang sedang menyiram bunga, yang tetap cantik meski hanya dalam balutan daster rumahan. Dengan ramah menyuruh mereka masuk tanpa ribut bertanya maksud kedatangan. Seolah sudah mengenal siapa mereka.
"Temannya Sakha? Masuk, masuk. Dia di dalam. Lagi main sama Jio. Kalian mau lewat pintu atau dari samping bisa."
Binar dan Arum memilih dari pintu samping. Tapi Arum salah fokus dengan pohon mangga yang buahnya ranum dan banyak. Binar rasanya ingin pulang sebelum Arum membuat tingkah seperti memanjat—
"Mau mangga?" Sakha tiba-tiba muncul di ambang pintu samping. Berjongkok kemudian datang anak kecil menggelayut manja di punggungnya.
"Boleh nih? Emang nggak dijual, Mas?"
"Nggak." Menyingkirkan pelan tangan mungil Jio dari leher dan menghampiri pohon mangga.
Dan kalau Binar tidak salah lihat, Sakha barusan melempar senyum singkat padanya.
Anggap Binar memang salah lihat.
"Kalau mau, aku ambilin."
"Mauuu."
Yang barusan bukan tingkah asli Arum. Binar sudah membayangkan adegan Arum memanjat pohon tinggi itu dengan terampil dan bukannya Sakha.
"Centil banget," komentarnya lirih.
"Iri ya? Nggak bisa centil ke Mas Sakha iri yaa?" Dengan nada meledek.
Binar memutar bola mata.
"Bi, tangkap!"
Tangan Binar refleks berkumpul dan menangkap satu mangga yang dilempar ke arahnya.
"Nice catch!" puji Jio. Memberi dua jempolnya ke Binar.
Binar tersenyum bingung. Tapi tetap menangkap lemparan mangga-mangga berikutnya. Sakha hanya melempar ke arah Binar. Padahal Jio dan Arum latah ikutan membentuk tangan, posisi siap menangkap. Tapi hanya menangkap angin.
"Aku dong, Mas." Arum akhirnya protes.
"Mateng banget mangganya. Nanti kalau meleset malah pecah. Udah, biar Binar aja yang jelas jago."
Jio tetap merajuk. "Om, aku jugaaa."
Sakha memetik buah lebih kecil tapi juga matang, lalu melemparnya untuk Jio tangkap. Gerakan Sakha lebih pelan, memastikan benar-benar masuk ke tangan kecil Jio.
Sederhana tapi Jio girang.
"Udah cukup, Mas. Ini udah banyak banget. Malah kayak ngerampok."
Sakha lantas turun. Jio yang tidak sabaran sudah lari mengambil pisau kecil dari dapur. Menyerahkannya ke Sakha agar mengupas satu buah. Jio juga tanpa diminta langsung mengambil tempat sampah.
Binar tidak terlalu suka anak-anak. Tapi Jio cukup menyenangkan. Apalagi mereka sama-sama suka hujan-hujanan.
Semua duduk di rumput halaman kecuali Binar. Dari kursi rodanya, dia cukup leluasa melihat mangga sedang dikupas. Binar harus akui kalau Sakha banyak bisanya. Terlihat sederhana tapi tidak semua laki-laki bisa mengupas mangga serapi Sakha.
Pujian ini tolong jangan diartikan ke mana-mana.
Arum saja sampai takjub melihat kulit irisan mangga yang tipis. "Kok bisa setipis ini?"
"Emang kalian nggak bisa?" Dengan cengirannya itu.
Arum menggeleng. Binar menolak memberi respons. Lihat, dipuji langsung besar kepala.
Setelah mendapat sepotong besar mangga, Jio beranjak saat teman mainnya datang memanggil.
"Masih marah sama Tante ya, Mas?" Arum dengar cerita singkatnya dari Binar tentang kejadian tempo hari. Meski tidak banyak. Binar tidak suka menggosip seperti dirinya.
"Enggak."
"Atau marahnya sama Mbak Binar?"
Mendongak ke Binar. Mengerutkan mata dengan lucu. "Kenapa aku mesti marah sama kamu, Bi?"
Mana Binar tahu. Dia saja kaget dengan kalimat yang keluar dari mulut Arum. Makin sulit ditebak.
"Soalnya dari pagi nggak muncul. Mbak Binar diam-diam kangen tuh. Aku udah bilang, siapa tahu Mas Sakha tidur kayak kemarin itu. Akhirnya tanya ke Tante Retno terus ngeyel minta datang ke sini."
Yang tanya Arum. Binar tidak tanya.
Sakha terkekeh. Arum ingin ikut tertawa tapi terjejali potongan mangga dari tangan Binar.
Mendongak lagi. "Sengaja biar kamu sering-sering kangen, Bi."
Sakha tahu Arum hanya bercanda. Tapi lucu menggoda Binar dengan cara seperti ini. Muka perempuan ini mudah memerah kalau sedang kesal.
"Aku penasaran. Apa sih yang kalian obrolin kemarin? Pantai serasa milik berdua. Aku sama Umar cuma lumut laut ngambang kebawa ombak."
Sakha dan Binar kompak diam.
"Oh, kompak nih."
"Aku ambilin plastik dulu." Sakha berdiri dan masuk rumah.
Mereka pulang dengan dua plastik mangga yang penuh. Satu rencananya akan mereka berikan ke Tante Retno daripada mubazir kecuali Arum berniat mabok mangga.
Di jalan, sesuatu melintas di pikiran Binar. "Kamu pernah merhatiin Sakha, Rum?"
"Pernah."
"Sering?"
"Sering sih. Kan ganteng. Jadi enak dipandang."
"Apa yang kamu lihat?" Jawabannya sudah bisa Binar perkirakan.
"Yang aku lihat dia sering lihat ke arah Mbak Binar."
Arum bermanuver dan perkiraan Binar meleset. Alih-alih tersipu, dia mendecih, tampak tidak percaya.
"Dia tiap bicara kan emang sering bikin kontak mata." Membuat Binar kadang risi.
"Iya, tapi beda. Kelihatan kok kalau Mbak mau merhatiin."
"Sama aja."
"Bukan jenis tatapan biasa. Kerasa dalam banget. Kapan-kapan pergokin sendiri. Atau coba tatap dia duluan."
Tidak. Binar tidak mau mendengar saran dari bocah sableng ini.
***
Yang pertama Binar sadari dari pengamatan pertamanya yang sedikit serius, Sakha punya tahi lalat kecil di bawah bibir. Terlihat ketika beberapa kali saat bicara dan ada jeda, bibir bagian bawah itu digigit atau dikulum.
Pantas cerewet.
Bibirnya terlihat sehat. Sepertinya tidak merokok. Kemungkinan calon istrinya tidak suka lelaki perokok. Tidak tahu benar tidaknya. Binar cuma sok tahu.
Sakha sedang sibuk ngobrol dengan bapak-bapak tetangga yang datang pertama. Sambil menunggu tetangga lainnya datang. Acara tahlilan mendiang suami Tante Retno. Binar sejak awal sudah duduk di sudut yang lain. Tadi ada Arum di sebelahnya sebelum dipanggil ke dapur. Bantu mengaduk teh.
Pengamatan agak serius berikutnya, Binar menemukan ada lubang kecil di dekat bibir setiap kali Sakha tersenyum.
Lalu, alisnya rapi. Matanya—
Pengamatan gagal dilanjutkan karena objek yang diamati tiba-tiba menggeser pandangan dan menangkap Binar terang-terangan. Sebagai bentuk respons, Sakha menaikkan sebelah alisnya sambil menahan senyum geli. Bibir lelaki itu bergerak tanpa suara: apa?
Binar panik? Tidak. Masa panik.
Dia hanya meremas kuat-kuat kain terusan panjang di bagian paha.
Mengumpat-umpat.
Sialaaaan. Arum sesaaaat. Bocah gendeng!
Namun, Binar tidak melarikan mata ke arah lain. Dia tetap mendengarkan saran Arum. Melihat bagaimana cara lelaki itu menatapnya. Beberapa detik tanpa berkedip. Dari jarak sekian. Seperti berlomba siapa yang bisa bertahan. Padahal lelaki itu kembali diajak bicara bapak-bapak tadi. Tapi sepasang matanya tetap ke arah Binar.
Seseorang mengucap salam. Sakha berdiri untuk menyambut tamu yang mulai berdatangan. Binar menunduk, mengenyahkan pikiran yang membenarkan perkataan Arum.
Acara tahlilan yang dihadiri tetangga dan kerabat dekat selesai pukul sembilan. Arum dan Binar pulang paling terakhir.
"Buru-buru banget pulang. Kayak mesti nyalin PR besok pagi." Sakha menyegat Binar di gazebo dan hanya meloloskan Arum yang melenggang pulang sambil terkikik menyebalkan.
Binar tahu, percuma meminta Arum untuk menolongnya. Dua orang ini punya otak yang sama.
Jadi dia tunggu maksud Sakha 'membegalnya' untuk apa.
Lelaki itu merogoh saku belakang. Mengulurkan dua genggaman tangan ke Binar. "Pilih yang mana?"
"Ada apa aja?"
"Yang jelas nggak ada Umar, apalagi Adam. Adam-nya Inul lho. Bukan Adam yang lain."
Binar sedikit mendongak, memberi tatapan sengit. Terlepas dari ledekan itu, dia bukan anak kecil yang tertarik untuk memilih salah satu dan pura-pura terkejut.
"Makin lama milih makin lama kamu pulangnya."
"Kanan."
Sakha membuka tangan kiri. Tuh, orangnya sendiri sudah error, sudah ngantuk, tapi belagak mencegat kepulangannya.
Tunggu. Isi tangan Sakha cukup menarik. Balon tiup jadul yang jadi kegemerannya dulu.
Sekuat mungkin Binar tidak menunjukkan ketertarikan. "Masih ada yang jual kayak gitu?"
Sakha mengulurkan satu. Tangan lainnya membuka, isinya sama. "Jio ternyata punya banyak. Aku minta dua." Yang jelas dia langsung ingat Binar saat melihat Jio punya balon tiup banyak.
Duduk di tepian gazebo, dia melihat Binar menekuri dua benda di telapak tangan, di bawah penerangan lampu gazebo. Sejenak membiarkan perempuan ini takjub diam-diam. Seolah tahu kalau Binar enggan menunjukkan sedikit saja padanya.
"Ada yang aneh sama aku hari ini, Bi?"
"Hm?"
"Sampai kamu lihatin terus. Ada yang aneh sama mukaku?"
"Maksudnya?"
"Kayak tiba-tiba mungkin wajahku mirip Theo James? Siapa tahu. Orang bebas berimajinasi. Aku nggak akan nyalahin imajinasi kamu, Bi."
"Terus aku Shailene Woodley?"
"Boleh. Kamu emang cantik sih kayak dia."
Binar menjeda obrolan ngaco mereka, membuka balon tiup. Tersenyum tipis saat bau khas itu sampai ke hidungnya. Memutuskan meniupnya segera dan membiarkan Sakha menunggu.
Untuk sesaat, Binar sibuk dengan dirinya sendiri. Berhasil membuat balon cukup besar, tangannya kemudian sigap mendeteksi kebocoran sebelum balon bening itu mengempis dengan cepat. Tidak dia biarkan.
Sakha masih menunggu. Tapi tidak memaksa. Seperti selama ini. Yang kalau bisa diungkapkan, entah harus dimulai dari mana. Haruskah dari pertama melihat Binar di sini dalam keadaan yang tak pernah dia bayangkan?
Bahkan Sakha tidak bisa jujur ke dirinya sendiri. Kalau dia khawatir. Dia ingin Binar cepat bangkit. Tapi juga sadar, dia ini siapa di hidup Binar.
"Kalau kamu bingung, kamu cukup tanya, Bi."
"Nggak ada yang aku bingungin."
"Oke."
Mereka sama-sama tahu, bukan tentang balon. Tapi keduanya tidak bicara lagi.
Sakha membuka tutup kecil, memencet gel bening ke alat peniup berwarna kuning kecil itu. Membentuk balon bening yang sama besarnya dengan milik Binar tadi.
"Gimana kalau tetap gini, Bi? Selamanya kamu tetap begini. Jangan kayak tadi. Aku bisa salah sangka."
"Kamu ternyata narsis banget."
"Bukan narsis." Sakha memberi cengiran, tapi sorot matanya tidak bercanda seperti biasanya. "Tapi nanti ribet."
"Apa yang sebenarnya coba kamu katakan?"
"Tolong jangan suka sama aku, Bi."
"Kamu terlalu percaya diri." Binar tergelak, bahunya sedikit berguncang.
Sakha tahu. Dia tidak ikut tertawa. Dia sedang takut.
Takut dengan perubahan sikap Binar yang dia lihat tadi. Tapi di sisi lain, dia ingin melihatnya tanpa rasa khawatir. Bahwa ternyata mungkin, Binar akhirnya menaruh sedikit perhatian khusus padanya. Tak bisa dipungkiri kalau ada sudut hatinya yang senang jika memang kenyataannya demikian.
"Kalau itu terjadi, aku nggak bisa datang ke kamu lho, Bi." Sakha setengah bercanda. Merasa aman karena Binar tidak berusaha mencari kebenaran lewat matanya.
Tawa Binar lenyap. "Nggak ada yang minta kamu datang. Entah kemarin atau di masa depan. Aku nggak akan minta kamu datang."
Seharusnya lega. Tapi Sakha merasakan sakit yang lain. Bukan salah Binar. Salahnya sendiri.
"Kita hanya teman masa kecil, kan? Nggak lebih. Apa yang kamu takutin? Aku bukan orang yang gampang berubah. Lagi pula ..." Binar membasahi bibir. "Lagi pula kita nggak punya banyak kenangan. Kita nggak menghabiskan banyak waktu sama-sama. Kamu sebentar lagi pergi. Hidup kita akan kembali seperti semula. Yang jelas, hidup tenangku bakal balik."
Jika ini ungkapan cinta, maka Sakha sudah ditolak habis-habisan. Dan sudah sepantasnya dia untuk sadar diri dan mundur.
Sakha mengangguk. "Tentu. Sebentar lagi nggak ada yang recokin hidup kamu. Kamu bisa berjemur dengan damai."
"Itu kamu tahu."
Sudut bibirnya otomatis tertarik. "Anggap malam ini kamu nggak dengar apa-apa. Obrolan barusan pasti nggak penting buatmu. Yang ada bikin jengkel. Tuh, wajahmu sedikit merah."
Balon di tangan masing-masing sudah habis dan lenyap. Gagal diselamatkan meski sudah ditambal sana-sini.
Sakha berdiri. "Kamu boleh pulang sekarang. Mau diantar sampai kamar?"
Raut sebal Binar yang biasanya muncul. Sedikit menghibur Sakha.
Namun, ketika Binar hendak melaju, sesuatu jatuh ke bahu kanannya. Alih-alih kaget dan menjerit, tangan Binar refleks menangkap ujung baju Sakha dan meremaskan kuat.
Tanpa mengatakan apa pun dan Sakha langsung mengerti.
"Cuma cicak, Bi. Udah pergi dia."
Perlahan Binar melepas ujung baju yang dia genggam. Berdeham, lalu pulang dalam diam.
Sakha menunggu sampai Binar tiba di rumah dan menutup pintu.
Dia sedikit menyesal dan malu dengan ucapannya tadi. Tapi bukankah lebih baik dipastikan dari sekarang?
Dan bukankah artinya besok Sakha harus lebih berhati-hati? Seperti menjaga jarak? Tapi Binar mungkin benar. Separuh dirinya memang terlalu percaya diri.
Baiklah. Dia akan memercayai Binar. Orang tidak semudah itu berubah.
Hei, apa yang sempat terlintas di kepalanya beberapa menit lalu? Binar suka padanya?
Sakha memasukkan kedua tangannya yang dingin ke saku celana, lalu mendongak ke langit berbintang.
Agak mustahil kan, Tuhan?
***
Salah satu chapter favkuuu😭😍🤡
Selasa/18.06.2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top