17. Tak diungkapkan bukan berarti tak terasa


Suara berisik memecah siang yang tenang di kamar Binar.

"Kamu ngapain?!"

Sakha yang baru datang tiba-tiba melompat dan bergelayut di jendela Binar. Membuat pemilik kamar kaget dan nyaris melempar Sakha dengan hair dryer di dekatnya.

"Kaget ya? Sori, sori. Kirain kamu lagi nggak di kamar." Sakha lompat turun, sedikit menjauh dari jendela. "Aku cuma nyobain teralis baru. Jangan sampai aku bikin tenda di depan kamarmu lagi. Nggak mau kan itu terjadi?"

"Kamu doain kamarku dimasukin maling lagi?" desis Binar, ingat kalau Arum sedang di kamar mandi. Bisa dengar.

"Ya janganlah." Melongok ke dalam. "Arum mana? Kalian udah siap? Umar udah dateng tuh."

"Tunggu lamaan lagi."

"Di mana-mana kalau nunggu disuruh bentar. Ini malah lama."

"Kalau nggak sabar, kalian berangkat berdua aja."

"Kalau cuma sama Umar nggak usah ke pantai segala. Romantis amat. Ke lapangan juga jadi, Bi. Ikut dia ngangon."

Binar menarik gorden hingga tertutup, kalau tidak orangnya masih betah nyerocos. Bayangan Sakha pun terlihat menjauh.

Cuma pantai. Bukan apa-apa. Bukan berdua pula. Binar terus meyakinkan diri bahwa hari ini bisa terlalui.

Ketimbang mengelak dan cari alasan, Sakha akan membuat hidupnya makin ribet besok.

Arum baru selesai siap-siap setengah jam kemudian. Sesuai dengan ucapan Binar.

Perjalanan dimulai. Arum yang menjadi navigator untuk Sakha. Tapi tetap ngotot duduk di belakang. Entah dalam rangka apa, Binar dipaksa duduk di depan.

Karena ini bukan di Jakarta, hanya butuh waktu satu jam. Bukan hari libur. Pantai sepi pengunjung. Binar sudah bilang sejak di dalam mobil kalau dia hanya ingin lihat-lihat tanpa mendekat ke air. Untuk sementara memang diiyakan oleh semua orang.

Tapi sampai di pantai, setelah main mata antara Arum dan Sakha, Binar pun diangkat ke tepian. Berhubung ingat tidak hanya berdua, Binar urung menggigit bahu Sakha. Tapi cukup geplakan.

Dia diturunkan di atas pasir, sedikit jauh dari jilatan ombak. Binar menatap jerih riak ombak yang pasti akan sampai juga ke kakinya. Arum dan Umar sudah berlarian menuju ombak.

Binar sedikit panik saat ombak bergerak makin ke tepian. Tangannya refleks mencari sesuatu untuk berpegangan. Matanya sedikit terpejam. Bersiap-siap kalau dirinya akan terseret maju. Tapi riak sudah habis beberapa meter di depan kakinya.

Lantas bukan berarti paniknya hilang. Dia menoleh bersamaan dengan Sakha yang bergabung di sebelahnya, berjongkok dengan sebuah payung yang terkembang. Menghalangi kepala Binar dari terik matahari.

Sakha sedikit mendongak. Melihat ke payung bergambar pororo. "Payungnya Jio, aku temuin di bagasi. Harusnya aku bawa payung lebih gede."

"Aku udah pake sunblock." Binar mendorong gagang payung menjauh. Maksudnya biar Sakha saja yang pakai. Atau singkirkan saja payung anak-anak ini.

Tapi payung kembali didekatkan ke Binar. "Kamu bawa baju ganti?"

"Harusnya ada di tas Arum."

"Duduk di sini nggak masalah, kan? Kamu takut? Aku temenin." Sakha lantas duduk. Masih memegang payung untuk Binar.

Melihat pemandangan itu, Arum merapat ke tepian sejenak, bersimpuh dengan satu lutut di hadapan Binar. "Baginda Ratu sungguh tidak ingin menyatu dengan air laut bersama hamba?"

Sakha terkekeh. Binar merengut. Tidak lucu.

Berkat tingkah usilnya, Arum lengah dengan datangnya ombak besar. Dia tersapu dan tersungkur di depan Binar. Basah kuyup sebadan. Binar sayangnya juga ikut basah.

Ketika merasa hendak terseret, dia sontak memegang gagang payung. Niatnya begitu. Tapi yang dia pegang justru lengan Sakha.

Dari sudut matanya, Binar melihat reaksi lelaki itu. Tampak tidak keberatan. Tidak pula terkejut. Binar perlahan melepas tangannya dengan tenang.

Lalu datang ombak lagi. Lebih besar. Binar melakukan hal bodoh. Dalam sepersekian detik, dia impulsif memeluk Sakha.

Yang dipeluk juga mendadak tolol. Berusaha menghalau ombak dengan payung. Yang merupakan tindakan sia-sia. Payung kecil itu gagal menahan terjangan air. Sepertinya ada bagian kerangka payung yang patah.

Kali ini Umar yang berkomentar sambil berkacak pinggang. "Orang-orang ke pantai buat main air, kalian malah kayak orang dimabok cinta."

"Mentas aja yuk, Bi." Tapi sebelumnya dia menunjuk ke payung kuning yang terseok-seok menyedihkan. "Tolong selametin payung cucunya Bu Retno, ntar aku kena marah."

Umar sigap mengambilnya sebelum terbawa ke tengah lautan.

Sakha mengantar Binar ke balai-balai. Lalu mengambil tas yang tadi dibawa Arum.

Tapi Binar tidak menemukan baju ganti selain sepotong baju dan celana milik Arum sendiri serta handuk.

"Kenapa?"

"Lupa nggak kebawa." Menyerah mencari, menutup kembali ristleting tas. "Nanti juga kering kena angin."

Sakha melesat lagi ke mobil. Datang-datang membawa dua lipat kain. "Pakai ini. Bersih kok."

"Terus kamu?"

"Masih ada baju lain, bagasi mobil udah kayak kantong ajaib itu."

Binar ragu menerima kemeja dan celana panjang milik Sakha.

"Ganti sekarang mending daripada kamu kedinginan."

Sakha sigap membantunya pindah ke kursi roda. Binar tidak banyak ini-itu karena dia sadar memang butuh bantuan. Atau entah karena alasan lain, seperti terbiasa menerima bantuan dari Sakha. Dia merasa tidak terlalu sungkan lagi.

Lelaki itu bahkan siaga di dekat toilet. Terdengar mengobrol dengan pemiliknya yang tadi duduk sambil terkantuk-kantuk.

Binar tahu dia harus bilang terima kasih ketika keluar dari toilet. Berkat baju pinjaman ini dia tidak perlu menahan dingin sampai pulang nanti.

Pintu toilet terbuka. Sakha terlihat masih asyik ngobrol. Binar membuka mulut, bersiap bilang terima—

"Tuh Mas, istrinya udah selesai."

Sakha tidak mengoreksi. Hanya berdiri dari kursi, merogoh dompet, mengeluarkan uang kertas dan memasukkannya ke kotak kecil di depan Bapak pemilik toilet. Si Bapak tersenyum lebar karena Sakha mengeluarkan uang besar tanpa minta kembalian.

Lupa dengan niatnya tadi, Binar memilih tutup mulut. Mereka kembali ke balai tadi. Sementara Sakha berbelok ke warung, memesan es kelapa.

"Kita dulu piknik SD ke sini, inget, Bi?"

"Nggak."

"Kamu ngide bawa pelampung dari rumah."

"Hm." Samar ingat.

"Tapi sampai di sini nggak kamu pakai."

"Bajuku warna apa hari itu?"

"Biru nggak sih? Barangmu hampir semuanya biru. Aku kira cuma lucu-lucuan. Ternyata masih sampai sekarang."

"Kamu kayaknya inget banyak."

"Lumayan." Kemudian menambahkan. "Yang penting-penting aja."

Binar melirik baju Sakha yang basah. Tidak buru-buru ganti, apa tidak dingin?

"Nggak usah khawatir. Aku mending pilih dingin daripada panas."

Berdeham, Binar melepas tatapannya dari Sakha. Semudah itu dia terbaca. Kecuali bagian khawatirnya. Dia sama sekali tidak khawatir. Sakha salah.

"Aku lama nggak ke pantai." Sakha mencari topik. "Setelah ke pantai lagi, ternyata cukup seru."

Seru apanya? Lelaki ini sibuk menemaninya. Hanya duduk-duduk. Lupa kalau yang ngotot ke pantai sebenarnya Sakha.

"Kamu nggak pengin main air?"

Empat es kelapa pesanan Sakha datang. "Makasih, Bu." Menoleh ke Binar. "Ada kalanya dalam sebulan aku ke pantai bisa enam kali."

"Ngapain?"

"Fotoin pre-wedding." Mengulurkan satu kelapa ke Binar.

"Tapi pantainya beda."

"Sama-sama ada ombaknya."

Terserahlah. Binar tidak memaksa ditemani.

"Orang itu, ehm, dalam setahun nggak pernah datang ke rumah. Setahuku. Baru sekali kemarin itu."

"Adam?"

"Mantan suami Ibu kamu."

"Oh." Sakha mengedik. "Mungkin denger aku pulang. Pengin nyari ribut."

"Padahal udah lama, kalian masih tetap ..." Binar sudah kejauhan, kah? Sakha terlihat agak tidak nyaman. "Jangan dijawab. Seberapa lama pun, luka tetap luka."

"Makasih udah ngerti."

Binar menunduk, meminum es-nya. Menghindari senyum Sakha. Hidungnya penuh dengan berbagai aroma. Kelapa di tangan, air laut, dan pewangi dari kemeja Sakha.

"Unik wanginya. Mama kamu buka laundry?" tebaknya asal.

Sakha tertarik karena Binar bisa menebak dengan benar. Kalau sedang menginap di rumah, Mama yang memaksa mencucikan bajunya. "Laundry pribadi. Kamu tahu?"

"Pewangi yang dipakai Tante Retno beda."

"Mama udah sibuk bikin kue-kuean. Tadinya emang pengin bikin usaha laundry. Tapi dilarang sama anak perempuannya. Selain bikin kue, masih ngurus kos juga."

"Emang kamu nggak serumah lagi?"

"Aku pindah tinggal di apartemen. Jaraknya nggak jauh sih. Sering minta makan ke rumah. "

Binar manggut-manggut. "Kalau Papa kamu?"

"Meninggal setahun lalu."

"Maaf."

Sakha tersenyum. "Kamu mulai tertarik sama aku, kah?"

"Aku lempar kelapa ini ke kepalamu, nggak apa-apa?"

Sambil tertawa, Sakha menggeser duduknya agak menjauh. "Khusus hari ini, kamu boleh tanya tanpa ditanya balik."

"Nggak. Udah males."

"Cuma hari ini lho, Bi."

Baik. Tidak ada salahnya. "Tanggal pernikahan kamu?"

"Belum ditentuin. Kayaknya masih jauh tapi orang-orang seolah aku nikahnya bulan depan."

"Udah sama-sama yakin kenapa nggak secepatnya?" Binar tahu dirinya terdengar seperti Arum.

"Yakin dan cinta itu beda, Bi."

"Bedanya?"

"Kamu yakin bisa jalanin sepanjang hidup sama seseorang, bisa jadi karena kamu mengenalnya dengan baik. Kamu bisa handle dia, kamu paham marahnya dibujuk kayak apa. Tapi belum tentu cinta. Kalau sebaliknya, cinta. Cinta udah sepaket sama yakin."

"Aku sama Adam saling cinta, tapi mana? Kami nggak nikah."

Sakha terdiam. Binar bicara seperti itu karena belum mengerti posisi Sakha yang sebenarnya. Hubungan mereka juga tidak bisa dibandingkan.

"Kamu berniat kabur dari dia? Kamu beneran brengsek kalau gitu."

"Aku pamit baik-baik ke dia. Kalau nggak, pasti udah disusulin dari awal."

"Jangan jadiin aku pelarian. Jangan seret aku ke hubungan kalian," seloroh Binar.

Teringat ucapan Sakha tempo hari, yang setengah bercanda biar lelaki itu yang jadi brengsek dan Binar cukup tunggu. Kalau dipikir lagi, Binar takut lelaki ini nekat membatalkan pernikahan hanya demi dirinya.

Tunggu, apa sih yang Binar pikirkan? Ngawur sekali. Tidak ada yang benar-benar tahu isi kepala seorang Sakha.

Binar yakin sikap Sakha yang baik dan peduli ini hanya sebatas empati karena melihat kondisinya. Dan pada dasarnya, Sakha memang baik.

"Kamu sampai detik ini aja nggak goyah, mau jadi pelarian gimana. Pendirian kamu oke juga ya, Bi."

Binar berdeham lalu mengangkat dagu dengan senyum samar di sudut bibir. Sakha memandangi lekat wajah Binar ketika sedang percaya diri seperti saat ini.

Bukan Binar yang dia temui dengan tatapan dingin dan raut datar. Binar yang dia kenal, semestinya begini. Kesedihan dan keterpurukan tidak boleh menelan Binar terlalu dalam.

Sebelum tenggelam dengan perasaannya sendiri, Sakha memutus pandangan. Melarikannya ke mana pun. Menghentikan detak gila yang takut terdengar selain dirinya.

Dia barusan hanya mencoba. Ternyata masih sama. Belasan tahun, orang-orang bergerak dan berubah. Termasuk dirinya. Tapi hati kecil miliknya tidak beranjak. Tidak ke mana-mana.

Seperti Sakha kecil yang duduk sedih, menunggu Binar datang menghiburnya. Perasaannya dimulai sejak hari-hari itu.

Cukup gila. Sakha tahu.

Makin gila karena dia nyaris mengatakannya. "Bi, aku pernah jatuh cinta sekali. Aku pikir hidupku baik-baik aja setelah nggak ketemu dia. Ternyata aku sulit menemukan orang lain."

"Sama." Binar yang sekarang ganti menatap Sakha. "Aku selalu mikir kemungkinan terburuk soal Adam. Tapi aku pengin dia kembali ke aku. Aku berharap kesalahan dia bisa aku maafkan."

Sesuatu mencelos dari dada Sakha.

"Kenapa sulit menemukan orang lain?"

Seperti bertanya ke hati kecilnya sendiri. "Karena aku sering mencari sosok dia di orang lain?"

"Kamu nggak bisa lepasin dia aja?"

"Bisa. Tapi sakit banget."

Binar melempar pandangan ke lautan lepas. Jemarinya membuat pola abstrak di kulit kelapa. "Nanti juga sembuh, Ka."

***

"Mas Sakha pergi, Tan?"

"Dari pagi di rumah abangnya."

Tapi ini sudah sore. Binar heran. Biasanya jika tidak muncul pagi, Sakha akan muncul siang, atau sore begini.

"Kayaknya masih marah sama Ibu deh. Pagi ini nggak sarapan sama Ibu."

Berbeda dengan pikiran Binar. Sejak pulang dari pantai, lelaki itu tampak berbeda. Hanya Binar yang menyadari ini karena dia yang duduk di samping kemudi. Tapi juga tidak berani menanyakan apa pun.

Meski dia ingin tanya apakah yakin tidak dingin. Mana yang katanya membawa banyak baju? Sakha masih mengenakan baju dan celana yang belum kering sepenuhnya saat menyetir pulang.

Arum bertanya lagi. "Tapi Mas Sakha nggak sakit kan, Tan?" Melirik ke kakak sepupunya. Urung membahas perkara baju.

"Sehat, Rum. Emang kenapa?"

"Oh, nggak. Siapa tahu kecapekan dari pantai."

"Kalian mau ke mana?"

"Mbak Binar tiba-tiba ngajak jalan sore."

Tante Retno tersenyum. "Nah, gitu. Main-main lihat sekitar, Bi."

"Aku harus berterima kasih ke Mas Sakha nih, Tan." Arum bicara sok tua. "Mbak Binar jadi suka keluar rumah dan mulai jadi kebiasaan. Katanya bosen di kamar tadi. Kan nggak biasanya itu."

Yang terakhir hanya karangan Arum. Tante Retno semringah, menyuruh mereka lekas pergi.

Arum mengambil jalan yang berbeda. Binar bilang ke sungai. Ini bukan arah yang benar.

"Ini jalan ke mana?"

"Rumahnya Pak Lurah."

Rumahnya— "Aku benci isi pikiran kamu ya, Rum."

"Fakta emang sering menyebalkan, Mbak. Udah ayo, biar nggak cemas lagi mikirin kenapa orangnya nggak nongol dari pagi."

"Apa sih! Nggak mau!"

"Binar, nggak boleh kayak gitu. Ibunya bisa jadi salah. Nggak selalu Ibu itu peka ya."

Anak ini sudah makin kurangajar padanya.

***


Reaksi Binar buat ungkapan tersirat Sakha:

1. beneran gak peka

2. act fool, act fool, act fool~ 🤡🤡🤡

Jumat/14.06.2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top