16. Sakha di mata Binar
Terlambat untuk berbalik. Sakha sudah melihatnya. Binar tidak punya pilihan selain masuk ke taman dan mendekat ke anak tangga. Tempat lelaki itu duduk menyendiri.
"Aku nggak ngajak kamu ke sini, Bi."
"Tapi tujuh harimu masih berlaku."
"Jadi sengaja nyusulin aku ya?"
"Bukan sengaja. Tapi ini sesuai perjanjian. Katanya suruh ngikutin ke mana pun kamu pergi."
Sakha berhenti menggoda Binar. Terlepas sengaja ke sini atau tidak, dia tidak tahu maksud perempuan ini apa. Karena peduli kah?
"Nggak ada hal menarik di sini. Khusus hari ini nggak usah ngikutin aku, Bi. Dan mungkin besok."
Binar bergeming. Paham kalau Sakha mengusirnya karena ingin sendiri. "Besok ke mana?"
"Nggak tahu."
"Pulang ke Jakarta?"
"Mungkin?"
"Hanya karena berantem sama ibu kamu?"
"Nggak ada istilah hanya, Bi."
Binar terdiam. Selama beberapa saat dia tetap di tempatnya.
Sakha tidak tahu cara mengusir yang baik bagaimana. Harusnya mudah bagi Binar meninggalkannya di sini sendirian. Mereka bukan lagi dua anak kecil yang dulu kerap main di taman ini. Binar yang sekarang lebih nyaman berada di dalam rumah.
Jadi dia membiarkan sampai Binar berubah pikiran sendiri. Merasa tidak betah dan memutuskan pulang.
"Bantu aku duduk di samping kamu."
Sakha tidak salah dengar?
"Bantu aku." Binar mengulurkan kedua tangan ke depan.
"Tapi aku pengin sendiri, Bi."
"Kamu nggak ngehargai usahaku ngejar kamu ke sini?"
Sakha berdiri sebelum Binar marah. Cengirannya muncul saat menuruni anak tangga menuju Binar. "Pasti nggak mudah ya melawan ego sebesar gunung itu." Mengangkat tubuh Binar. "Oke, mari kita duduk sama-sama."
Saat sudah duduk bersebelahan pun, Binar sulit bicara. Menghibur apanya. Dia cuma bernapas di sini. Umar terlalu berharap banyak padanya.
"Bi, di rumahmu kan ada meja dekat pintu."
"Hm?"
"Di atas meja ada kanvas kecil. Itu gambar kamu?"
"Iya."
"Kamu gambar apa sebenarnya?"
"Nggak tahu. Gambarnya Arum." Otak dan bibirnya tidak sinkron.
Sakha sekarang tidak peduli itu gambar siapa. "Gambar apa sih itu?"
"Kata Arum batu gunung ngegelinding."
Sakha manggut-manggut. Binar harap pembicaraan akan berganti ke topik lain. Apa pun. Biasanya lelaki ini pintar mencari—
"Bukan aku ya?"
"K-kamu apanya?"
"Bukan batu, tapi aku."
Binar tidak bodoh. Dia mengerti maksud Sakha. Sekarang dia sedang memaki di dalam hati, mengumpati diri sendiri yang menyimpan lukisan iseng itu di sembarang tempat.
Sadar tidak bisa berkelit. "Cuma iseng. Jelek lagi gambarnya."
"Nggak jelek. Bagus kok." Sakha tersenyum. "Berarti kamu inget aku dan tempat ini?"
"Cuma iseng," katanya lagi.
Mungkin karena jengkel padanya, Binar menuangkannya lewat lukisan. Sosok Sakha pun memang serupa batu gunung di kanvas itu.
Binar mengingatnya hanya sebatas tempat ini, saat mereka kecil dulu. Sementara bagi Sakha, dia mengingat perempuan ini di banyak tempat, di banyak kesempatan. Sayangnya tidak bisa dia katakan.
"Aku nggak tahu cara ngehibur orang," aku Binar. "Sejak kondisiku begini, aku lebih banyak egoisnya. Aku mikirin diri sendiri. Orang-orang mau pergi silakan. Aku nggak peduli."
"Aku ngerti, Bi. Berhenti ngerutin dahi kayak gitu. Jangan mikir terlalu keras. Kita cuma lagi duduk biasa. Kamu nggak ada kewajiban ngehibur aku. Emang aku kenapa?"
"Habis nangis."
Sakha refleks mengusap pipi yang sudah kering.
"Aku nggak tahu banyak soal kamu. Apa pun yang aku katakan, bisa jadi nyinggung kamu."
"Kamu mau dengar tentang aku, Bi?"
"Nggak juga."
"Yaah, padahal dikit lagi aku terbang, Bi."
Binar sendiri tidak mengerti. Sakha sudah bilang kalau santai saja. Dia malah masih sibuk berpikir, mencari-cari pengalihan untuk Sakha.
Umar dan mulut kompornya sungguh sialan.
"Kamu nggak bermaksud minggat, kan?"
"Nggak dong."
"Nggak perlu dibujuk buat pulang, kan?"
"Nanti aku pulang sendiri."
"Oke." Binar lega.
Lalu hening. Binar memainkan kuku jarinya. Sakha kembali tenggelam di kubangan ingatan. Kehadiran Binar sedikit membuat tenang, tapi alhasil wajah Binar ikut dalam pusaran di kepalanya.
"Apa ini pertemuan pertama kita setelah hari kematian orangtuaku dan kebetulan kamu juga pulang?"
"Bukan."
Binar tergelitik untuk bertanya lebih jauh. Tapi dia justru mengganti pertanyaannya. "Kamu senang punya keluarga baru?"
"Kalau ditanya, siapa yang pengin keluar dari rumah. Nggak ada. Tapi ketika jalanku harus begini, Tuhan ngasih orang-orang baik ke hidupku, Bi."
"Kamu selamanya bakal di sana?"
"Kemungkinan, iya."
"Terus ibumu gimana?"
"Aku udah lama memaafkan Ibu. Tapi setiap aku pulang, tatapan Ibu nggak berubah. Ibu selalu menatapku penuh rasa bersalah. Dan itu kadang nggak nyaman."
Binar bisa mengerti kenapa lelaki ini jarang pulang. Seperti yang pernah ibunya ceritakan. Dalam setahun hanya satu atau dua kali.
"Kalau kamu?"
Binar tidak siap dengan pertanyaan balasan. "Aku kenapa?"
"Kamu udah mutusin buat di sini selamanya?"
"Ya. Aku mutusin buat nggak ngelakuin apa pun. Kayak yang kamu lihat."
Sakha tersenyum. "Tapi aku percaya. Ada saatnya nanti kamu bangkit. Entah itu karena impian kamu yang kembali hidup, atau orang yang spesial? Kita nggak tahu. Ketimbang nunggu Adam, aku akan dukung kamu mulai dengan orang lain."
"Nggak ada siapa-siapa di hidupku."
"Aku?"
Binar menggeleng. "Aku nggak tertarik sama milik orang lain."
"Biar aku yang urus. Aku pastikan aku yang brengsek. Kamu cukup nunggu aja."
"Berhenti ngomong ngawur."
Sakha terkekeh.
"Kalau perasaanmu udah membaik, cepetan pulang. Tante Retno khawatir banget. Orang itu udah pergi pas aku ke sini."
Kekehan itu berangsur lenyap. "Ini bukan kejadian sekali-dua kali, Bi. Sebelum orang itu mati, dia tetap datang gangguin Ibu. Merasa dulu semuanya dia yang tanggung. Ibu yang memang baik, kesulitan menolak, nggak tega ngusir. Padahal mereka cerai karena Ibu sering dipukul."
Binar sudah dengar dari Arum. Tapi dulu dia tidak punya ruang empati. Sekarang dia merasa kasihan dengan Tante Retno, terutama dengan Sakha.
"Hari itu aku lihat kamu pergi dari rumah. Tapi aku nggak berusaha ngejar kamu."
Sakha diam dan mengingatnya. "Hari itu akhirnya aku beli kamera analog. Kamera pertamaku, Bi. Aku pengin kamu orang pertama yang kufoto. Tapi, ya, sesuatu terjadi dan aku buru-buru pergi."
Sedikit demi sedikit kepingan ingatan keduanya bertemu. Tapi bukan untuk sesuatu yang romantis. Mereka hanya sekadar mengingatnya dan cukup saling tahu.
Tapi ini pun sebuah permulaan yang bagus. Sakha berharap bisa berteman baik dengan Binar.
***
Binar selesai sarapan ketika Tante Retno datang mengetuk pintu dan membawakan cemilan cantik manis. Arum tanpa malu langsung makan beberapa biji. Sementara Binar menunggu Tante Retno yang duduk di meja makan untuk mulai bicara.
Saat datang wanita paruh baya itu sudah terlihat gelisah.
"Sakha belum keluar dari kamar, Bi."
Sepertinya Binar ini punya fungsi sebagai pos laporan segala sesuatu yang menyangkut Sakha.
Kepala Binar mendongak ke jam dinding. Pukul sembilan. Tapi bukankah masih wajar? Kemarin dia yakin lelaki itu sudah membaik. Tidak ada gejala sedih berkepanjangan. Sakha mengobrol normal dengannya.
Atau ini sebuah anomali. Benar. Tidak ada yang benar-benar tahu isi hati seseorang.
"Sakha nggak biasanya tidur sampai siang. Pintu kamarnya dikunci dari dalam. Ibu panggil berkali-kali nggak nyahut. Kalau situasinya normal, Ibu nggak akan secemas ini. Kamu kan tahu apa yang terjadi kemarin."
Binar mengerti. "Tapi aku nggak yakin bisa bantu, Tan."
"Bhisha. Dichobha dulhu." Arum masih mengunyah, tapi tangannya sudah membuka bungkus cantik manis berikutnya.
"Iya, Bi. Tolongin Ibu ya. Siapa tahu kalau kamu yang bujuk, dia mau keluar. Ibu takut dia kenapa-kenapa."
Melupakan rajutan yang ingin dia selesaikan segera, Binar melesat ke rumah Sakha. Arum ikut dan membawa satu cantik manis untuk dimakan sambil jalan.
Tante Retno sengaja mengawasi dari jauh, duduk di sofa ruang tamu. Sementara Binar di depan pintu kamar Sakha, ada Arum di sebelahnya yang siap menjadi kompor.
Ketukan pertama dan kedua nihil. Binar mulai bersuara. "Sakha, ini Binar. Buka pintunya."
Hening.
"Aku tahu kamu nggak lagi tidur."
"...."
"Sedihnya udah cukup. Sekarang keluar. Ibu kamu khawatir ngerti nggak?!"
Arum mengingatkan lirih. "Jangan galak-galak. Yang ada makin nggak mau keluar kamar."
Baik. Binar memperhalus intonasi suara. "Kalau kamu denger aku, buka pintunya. Kamu mesti bicara ke ibumu kalau ada ganjalan. Biar ibumu juga ngerti maumu kayak gimana."
Tetap senyap.
Binar menyerah. Bersiap memundurkan kursi rodanya, tapi kaki Arum dengan sigap memblokade gerakan roda kursi.
"Wajar nggak sih dia emang tidur?"
Arum menggeleng tegas. "Pantang pulang sebelum Mas Sakha bangun."
Kenapa sih orang-orang suka membuatnya repot? Apalagi repotnya menyangkut Sakha. Tolonglah, dia ini bukan pos aduan.
Oke. Ini yang terakhir. Binar tetap akan pulang apa pun hasilnya.
Dia mengetuk pintu sedikit kencang. "Jadi ke pantai nggak? Kalau jadi hari ini. Sebelum aku berubah pikiran."
"Jadi."
Arum bertepuk tangan. Duduk menghampiri Tante Retno yang tampak lega.
Pintu terkuak di depan Binar sebelum dia sempat berbalik pergi. Jadilah dia melihat tampang bantalnya Sakha serta rambut awut-awutannya seperti tempo hari. Sakha sadar dan mundur karena jaraknya terlalu dekat dengan Binar. Tidak baik buat jantungnya sendiri.
"Kamu beneran baru bangun?"
"Iya." Melongok ke ruang tamu. "Kalian kenapa di sini semua? Habis sarapan bareng? Kok nggak bangunin sih?"
Binar memejamkan mata. Menahan kesal. Hanya demi sepuluh biji cantik manis, itu pun disikat Arum separuh lebih, dia harus—
"Pantai jam dua? Kalau sama aku pantang narik omongan sendiri lho, Bi."
"Atur aja. Atur sesuka kalian."
Sudah berhasil membangunkan, tapi Binar masih terjebak di rumah ini. Tante Retno memaksa mereka ke meja makan. Meski hanya Sakha yang makan lengkap dengan nasi, Binar dan Arum tetap diambilkan sup daging.
Menunggu sup agak dingin, Binar memperhatikan Sakha dan segala gesturnya. Dia merasa sejak kemarin, saat mengobrol dengannya, lelaki itu memang pandai menyembunyikan semuanya. Orang lain melihatnya sedih, tapi di saat yang bersamaan orang lain tidak bisa masuk terlalu dalam.
Bahkan sekarang, seperti tidak pernah terjadi apa-apa, sikap Sakha ke ibunya tampak normal. Alih-alih terlihat manja, Sakha hanya sedang memenuhi ego ibunya. Memuji masakan ibunya, minta diambilkan nasi dan sup lagi.
Binar berjengit karena pikirannya mulai larut. Kedua, dia perlu menggeplak sendok lain yang bergabung ke mangkuknya, mencuri potongan daging.
Arum mengusap tangannya yang sempat kebas. "Habisnya ditinggal ngelamun merhatiin Mas Sakha mulu, ya aku selamatkan dagingnya."
Mendengar namanya disebut membuat Sakha terbatuk.
Tante Retno tersenyum, bergantian menatap Binar dan anak bungsunya. "Anak Ibu ganteng meski belum mandi ya, Bi?"
Kemudian tangan keriputnya menyibak rambut Sakha. "Dari ketiga anak Ibu, cuma anak ini yang mirip sama Ibu, Bi. Tapi sifatnya enggak. Dia mirip bapaknya."
Di matanya, Sakha ini cuma lelaki biasa. Tidak ada spesialnya. Semua orang bisa melakukan apa yang Sakha lakukan. Jadi anak baik dan berbakti, misal.
Tapi bagian menyebalkannya, ada sisi hati Binar yang mengakui kalau Sakha ini terlalu tabah dan pemaaf. Hal-hal yang orang lain belum tentu bisa.
Seperti saat ini. Sakha sedang tersipu-sipu berkat pujian dari ibunya. Orang yang tidak mengerti akan menganggap Sakha dibesarkan dengan baik di rumah ini, alih-alih di rumah lain dan oleh keluarga yang berbeda.
Dan entahlah, Binar tidak tertarik memikirkan kelebihan Sakha lainnya.
Kekurangan? Banyak. Kalian bisa menilai sendiri. Binar takut daging di mangkuknya keburu hilang semua.
***
Yang udah baca Sakha POV [2] taulah yaa keluarga kedua Sakha sebaik apaa😭😭✨
Tadinya belum niat update hari ini, pilek melanda dan draf pun baru dikit. Tapi buka notes lgsg ada idenya😭🔥
Kalian jaga kesehatan yaa🐣
Jumat/07.06.2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top