14. Sunset denganmu
"Coba ulangi, Sakha bilang apa ke kamu?"
Takutnya Binar salah dengar. Arum barusan bicara sambil mengunyah apel.
"Dombanya Umar masuk ke kamar Mbak Binar. Katanya, untung ada dia. Domba pun selamat dari amukan Mbak Binar dan bisa pulang dengan selamat."
Arum yang tumben polos atau Sakha yang ngibulnya menyakinkan.
"Terus?"
"Makanya dia kemarin nyuruh aku panggil tukang buat pasang teralis. Mama udah ngehubungin tukang. Nanti siang tukangnya dateng ngukur dulu. Paling masangnya besok."
Binar menoleh ke jendela, ke tenda yang tenang. Orang yang menghuni tenda masih terlelap. "Rum, bangunin tuh. Suruh pulang."
"Mbak aja. Aku buru-buru ada kuliah pagi. Aku ke sini cuma bilang itu."
"Iya, sekalian. Kamu kan mau keluar. Bangunin sekalian."
Arum akhirnya menurut. Membangunkan dengan memanggil beberapa kali dari luar tenda tapi tidak berhasil.
Dia melongok ke kamar Binar, menggeleng. "Susah dibangunin. Aku berangkat ya. Kalau Mbak nggak mau bangunin, panggilin aja ibunya. Kalau ibunya nggak ada, panggil penghulu."
Sebelum sesuatu melayang ke kepalanya, Arum cepat-cepat lari. Tawanya yang menyebalkan terdengar.
Beberapa menit kemudian Sakha bangun sendiri. Keluar dari tenda dengan rambut awut-awutan. Semakin berantakan karena pemiliknya menggaruk kepala. Binar melihat tapi tidak menegur. Orangnya lalu asyik meregangkan tubuh, membunyikan tulang leher dan tangan.
Barulah kemudian menyadari keberadaan Binar di jendela kamar. Tidak lupa cengiran khasnya. "Pagi, Bi. Nyenyak tidurmu?"
Binar tidak diberi kesempatan menjawab.
"Pasti nyenyak. Orang aku jagain dari sini."
"Tendanya bongkar habis kamu sarapan."
"Aku sewa buat dua malam. Sayang nggak sih? Siapa tahu aku nanti tidur di sini lagi."
Maling sialan! Binar harus menghadapi Sakha dan tingkah anehnya lagi. Malah sekarang punya tekad jadi satpam di depan kamar Binar.
"Pulang dulu, Bi. Sampai ketemu sore ya."
Binar malas tanya sore hendak ke mana. Semoga sore nanti hujan badai halilintar.
Masih tersisa lima hari dan dirinya akan terlepas dari gangguan Sakha. Lebih baik lagi kalau kepergian lelaki itu dipercepat dari yang semestinya.
***
Seorang anak baru saja melompat dari jembatan kayu, terjun ke sungai yang cukup dalam. Anak lainnya menyusul. Tertawa-tawa. Saling menyipratkan air ke muka temannya.
Sungai riuh rendah oleh suara anak-anak yang bermain air.
Di sinilah Binar berada di sore yang cerah. Kelewat cerah malah. Tuhan berpihak ke Sakha hari ini.
Sakha duduk di rerumputan sebelahnya. "Kita tunggu agak sore dikit baru nyemplung."
"Aku udah mandi."
"Kamu inget nggak, dulu para ibu nyuci bajunya di situ." Sakha menunjuk batu-batu hitam yang tersebar di beberapa titik sungai yang dangkal.
"Nggak inget."
"Aku pernah ikut Ibu nyuci. Sengaja ngehanyutin celana Bang Lutfi, habis dia duluan iseng nyembunyiin sepatuku. Tapi Ibu berhasil ngejar celana itu."
"Lain waktu aku nggak sengaja hanyutin kaus Bang Deri. Eh nggak kekejar sama Ibu. Aku dimusuhin sama abangku berhari-hari."
"Umur berapa?"
"Lupa. Pokoknya sebelum umur sepuluh." Kenangan baik hanya tercipta sebelum Sakha umur sepuluh. "Kamu nggak main ke sungai, main barbie di rumah."
"Sok tahu."
"Saat itu aku emang tahu isi kotak mainanmu kok. Hampir semuanya barbie. Makanya agak kaget sama pilihanmu buat ikut ekstra voli."
Binar tidak punya kenangan dengan sungai ini. Sakha semestinya juga tidak banyak. Tiga puluh tahun hidup mereka, lebih banyak dihabiskan di tempat lain. Tumbuh dengan segala kesibukan, ditempa banyak masalah, dan mungkin sedikit melupakan rumah di lereng bukit.
Tapi lelaki ini sepertinya menyimpan beberapa momen untuk diingat. Mungkin termasuk ingatan yang buruk tapi memilih berdamai. Karena pada akhirnya tetap pulang ke sini.
Binar juga tidak menyangka dirinya akan pulang dan ada di titik ini. Redup, mengingat semuanya, dan menjadi awas. Seperti yang Sakha katakan semalam.
Dia tidak menepis jika jeda ini dia butuhkan untuk kembali memaknai hidup. Meski tidak tahu harus dimulai dari mana.
"Kamu pernah lihat aku selama di Jakarta, Bi? Mungkin papasan di mana gitu." Sakha menyela lamunan Binar sembari melipat ujung celana panjangnya hingga sebatas lutut.
"Kamu pede banget."
Sakha tergelak. "Kalau aku yang lihat kamu duluan, aku pasti nyapa."
"Kamu mau bilang kalau aku sombong?"
"Misal kita ketemu di sana, dan bukan di sini, aku pasti masih dapet Binar yang gampang senyum."
"Nggak ada yang maksa kamu buat temenan sama Binar yang sekarang."
"Aku nggak berniat nyinggung kamu, Bi."
"Kamu nyinggung."
"Maaf." Ganti melipat celana satunya. "Tapi asal kamu tahu, aku suka Binar versi yang mana pun. Gimana pun kamu sekarang, kamu tetap Binar yang dulu pernah aku kenal."
Binar tidak terpengaruh dengan kalimat manis itu. Meski kenyataan memang demikian, kan? Semenjak Sakha pulang hingga hari ini, menemui sisi Binar yang lain, bukannya menjauh justru semakin menunjukkan ingin berteman dengannya.
"Kamu sendiri yang bilang, kalau kita jadi asing, kita temenan lagi dari awal."
"Tapi Sakha yang aku kenal nggak kayak kamu."
"Udah ganti kulit, Bi. Coba sukai Sakha yang model begini. Nggak rugi-rugi amat kok. Aku sama Arum nggak jauh beda."
Setelah dirasa, dilalui, Binar tidak punya alasan kuat membenci Sakha. Dia hanya tidak siap melihat orang lain masuk ke teritorinya. Cara Sakha mengajaknya berteman lumayan menyebalkan.
"Yakin nggak mau main air?"
"Nggak."
Sakha mulai turun ke sungai. Binar tetap di tepian, melihat apa yang hendak lelaki itu lakukan. Membungkuk dan mengambil air dengan dua telapak tangan yang disatukan. Kemudian ditunjukkan ke Binar.
Tidak cuma sekali. Sakha bolak-balik ke tepian.
"Ikan, Bi."
"Anakan kepiting, Bi."
"Cebong deh ini kayaknya."
"Lihat, ada udang kecil juga."
"Telur dinosaurus, Bi."
Binar mengulum bibir. Tidak akan tertawa hanya karena candaan receh Sakha.
Selain menyebalkan, lelaki itu juga jail. Mulai bergerak ke tepian sambil mencipratkan air ke arah Binar.
"Aku pulang kalau kamu—Sakha! Berhenti nggak?!"
Sakha tidak mau dengar. Dia terus melempar air. "Nah, udah lumayan kuyup. Sini sekalian."
"Nggak!"
Dia lantas keluar dari air, mengangkat tubuh Binar dan kena tabok di leher. Lumayan sakit tapi tetap berhasil membawa Binar ke dalam air.
Selain lehernya yang dijamin memerah, Sakha masih kena cubit di lengan, bahunya juga digigit. Nyaris membuat langkahnya yang sudah hati-hati jadi oleng.
"Bi, kalem, Bi. Kalau jatuh nggak lucu. Batu semua ini. Bisa pindah alam kita."
Binar berhenti berontak. Dia diturunkan dan tangannya refleks berpegangan di punggung Sakha. Arus sungai tidak kencang tapi Binar sedikit takut. Berbeda dengan Sakha yang langsung duduk dengan santai di dekatnya.
Saat mulai bisa duduk tenang, dia pun protes. "Ini nggak ada ya di wishlist-ku."
Sakha nyengir.
"Nggak usah ngibul. Emang nggak ada."
"Iya nggak ada. Tapi lumayan, kan?"
Binar tidak mau mengakui kalau aliran sungai membuatnya nyaman. Telapak tangannya menangkap beberapa hewan kecil yang lewat dan lolos dadi sela jemarinya. Dia menunduk, mengawasi ikan-ikan kecil.
Sekuat tenaga Sakha menahan tangan, supaya tidak menyelipkan anak rambut Binar ke belakang telinga. "Minggu depan ke pantai ya. Ini simulasi dulu aja."
Dia dengar dari Ibu jika setahun sejak pulang Binar belum pernah ke mana-mana. Mengurung diri, membatasi bertemu orang-orang. Seperti yang pernah Arum bilang padanya.
Asyik menangkap ikan-ikan kecil dengan jemarinya, Binar dikejutkan dengan gerakan Sakha yang tiba-tiba. Sebelum tahu apa yang terjadi, Sakha sudah lebih dulu mengangkat tubuhnya dari air dan sedikit menepi.
Binar bingung melihat air sungai yang tenang. "Kenapa? Ada apa?"
"Ular air." Sakha bergidik.
"Lele kali."
"Sumpah, ular, Bi."
Untuk pertama kalinya, Binar tertawa kecil. Sakha terkesima memandangi gurat-gurat kecil yang muncul ketika pemilik wajah tertawa.
Tinggal menoleh dan dia bisa memandangi wajah Binar dari jarak yang cukup dekat. "Lucu, Bi?"
Tawanya sirna. "Kirain apa. Ularnya paling cuma lewat. Dia heboh karena kamu heboh duluan. Turunin aku."
Sakha melangkah di bebatuan, mendudukkan Binar di batu yang besar. Langit barat memerah. Anak-anak tadi sudah pulang. Sungai menyisakan mereka berdua.
"Bi, aku tanya boleh?" Sakha mengumpulkan ujung kaus kemudian memerasnya. Dia menoleh dan melihat Binar tak kalah basah. Harusnya mereka segera pulang sebelum Binar menggigil. Baiklah, setelah satu pertanyaan ini.
"Kalau penting dijawab."
"Kenapa mutusin buat berhenti terapi?"
Binar tidak terkejut. Pertanyaan seperti ini cepat atau lambat akan dia dengar. Meski dari awal Sakha tidak membuatnya terasa berbeda. Sakha memperlakukannya secara tidak berlebihan, seolah-olah Binar tidak bisa melakukan apa-apa sendiri.
"Karena Adam nggak di sisi kamu, jadi kamu ngerasa nggak punya motivasi apa-apa? Atau karena kamu lagi ngehukum diri sendiri?"
"Semua yang kamu bilang aku bakal iyain."
"Mau nikah sama aku, Bi?"
Binar mengembuskan napas. Dibuat selelah mungkin biar orangnya merasa.
"Mana, katanya mau diiyain?"
"Capek ngomong sama kamu. Kayak sama sepuluh orang. Mendingan sepuluh orangnya."
Sakha tersenyum. Mengalihkan. "Sunset-nya bagus ya, Bi."
Dipatahkan. "Kayak telor mata sapi."
***
Binar menekuri salah satu video yang sedang terputar di ponsel. Matanya tidak berkedip sedikit pun. Dari puluhan postingan, Binar selesai menggulir semua. Lantas kembali lagi ke atas. Membuka salah satu video yang memiliki viewer ratusan ribu. Paling banyak di antara postingan lainnya.
Dia juga iseng membuka kolom komentar, yang kebanyakan kaum perempuan. Isinya sama: memuji pengambilan video yang bagus, bertanya letak hutan di dalam video, bertanya apakah boleh join di petualangan berikutnya.
Yang Binar sebutkan hanya separuh. Karena separuh lainnya memuji ketampanan lelaki di dalam video.
Dan semua komentar dibalas oleh pemilik akun.
"Dasar cowok kupu-kupu."
"Lagi lihat apa serius banget?" Arum masuk ke kamar tanpa menimbulkan suara.
Ponsel nyaris meluncur dari tangan Binar.
Arum melompat ke kasur, coba mengintip tapi Binar sengaja menjauhkan ponselnya.
"Apa sih, jadi penasaran." Arum tetap nekat. Merangsek ke arah Binar yang sudah mentok di sudut kasur.
"Sini lihat."
"Bukan apa-apa."
"Kalau bukan apa-apa harusnya boleh lihat."
"Pak Muh, Rum, videonya Pak Muh!"
"Harusnya ketawa bengek. Bisa-bisanya cuma lempeng."
Arum berhasil meraih ponsel Binar yang teracung tinggi. Menyipitkan mata demi membaca pemilik akun yang postingannya terpampang di layar.
Binar sempat mencegah dan berakhir petaka bagi dirinya sendiri. Jempolnya menekan layar terlalu kencang.
Arum juga menyadarinya. Tidak kuasa menahan jeritan senang ketika lambang hati muncul di tengah layar. "HAHAHAA MAMPUS KEPENCET LIKE!"
Dengan kesal Binar membanting ponsel ke tengah kasur, di sebelah Arum yang terbahak hingga terguling-guling. Menertawakan ketololannya.
Di antara bengeknya, Arum memberi saran. "Udah sih, kataku follow aja sekalian. Biar nggak malu-malu amat."
"Follow matamu."
Tawa Arum makin menjadi.
***
Ada yg diam diam pengin temenan balik💃💃💃
Btw, cakep ya jodohkuwh 😍😭🙏
Sabtu/01.06.2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top