13. Nyala redup
"Siapa yang habis bikin mie, Mbak?"
"Aku."
"Masa? Dua bungkus yakin?"
"Yakin-yakin aja."
"Bukan tetangga yang bikin?"
Binar melotot ke arah sepupunya yang banyak komentar itu.
"Iya, iya. Percaya kok. Masukin lagi matanya. Horor ah."
Arum datang agak siangan. Dia mampir membeli makan sekalian karena Ida libur. Tapi sampai di dapur dia melihat mangkuk bekas mie di bak cuci. Melongok ke tempat sampah dan menemukan dua bungkus mie.
Gelagat kakak sepupunya juga cukup aneh hari ini. Sering melamun. Arum menjatuhkan sendok, tidak sengaja, Binar langsung terkejut dan ngomel. Lalu orangnya berlalu ke halaman. Waktunya fotosintesis.
"Ini buburnya siapa, Mbak?"
"Makan kalau doyan. Tapi jangan semua."
Arum mengambil bubur kacang hijau di mangkuk kecil. Bergabung dengan Binar di bawah sinar matahari. Menikmati bubur sambil merem-merem karena tidak tahan dengan paparan sinar. Inilah kenapa dia jarang sekali bergabung dengan hobi Binar di pagi hari.
"Kayaknya cuma Mas Sakha yang betah nemenin hobi Mbak satu ini."
Secara random nama itu disebut. Binar berdeham. "Nggak minta ditemenin. Aku lebih tenang sendiri."
"Lebih tenang sendiri hari ini, belum tentu lebih tenang selamanya. Mbak bakal butuh temen bicara sekalipun Mbak nggak suka berisik. Tapi minimal ada yang bicara. Mas Sakha memenuhi kriteria itu. Dia mau ngapain ayo-ayo aja."
"Kamu naksir dia?"
"Penginnya sih. Tapi aku fokus kuliah dulu. Nanti kalau Mbak Binar tetep nggak mau, biar aku yang kejar Mas Sakha."
"Saingan sana sama calon istrinya."
Arum tertawa menepuk dahi. "Lah iya, baru inget. Kenapa sih dia nggak single aja. Biar aku bisa naik kapalnya kalian."
"Mana kapalnya? Sini aku tenggelamin."
"Tega." Arum mendecih, mengangguk-angguk karena buburnya enak. "Tapi calon istri belum tentu jadi istri beneran."
Kesal karena waktu-waktu damainya diganggu. "Terus menurutmu aku yang bakal jadi istrinya Sakha?"
Arum menunjuk Binar dengan sendok sambil terkikik-kikik. "Omongan itu doa lho. Tapi kita lihat, bisa jadi jalur kamar sih."
"KARMA!"
"Aduh, lidahku terlalu bersemangat."
Binar menepis sebal sendok yang sedikit lagi mencolek pipinya.
***
"UMAR!"
Tadi pagi ibunya, sekarang siang anaknya. Umar agak trauma. Dia pun pura-pura tak dengar. Tetap menyandar di pohon, berkamuflase jadi tokek.
Sakha menepikan mobil, turun menghampiri pohon rindang di pinggir lapangan. "Kenapa sih? Aku ada salah? Dipanggilin nggak nyahut."
"Semalam tidur di mana? Aku kena fitnah ibumu, tahu. Tidur di rumah janda tato kupu-kupu mana?"
"Binar bukan janda. Binar nggak punya tato kupu-kupu."
"Emang kamu udah cek dia beneran nggak punya tato—OH JADI NGINEP DI RUMAH BINAR?"
Sakha tidak coba membungkam mulut Umar. Aman. Mereka ada di lapangan yang isinya cuma domba-dombanya Umar. Tidak mungkin para domba itu rumpi menyebarkan gosip ke warga.
"Terus pake namaku biar ibumu nggak nyeret pulang?!"
Dia duduk di sebelah Umar. "Ceritanya panjang."
"Waktuku banyak. Kamu ajak nguras amazon sekarang, bisa loh aku, Ka."
"Mohon kerjasamanya buat tutup mulut."
Umar menyipit. "Bukannya bagus kalau ada gosip kamu suka Binar? Biar makin rame. Ada plot twist-nya. Ada yang baru selain gosip calon istri mulu. Kami para warga udah bosen. Minimal kasih lihat wajah calon istrimu itu biar kami tenang."
Mengabaikan ucapan Umar lainnya. "Akunya nggak papa, Binar nanti yang risi."
"Tapi kamu nggak lama ini di rumahnya. Binar risi paling bentar, terus lupa karena nggak bakal lihat kamu tiap hari."
Orang-orang kenapa selalu mengingatkan bahwa dia hanya sebentar di sini. Sebulan itu memang, argh, ya sebentar sih. Tahu-tahu sudah hampir dua minggu dia tidur di rumah Ibu. Dulu tiga hari saja rasanya lama sekali.
Sakha tahu. Alasannya tentu saja karena ada Binar. Dia selalu ingin pagi cepat datang. Terasa kurang kalau tidak melihat wajah bete Binar ketika dirinya muncul. Selalu terdengar bisikan untuk menculik ikan Binar lagi biar yang punya kesal. Padahal kalau niat punya, dia bisa beli sendiri.
Lalu saat Binar sedih, dia ikut sedih. Binar senang, dia apalagi. Binar kesal, itu lebih menggemaskan di matanya.
Umar menggaruk pipi. Tidak lanjut menggoda Sakha yang sedang nyengir sendiri. Tidak perlu tahu detailnya, sudah kelihatan kalau urusan asmaranya Sakha agak rumit.
Ada yang bilang Sakha punya calon istri. Tapi mana, pulang ke sini tidak pernah diajak. Ada juga yang bilang Sakha sudah nikah siri. Tapi lihat, orangnya masih bau-bau perjaka.
Gosip itu kalau bukan kenyataan yang tertunda, ya cuma sekadar cerita fiksinya orang-orang gabut.
"Anterin, Mar." Sakha menepuk bahu Umar sembari berdiri.
Umar mendongak. "Ke mana?"
***
Binar mendengar sedikit keributan di luar. Dia mengintip dari jendela. Mendapati seseorang mengenakan mantel sedang mendirikan tenda di saat gerimis turun kecil-kecil.
Membuka satu daun jendela. "Ngapain?"
"Persiapan jambore." Sakha berhenti memukul pasak tenda, mendongak. "Arum bilang kamu tidur. Nggak jadi kejutan dong."
"Siapa yang mau camping?" Binar menumpukan tangan di jendela. Menopang dagu dengan satu tangannya. Melihat kesibukan Sakha yang mendirikan tenda. Meski sendirian tapi tampak terampil.
"Kamu lah."
"Ada di wishlist-ku?"
"Ada, Bi."
"Aku nulisnya gimana?"
"Jambore bersama bestie."
"CK!"
"Oke serius. Camping di ketinggian sekian Mdpl, api unggun, bintang-bintang di langit." Sakha tampak mengingat. "Berdua sama Adam."
Binar diam. Sadar kalau dirinya masih diledek.
"Bercanda. Kalimat terakhirnya cuma bohong. Mending sama aku ketimbang Adam yang nggak tahu rimbanya mencari Inul ke sana kemari." Sakha terkekeh sendiri.
Pasti Arum yang cerita.
"Buat apa repot-repot gini?"
"Demi kamu apa sih yang repot. Tadi dibantuin Umar, eh hujan dia ngibrit pulang. Nggak ada tuh setia kawannya."
"Hujannya bakal awet sampai malam."
"Paket sewa tendanya ada bonus kanopi gede."
"Kamu bilang apa ke Tante?"
"Soal tidur di mana semalam? Ibu nggak tanya apa-apa tuh."
"Kok bisa?"
Sakha mengangkat bahu. "Kayaknya Ibu tahu, tapi pura-pura nggak tahu. Bukan pertanda bagus sih, Bi. Kalau aku belum nikah dan kamu juga belum, takutnya kamu bakal dilamar Ibu berkali-kali. Kayak tadi pagi contohnya."
"Ditanya, bukan dilamar."
"Sama aja ah. Jawabanmu nanti bakal sama, Bi?"
"Buat apa aku pikirin sekarang."
"Buat jadi obrolan kita. Biar nggak sepi-sepi amat."
Binar bisa membayangkan ketika lelaki ini bekerja pasti cerewet sekali. Tangan bekerja di kamera, mulut tetap mencerocos. Selain memberi arahan gaya, pasti ngomong hal-hal tidak penting.
Sambil membuat rajutan iseng, Binar tetap di dekat jendela. Sakha terlihat serius memasang tenda, suaranya hilang. Binar sesekali mengangkat wajah. Memastikan orangnya masih di halaman.
Tenda dan kanopi sudah selesai dirangkai. Tapi Sakha masih sibuk mengurai lampu gantung. Mungkin pekerjaan merangkai dan membongkar sudah familier bagi lelaki itu. Sejak tadi Binar tidak lihat ada buku panduan.
"Selesai!"
Binar terkesiap. Sakha tiba-tiba mengangkat kepala dan tatapan mereka berserobok.
"Mana pujiannya, Bi?" Sakha merentangkan tangan. Bangga memperlihatkan hasil pekerjaannya.
"Siapa aja yang ikut?"
Menurunkan tangan yang cukup pegal. "Semua. Rame pokoknya. Tapi kalau kamu pengin berdua, aku bisa suruh mereka nggak ke sini."
Binar hanya menghela napas. Helaan yang mampu membuat Sakha tersenyum. Hal yang aneh di mata Binar. Mentang-mentang murah senyum, orang napas juga disenyumi?
***
Malam datang. Peserta jambore-nya Sakha mulai berdatangan. Binar mengawasi dari teras. Ida, Arum, dan Umar. Dia belum memutuskan bergabung atau tidak. Tapi sudah pasti Arum tidak akan membiarkan dirinya menyendiri dengan tenang di kamar.
Ada empat kursi lipat. Meja panjang ditata sedemikian rupa. Perapian dinyalakan. Banyak makanan yang dibuat sate, siap dibakar. Ida cekatan menyiapkan bumbu. Umar mulai membakar jagung.
Binar tidak diberi tugas apa-apa. Urusan minuman hangat sedang dibuat Sakha. Dari baunya sih cokelat. Kalau dilihat-lihat, orang ini tidak punya capek. Setelah memasang tenda Sakha mengantar ibunya pergi. Baru pulang sehabis magrib. Tak lama langsung lari ke sini dan memulai acara jambore ini.
Iya, Binar menolak fakta bahwa ini masuk ke dalam wishlist-nya. Pertama, bukan di gunung. Kedua, dia tidak ingin melakukannya dengan mereka apalagi Sakha. Ketiga, dia sudah tidak suka langit malam.
Arum membagikan satu tusuk sate berisi daging, sosis dan potongan daun bawang. Masing-masing pegang satu.
"Tolong pegangin dulu, Bi."
Sakha sedang membalas pesan, tampak serius. Binar menahan sate itu di tangan kirinya sambil meniupi satenya sendiri di tangan kanan.
"Kepedesan nggak?"
"Udah pas, Da."
Binar menoleh ke sisi kiri. Lelaki itu belum selesai juga. Dia berniat menaruh sate di piring kosong di meja. Tapi Sakha tiba-tiba memajukan wajahnya. Menggigit sate yang masih Binar pegang. Lalu lanjut menekuri ponsel sambil menyandar di punggung kursi.
"Taruh aja, Bi."
Dari tadi kek! Segala bikin orang kaget.
Meski kesal, Binar tidak bisa pindah ke mana-mana. Dia sejak tadi ditempatkan di sebelah Sakha yang duduk paling ujung. Arum pasti sengaja.
Lalu rombongan bubar secara mendadak. Entah siapa yang mengatur. Umar tiba-tiba pulang. "Ibuku chat. Dombaku mau lahiran. Sori pulang duluan ya."
Ida berdiri tak lama setelah Umar pergi. "Aku juga mesti pulang."
"Kucingmu ngelahirin, Da?" tanya Binar.
"Bukan. Kerabat dari kota datang malam ini. Aku udah bilang kalau ke sini cuma sebentar."
Ida pun melenggang pulang. Tersisa tiga orang. Binar sedang menanti mulut ajaib Arum. Apakah akan mencari alasan untuk hengkang atau sebaliknya.
"Duh, mules."
Binar menghela napas.
"Aku juga pulang deh, Mbak."
"Emang di rumahku nggak ada toilet?"
"Selama ini aku nggak bisa pake toilet selain di rumah."
Binar urung mematahkan. Baru ingat kalau Arum memang punya kebiasaan seperti itu.
Dengan berat hati, dia melepas Arum pulang. Dari cara larinya sih Arum tidak berbohong. Sungguhan mules.
Baiklah. Tersisa dua orang. Sakha dan dirinya. Mau apa sekarang?
"Kamu sebaiknya pulang juga." Mengusir Sakha terang-terangan.
"Ibu udah ngizinin aku tidur di sini. Kalau aku pulang, sia-sia aku pasang tendanya."
"Aku berani tidur sendirian."
"Oh, kamu mau tidur di tenda juga?"
"Maksudku aku berani di rumah sendirian. Kamu nggak perlu sebegininya."
"Sebegininya tuh gimana sih, Bi? Jangan apa-apa dilihat orang berkorban buat kamu. Siapa tahu dia seneng-seneng aja ngelakuinnya."
Kalimat yang membuat Binar bungkam.
"Kamu tunggu bentar. Jangan kabur ke kamar." Sakha mengurus sisa makanan. Membereskan bumbu-bumbu. Mengangkutnya ke dalam karena dirinya dan Binar tidak sanggup menghabiskan semuanya. Yang di piring sudah cukup.
Binar hanya memperhatikan. Lihat, orang ini cukup rajin. Kenapa mangkuk mie tidak dicuci coba? Arum nyaris saja mengendus rahasia kecil di antara mereka.
Sakha kembali dengan selimut di tangan. Dia letakkan di pangkuan Binar. Gerimis turun dan Sakha merapatkan jaket yang dipakai.
Ada lampu yang menggantung dan menghiasi tepian kanopi. Pemandangan yang luput dari Binar karena sejak tadi teralihkan dengan keramaian di sisi kanan dan kirinya. Kini benar-benar tenang. Dia punya waktu untuk memperhatikan detail tenda.
"Studioku punya tiga lantai. Aku suka bikin tenda di atap kalau udah kemaleman pulangnya."
"Nggak ada kasur di studiomu?"
"Ada. Tapi bangun-bangun, buka tenda terus ketemu angin itu enak banget."
"Bukan jemuran warga?"
Sakha tertawa, bertepuk tangan. "Aku pernah ngalamin, Bi. Waktu itu studio masih pakai lantai dua rumah mamaku. Buka tenda langsung jemuran pakaian dalam tetangga. Sejak saat itu kapok."
Mamaku. Binar sedikit terusik dengan satu penggal kata itu.
"Kamu enak, punya dua ibu."
Sakha berubah kalem. Sampai di gestur itu, Binar paham kalau dirinya tidak akan dengar apa-apa soal dua ibu ini.
"Duniamu punya banyak warna, ya?"
Sakha mengangguk. "Kerjaanku nggak lepas dari mix and match sama lampu. Beres dari lampu-lampuan, ngeram di depan komputer. Ngedit sampai pagi. Ngatur gradasi dan lainnya."
"Hidupku nggak punya warna."
"Selama namamu belum ganti, masih Binar, kamu tetap punya warna."
"Tapi redup."
Sakha menunggu.
"Aku redup sekarang. Mungkin sejak sepuluh tahun lalu, tapi baru kerasa sekarang. Saat kondisiku sendiri udah buruk."
Dia tidak buru-buru memberi respons. Dia memandangi lampu hias di tepian kanopi, pantulan bulir hujan, serta binatang kecil yang terbang di sekitar cahaya.
"Redup juga nggak apa-apa. Kamu jadi lebih awas. Lebih terjaga. Kamu nggak melewatkan sesuatu lagi. Redup nggak selalu buruk. Tuhan mungkin ingin memperbaiki sesuatu. Nanti pasti ada saatnya nyalamu kembali terang, Bi."
Binar menunduk. Sakha jadi takut kalau salah bicara. Mana tidak kepikiran satu pun lelucon di kepalanya. Mendadak buntu. Dia cuma terlintas satu; ingin memeluk Binar.
Tapi tidak bisa dia lakukan, kan?
***
Ini salah satu chapter favkuuu 😭✨
Funfact (gak penting buat kalian tp gemas buatku🤣):
Di varshownya BTS, Bang jhope pernah nonton match timnas voli Korea vs Japan 2020. Mbak soyoung main di situu aaak. Jiwa shipper Sakha-Binarku menyala nyala😭🔥🔥 (meski dia follownya ig taehyung doang wkwk)
Mbak soyoung saat itu:
Rabu/29.05.2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top