12. Ibu minta kita lebih dari teman
"Bi, lantainya dingin. Pindah ke atas ya."
Binar memberi anggukan kecil. Sakha menggendongnya pindah ke kasur. Ujung jaketnya ditarik saat hendak berbalik.
Sepasang mata yang masih takut itu bertanya-tanya.
"Ambil minum, Bi. Sama nutup jendela."
Binar melepas tangannya. Membiarkan Sakha bergerak ke jendela lalu ke dapur. Lelaki itu muncul cepat dengan segelas air putih. Diulurkan ke Binar.
Setelah Binar selesai minum. "Aku harus hubungi siapa, Bi? Arum? Ida? Atau tante kamu?"
"Jangan."
"Kenapa jangan?"
"Aku udah nggak apa-apa. Jangan kasih tahu mereka."
Sakha melihat kedua tangan Binar terkepal, meremas selimut. "Kalau ibuku? Ibu bisa di sini nemenin kamu tidur."
"Orang-orang nggak perlu tahu kejadian tadi. Yang penting aku nggak apa-apa. Kayaknya nggak ada yang diambil, keburu kepergok malingnya. Jadi nggak perlu dibikin heboh."
Sakha ingin menyanggah. Tapi urung karena kondisi Binar belum terlalu tenang. Perdebatan hanya membuat situasi semakin buruk. "Ya udah, kamu maunya gimana?"
"Tolong rahasiain apa yang terjadi."
"Oke."
"Aku nggak mau orang-orang heboh."
"Ya."
"Kamu bisa pulang sekarang."
Yang ini dia tidak setuju. "Terus kamu sama siapa?"
"Aku udah nggak apa-apa."
Ketimbang mengomeli betapa keras kepalanya Binar, Sakha lebih ingin mengusap bekas air mata di pipi perempuan ini. Tapi tidak tahu caranya. Kalau pelukan tadi hasil dari gerak refleks Binar sendiri, lalu bagaimana dengan bentuk perhatian yang disengaja?
Sakha banyak berpikir. Akhirnya ragu. Dia bahkan tidak berani mengurai tangan yang terkepal itu. Yang mungkin bisa cepat tenang kalau dia coba menggenggamnya.
"Kamu minta rahasiain, aku iyain. Tapi aku tidur di sini malam ini."
Binar membuka mulut, hendak melarang, tapi Sakha sudah melangkah ke sofa di sudut kamar. Menekuri ponsel sebentar sebelum melepas sepatu dan jaket. Menyisakan kaus putih kemudian berbaring. Kedua tangannya terlipat di dada, matanya langsung terpejam.
Kamar itu lengang. Binar menenangkan diri sebisa mungkin. Ada Sakha yang menemaninya. Ada orang yang bernapas di sini selain dirinya. Dia akan aman. Dia mungkin bisa coba tidur—
"Mau sampai kapan kamu ngelihatin aku terus, Bi? Kamu harus tidur juga. Dibawa tidur biar cepet tenang."
Tidak berusaha menyangkal, toh dia memang memandangi Sakha sejak beberapa menit lalu hingga detik ini.
"Aku cuma merem, belum tidur. Kamu kalau pengin ngobrol aku dengerin."
"Tante nggak nunggu kamu pulang?"
"Aku udah kirim pesan kalau tidur di rumah Umar."
"Kenapa?"
"Kenapa?" Sakha membeo. "Kalau aku bilang tidur di rumah Binar tanpa alasan kuat, menurutmu Ibu bakal mikir gimana? Daripada pusing mikir alasan, tidur di tempat Umar lebih masuk akal."
Binar merapatkan bibir. Memutuskan tidak bicara lagi. Posisinya masih sama, bersandar di kepala ranjang, dengan tangan yang masih meremas selimut. Dan tetap memperhatikan Sakha yang sepertinya sudah tidur.
"Kalau ada yang jahatin kamu, bukankah kamu harus teriak? Biar ada yang datang." Hanya sampai di situ. Sakha menahan biar tidak keluar kalimat-kalimat pengandaian yang buruk hingga paling buruk. Dia cukup lega Binar tidak luka atau apa. Tapi mungkin ketakutannya akan sulit hilang.
"Kenapa kamu bisa datang tanpa aku teriak?"
"Kayaknya di kepalaku ada semacam antena nggak kasat mata. Khusus nangkap radar dari kamu."
Menyesal sudah bertanya. Dia pikir sikap serius Sakha akan bertahan lebih lama.
Dengan mata terpejam, Sakha mendengkuskan senyum. "Kita bisa main petak umpet kapan aja, kan? Kayak dulu. Anggap yang tadi aku berhasil nemuin kamu di waktu yang tepat."
Satu jam berlalu. Sakha terbangun, gerakan tiba-tiba yang membuat Binar yang setengah melamun terkesiap.
Sakha bangkit dari sofa. "Kamu belum tidur, Bi?"
"Telanjur nggak bisa tidur."
Sambil terkantuk-kantuk, Sakha menarik kursi mendekat ke sisi kasur. "Kasihan selimutnya. Siniin tanganmu."
"Buat?"
"Sini dulu."
"Dua-duanya?"
Sakha tersenyum karena pertanyaan itu. "Dua-duanya boleh."
Binar lantas melihat tangannya digenggam. Itu pun dia masih mencerna. Otakmu ke mana, Binar?
"Lima menit, Bi. Kalau kamu gagal tenang, aku nyerah. Silakan lanjut begadangnya sambil lihatin aku tidur."
Jika situasinya tidak begini, Binar ingin menggetok kepala Sakha.
Lima menit. Sepertinya Binar gagal tenang. Sakha melepas genggaman. "Coba ikutin aku, Bi."
Sakha mengangkat satu tangan, melebarkan jari-jari. Menggunakan telunjuk tangan satunya untuk mengikuti garis jari. "Tarik napas, tahan napas pas telunjuk di ujung jari. Pas turun ke jari berikutnya, hembusin. Gitu terus sampai jari kelingking."
"Siapa yang ngajarin?"
"Ada. Orang."
Cukup. Binar nyaris bertingkah seperti Arum yang kepo. Dia fokus meniru yang dilakukan Sakha.
"Udah tenang?"
"Agak tenang."
Sakha mengangguk, bisa memahami. Memang sulit untuk tenang dengan cepat. Apalagi berpikiran lurus. Dia tahu betapa berisiknya kepala Binar saat ini. Hal-hal buruk menjejal di sana.
Dia pun kembali ke sofa. Belum tega meninggalkan Binar tidur. Kalau tadi sepertinya dia ketiduran. Malah sekarang pikiran Sakha ikut berkecamuk. Ikut sedih karena teringat.
Orangtua Binar meninggal di rumah ini. Kejadian yang sedikit mirip. Kawanan maling menyelinap masuk, mengambil barang-barang berharga dan nahas, juga membunuh pemilik rumah. Binar saat itu sedang mempersiapkan diri masuk timnas voli putri.
Usianya duapuluh tahun ketika Binar harus kehilangan kedua orangtuanya.
"Sadari kalau kamu ada di masa sekarang, Bi. Kejadian yang buruk nggak akan terulang. Kamu yang saat ini udah aman."
"Ya."
"Besok nggak usah dikhawatirin, lalui dulu yang saat ini. Kamu tetap punya kekuatan dan daya yang sama buat menjalani hidup besok."
"Ya."
"Binar."
Binar menunggu kalimat bijak lainnya.
"Aku boleh bikin mie?"
***
Retno menegakkan punggungnya, menjeda kegiatan menyapu halaman saat rombongan domba Umar lewat di jalan depan rumah.
Satu, antisipasi kalau ada domba yang nyelonong masuk halaman dan berak sembarangan atau makan tanaman. Siap dia halau dengan sapu.
Kedua, untuk ini. "Sakha belum bangun, Mar?"
Umar berhenti. Dahinya berkerut dalam. "Tante kan ibunya. Tante lebih tahu Sakha bangun apa belum. Kok tanya aku."
"Dia tidur di rumahmu."
"Sakha mana pernah tidur di rumahku, Tan."
"Tapi semalam dia tidur di rumahmu."
"Hah? Enggak tuh."
"Iya. Sakha yang kirim pesan sendiri."
"Suwer, Tan, enggak."
"Kamu mabuk ya semalam? Sampai Sakha tidur di sana kamu nggak ngeh. Inget ya, Mar. Jangan sekali-sekali ajarin anak Ibu mabuk."
Umar jadi meragukan diri sendiri. Siapa yang halu di sini. Dia yakin, tidak pernah seyakin ini, Sakha memang tidak ada di rumahnya semalam.
"Yang suka mabuk kan bapakku, Tan. Aku cuma icip dikit. Itu pun nggak sering."
Retno mengibaskan tangan. "Berarti kamu mabuk semalam."
"Nggak, Tan. Sumpah samber gledek."
Langit betulan bergelegar. Umar refleks merunduk sebentar. "Lagian Sakha hidup di kota pasti nggak jauh dari pergaulan yang bablas. Masa Tante percaya kalau Sakha bilang nggak pernah mabuk?"
"Kok kamu jadi nuduh anak Tante. Kamu punya bukti? Sini kasih lihat. Kamu pagi-pagi bikin kesal aja."
Perempuan, apalagi ibu-ibu, memang nggak boleh salah. Apalagi anaknya yang disalahkan.
"Domba-dombaku udah nungguin, Tan. Sakha nggak ada sama aku pokoknya." Umar bergegas sebelum nyawanya kenapa-kenapa.
"Mar, tunggu! Umaaaar!"
Umar lari tanpa menoleh.
"Terus Sakha ada sama siapa?!"
***
Sakha bersiul menabur pakan di akuarium besar itu. Nyengir menyapa selamat pagi ke ikan-ikannya Binar. Menempelkan sebelah pipi di permukaan kaca seperti cicak sambil melihat mereka makan.
"Ikanku bisa stres kamu lihatin kayak gitu."
Tapi Sakha belum juga menjauh dari akuarium. "Ida nggak ke sini, Bi?"
"Libur."
"Arum?"
"Nggak tahu. Munculnya nggak mesti."
"Aku pulang bentar lagi. Terus kamu sarapannya gimana kalau Ida libur?"
"Ada roti. Atau bikin yang simpel."
"Ikut sarapan di rumahku, yuk?"
"Nggak deh. Kalau kamu mau pulang, buruan."
Ini bukan habis manis sepah dibuang. Sakha sendiri yang semalam menyerahkan diri ke sini, ngotot tidur di sini. Tapi kalaupun ini bukan Binar, dia akan melakukan hal yang sama. Lebih-lebih Binar yang mengalami, dan punya trauma tersendiri, Sakha siap kalau disuruh menginap berhari-hari.
Sakha masuk ke kamar Binar. Mengenakan sepatu dan jaket, merapikan bantal-bantal sofa yang berantakan.
"Binarrrr!"
Sakha seketika merunduk, secepat kilat lompat ke kasur dan menarik selimut hingga kepala. Binar yang mengenali suara itu segera mendekat ke jendela. Sedikit panik.
Entah kenapa panik. Mungkin karena kesannya dia telah menyembunyikan anak Tante Retno di kamar ini. Meski tidak ketahuan. Jangan sampai ketahuan.
"Ibu bikin bubur kacang hijau, Bi."
Binar berterima kasih. Menerima termos berukuran sedang yang diulurkan lewat jendela.
"Arum masih tidur?" Tante Retno sedikit melongok ke dalam kamar. Melihat penghuni kasur.
"I-iya, Tan."
"Kita ngobrolnya pelan kalau gitu. Tante cuma sebentar, habis ini mau nyari Sakha. HP-nya mati."
Binar mengerjap. "Emangnya anak Tante ke mana?"
"Katanya nginep di rumah Umar, tapi Umar bilang enggak."
"M-mungkin di rumah abangnya, Tan?"
"Nggak juga. Ibu udah tanya."
Binar benar-benar merasa bersalah harus berbohong begini.
Tapi Tante Retno seperti biasa, suka membelokkan topik pembicaraan. "Sakha banyak gangguin kamu, Bi?"
Binar hanya tersenyum simpul. Pertanyaan masih sama dengan tempo hari.
"Kamu yang sabar. Dua minggu lagi anaknya udah pergi lagi."
"Tante nggak sedih?"
"Ibu tentu sedih, kadang khawatir. Tapi di sana Sakha banyak yang jagain. Anak sebaik dia pasti banyak yang sayang."
Binar mengangguk setuju. Seperti biasa, dia hanya menjadi pendengar. Apalagi Sakha ikut mendengar percakapan ini. Binar makin tidak ingin menimpali banyak.
"Maafin Ibu kalau lancang tanya ini."
"Tanya apa, Tan?"
"Katakanlah Sakha masih sendiri, apa mungkin kamu bisa menyukai Sakha, Bi?"
Binar terhenyak, bingung memberi reaksi. Bukan Arum yang bertanya demikian, dan ini tentu bukan pertanyaan iseng jika dilihat dari keseriusan di wajah Tante Retno. Seperti ada harapan besar di sorot mata teduh itu.
"Ibu ingin dia tinggal lagi di sini. Tapi Ibu nggak punya cara, nggak punya keberanian buat minta langsung. Ibu lihat semenjak tahu kamu ada di rumah, Sakha terlihat senang."
"Aku suka Sakha sebagai teman, Tante."
Wanita paruh baya itu mengangguk, mengerti.
"Maaf kalau jawabanku nggak sesuai harapan Tante."
"Jangan merasa bersalah, Bi. Ibu yang salah karena udah ngaco tanya. Padahal kalian punya pilihan masing-masing." Tante Retno pamit tak lama kemudian.
Selimut tersibak, Sakha kemudian bangun. Tanpa banyak bicara mengambil tas kamera di sudut sofa. Di ambang pintu kamar dia sempat berbalik. "Aku ke sini lagi nanti sore, Bi."
"Makasih udah nemenin. Tapi nanti nggak usah ke sini. Aku udah minta Arum dateng."
Sakha menatap Binar tepat di mata. "Maafin ibuku. Dia nggak bermaksud apa-apa. Seperti katamu, kita cuma temenan."
"Semua Ibu akan melakukan hal yang sama, kan? Semua Ibu mencemaskan anaknya. Beberapa Ibu rela anaknya tinggal jauh. Beberapa nggak bisa. Mungkin karena ingin menebus kesalahan."
Sakha menunjuk jendela. "Kamu harus pasang teralis lagi, Bi."
Binar masih melanjutkan. "Karena ibumu selalu natap kamu dengan perasaan bersalah. Itu bikin kamu nggak nyaman."
Hatinya sukses kalang-kabut karena terbaca. Sakha menutupinya dengan berlagak salah tingkah. "Udah, Bi, cukup. Jangan diterusin. Kalau aku suka kamu beneran gimana?"
Seketika raut wajah Binar berubah masam. Sakha tertawa sebelum menghilang. "Nah, Binar yang kayak gini lebih gemesin. Aku punya kejutan sore ini buat kamu."
Binar memukul mulutnya sendiri. Kenapa mulutnya sok tahu, sok ikut campur. Bukan urusannya lelaki itu mau tinggal di mana. Tapi lebih baik memang di planet lain. Jangan di bumi. Apalagi bertetangga dengannya sampai tua.
***
Masih terpantau aku rajin update hihi. Semoga besok2 juga masih. Mumpung aku lagi bucin banget ini ama Sakha😭🔥
Senin/27.05.2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top