11. Ada aku

Sakha berhenti lama di ambang pintu menuju dapur. Memandangi punggung Ibu yang sibuk membuat sarapan lebih pagi, tahu kalau Sakha pergi lebih awal dari kemarin. Padahal semalam Ibu pulang cukup larut. Tidurnya belum cukup.

"Udah bangun, Ka?" Ibu menoleh, tersenyum menyadari kehadiran bungsunya. "Mau mandi sekarang?"

Di balik senyumnya, kakinya ingin sekali bergerak ke sana. Mengusap kepala Sakha dengan sayang, bertanya apakah tidurnya nyenyak. Hal sederhana yang gagal dia lakukan selama hampir duapuluh tahun tanpa rasa bersalah. Apa yang dia lakukan sekarang, sebagai Ibu, mungkin tidak sepenuhnya sama lagi di mata Sakha.

Apa lagi Sakha punya sosok ibu lain, yang lebih baik dari dirinya.

"Masih terlalu pagi buat mandi, Bu." Sakha tersenyum. Masih sering tersenyum padanya. Seolah marahnya anak ini hanya terjadi di hari itu. Satu hari saja. Padahal tidak sesederhana itu.

"Ibu siapin air panas?"

"Nggak usah." Melangkah ke area dapur, Sakha menyingsingkan lengan kaus panjang.

Tapi sebelum dia menawarkan bantuan, Ibu lebih dulu menolak. "Jangan pegang apa pun. Kamu duduk aja. Atau nonton TV selagi nunggu mata beneran melek."

Sakha masih berdiri di samping Ibu yang menumbuk kentang.

"Nanti pulang malam lagi?"

"Kayaknya."

"Minta bayaran tinggi ke abangmu. Dua hari udah nyita waktu santai kamu."

Sakha tersenyum. Memperhatikan jari-jari Ibu yang makin keriput dan menyusut.

"Mamamu suka masakin apa, Ka?"

Pertanyaan yang bisa dia antisipasi. Kerap Ibu tanyakan ketika dirinya pulang. "Masakan padang sih seringnya."

"Kamu udah bisa makan pedes?"

"Mama ngurangin cabenya." Terdiam sebentar. "Tapi masakan Ibu nggak kalah enak."

Ibu tersenyum senang, kali ini menerima pujian itu.

***

"Hufttt. Nggak ada Mas Sakha nggak seru."

"Aku jadinya ngantuk."

"Mas Sakha lupa apa ya, harusnya diingetin. Jadwal nonton voli lebih penting ketimbang kerja bantuin abangnya. Duit dia udah banyak. Iya, kan? Pulang katanya liburan, malah kerja."

"Dia duluan yang bikin kita nonton voli. Eh dia yang absen."

Binar harus mendengar keluhan Arum untuk yang kesekian kali. Pokoknya nama itu selalu dibawa. Padahal tayangan Red Sparks melawan Hi-Pass baru dimulai lima menit lalu. Tapi keluhan Arum lebih banyak ketimbang poin yang dicetak kedua tim.

Menit ke sepuluh, Arum akhirnya walk out dari ruang TV. Entah ke mana. Semoga bukan minta makan ke rumah depan.

Bagus. Biar dia sendiri saja yang nonton. Lebih tenang. Tidak ada yang cerewet tanya kenapa poinnya dianulir, kenapa pemain A mainnya jelek, kenapa pemain B selalu gendong tim. Dan banyak kenapa-kenapa lainnya. Binar kali ini bisa fokus menikmati pertandingan penutup ronde empat.

"Arrggh, salah minta challenge. Harusnya touch out! Jelas-jelas bolanya kena jari! Malah ngurusin floor touch yang clear." Binar meremas gemas bantal sofa di pangkuan.

Senyap. Tidak ada yang menyahut. Binar menoleh, baru ingat kalau dia hanya sendirian.

Pertandingan selesai di set tiga. Binar mematikan TV. Mencari-cari Arum yang ternyata ngeteh cantik dengan Tante Retno. Binar menimbang, perlu bergabung atau tidak.

Jika bergabung, maka sepertinya akan ada obrolan meja makan jilid dua. Tapi kalau tidak, dia takut mulut bocor Arum akan bicara yang tidak-tidak.

"Udah selesai nontonnya?" Arum bertanya santai.

Binar mengangguk. Dia memutuskan datang. "Kalian lagi apa?"

"Ghibahin anaknya Tante Retno."

Belum apa-apa Binar sudah harus memelototi Arum.

"Yang ringan-ringan kok, Bi." Tante Retno senang melihat interaksi antar sepupu yang lucu. Satunya ceplas-ceplos, satunya sangat hati-hati.

Binar dibuatkan teh juga, ikut makan kue kastengel beberapa biji. Itu pun Arum masih memaksanya mengambil lagi. Anak ini memang pandai membuatnya malu.

"Ih, nggak usah malu-malu gitu, Mbak. Ambil lagi, ambil yang banyak."

"Maafin Arum ya, Tante." Binar mewakili.

Tante Retno menggeleng, tidak keberatan. "Enak ya, Bi? Ini oleh-olehnya Sakha. Tante nggak bagi soalnya bawa cuma setoples-setoples. Anaknya males kalau bawa bawaan banyak."

"Pacarnya yang bikin, Tan?" Sudah pasti ini bukan mulut Binar.

"Mamanya yang bikin sendiri. Ibu sih belum bisa bikin kue kering begini."

Arum tetap mengunyah, sementara Binar menatap Tante Retno. Sedikit meneliti dan hanya berkomentar pendek. "Iya, enak."

"Mamanya Mas Sakha juga ya, Tan?"

Astaga. Perlu berapa kali Arum mengonfirmasi hal ini?! Binar ingin menyublim sekarang juga. Tapi sebelumnya akan dia sembur Arum dengan air teh. Sayangnya tidak bisa dia lakukan betulan.

Beruntung ada penjual tahu yang datang menyela. Arum lanjut ngemil kastengel di bawah tatapan menyerah Binar.

***

Sakha duduk lesehan di pendopo balai desa. Bersandar di salah satu pilarnya yang besar. Menghabiskan cangkir kedua kopinya. Beberapa orang hilir-mudik membongkar tenda yang dipasang di halaman balai yang luas.

Dia sudah bisa pulang tapi lumayan menyukai keramaian ini. Jadi bertahan sebentar lagi. Beberapa rekan kerja abangnya menyapa. Sakha berdiri dan menyalami. Dirinya dipeluk akrab, ditepuk-tepuk di bahu. Untungnya tidak ditanyai kapan kawin.

"Belum pulang, Mas?"

"Belum, Pak. Kalau mau foto lagi, saya fotoin sekalian."

"Wah, boleh. Tak panggil yang lain dulu."

Di depan backdrop yang belum diturunkan, semua kru yang terlibat ikut berfoto.

"Bareng aku pulangnya, Ka. Sebentar lagi tungguin." Deri menahan Sakha yang menyimpan kamera ke dalam tas.

"Aku pengin jalan kaki, Bang. Kameranya aku balikin besok."

"Nggak capek?"

Sakha meregangkan tubuh yang terasa pegal di beberapa titik. Tapi mumpung tidak mendung, dia ingin menikmati jalanan menuju rumah. Paling hanya sepuluh menit.

"Udah malem banget. Nggak lama, paling lima belas menit lagi."

"Aku bukan anak sepuluh tahun. Setua ini nggak mungkin diculik."

"Ya udah, terserah. Uangmu udah aku transfer. Kamu cek nanti."

"Makasih, Bang."

"Aku yang banyak makasih buat bantuanmu. Kalau nggak kepepet, nggak mau aku manfaatin adik sendiri."

Sakha hormat ala-ala. "Akan kuhabiskan duit hasil nepotisme ini dengan baik."

Deri tertawa. Meski sesekali dia akan ingat dan dipenuhi rasa sesal. Tapi juga bersyukur bahwa dia tidak benar-benar kehilangan seorang Sakha.

Atau lebih tepat menyebutnya, Sakha yang tidak membiarkan Ibu dan kakak-kakaknya kehilangan dirinya. Sakha yang pergi dengan kecewa. Lalu Sakha yang pulang dengan hati yang begitu lapang.

Sakha menyadarinya. Tatapan itu lagi. Entah itu Ibu atau abangnya, kerap diam-diam melayangkan tatapan sedih itu padanya. Sudah lewat lama. Sakha kadang tidak nyaman karena hanya mengingatkannya tentang masa lalu.

Dia menyandang tas kamera di bahu, buru-buru pulang.

Di tengah jalan, nama Mama muncul di layar. Panggilan video. Sakha segera mengusap ikon hijau.

"Lagi di mana, Ka?"

"Jalan pulang, Ma."

"Sendirian?"

"Iya. Mau lihat sekitar nggak?"

"Boleh."

Sakha mengedarkan ponsel dengan gerak lambat. Memperlihatkan pemandangan lereng bukit. Lampu-lampu rumah yang menyala di kejauhan. Serupa titik-titik cahaya di langit.

"Indah ya, Ka. Kamu pasti betah. Naira nggak ribut minta kamu cepet balik, kan?"

"Nggak untungnya."

"Nikmatin dulu waktu santaimu di situ."

Layar kembali ke hadapan Sakha. "Mama lagi bikin apa?"

"Ngadon. Ada yang pesen kue marmer. Lain kali kamu harus bawain marmer-nya Mama buat Ibumu. Pasti suka."

"Haduh, ntar rusak di jalan, Ma."

"Alasan. Kamu cuma nggak mau ribet bawa. Kamu gotong tripod ke gunung, kapan hari itu, kamu nggak ngeluh. Giliran bawa kotak kue yang enteng nggak mau."

Panggilan video berakhir ketika terdengar timer oven berbunyi. Mama titip salam untuk Ibu. "Aku sampaikan. Bentar lagi sampai rumah. Mama mau bicara sama Ibu?"

"Udah jam sebelas. Ibumu pasti udah istirahat."

Sakha mengangkat tangan kiri, melihat waktu. Jam sebelas lewat. Dia menunggu layarnya gelap sebelum menyimpan ponsel di saku jaket. Kemudian menyadari tali sepatu kanannya lepas.

Bicara ke sepatu kanan. "Tinggal lima langkah doang ini. Lo nyusahin aja."

Sakha menghela napas, berjongkok untuk menyimpulkan tali. Barusan terdengar bunyi gemeletuk tulang. Dia yakin perlu menempel banyak koyo sebelum tidur.

Saat hendak berdiri, seseorang dari arah berlawanan menyenggol bahunya. Sakha pun terjengkang duduk. Mengumpat dan nyaris meneriaki orang yang berlalu begitu saja tanpa menoleh apalagi meminta maaf. Tapi ingat kalau teriakannya akan membangunkan tetangga.

"Kebelet berak lo, hah?"

Sakha tiba di pagar yang tertutup tapi tidak dikunci. Membuka pengaitnya dan besi pagar berderit ketika dia menggesernya. Kaki Sakha urung melangkah masuk. Ada sesuatu yang sepertinya berbeda.

Dia berbalik, mengedarkan pandangan dan matanya berhenti di satu titik. Pantas saja.

Jendela Binar masih terbuka. Sakha mengeluarkan ponsel. Menelepon nomor Binar tanpa ragu. Toh, dia biasa mengganggu perempuan itu jam berapa pun.

Dua panggilan tidak diangkat. Mungkin Binar tertidur dan lupa menutup jendela. Sakha berbalik, memegang besi pagar. Mengetuk-ngetukkan jari di permukaannya sambil berpikir.

Dan dia berubah pikiran lagi. Bukannya melangkah masuk, dia menuju pagar rumah depan dan melompatinya dengan mudah.

Siapa tahu Binar malas mengangkat telepon iseng darinya. Dia hanya akan menyapa perempuan itu sebentar. Melihat wajah sebalnya sebelum tidur. Langkah Sakha pun masih santai.

Tersisa beberapa langkah dari jendela yang terbuka. Sakha mendengar sayup suara yang membuat langkahnya berubah cepat, membuatnya berlari dan melompati jendela. Mengabaikan tas kamera yang menghantam daun jendela.

Jantungnya berdetak semakin kencang ketika menemukan tubuh Binar terjerembab di lantai. Tangisan yang meremas hati Sakha bertambah jelas. Sebuah penjelasan segera terbentuk di kepalanya. Orang yang menabraknya tadi, lalu jendela Binar yang terbuka selarut ini.

"Ambil semuanya!"

"Binar ...?" Mendekat dan menyentuh pelan punggung itu. Menelan gemetar dalam suara. Mencoba tidak panik. "Ini Sakha, Bi."

Sakha mengulurkan tangan hati-hati. Membantu Binar bangun. Tidak ada penolakan. Yang kemudian membuat Sakha membeku, Binar menghambur ke arahnya dan tangisan itu berpindah ke dadanya.

Kedua tangan Binar meremas erat jaket Sakha di bagian punggung.

Ketakutan yang bisa Sakha rasakan. Kalut yang ikut merambat di hatinya. Dibanding kehilangan uang atau harta benda lain, dia mengerti jika Binar takut kejadian yang sama, yang menimpa kedua orangtuanya, kembali terulang.

"Ada yang luka, Bi?" bisiknya tenang.

Gelengan kecil terasa di dada Sakha.

Sakha bernapas lega. Membiarkan Binar tetap memeluknya untuk beberapa saat. Atau selama mungkin sampai perempuan ini merasa tenang, hingga tangis dan takutnya reda.

***

Gunung es apakah mulai mencair? 😭

Buat yg udah baca Sakha POV, terus baca interaksi Sakha sama ibunya di sini atau di chapter2 sebelumnya, hatimu agak cekit-cekit gak? 🥺

Sabtu/25.05.2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top