Pt - 3 •Mengubah Masa Lalu•
Zilian menunjukkan lipatan di kening usai mendengar permintaanku. Namun, aku tidak ada waktu untuk menjelaskan apa pun pada laki-laki itu. Terlambat sedikit saja, aku mungkin tidak akan bisa menghindari pertemuan dengan Mas Juan.
"Maksudnya?"
"Kita pergi lagi. Sekarang. Nanti kujelasin di jalan." Aku berkata sambil membalikkan tubuh Zilian dan meminta laki-laki itu segera naik ke atas motornya. Namun, suara tawa papa bersama Mas Juan menyentuh indra pendengar.
Jantungku berdebar tidak karuan ketika iris kecokelatanku menangkap bayangan dua orang yang sedang berjalan. Tidak ada waktu lagi! Kalau pun aku dan Zilian pergi sekarang tanpa pamit, papa pasti akan marah dan menodongkan banyak pertanyaan yang akan membuat kepalaku pusing.
Ya Tuhan ... aku harus bagaimana? Pasrah dengan keadaan? Tidak! Aku tidak boleh pasrah dan menerima takdir di masa laluku kembali. Sekarang aku harus bisa mengubahnya. Tidak peduli bagaimana caranya, tidak peduli bagaimana jalannya.
Debaran dalam dada semakin menggila saat ekor mataku menangkap siluet papa dan Mas Juan semakin mendekat. Mau tidak mau, suka tidak suka aku harus mengambil langkah nekat.
Aku menatap punggung Zilian. Laki-laki itu hendak naik ke atas motornya. Sembari menelan ludah kasar, aku menepuk pundak Zilian hingga dia berbalik arah menatapku dengan alis yang terangkat sebelah, seolah mengisyaratkan tanya.
Tanpa berpikir panjang, aku menarik lengan Zilian hingga laki-laki yang memasang tampang bingungnya itu mendekat sampai tidak ada jarak lagi antara aku dan dia. Dua tanganku terangkat memegang sisi wajah Zilian, lalu berjinjit agar tinggiku bisa mencapai tinggi wajahnya.
"Zilian, maaf." Selanjutnya aku menjatuhkan ciuman singkat di sudut bibir Zilian. Hanya beberapa detik, karena setelahnya suara nyaring papa yang menyentuh indra pendengaran membuat Zilian mendorong tubuhku dengan mata yang terbelalak kaget.
"Apa yang kamu lakukan, Alea?!" Wajah papa merah padam saat kakinya berayun cepat ke arahku. Beliau mendelik tajam ke arah Zilian, lalu beralih memukul pundakku sambil berkata dengan suara pelan, "Bukannya kamu bilang waktu itu enggak punya pacar? Kenapa sekarang tiba-tiba nyium cowok?"
Aku tahu tindakanku ini terlalu implusif. Namun, hanya ini satu-satunya jalan yang terpikirkan oleh otakku. Mungkin dengan mengaku sudah memiliki pacar di depan papa sekaligus Mas Juan, laki-laki itu tidak lagi memiliki keinginan untuk meneruskan perjodohan.
"Iya, itu kan dulu. Dan sekarang aku udah punya pacar."
Tolong ingatkan aku untuk memberi apresiasi pada Zilian karena tidak berontak saat aku bergelayut di lengannya. Sejenak aku melempar tatap ke arah Mas Juan. Seperti biasa, Mas Juan memang paling ahli dalam mengatur mimik muka. Tidak ada tatapan marah, kesal, atau apa pun itu setelah melihat kejadian ini. Namun, dapat dilihat dari sorot matanya yang dingin, pandangan Mas Juan hanya tertuju pada Zilian.
"Bukannya papa sudah bilang mau jodohin kamu sama Pak Juan?" desis papa sambil mencengkram bahuku. Beliau mendekatkan diri, mungkin agar ucapannya tidak didengar oleh pihak lain selain aku.
Sekilas aku melirik Zilian yang sejak tadi tidak mengeluarkan barang sepatah kata pun. Arah tatap laki-laki itu hanya tertuju pada Mas Juan sembari menaikkan satu sudut bibirnya.
"Aku enggak mau dijodohin, Pa. Aku sukanya sama Zilian. Kalau pun harus menikah nantinya, aku cuma mau sama dia. Orang yang kusukai." Kebohongan demi kebohongan terus saja kurangkai demi membatalkan perjodohan. Bahkan tanpa pikir panjang aku melibatkan Zilian. Namun, rupanya usahaku tidak membuahkan hasil sama sekali.
Bahuku terkulai lemas saat mendengar kata yang dilontarkan oleh Mas Juan setelahnya.
"Saya enggak keberatan menunggu. Sebulan, dua bulan atau bahkan setahun, dua tahun. Enggak masalah buat saya untuk menunggu putusnya hubungan kalian."
***
Kakiku tidak berhenti berjalan mondar mandir di depan ranjang sambil memutar-mutar ponsel di tangan dengan gelisah. Tadi setelah Mas Juan berbicara, laki-laki itu langsung pamit pergi. Begitu juga dengan papa yang bergegas membawa langkahnya masuk ke rumah tanpa meninggalkan sepatah kata.
Sementara Zilian, dia menatapku dengan alis yang terangkat, seolah meminta penjelasan dengan apa yang baru saja terjadi. Aku berdehem sekali, lalu mendesah panjang sebelum berkata, "Maaf udah libatin kamu sama masalahku. Aku tau ini keterlaluan, tapi aku bener-bener terpaksa. Aku ... nggak mau dijodohin sama dia." Kalau ingin hidup dengan baik dan tidak ingin mati di tangan Mas Juan.
Terdengar dengkusan kasar dari Zilian. Aku tahu laki-laki itu pasti marah. Maka dari itu aku lebih memilih menatap aspal jalanan daripada wajah serta tatapan dingin Zilian.
"Gue enggak peduli sama masalah lo, Alea. Kita bahkan enggak lebih dari sekadar kenalan. Tapi lo justru libatin gue. Lo bahkan enggak segan bilang suka sama gue. Lo tau, Alea? Berurusan sama Mas Juan itu sama aja kayak ngumpanin diri ke jurang kematian. Mas Juan enggak akan lepasin lo dan gue gitu aja."
Aku tahu. Aku tahu betul siapa Mas Juan, bagaimana sikapnya. Semua ingatan itu masih membekas di benakku. Aku tidak mungkin lupa bagaimana gilanya dia ketika ingin mencapai tujuannya. Mas Juan itu tipikal manusia yang tidak takut dengan segala hukum yang diterapkan di muka bumi. Dia selalu punya cara sendiri untuk menyelesaikan apa yang dianggapnya sebagai halangan.
"Aku tau. Tapi, Zilian, aku enggak punya cara lain lagi. Aku—"
"Dan cara implusif lo itu bikin gue terlibat sama Mas Juan. Dia itu satu-satunya kakak sepupu yang paling benci sama gue. Sejak dulu gue sama dia enggak pernah akur. Dan sekarang, berkat lo Mas Juan mungkin sudah mengklaim gue sebagai musuh abadinya."
"Maaf." Aku menunduk dalam.
"Lo bodoh, Alea."
"Gue bahkan lebih bodoh dari yang lo kira."
Zilian tidak membalasnya lagi. Hanya dengkusan kasar yang kembali terdengar sebelum akhirnya laki-laki itu memilih pergi tanpa repot-repot pamit pada seseorang yang sudah melibatkannya ke dalam masalah.
Aku memijat pangkal hidung mengingat kejadian barusan. Otakku buntu, tidak tahu harus mengambil langkah apa lagi setelah ini. Zilian tidak mungkin membantuku kembali bersandiwara di depan papa apalagi Mas Juan.
Dia ... tidak akan sudi.
Aku melempar ponsel ke ranjang sebelum merebahkan tubuh di sana. Iris kecokelatanku memandangi langit-langit kamar seolah mencari jalan keluar untuk masalah ini. Sesaat mataku terpejam merasakan denyutan nyeri di kepala hingga suara dering telepon memaksaku kembali membuka mata untuk mengangkatnya. Ada nama Rona yang terpampang di layar ponsel.
Sejenak aku menimang antara harus mengangkat atau mengabaikannya saja hingga suara dering itu mati. Lalu tidak lama kemudian disusul dengan suara SMS masuk dari Rona.
Rona Esdalia ✉️
Angkat tlpn gue.
Tidak lama kemudian ponselku kembali berdering. Kali ini aku tidak berpikir lagi melainkan langsung mengangkat teleponnya bahkan di detik pertama ponselku berdering.
"Lo apain Zilian sampai dia marah-marah sama gue? Dia bilang lo akuin dia sebagai pacar di depan bokap lo. Itu benar?" Rona langsung menyerangku dengan pertanyaan setelah sambungan telepon terhubung.
"Ya. Seperti yang Zilian bilang." Tidak ada gunanya juga untuk menyanggah, mengatakan kalau apa yang disampaikan Zilian hanya gurauan.
"Wah, lo bener-bener gila. Ini efek kena bola basket atau gimana?" Aku diam saja, memilih tidak menjawab pertanyaan sarkastik yang dilemparkan Rona di seberang sana.
Terdengar embusan napas panjang lalu disusul dengan kalimat Rona yang membuatku terpaku.
"Meskipun Zilian pernah suka sama lo, harusnya lo enggak perlu libatin dia, Le. Kasian. Selama setahun perasaan anak orang lo gantung, terus enggak ada angin enggak ada hujan, lo malah jadiin dia pacar pura-pura."
"Jadi ... Zilian pernah suka sama gue?"
Kenapa aku tidak ingat?
***
Selesai ditulis tanggal 21 Mei 2024.
Eng ing eng! Akhirnya kelar juga nulis bab ini. Piye piye sama bab ini? Sudahkah kalian nangkap gimana karakter si Alea ini?
Belum ya? Huhu.
Btw, masih punya minat buat lanjut baca? Masih penasaran sama cerita Alea? Semoga masih, ya.
See u besok, gessss!
Nih, kukasih bonus foto Mas Juan.
Luv, Zea❤🔥
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top