Pt - 20 •Merealisasikan Ucapan•
Jantungku berdegup kencang saat mendengar suara papa yang nampak ketakutan di seberang sana, lalu disusul dengan suara laki-laki yang sangat familer di telingaku.
"Masih berani remehin saya, Alea?" Itu suara Mas Juan! Laki-laki gila itu ... apa yang ingin dia lakukan dengan orang tuaku?
Aku melempar tatapan khawatir pada Zilian. Dia memintaku untuk tidak mengatakan kalau aku sedang bersamanya. Bahkan saat bianglala berhenti berputar dan petugas meminta keluar, Zilian tetap tidak mengeluarkan suara. Dia hanya memegang ponselnya untuk merekam pembicaraan antara aku dengan Mas Juan.
"Kamu mau apa lagi, Mas?! Lepasin orang tuaku!" Seolah tidak peduli dengan keadaan sekitar, yang masih cukup ramai pengunjung, aku meninggikan suara hingga naik beberapa oktaf.
Terdengar kekehan sinis dari seberang sana. Dia lantas berkata, "Bukannya saya sudah bilang sama kamu, Alea? Kalau kamu masih berani dekati Zilian saya enggak akan segan bikin kamu sengsara. Dan ini baru permulaan, Alea. Seharusnya kalau orang tua kamu mati sendirinya di tempat ini, siapa pun enggak akan bisa menemukan jasad mereka."
Aku panik bukan main. Keringat sebesar biji jagung menetes membasahi pelipis. Pun kepalaku yang terasa begitu nyeri kala tidak bisa berpikir lagi. Otakku mendadak beku, lidahku kelu, sementara tawa Mas Juan terdengar menggema.
Sialan! Aku langsung memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Bibirku bergetar, air mata yang berada di pelupuk kini berjatuhan membasahi pipi. Zilian langsung menarikku ke dalam pelukan setelah menyimpan ponselnya ke saku celana. Sumpah demi apa pun, aku takut. Benar-benar takut kalau Mas Juan akan bertindak nekat seperti ucapannya barusan.
"Aku takut, Zi, aku takut. Gimana kalau .... " Aku sesegukan sampai kalimatku tidak bisa lagi dilanjutkan. Berbagai pertanyaan bagaimana jika mulai merasuk ke dalam benak.
Bagaimana jika Mas Juan nekat dan membunuh orang tuaku? Bagaimana jika semua yang dikatakan orang gila itu benar? Bagaimana jika ... papa dan mama mati karena harus menggantikan takdirku yang mati di tangan Mas Juan?
Usapan lembut yang disertai dengan bisikan kalimat penenang yang membuat hatiku sedikit tenang. "Jangan panik, Alea, tenang. Ada aku di sini. Aku juga udah telepon polisi buat bantu lacak keberadaan Juan sama orang tua kamu."
Aku bersyukur, sangat-sangat bersyukur karena Tuhan mengirimkan Zilian ke sisiku. Dengan begitu, semua langkah yang kuambil bisa didiskusinya dengannya agar tidak akan ada tersemat kata penyesalan di belakangnya.
Aku mengangguk, lalu tanpa melepaskan pelukan-hanya beralih posisi menjadi menyamping-Zilian membawaku berjalan menuju parkiran. Malam yang kukira akan mengukir penuh kenangan bahagia secara tiba-tiba berubah menjadi malam yang menegangkan.
"Kamu tenang aja, ya. Aku nggak akan biarin Juan melukai orang tua kamu." Zilian kembali berkata sebelum memintaku naik ke atas motor.
Zilian lantas membawa kendaraan roda dua itu pergi meninggalkan pasar malam yang sudah mulai sepi pengunjung. Dalam hati aku terus berdoa agar Tuhan menyelamatkan mereka dari manusia tanpa hati seperti Mas Juan.
Di sepanjang perjalanan, Zilian sibuk berbicara melalui telepon yang dia sabungkan pada kabel headset agar memudahkannya mendengarkan kabar yang didapatkan oleh pihak berwenang tentang keberadaan Mas Juan.
Hingga setengah jam berlalu, kendaraan Zilian kembali memasuki area vila keluarga. Namun, kali ini belokan yang di ambil bukan mengarah ke tempat biasa keluarga abraham berkumpul melainkan ke tempat yang cukup asing bagiku.
"Ini di mana, Zi?" Aku sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki di tempat ini. Sebuah rumah yang memiliki desain kuno. Di depannya banyak rumput ilalang yang menandakan rumah ini tidak diurus dengan baik.
"Kalau aku nggak salah ingat, ini adalah rumah yang sering ditempati Juan. Tapi seingatku, rumah ini selalu bersih. Dia sering memanggil petugas kebersihan."
Aku mengangguk. Mungkin saja itu ingatan Zilian setelah tahun ini berlalu. Aku melihat ke sekeliling bangunan. Banyak pepohonan yang menjulang tinggi juga tidak ada lampu-lampu jalan yang berfungsi. Semuanya mati.
"Rumah ini udah dikepung sama polisi. Mereka berhasil melacak nomor telepon Mas Juan yang terakhir berada di sini." Zilian memberitahuku. Aku hanya mengangguk sebagai tanggapan sebelum meraih tangan laki-laki itu, memeluknya sambil berjalan masuk lewat pintu depan.
Alih-alih ingin menangkap manusia, keadaan malam ini jauh lebih mirip seperti ingin berburu hantu di rumah angker. Suasanya dan tempat huniannya begitu mendukung.
Zilian membuka pintu dengan kakinya. Dia lantas berteriak lantang, "Keluar lo, Juan!"
Satu detik, dua detik, bahkan sampai nyaris satu menit, tidak ada balasan dari orang yang sejak tadi kami buru. Sementara para polisi yang bertugas untuk masuk, mulai membuka ruangan satu per satu.
Rumah ini memiliki dua lantai. Namun, Zilian justru membawaku pergi ke kamar utama. Katanya Juan memiliki ruangan tersembunyi. Dulu, katanya, Zilian pernah mengeksplor ke rumah ini dan menggeledah semua ruangan setelah mengetahui perselingkuhan Mario.
Alhasil, di sinilah kami berada, di kamar utama. Kamar yang seingat Zilian memilki mekanisme untuk membuka ruang rahasianya.
Aku melepaskan diri dari Zilian berjalan di tengah cahaya remang-remang, membantu barang kali aku bisa menemukan sesuatu untuk membuka ruang rahasia yang dimaksud oleh Zilian.
Pandanganku berpendar ke seluruh ruangan. Tatapanku berhenti pada satu titik yang membuat atensiku teralih sepenuhnya pada tuas yang berada di samping nakas. Tanpa memberitahu Zilian dengan temuanku barusan, tuas itu langsung kutekan turun.
Mataku kembali menyapu seluruh ruangan. Namun, tidak ada yang terbuka. Hingga saat pandanganku turun, aku menemukan sesuatu yang terbuka di bawah ranjang.
Penasaran, aku menunduk agar bisa melihat dengan jelas ruangan apa yang ada di sana. Namun, sebelum luturku menyentuh lantai, aku langsung dikejutkan dengan bangkai kelinci putih yang bersimbah dengan darah.
"Aaaaaaa!" teriakanku mengundang atensi Zilian. Dia langsung berlari menghampiriku, memegang pundakku sembari bertanya, "Kenapa, Alea?"
"A-ada bangkai kelinci, Zi. Di bawah ranjang." Tubuhku bergetar. Melihat kelinci yang memiliki banyak sayatan di tubuhnya membuat perutku bergejolak. Dadaku pun terasa sesak saat menahan mual yang bersangatan.
"Di sini ruangannya, Alea. Tapi di dalam ruangan ini enggak ada apa-apa. Cuma ada bekas tali dan tulisan darah." Zilian mengabaikan perihal kelinci. Dia lebih terfokus pada ruangan kecil yang berhasil terbuka.
"Tali dan tulisan?" tanyaku penasaran. Apa mungkin sebelumnya orang tuaku memang disekap di ruangan sempit ini, lalu pergi setelah kami tiba di sini?
"Iya. Aku bacain, ya." Laki-laki itu sedikit membungkuk, lalu kembali berkata, "datang sendiri ke vila keluarga Abraham kalau kamu tidak mau orang tua kamu bernasib sama dengan kelinci ini."
Bahuku merosot, harapan bertemu orang tuaku di tempat ini langsung runtuh seketika setelah Zilian membacakan tulisan yang ditinggalkan oleh Mas Juan. Dia ingin hanya aku yang datang, tapi aku malah pergi dengan Zilian bahkan menghubungi polisi untuk melacak.
Sembari membuang napas berat, aku berkata, "Kalau gitu aku bakal pergi sendiri."
***
Selesai ditulis 8 Juni 2024.
Sebenarnya sudah selesai ditulis tadi malam, tinggal bikin penutupan untuk bab ini. Tapi karena ketiduran, ya, wasalam.
HUHHHH HAHHHHH
Juan lu bener-bener, ye!
Ganteng-ganteng psikopat😭😭😭
See aja deh!
Luv, Zea❤❤❤🔥🔥🔥
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top