Pt - 14 •Menjadi Kooperatif•
Ada banyak hal di dunia ini yang membuatku tercengang. Salah satunya adalah pertanyaan Zilian. Ini sebenarnya Zilian yang salah bicara atau pendengaranku yang bermasalah? Aku bahkan sampai meminta Zilian mengulangi pertanyaannya sekali lagi untuk memastikan pendengaranku baik-baik saja.
"Maksudnya?" Aku bertanya sembari menampilkan raut bingung. Namun, bukannya menjawab, laki-laki itu justru kembali melempar tanya yang membuat keningku berkerut dalam.
"Alea, lo suka sama Mas Juan?"
"Hah?" Sebentar-sebentar, sebenarnya ada masalah apa dengan otak Zilian? Selain sikapnya yang mendadak berubah, laki-laki itu juga melempar tanya yang membuat mulutku menganga.
Selama ini—sejak aku mendekati Zilian secara terang-terang—laki-laki itu selalu memberikan tatapan datar, dingin, ya, intinya tidak pernah beramah tamah. Namun, hari ini, detik ini, sikap Zilian berubah seratus delapan puluh drajat. Aku seperti berbicara dengan orang yang sama, tapi jiwa yang berbeda.
Jangan-jangan Zilian kerasukan jin baik? Ah, tidak, tidak! Aku menggeleng cepat menepis pikiran absurd yang baru saja terlintas di benak. Tidak mungkin Zilian kerasukan, yang ada jinnya minder duluan karena kalah galak dengan laki-laki itu.
"Zilian, kamu tau sejak awal kenapa aku dekatin kamu. Aku nggak mau dijodohin sama Mas Juan karena aku nggak suka sama dia. Aku nggak mau nikah—" Belum sempat aku menuntaskan kalimat yang sudah berada di unjung lidah, Zilian langsung menghentikan dengan meraup bibirku dengan bibirnya.
Mataku lantas terbelalak lebar saat ciuman Zilian bukan hanya sekadar kecupan ringan melainkan ciuman yang menuntut balasan. Perlahan aku memejamkan mata, lalu mengalungkan tangan di leher laki-laki itu.
Kakiku lantas mundur beberapa langkah saat Zilian terus mengayunkan kaki ke depan hingga punggungku bersentuhan dengan dinding. Sesaat Zilian melepaskan tautannya pada bibirku yang terasa sedikit bengkak, menatapku dengan sorot teduh yang membuat aku semakin terlena ketika laki-laki itu kembali menjatuhkan kecupannya.
Kami bercumbu seolah tidak akan ada lagi hari esok untuk melakukannya. Sampai ketika napasku nyaris habis, Zilian lantas berkata, "Alea, apa pun yang terjadi jangan pernah nikah sama Juan. Dia bukan orang baik. Gue enggak mau kehilangan lo lagi."
Hangat kurasa kala Zilian menarikku merengsek ke dalam pelukan. Perlahan senyumanku mengambang sempurna ketika runguku kembali mendengar perkataan Zilian.
"Gue bisa bikin lo lebih bahagia, Alea. Asalkan lo mau janji, gue akan selalu melindungi lo."
Apa ini artinya? Apa Zilian sudah setuju untuk membantuku terlepas dari sosok Mas Juan? Apakah Zilian benar-benar menjadi kooperatif meski dia tahu aku tidak betul-betul mencintainya?
"Tapi, Zi ... bukannya kemarin, enggak, maksudku tadi pagi kamu bilang enggak mau berhubungan sama aku lagi karena benci sama aku?" ujarku berusaha memancing agar laki-laki itu tidak mengubah keputusannya lagi.
Tangan Zilian terangkat, menangkup wajahku dengan dua tangannya sebelum berkata, "Kalau gitu ... lo anggap aja gue enggak pernah ngomong itu sebelumnya."
Harusnya aku senang karena misi untuk mendapatkan hati Zilian sudah berhasil. Dan langsung melanjutkan misi berikutnya, membuat Mas Juan menyerah agar tidak lagi menjadikanku sebagai targetnya. Namun, entah kenapa aku merasa kalau sikap Zilian ini aneh. Dia tiba-tiba menjadi kooperatif setelah sebelumnya emosi tingkat dewa sebab kutinggalkan tanpa penjelasan.
Namun, meski begitu bukankah harusnya aku bersyukur? Terlepas penyebab sikap Zilian berubah, misiku untuk melepaskan diri dari Mas Juan akan segera terwujud.
"Kalau gitu ... kamu enggak boleh nyesal sama pilihan kamu, Zilian."
Selanjutnya aku harus mencari kandidat yang cocok untuk dinikahi oleh Mas Juan. Takdirku mungkin akan berubah jika aku berhasil mencari 'pengganti' yang bisa menerima takdirku di masa lalu.
***
Tidak banyak yang kami lakukan di vila keluarga ini. Hanya duduk bersantai di tepi kolam renang sambil menunggu Zilian yang pergi ke ruangan pribadinya. Entah apa yang dilakukan laki-laki itu hingga memakan waktu yang cukup lama. Sampai sekitar kurang lebih dua puluh menit sejak dia meminta izin pergi, barulah laki-laki itu menampakkan batang hidungnya.
Sembari menarik dua sudut bibir ke atas membentuk busur panah, Zilian datang dengan nampan di tangannya. Ada aroma sedap, seperti udang dan telor yang dimasak, ketika laki-laki itu hampir tiba di hadapanku.
"Lo belum makan, 'kan? Kebetulan ada bahan di kulkas, jadi gue bikinin nasi goreng udang." Zilian meletakkan nampan yang hanya berisi satu porsi nasi goreng serta satu gelas jus jeruk di meja.
Keningku berkerut sebelum bertanya, "Kamu nggak makan?" Satu porsi ini isinya cukup banyak. Kalau dibagi dua pun sudah bisa mengganjal perut lapar.
"Makan." Zilian memajukan wajah usai menyingsing lengan hoodie-nya lalu membuka mulut lebar. "Aaaaaa!"
Aku terkekeh ringan. Sikap Zilian yang seperti ini terasa manis sekali. Meski sedikit merasa kebingungan dengan perubahan yang signifikan, aku tetap harus bersyukur karena dia bisa diajak kerja sama. Untuk sisanya, biar aku yang mengurusnya. Aku hanya butuh Zilian untuk menjadi tameng perlindungan dari Mas Juan.
"Sebenarnya ini kamu bikin buat aku atau kamu?" Aku bertanya, meski tangan tetap menyendokkan nasi goreng beserta udang ke dalam mulut Zilian.
Zilian menguyah nasi yang membuat pipinya terlihat berisi sebelum menjawab, "Buat kita, Alea."
Aku mengangguk sembari menyuap nasi ke mulut, memakai sendok yang sama dengan Zilian, lalu berkata, "Terus kenapa cuma satu piring?"
Zilian membuka mulutnya kembali, secara otomatis aku menyuapkan nasi ke dalam mulut laki-laki itu. Astaga, sikap Zilian yang seperti ini sangat-sangat menggemaskan. Ingin rasanya kukarungi agar sikapnya tidak berubah-ubah macam bunglon yang selalu melihat situasi dan kondisi.
"Biar bisa disuapin," ujarnya sambil mencomot udang yang ada di piring. "Lo tau, Alea? Tadi malam gue mimpi buruk. Buruk banget sampai gue ngerasa takut."
Gerakan tanganku yang sedang memotong telur dadar langsung terhenti. Atensiku kini teralih pada laki-laki itu sepenuhnya, membiarkan dia lanjut bicara.
"Gue mimpi ... lo nikah sama Mas Juan. Cinta tulus lo dibalas dengan pengkhianatan." Ada emosi yang tersirat di mata laki-laki itu. Sementara aku hanya diam, penasaran dengan kelanjutan dari mimpinya. "Selama sepuluh tahun lo hidup sama dia, lo sulit ngerasain bahagia. Gue cuma bisa liat lo tanpa berbuat apa-apa. Gue pikir setelah melihat ketulusan lo, dia bakal berhenti.
"Lo tau, hal apa yang paling gue sesali dalam mimpi itu? Gue enggak bisa nolong lo, Alea. Gue juga ingat, di mimpi itu lo ketakutan. Lo lari kayak orang kesetanan, sementara di belakang lo ada Mas Juan. Waktu itu, gue bener-bener nggak berdaya, Alea. Gue pengen lari buat nolong lo, tapi ...." Zilian mengembuskan napas beratnya. Kalimat terakhir yang ingin dia ucapkan seolah adalah hal yang paling tidak ingin dia katakan.
"Ego gue terlalu besar. Gue biarin lo tenggelam di kolam ini." Tangan Zilian menunjuk kolam di depan kami. "Alea ... gue yang udah bunuh lo."
Ya Tuhan, kenapa mimpi Zilian sama persis dengan kejadian yang kualami?
***
Selesai ditulis tanggal 3 Juni 2024.
Yuhuuuu bagaimana sama bab ini? Ada yang mau titip beli palu ga buat getok pala Zilian?
Biar ga bikin pusing Alea mulu🙂
See u aja deh yaaa
Luv, Zea❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top