Pt - 12 •Nyaris Saja•

Aku menahan napas saat Mas Juan memajukan wajah. Sorot matanya yang tajam seolah bisa menusukku kapan saja. Namun, meski aku merasa takut dengan tatapan laki-laki itu, aku tetap berusaha mengatur mimik muka agar terlihat biasa saja.

Kekehan sinis lantas keluar dari mulutku sebelum berkata, "Saya juga bisa bikin kamu lebih sengsara."

Menyentil ego laki-laki, menantangnya seperti yang kulakukan barusan adalah kesalahan fatal. Mereka bukannya berniat mundur apalagi takut, melainkan membuat orang menantang merasa menyesal. Mungkin cara yang kupakai akan terlihat salah. Namun, aku tidak memiliki cara lain lagi agar tidak terlihat menyedihkan, ketakutan di mata Mas Juan.

Laki-laki itu kembali ke posisi semula. Tawanya lantas mengudara, seolah apa yang kuucapkan adalah lelucon. Diam-diam aku menekan tombol dua yang ada di ponsel, tombol yang akan otomatis menelepon seseorang yang bisa membantuku. Meski aku tidak tahu berapa persen keberhasilannya.

"Kamu bercanda? Kamu punya apa buat bikin saya sengsara, Alea? Sementara papa kamu mengemis meminta bantuan saya."

Kalau bukan karena terpaksa papa tidak akan mungkin melakukannya. Aku tahu hal itu. Mas Juan sedari awal juga sudah menargetkanku, dia sengaja menambah trik agar membuat citra dirinya baik. Padahal di balik semua sikap lembut yang laki-laki itu tunjukkan, tersimpan begitu banyak kebusukan.

"Saya masih punya Zilian. Saya yakin, kamu pasti tau, 'kan, seberapa besar pengaruh Zilian?" ucapku seolah menegaskan kalau Mas Juan bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Zilian.

Rahang laki-laki itu mengeras, wajahnya putih mulai memerah. Mungkin dia terlalu marah sebab harga dirinya baru kutebas. Tangannya mengepal hingga menampilkan urat-urat tangan.

"Zilian, Zilian, ZILIAN LAGI! Saya sudah bilang sama kamu, jauhi Zilian atau kamu akan mati! Saya bisa buat kamu mati detik ini juga, Alea. Kamu mau coba?" Suara laki-laki merendah saat mengucapkan kalimat terakhirnya. Tubuhku langsung dibuat merinding, terlebih tangannya sudah memindahkan shif knob dari P menjadi D usai melepaskan tuas.

Aku meneguk saliva susah payah. Mas Juan adalah orang yang nekat. Dia bisa melakukan apa pun yang dia inginkan tanpa harus terlibat dengan hukum. Tidak bisa! Aku tidak boleh mati lagi di tangan laki-laki itu. Apa gunanya aku kembali jika harus mengulang takdir yang sama?

Aku berusaha membuka pintu. Namun, gagal. Aku tidak mengerti bagaimana caranya keluar. Kepanikan yang terpapar membuat tawa Mas Juan langsung menggelegar. Aku nyaris menangis, tapi masih terus berusaha membuka pintu meski hasilnya nihil.

"Buka! BUKA PINTUNYA!" Aku berteriak panik. Ya, siapa yang tidak panik jika dihadapkan dengan orang mengerikan macam Mas Juan? Namun, bukannya menuruti laki-laki itu malah menginjak pedal gas yang membuat mobil bergerak maju.

"Kamu yang sudah nantangin saya, Alea. Kalau saya enggak bisa dapatin kamu, Zilian juga enggak akan bisa."

Baru saja aku berniat ingin mengacaukan rencana Mas Juan—dengan membuat kemudinya oleng—laki-laki itu sudah menginjak rem secara tiba-tiba sampai kepalaku terbentur mengenasi dashbor.

"Sialan!" Umpatan itu keluar dari mulut Mas Juan. Dia menggeram kesal sambil melihat ke arah depan. Penasaran, aku pun mengangkat kepala, lalu mengikuti arah pandang Mas Juan.

Aku mengembuskan napas lega kala melihat Zilian menghalangi jalan Mas Juan dengan kendaraan roda duanya. Dalam hati aku bersyukur karena laki-laki itu bisa menangkap maksudku setelah menghubunginya tadi meski tanpa berbicara.

Kaca mobil Mas Juan diketuk oleh Zilian. Meski terdengar dengkusan kesal dari laki-laki itu, Mas Juan tetap menurunkan kaca mobil hingga wajah datar Zilian dapat ditangkap dengan jelas oleh indra penglihatan.

"Mau dibawa ke mana pacar gue?" Nada bicaranya sangat tidak sopan. Entah karena dendam pribadi atau apa pun itu, aku tidak peduli. Yang penting sekarang adalah, Zilian sudah datang. Nyawaku masih aman.

"Bicara lebih sopan, Zilian. Umur saya jauh di atas kamu." Meski Mas Juan tidak menampakkan kemarahan, aku tetap dapat melihat dengan jelas reaksi tubuh yang laki-laki itu keluarkan saat berbicara dengan Zilian. Tangannya senantiasa mencengkram erat kemudi hingga urat tangannya menyembul dari permukaan kulit.

"Sopan? Lo culik pacar gue. Lo mau bawa dia pergi padahal dia mau pulang. Itu yang namanya sopan?" Kekehan sinis keluar dari mulut Zilian. "Buka pintunya setelah lo pulang, lo diamuk sama kakek."

Mendengar hal itu, Zilian langsung menuruti. Dia sempat melempar tatapan tajam ke arahku. Lalu membukakan kunci pintu mobil. Dengan cepat aku meloncat keluar, bahkan saking terburu-burunya aku melupakan hal yang membuatku berakhir terjebak dengan Mas Juan jika laki-laki itu tidak mengingatkan.

"Bawa juga semua belanjaan papa kamu."

Zilian langsung bergerak ke bagian belakang mobil saat bagasinya sudah dibuka oleh Mas Juan. Dengan sigap laki-laki itu mengambil semua barang belanjaan dari sana sebelum menyerahkannya padaku.

"Pegang dulu. Gue mau ambil motor," ujarnya yang kusambut dengan cepat. Lantas Zilian segera menghidupkan mesin motornya sebelum membawanya mendekat ke arahku. "Naik. Gue antar lo pulang."

Aku hanya mengangguk lalu menuruti perintah dari Zilian. Sementara Mas Juan sudah melaju pergi, yang kuyakini  menyimpan amarah luar biasa, meninggalkan kami berdua.

Zilian ingin langsung pergi usai mengantarkanku. Namun, aku menahannya dengan menghalangi jalur laki-laki itu. Dia mendelik, lalu mengembuskan napas kasar.

"Apa?" tanyanya. Mungkin sudah lelah dengan tindakanku yang terus menghalangi jalurnya.

"Kamu enggak mau dengar penjelasanku dulu?" Aku bertanya yang langsung membuat Zilian menaikkan alisnya sebelah. Aku mengembuskan napas panjang sebelum berujar, "Tentang ... kenapa aku pergi tiba-tiba? Atau—"

"Gue enggak peduli, Alea. Ingat apa yang kita lakukan tadi malam, itu cuma kesalahan yang biasa orang mabuk lakukan. Lo enggak perlu repot-repot jelasin ke gue tentang apa pun itu, apalagi tentang hubungan lo sama dia. Gue enggak butuh."

Aku melontarkan tawa hambar. Ada rasa kecewa yang hinggap usai mendengar ucapan Zilian. Sebegitu bencinya kah?

"Iya. Aku tau kamu enggak butuh penjelasan apa pun. Aku juga tau kamu enggak peduli tentang aku atau segala sesuatu yang berhubungan sama Mas Juan. Tapi, Zilian ... pernah nggak, sih, sekali aja kamu berpikir rasional? Jangan selalu pakai persepsi yang ada di kepala kamu. Jangan mengambil kesimpulan sendiri padahal kamu enggak tau kebenarannya."

Aku menghapus air mata sialan yang jatuh membasahi pipi. Dadaku terasa nyeri. Apalagi jika mengingkat perkataan Zilian barusan. Padahal aku sudah memutuskan untuk mencintai laki-laki itu. Aku sudah memutuskan akan meletakkan atensiku sepenuhnya pada Zilian. Aku ... ingin hidup bahagia sampai tua bersama dia.

Namun, isi kepalanya yang rumit membuat semua usahaku sia-sia, membuat keinginanku yang sederhana terlihat sulit sekali tercapai sebab Zilian enggan berpikir positif dan menerima semua alasan yang kuberi.

"Zilian, mari kita akhiri di sini."

***

Selesai ditulis tanggal 1 Juni 2024.

Gemesssss banget sama Ziliannnnn😭😭😭😭😭😭😭😭😭

Dahlah, pengen beli teruk aja. 😩

Lihatlah mukanya yang skkskssjkskakaks. Gabisa berword-word lagi.

See u gesssssss❤🔥🔥🔥

Luv, Zea❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top