Special Chapter 4 (Cuzhae ver)

Yo, pakabs? Gud or not?
Tenang, aku masih hidup.

Masihkah ada yang tetap nungguin update-an LTWYA?

Sama, aku juga kok. Mungkin Kakak Author-nya lagi sibuk, jadi belum sempat nulis lagi. Di sini aku cuma bikin extra chapter ya, bukan lanjutin plot chapter LTWYA.

Well, enjoy for reading ~

———————

Sudah kedua kalinya Yaya menilik jam yang tergantung di dinding. Jarum pendek dan panjang jam mengarah ke angka dua secara bersamaan, berarti pukul 2 lewat 10 pagi, dan matanya tak mau kembali terlelap. Mana yang katanya menghitung domba penyebab kantuk? Bohong sekali. Buktinya Yaya malah tambah melek dibuatnya. Rasanya percuma saja. Astaga, bukannya zikir malah hitung domba.

Berkat terbangun tengah malam yang tanpa alasan ini, entah kenapa ia tidak bisa tidur lagi. Padahal perempuan itu ingin kembali mengarungi bunga tidur.

Menoleh ke samping, suaminya tampak pulas dengan napas yang teratur. Syukurlah BoBoiBoy sudah jarang terbangun karena mimpi buruk lagi. Mungkin pernah sesekali, itu pun jika dalam kondisi sedang banyak pikiran.

Yaya pernah berpikir, 'Mengapa Allah menakdirkannya dengan BoBoiBoy? Yaya 'kan hanya perempuan biasa.'

Pertanyaan-pertanyaan remeh pun terkadang melintas di kepalanya.

Cukupkah ia menjadi sosok istri dari seorang direktur tersohor?

Apa penampilannya tidak membuat BoBoiBoy merasa malu di hadapan publik?

Table manner pun Yaya masih berantakan, lalu mengapa orang kaya sukanya cara yang susah? Menurutnya, makan, ya, makan.

Ayolah ... Yaya belum terbiasa jadi orang kaya!

Agenda terbang ke Belanda lusa depan pun rencananya akan menaiki pesawat jet pribadi. ‘Tak apalah, kalau kelas bisnis masih bisa Yaya maklumi, lah ini ... ckck sampai buat Yaya geleng-geleng kepala. Kalau ditanya kenapa tidak pilih pesawat biasa saja, kurang lebih Halilintar jawabnya seperti ini, "Ribet ngurusnya, terus lama."

Dasar orang kaya.

Atau mungkin ada alasan lain bersikap royal begitu. Misal takut Yaya dilirik orang lain, atau malah bisa jadi karena tidak bisa berduaan dengan leluasa ... ah, apa sih yang dipikirkan Yaya. Sejak kapan dia jadi mudah geer begini.

Berusaha menyingkirkan pikiran nyelenehnya, Yaya mengubah posisinya menjadi duduk. Berniat beranjak ke dapur untuk menyeduh sesuatu yang hangat agar tubuhnya rileks kemudian bisa tertidur. Sayangnya satu tangan sang suami menahan pergerakannya, meremas lembut jemari Yaya.

"Mau ke mana?"

Dengan setengah terpejam, pria itu bertanya lirih. Dia terbangun karena sadar adanya pergerakan kecil.

"Ke dapur, bikin susu hangat. Siapa tahu nanti ngantuk," kata Yaya. Akan menjengkelkan bila siangnya terus menguap karena kantuk tertunda ini.

"Kenapa? Enggak bisa tidur?" tanya sang suami yang ikut terduduk. Dari pertanyaan sopan nan perhatiannya, Yaya menyimpulkan bahwa Gempa yang sedang pegang kendali.

Yaya mengangguk pelan sebagai balasan. Malas berbicara lebih.

"Mimpi buruk?" tanya Gempa menatap khawatir sang istri.

"Aku bukan kamu kali," ucap Yaya, memutar bola matanya malas. Bukan maksud memancing pertengkaran, tapi mood-nya sedang turun.

Gempa yang sudah sepenuhnya sadar, berjalan menyusul Yaya. Duduk di kursi lalu memperhatikan Yaya menghangatkan susu di microwave dengan anteng. Mungkin seperti ini rasanya saat Api yang menunggu pesanannya, bedanya sekarang air itu untuk Yaya sendiri.

Begitu suara microwave berbunyi, Yaya segera menandaskan susu hangatnya sampai lupa untuk menawarkannya pada Gempa.

"Udah, yuk, tidur lagi." Gempa berdiri, tangannya lalu terulur, dia mengelap lembut ujung bibir Yaya seraya tersenyum simpul. "Minumnya pelan-pelan, Yaya. Padahal kamu sering kasih tahu Api buat nggak minum berlepotan. Untung aku yang di hadapanmu sekarang. Kalau Taufan atau Halilintar, entah-entah kau sudah dicium, Yaya."

Yaya melongo, otaknya masih memproses ucapan Gempa.

Apa maksudnya itu? Memang kenapa kalau minumnya agak berantakan? Toh ini sudah malam, tidak ada yang melihatnya. Untuk apa malu di hadapan suami sendiri.

Senyuman teduh terukir di bibir Gempa. Yaya tidak tahu saja kalau Gempa pun yang lainnya, apalagi Taufan tak akan tahan dengan kelakuan imutnya yang jarang Yaya perlihatkan.

"Gempa ngawur, deh," kata Yaya. Menatap bingung suaminya, alisnya terangkat sedikit. Dia berjalan kembali ke kamar setelah membereskan gelas bekas minumnya.

Begitu sampai di kamar, Yaya memejamkan mata dengan harapan terlelap tidur. Yaya bergerak gusar, mencari posisi ternyamannya. Sekonyong-konyong, sepasang tangan melingkari pinggang Yaya. Mendekap tubuhnya ke dalam sebuah pelukan sang suami, didekatkannya pada dada. Dan dari jarak sedekat ini Yaya bisa mendengarkan irama degup jantung Gempa. Tentu ini bukan untuk pertama kalinya mereka dalam posisi semacam ini.

"Sekarang pejamkan mata kamu dan atur napasmu perlahan," kata Gempa. Mengelus lembut rambut Yaya. "Tidurlah ..."

Tak butuh lama, keduanya terjatuh ke dunia mimpi. Meleburkan rasa lelah dalam diri.

IoI

Persiapan sudah dilakukan dari jauh-jauh hari. Semua perbekalan sudah Yaya siapkan, tentu dengan sedikit arahan dari BoBoiBoy. Karena ini adalah penerbangan pertama Yaya keluar negeri ia jadi gugup. Awalnya ingin menolak saja untuk ikut, biar dia menunggu rumah saja. Akan tetapi suaminya—terutama Taufan—inginkan dia untuk ikut serta. Mereka bilang kelar urusan pekerjaan nanti bisa sekalian jalan-jalan.

“Baru kali ini aku naik pesawat,” tutur Yaya. Ada rasa kagum melihat bandara yang sebegitu luasnya. Terbayangkan bagaimana jika ia tersesat di sini saking luas tempat tersebut.

“Pertama kali? Bahkan aku saat masih SD saja sudah naik pesawat,” sahut Gempa. Yaya tidak tahu itu bentuk kejujuran semata atau kesombongan.

Tiket pesawat itu tidak murah. Lagian pergi keluar negeri pun ‘tak terpikirkan oleh Yaya. Masih bersyukur bisa makan untuk besoknya. Keluarganya sudah berprinsip hidup hemat daripada menghambur-hamburkannya untuk berwisata.

“Kalau pesawatnya diam, sih, aku juga pernah. Yang di tempat wisata.”

Gempa termangu mendengar balasan Yaya. Dia tidak bermaksud menyinggung perasaan Yaya. “Maaf … bukan maksudku—”

“Ya ampun, santai saja kenapa, sih.” Yaya mengapit tangan sang suami, mengisyaratkan bahwa ia tidak tersinggung dengan ucapannya.

“Baiklah ….”

IoI

Kini keduanya sudah di dalam pesawat. Meski memakai jet pribadi. Penumpangnya tentu tidak hanya BoBoBoy dan Yaya saja, tetapi ada juga Alif yang ikut serta. Hanya saja pemuda itu ada di bilik yang berbeda. Karena ini perjalanan bisnis, bukan sekadar jalan-jalan biasa tentulah Alif harus menyertai mereka dan juga sebagai bentuk pengawasan.

“Aku senang, loh, kamu akhirnya ikut kami juga,” ucap Taufan dengan cengiran khasnya. Yaya menggeleng-gelengkan kepalanya. Siapa dulu yang cemas ketika tahu mau berjauhan, padahal hanya dua pekan saja. “Biasanya aku selalu sendirian.”

Sedikitnya Yaya paham mengapa Kembaran memilih pesawat pribadi dibanding dengan pesawat kelas bisnis atau eksklusif sekali pun. Itu semua untuk menghindari untuk terlibat dengan banyak orang. Beberapa dari mereka tidak nyaman jika berada di kerumunan orang, tapi memang hampir semuanya begitu, sih.

Selain itu sebagai istri tentu Yaya tidak akan rewel ketika ditinggal pergi kerja oleh suami. Karena memang sudah kodratnya istri berada di rumah menunggu kepulangan suami, tapi mungkin ada baiknya juga ia ikut.

“Kamu kayaknya senang banget naik pesawat?” Mata Yaya tidak terlepas dari wajah semringah Taufan.

Taufan melebarkan senyumnya. “Kamu tau, Yaya .... Dulu aku bercita-cita ingin jadi pilot.”

Sulit dipercaya ternyata kembaran yang sering menggoda Yaya ini mempunyai impian yang tinggi.

“Saat kecil Tok Aba membelikanku seragam pilot. Aku sangat senang sampai mengharuskan Tok Aba mengambil fotoku berulang kali.” Taufan terkikik mengingatnya. Ada secuil rasa rindu di antara tawanya itu. “Tapi, ya ... mungkin itu hanya jadi mimpi masa kecil. Mana mungkin Ayah memberi izin.”

Memang susah bila lahir di keluarga yang sudah menentukan jalan yang harus dijalani dari semenjak dalam kandungan sekali pun.

“Kamu kok kepikiran pengin jadi pilot?” tanya Yaya.

“Aku ingin seperti awan,” kata Taufan. Memandang gumpalan awan yang bergerak perlahan terbawa angin dari kaca jendela pesawat. “Mereka bebas tanpa hambatan. Tidak takut jatuh dan berani. Dengan aku terbang— ya maksudku menjadi pilot aku merasa bisa menyatu dengan angin. Mungkin karena itulah alasan kenapa aku milih nama Taufan dibanding nama lain yang dikasih Tok Aba.”

Kebebasan. Bagaimana bisa Yaya lupa dengan kata keramat itu. Hal yang selalu menjadi impian Kembaran yang sulit untuk dicapai. Karena ada tali ‘tak kasat mata yang mengekang mereka.

“Dipikir-pikir berduaan di atas awan begini bukannya romantis? Kita mungkin bisa menco— ” ucapan Taufan terhenti ketika kepala Yaya terjatuh ke pundaknya. “Eh? Tidur rupanya, pantesan enggak ada suara.”

Perjalanan masih jauh wajar saja Yaya sampai mengantuk dan Taufan maklumi itu. Tangannya membelai pipi sang istri. “Aku selalu bersyukur ada kamu di sampingku. Entah akan jadi apa kami kalau tidak menikah denganmu,” kata Taufan lalu mengecup kepala Yaya yang ditutupi hijab.

Bersambung …
_____________________________

Udah jangan protes kalau kependekan.

Ke depannya bakal kayak gimana? Saya pun 'tak tau~

//menghilang

________________
14 Januari 2022

—————————————

K O L O M  N U T R I S I
—————————————

1. Dari sisi mana kamu menyukai karakter Yaya di fanfict ini?

2. Kamu ada pengalaman naik pesawat?

3. Apa pendapatmu terhadap Special Chapter 4 (Cuzhae ver) di Love The Way You Are ini?

***

Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.

***

Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?

Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Love The Way You Are.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top