Special Chapter 3 (Cuzhae ver)
Biar lama yang penting update//plak
Enjoy this chapter~
————————————
Terkadang, kita menginginkan untuk sejenak berehat, meninggalkan beban yang menumpuk di atas pundak. Biar pun kerja keras itu bagus, tapi jika berlebihan juga akan berdampak buruk. Ingatlah, sesuatu yang dilakukan berlebihan itu tidak baik.
Belakangan ini BoBoiBoy disibukkan dengan pekerjaan kantor dan ia sudah jarang memiliki waktu dengan istrinya. Ketika pulang, ia sudah menemukan Yaya dalam keadaan tidur di atas sofa, yang sepertinya menunggu sang suami pulang. Kemudian ia akan memindahkannya ke dalam kamar. Begitu pun saat berangkat, ia hanya sempat sarapan lalu berangkat. Sudah itu saja kembaran bisa bertemu muka dengan sang istri.
Kalau bukan karena tuntutan pekerjaan, ia tidak mau melakukannya. Dan jelas ia tidak menyukai ini.
Gempa memijit pelan kepalanya yang terasa pusing. Barusan ayahnya menelepon, mengundang dirinya serta Yaya untuk makan malam di rumah orang tuanya. Ada yang mau dibahas, sekalian Bunda rindu dengan Yaya, katanya. Namun, perlu digaris bawahi kembali makna dari 'makan malam bersama'. Karena Gempa tahu, nantinya akan ada perkataan dari orang tuanya yang bakal terasa mencubit hati mereka.
IoI
“Mau kubuatkan susu hangat plus madu? Sepertinya kau sedang banyak pikiran,” ucap Yaya. Memandang sedih Taufan yang (tumben) merenung. Benar-benar bukan Taufan sekali.
Taufan tersentak kecil, kaget dengan kehadiran Yaya yang tanpa sepengetahuan sudah duduk di sampingnya. Tak biasanya kembaran jahil— yang katanya peka itu melamun sampai Yaya pun tak menjangkau indra. Sang istri yakin pasti ada yang dipikirkan suaminya itu.
“Tidak usah …,” kata Taufan. Tersenyum tipis, lalu mengelus telapak tangan Yaya. Dan sang istri tampaknya kurang puas dengan jawaban tersebut.
“Ada masalah di kantor? Sama Ayah atau … Bunda?” tanya Yaya, mencari tahu penyebab melamunnya Taufan.
Di kalimat kedua, Taufan sedikit menegang. Berarti benar ada yang tidak beres di sini. Yaya menghela napas, kenapa mereka hobi sekali sih menyembunyikan keresahan mereka.
Taufan mengusap wajahnya gusar. “Ayah ngundang kita buat makan malam,” ucapnya sedikit bersungut.
“Biasanya, sih, Gempa yang bakal ngehadapin Ayah sama Bunda. Tapi … tadi pas di kantor, dia ngeluh kepalanya sakit sampai beberapa kali. Hampir Gempa banting laptop saking stresnya kalau aja Alif nggak cepat datang,” beber Taufan. Mendengkus geli, kalaulah dia bisa berhadapan langsung dengan Gempa, ia akan tertawa keras melihat keputusasaan Gempa saat itu.
Sedikitnya Taufan bisa membayangkan reaksi kembaran yang lain. Air akan bersimpati dan mengelus punggung Gempa menabahkan dirinya, Halilintar mungkin akan membantunya, serta Api yang berteriak panik dan memanggil orang lain.
Intinya sama-sama mengenaskan, Taufan tertawa getir.
Yaya mendelik tajam Taufan, lalu mencubit pinggang suaminya dengan kesal. “Kau ini!”
Taufan mengaduh kesakitan. Dia kan hanya bercanda.
Menyenderkan bahunya di pundak sang suami, Yaya bisa membayangkan bagaimana kacaunya kembaran workaholic itu. Jarang sekali Gempa sampai bertingkah absurd begitu.
“Kalau tak ingin, kenapa tidak ditolak saja?” heran Yaya. Taufan mencubit hidung istrinya gemas.
“Tidak semudah itu, Yaya .…”
Sebenarnya mereka enggan untuk ke sana. Lebih baik makan malam di rumah bersama Yaya, lalu menghabiskan waktu mereka untuk bermanja. Daripada mendengar sesuatu yang keluar dari mulut orang tua sendiri, pembuat rasa ngilu di sudut hati karena perkataannya. Kunjungan ke rumah orang tua hanya karena rasa bakti, tidak lebih dari itu.
“Kalau dipikir-pikir, kasihan juga, ya, Gempa .…” Taufan menatap kedua tangannya. “Kali ini biar aku yang gantiin dia.”
Apa Taufan tidak tahu kalau istrinya itu takut kalau dia sampai harus memaksakan diri kembali? Yaya kembali teringat bagaimana Taufan begitu terpukul saat ia jujur pada kondisinya, kondisi kembaran, ke Ibu. Kemudian ibunya dengan tegas menolak memahami kondisi mereka.
“Kamu yakin?” tanya Yaya ragu.
Mata Taufan penuh kesungguhan, mengangguk dengan mantap. “Yakin.”
IoI
Setelah sekian lama, akhirnya Taufan akan bertatap muka secara langsung dengan orang tuanya. Ia harus memberanikan diri agar tidak terlalu menyusahkan Gempa. Mau bagaimana pun juga dia tetaplah anak mereka. Mengabaikan tatapan dingin ibunya yang senantiasa terpancar saat bertukar tatap dengannya, anak kandungnya sendiri. Namun, akan sangat berbeda saat yang dihadapinya adalah orang lain, terutama dengan Alif. Membuat Taufan muak.
Taufan berharap ia akan baik-baik saja dan dapat menjaga sikapnya nanti di sana. Jangan sampai terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.
Dia menggeleng cepat. Apa pun itu … ia tak ingin buat masalah semakin bertambah rumit.
Tanpa sadar, kini pintu depan rumah orang tuanya sudah menjulang di depan matanya. Rumah awal penderitaan kembaran. Rumah penuh kepalsuan. Rumah yang tiada bedanya dengan neraka dunia. Lalu, detik ini juga Taufan akan kembali masuk ke sana.
Mengeratkan genggaman tangannya pada Yaya. Mencari setitik keberanian dari sosok istrinya. “Ayo masuk,” ucap Taufan. Yaya menggerakkan ibu jarinya dalam genggaman dan mengangguk lalu tersenyum lembut.
“Assalamu'alaikum,” sahut mereka berdua.
“Wa'alaikumsalam,” sahut Bunda dengan ceria. Wanita paruh baya yang cantik dan tampak lembut. Ia menghampiri mereka berdua dengan wajah sumringah. Di sampingnya Ayah tersenyum tipis melihat kedatangan mereka.
Mereka berdua pun salim dengan cepat.
“Ya ampun, Yaya … Bunda rindu banget sama kamu,” ungkap Bunda memeluk Yaya. “Kamu, sih … jarang main kemari.”
Dalam pelukan, Yaya tersenyum canggung. Belum terbiasa dengan keramahan mertuanya. Dekapan hangat yang tak pernah dirasakan suaminya selama ini begitu mudah Yaya dapatkan. Walau ia menantunya, tetap saja dia masih tergolong orang asing.
Yaya melirik Taufan yang kini tanpa ekspresi di wajahnya. Apa ia sedang mencoba menahan diri, ya? … Ataukah karena terpaksa?
Berbeda dengan yang lain, Taufan di pihak netral, sama dengan Air. Tidak membenci, namun tidak juga berharap lebih. Setidaknya dia masih sadar memiliki orang tua.
Kemudian orang tua BoBoiBoy menggiring mereka menuju ruang makan.
Melihat ke arah meja makan, banyak sekali makanan yang sudah dihidangkan, jumlahnya tidak main-main. Yaya tahu tidak mungkin mereka berempat bisa menghabiskan sebanyak ini, tapi ia tidak mengatakan apapun.
“Dihabiskan, ya … Bunda sengaja masak banyak pas tau kamu mau datang,” ujar Bunda. Tak hentinya ia memasang wajah terseyum sejak kedatangan anak beserta menantunya itu.
Lagi … dan lagi, Yaya hanya mampu menurut dan tak banyak bicara.
"Ayo Yaya, tambah nasinya."
"Eh, tidak usah, Bunda," tolak Yaya halus. Karena gugup, meski makanannya enak, tapi ia tidak bisa menikmatinya. Ia melirik pada Taufan, yang sejak tadi memasang wajah tanpa ekspresi.
Meski postur tubuh dan cara makannya sangat sempurna, Yaya bisa tahu kalau suaminya itu tidak nafsu makan. Makannya sedikit dan wajahnya sama sekali tidak menikmati apa yang sedang ia santap.
Setelah acara makan selesai, pelayan satu persatu muncul mengambil makanan yang masih tersisa. Kemudian, setelah meja bersih dari makanan yang tersisa, mereka menghidangkan teh hangat.
“BoBoiBoy, kau harus terbang ke Belanda,” celetuk Ayah. Menatap lurus sang anak yang dari tadi enggan bertemu pandang.
Taufan tercekat, napasnya seakan berhenti sementara.
“Ada beberapa urusan di sana yang harus ditangani langsung olehmu, BoBoiBoy,” tambah Ayah.
Kembaran murah senyum itu terdiam beberapa saat, pikirannya berkecamuk. Sekarang apalagi? Titah dari sang ayah begitu berat baginya pun dengan saudaranya. Mereka sudah terlanjur bergantung pada Yaya, hingga terpisah sehari saja tanpa melihat wajahnya, sungguh … tak bisa.
“Yaya juga boleh ikut, kok. Sekalian berlibur. Bosan 'kan di rumah terus?” saran Bunda tersenyum pada istri muda tersebut.
Tidak ada salahnya juga. Yaya menoleh ke arah Taufan, suaminya menatapnya dengan binar, seperti isyarat untuk setuju usulan itu. Akhirnya hanya mengangguk pasrah.
Senyuman Bunda semakin lebar melihat respons positif dari sang gadis. “Siapa tahu pulang dari Belanda, Yaya sudah isian.”
Taufan hampir tersedak dengan teh yang melewati setengah tenggorokannya. Itu sindiran, ya?
“Aha-ha .…”
Yaya hanya menunduk malu. Entah sudah keberapa kalinya, pertanyaan serupa terlontar. Bukan karena dia tak mengerti, tapi … uhh itu masih jauh.
IoI
Baru kali ini Gempa merasa sebahagia ini. Ia dan kembaran yang lain sering bepergian ke luar negeri hanya untuk mengurusi cabang perusahaan ataupun bertemu klien langsung di sana. Namun, yang biasa sendirian, kali ini sedikit berbeda. Yaya ada untuk menemaninya. Jadi mereka nanti tak akan merasa kosong selama perjalanan bisnis tersebut.
Dua minggu cukup untuk menikmati berbagai tempat di Belanda. Memang, sih, tidak sepenuhnya dua minggu. Karena nantinya akan terpotong dengan urusan bisnis.
Untuk itu, sepulang dari rumah orang tuanya, senyuman Gempa semakin lebar. Senang akhirnya bisa mengukir kenangan lebih banyak lagi.
Yaya yang melihatnya pun ikut senang. Sisi manja kembali keluar dalam diri Gempa. Nyaman, sih ... tapi kalau kelamaan, ia pegal juga setia ada di posisi ini.
“Emm … Gempa? Lepas, dong.” Yaya melirik ke belakang. Suaminya memeluknya dari belakang dengan menumpu dagunya di pundak Yaya.
Bukannya melepaskan, tangan Gempa semakin erat mendekap pinggang sang istri.
“Gempa .…”
“Aku rindu sama kamu. Sudah berapa lama tak bisa tidur dengan nyenyak tanpa memikirkanmu. Dan sepertinya Allah mendengar doa kami—kembaran agar bisa melihatmu di setiap kesempatan,” ungkap Gempa tulus.
Wajah Yaya seperti terbakar. Degup jantungnya pun meningkat. Ia belum terbiasa dengan ungkapan romantis dari Gempa.
“Dasar gombal.”
Bersambung …
————————————
Apa kabar semuanya? Sehat? Gimana puasanya? Lancar? Atau malah udah ada yang bolong?
Sebelum itu…
SAYA MINTA MAAF KARENA NGARET 😿
Chap ini agak membosankan, ya?
Oh, iya… Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadan 😺
——————————
K O L O M N U T R I S I
——————————
1. Kamu #TeamTaufan atau #TeamGempa? Alasannya kenapa?
2. Kemanakah destinasi wisata impianmu?
3. Apa pendapatmu terhadap Special Chapter 3 (Cuzhae ver) di Love The Way You Are ini?
***
Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.
***
Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?
Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Love The Way You Are.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top