Special Chapter 1 (Cuzhae ver)
Ini dia yang ditungu-tunggu!! Special chapter LTWYA, untuk kali ini AirxYaya dulu, ya?
Gak apa-apa, 'kan?
Dalam rangka menyambut tahun baru (meski udah telat), tapi gapapa kali, ya …. Ini 'kan masih Januari 😅
Ayo merapat kemari. Mana yang katanya udah nunggu sampai lumutan 🐢
Silakan dinikmati~
——————————
Bagi sebagian orang pergantian tahun adalah saatnya membuat resolusi untuk satu tahun ke depan. Merencanakan atau menargetkan untuk tahun yang akan datang. Selain itu, banyak juga yang ingin menyambut tahun dengan berbagai cara. Salah satunya dengan berlibur atau menghabiskan waktu dengan orang yang disayang.
Terkadang Yaya berpikir, seperti apa kembaran dalam menyikapi atau merayakan tahun baru? Karena ia tahu, semuanya cenderung suka mengurung diri serta menghindari banyak orang, dibanding berbaur langsung ke dalam keramaian.
Apakah suaminya menatap kembang api dari jendela kamarnya dengan tatapan yang susah diartikan? Atau mungkin malah meredam suara ledakannya dengan tidur sambil memeluk erat Ochobot?
Yaya tak akan pernah tahu.
Terlepas dari permasalahan itu, entah kenapa Yaya merasa ia terus dipandangi oleh Air. Mulutnya memang tetap mengunyah sarapan buatan sang istri, tapi dia tidak melepaskan pandangannya ke arah Yaya.
“Air … ada apa? Nasi gorengnya keasinan, ya?” tanya Yaya, ia tersenyum canggung, takut kalau masakannya kali ini gagal juga.
Air menelan makanannya sebelum akhirnya berbicara. “Enak kok .…”
Yaya mendesah lega, ia kira akan gagal lagi membuat sarapan yang 'layak makan'.
Kali ini Air menatapnya serius, pasti ada hal yang ingin dibicarakan. “Begini Yaya … kamu tahu 'kan kalau seminggu ini aku yang selalu ambil kendali pas di kantor?”
Yaya mengangguk. Itu adalah sebuah kemajuan bagi Air, karena ia mau berbagi tanggung jawab dengan yang lainnya. Untuk di rumah, memang saudaranya yang pegang kendali. Dapat dihitung dengan jari mendapati Air berada di rumah, misal saat berangkat kerja atau saat pulang, itu pun hanya sebentar sebelum yang lain mengambil alih.
Menghadapi orang banyak tergolong sulit bagi seorang introvert seperti Air. Berbicara saja baginya sudah seperti menguras tenaga, apalagi harus berhadapan dengan orang lain begitu lama.
Hal yang patut dibanggakan karena mampu bersikap 'normal' tanpa harus menciptakan keributan.
“Aku melakukan ini bukan tanpa alasan. Mereka semua sepakat, kalau aku seenggaknya harus bisa tahan seharian kerja di kantor tanpa ganti kendali sama yang lain, aku boleh habisin waktu bareng kamu tanpa ada protesan dari yang lain. Dan aku udah ngelakuan itu selama seminggu …,” ucap Air, nada suaranya sedikit menyiratkan rasa malu.
“Jadi …?” Dengan sabar Yaya menunggu suaminya melanjutkan ucapannya. Ia tak pernah menyangka ternyata Air memiliki sisi yang menggemaskan.
“Semuanya sepakat membiarkanku keluar seharian penuh tanpa ada yang boleh ambil kendali selain aku.”
Mungkin ini sebagai bentuk 'hadiah' dari saudara kembarnya karena sudah meringankan beban yang lain selama di kantor dan membiarkan mereka bersantai di rumah, apalagi waktu seminggu sudah melebihi dari waktu yang disyaratkan— hanya seharian saja, jadi Air diberikan bonus. Setidaknya itu yang dapat dipahami Yaya.
“Kamu ingat 'kan kalau aku punya janji sama kamu …?”
Alis Yaya mengernyit heran. Memang pernah ya? Jujur, ia tidak begitu ingat. “Janji apa? Kurasa nggak ada, deh .…”
Seketika Air memasang muka kecewa. Padahal dia selalu ingat janjinya. Namun, dengan cepat pula ia memasang senyum lembut. “Janji mengajakmu ke Bukit Bintang … ingat? Aku pernah bilang gitu pas awal pernikahan kita. Waktu kebagian kencan cuma tiga jam doang itu, lho … ingat tidak?”
Istrinya tampak berpikir sejenak lalu melonjak girang sampai tak sadar menggebrak meja. “Oh, yang waktu itu … ingat, aku ingat! Dulu kamu pernah bilang gitu ke aku.”
Baiklah, sepertinya Yaya terlalu berlebihan menanggapinya. Ia terkekeh malu, Air hanya mengusap dada karena sempat kaget.
“Nah, rencananya aku mau ajak kamu ke sana selagi dapat kesempatan dan cuti tahun baru. Aku cuma pengen lihat bintang sama kembang api besar bareng kamu … yang waktu di rumah kurang puas.” Yang dimaksud Air menyalakan kembang api di sini adalah saat 'Hari Apresiasi Yaya'.
Memang sih kala itu hanya menyalakan kembang api kecil, lagipula yang dulu itu kurang memuaskan karena dalam keadaan gerimis. Setidaknya sesekali mengabulkan permintaan kembaran suaminya itu tidak begitu ia permasalahkan, asal bukan yang aneh-aneh saja ia pasti menurutinya.
Yaya tertawa kecil melihat Air yang memasang wajah memelas, membuat dirinya tak segan untuk mencubit pipi Air. Mengabaikan ringisan kecil karena Yaya menangkup pipi Air sedikit gemas.
“Baiklah. Mau berangkatnya kapan?”
IoI
Beberapa kali Yaya selalu dicengangkan dengan kelakuan ajaib setiap kembaran. Terkadang membuat dirinya hanya bisa geleng-geleng kepala.
Seperti saat ini, Halilintar terus menghindari Yaya secara terang-terangan.
Mulai dari sikap dinginnya yang mulai kambuh— menjawab singkat ucapan Yaya, melempari tatapan tajam, dan jangan lupakan perkataannya yang nyelekit disertai beberapa decakan menjengkelkan. Dari gelagatnya yang demikian, bisa ditebak kembaran itu sedang ngambek atau dalam mood yang buruk.
Sebenarnya itu bukanlah masalah yang begitu besar, tapi kalau begini terus, yang ada ia seperti dilempari ratusan panah di balik tatapan tajam Halilintar.
Kali ini, apa penyebabnya?
“Kamu itu kenapa, sih? Diajak ngobrol, diem terus. Dibikinin kopi mukanya malah asem,” omel Yaya, ia memandang jengkel sang suami. Kemudian duduk di sofa yang sama dengannya.
Halilintar tidak menggubris omelan Yaya, dia malah mempercepat ketikan keyboard di laptopnya, sehingga menimbulkan suara sedikit keras. Sesekali ia meleguk kopinya.
“Kalo bukan karena kerja keras Air yang kekeh pengen pergi bareng kamu … aku gak bakalan ngizinin dia,” celetuk Halilintar di antara kebisingan suara ketikan keyboard.
Eh? Bagaimana?
“Bukannya kata dia 'semua sepakat', ya? Berarti kau setuju, 'kan?”
Tak habis pikir, bagaimana bisa Halilintar berubah menjadi sedikit posesif padanya. Tapi, kalau dipikir ulang … semua kembaran suaminya memiliki sifat tersebut. Bisa cemburu dan merajuk karena hal sepele.
Tangan Halilintar berhenti mengurusi laptop dan beralih merangkap tubuh Yaya ke dalam rengkuhannya. Membuat istrinya terbelalak atas sikapnya yang tiba-tiba.
“Hali …?” tanya Yaya hati-hati, dirinya tidak bisa bergerak sedikitpun dari pelukan Halilintar sebab tangannya benar-benar terperangkap, pun wajahnya yang berhadapan langsung dengan dada bidang suaminya.
“Ck, diamlah.”
Hafal jika menolak sama saja membangkitkan kemarahan, Yaya memilih pasrah saja.
“Besok aku nggak bisa ketemu kamu, jadi … biarin aku peluk kamu,” ucap Halilintar dengan suara rendah. Napasnya menggelitik di telinga Yaya, jarak mereka terlalu dekat. Alarm peringatan di tubuh Yaya seolah menyuruhnya agar segera menjauh.
“Cuma sehari doang, Halilintar. Kasihan Air kalo nggak jadi pergi, gimana nanti … kalo dia nggak mau keluar lagi kayak dulu karena ngambek?” ucap Yaya memberi pengertian. “… aku bakal terus ngehindarin kamu.”
“Segitu penginnya kamu ngabulin permintaan Air. Kalau sama aku aja kamu nggak mau.” Suaranya berubah menjadi rengekan. Halilintar tak mungkin merajuk seperti itu, kalau begitu berarti ini adalah—
“Taufan …?”
“Apa, Sayang?”
“Lepas!” Yaya berusaha memberontak agar bisa keluar dari pelukan maut suaminya.
“Nggak mau~” Namun, Taufan tidak mendengarkan Yaya dan malah mempererat pelukannya.
“Lepas atau tidur sendiri!?”
“Oke, oke, ngancemnya kebangetan, ah!”
Dengan lembut Yaya membelai wajah Taufan lalu menghela napas. “Dengar sini, sesekali kalian itu harus ngalah sebentaaar aja.”
“Hm …,” gumam Taufan, ia mengalihkan pandangannya. Kemudian menutup matanya dan beralih ke kembarannya yang lain. Begitu mata terbuka, tatapan lembut langsung menyapa Yaya, siapa lagi kalau bukan Gempa.
“Kamu juga mau ngeluh sama kayak Halilintar dan Taufan? Harus sampai berapa kali aku bilang—”
“Sst … Air emang pantas buat dapatin itu. Aku sama sekali tidak masalah, Yaya …,” ucap Gempa penuh pengertian. Mengusap rambut Yaya dengan gemas, sehingga tampang istrinya jadi cemberut. Tatanan rambutnya jadi rusak, padahal Yaya sudah menyisirnya dengan susah payah.
“Maaf, ya .…”
“Maaf untuk apa?”
“Untuk ini.” Perlahan wajah Gempa semakin mendekat kemudian mencuri ciuman dan Yaya tidak bisa menolaknya, ia mencoba membalas balik.
IoI
Bagi seorang yang telah melakukan sesuatu yang membanggakan, memanglah patut untuk diberi sebuah bentuk apresiasi. Apalagi dia telah mati-matian sampai sukses.
Dan hari yang direncanakan itupun akhirnya tiba. Senyuman milik Air kini sedikit lebih lebar, ia sudah memasang senyuman itu dari awal bangun tidur. Ia sangat menanti datang hari ini. Aura yang biasanya suram, berubah menjadi cerah dengan tambahan bunga-bunga imajiner di sekelilingnya.
“Bukitnya tidak mungkin bakal tiba-tiba pindah sendiri. Jadi tenanglah sedikit, Air .…”
“Aku tidak seantusias itu, Yaya …,” sanggah Air ketika mendapati Yaya terkikik di sebelahnya. Memilih fokus pada setir mobil.
“Masa? Siapa, ya … yang tadi di rumah udah nggak sabar pengin berangkat?” Mata Yaya mengerling ke arah Air yang rupanya kembaran tersebut tengah menahan malu.
Air tidak merespons candaan istrinya. Perjalanan masih jauh dan ia harus tetap fokus, sebab baru sekarang memberanikan diri membawa mobil untuk waktu yang lama. Jangan sampai karena Yaya, ia jadi kehilangan fokus. Takut hal yang tidak diinginkan terjadi— katakanlah sesuatu yang buruk, sehingga mereka tak akan pernah sampai tujuan.
Jangan sampai. Dalam hati, Air berdoa bagi keselamatan mereka.
Atmosfer di sekitar menjadi hening, membuat Yaya tidak bisa menahan kantuk. Lama-kelamaan ia sudah tertidur dengan menyender pada kursi. Wajahnya tampak sedikit lelah. Napasnya teratur, tidurnya begitu nyenyak.
Air tersenyum kecil. Tidak sia-sia ia menghabiskan waktu seminggu ini untuk menyelesaikan 'tantangan' dari saudaranya. Setidaknya perjuangan dia berbuah manis. Keinginan untuk merayakan tahun baru bersama Yaya dapat terkabul.
IoI
“Bangun, Yaya … kita sudah sampai,” bisik Air seraya mengguncangkan bahu Yaya pelan.
Mata Yaya berkedut sebelum akhirnya membukanya dan mengerjap beberapa kali.
“Pagi …,” gumam Yaya, nyawanya belum terkumpul. Ia merenggakan tubuhnya yang pegal karena tidur dalam keadaan duduk.
Sepertinya Yaya belum benar-benar sadar. Sapaan itu memang spontan ia ucapkan, mengingat jika di rumah langsung begitu. Jadi Air mesti sabar menunggu Yaya sampai pulih dari rasa kantuknya. Padahal dirinya sendiri sudah sedari tadi menguap tidak karuan.
Namun, di tengah kerumunan orang, Air merasa tidak tenang. Ini berbeda dengan di kantor. Jika di kantor, ia masih bisa berdiam diri beberapa waktu di ruang kerjanya.
Air kemudian menggandeng istrinya, mencari tempat yang agak sepi. Ia tidak suka waktu bersama Yaya terganggu karena kebisingan.
Tiga puluh menit lagi akan pergantian tahun, wajarlah banyak orang berbondong ke tempat seperti ini untuk melihat secara jelas kembang apinya.
Langkah Yaya masih sempoyongan, untung saja Air memegang tangannya. Namun, tiba-tiba kaki Yaya tak sengaja menginjak kerikil membuatnya hampir jatuh.
“Yaya!” Air menarik tangan Yaya. Sayangnya Air terlalu kuat menariknya, sehingga keduanya terjatuh di rerumputan.
Wajah Yaya memerah sedikit karena sadar ia ada di bawah Air. Alih-alih cepat ia bangkit, justru malah terkunci pada tatapan Air yang kini sedikit ada binar kehidupan.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Air penuh khawatir sekaligus menyadarkan Yaya dari lamunannya.
“Maaf,” kata Yaya cepat. Dengan spontan ia berusaha bangkit, lupa bahwa Air masih berada di atasnya. Alhasil dahinya terantuk dengan dahi Air.
“Aduh!” ringis Yaya seraya mengusap dahinya. Tidak beda dengan suaminya melakukan hal yang sama.
Kembali Yaya dikejutkan oleh kecupan singkat di dahi. “Syuh … syuh … sakitnya pergi,” kata Air lembut, meniup dahi Yaya yang kemerahan.
Tatapannya berubah menjadi teduh. “Biasanya kalau aku jatuh … Tok Aba sering melakukan itu,” lanjutnya, senyuman di bibir Air tampak sendu. Sehingga cepat-cepat Yaya menetralkan wajahnya yang sempat tersipu.
“Ya udah, yuk, kita cari tempat duduknya. Nanti keburu ramai lagi …,” ajak Yaya, menarik tangan Air.
IoI
Sesampainya di tempat yang strategis, mata mereka berdua langsung terpana dengan pandangan yang menakjubkan. Ribuan bintang yang berkelip bertaburan di langit, sangat indah.
Air duduk di rerumputan, menaruh kantong berisi kembang api kecil yang akan mereka nyalakan nanti. Ia sudah menyiapkannya dari jauh hari, seolah tahu bahwa hari ini benda tersebut akan berguna. Yaya tersenyum padanya dan ikut duduk di sampingnya.
Mereka hanyut dengan keindahan bintang di atas. Menikmati alam ciptaan-Nya.
Namun, udara malam semakin dingin, membuat Yaya sedikit gemetaran. Meski badannya sudah dibalut sweter panjang, tetap saja ia merasa kedinginan.
Kemudian, Yaya melihat Air menyelimuti jaketnya pada dirinya. Yaya tersenyum hangat padanya.
“Makasih,” katanya dan Air tersenyum tipis padanya.
“Seharusnya kita beli makanan atau minuman hangat dulu sebelum ke sini,” ucap Air, membenarkan letak jaketnya agar Yaya merasa nyaman.
“Nggak apa-apa, kok. Udah malem gini, gak selera buat makan,” ungkap Yaya, menggenggam tangan Air agar dia tidak merasa bersalah.
(Bayangkan saja ini Air sama Yaya. Jangan pedulikan warna rambutnya, boleh diganti dengan imajinasi kalian)
Air bergeser ke sisi Yaya, kemudian menarik kepala Yaya pelan agar mau bersender pada pundaknya. Yaya menurutinya, kemudian lengan Air memeluk pinggang Air dari belakang dan kepalanya bersender ke kepala Yaya.
Yaya sedikit takjub, tadinya ia kedinginan sekarang rasanya sangat hangat.
“Kamu masih kedinginan?” tanya Air.
Yaya menggeleng.
“Nggak kok, udah hangat sekarang,” kata Yaya, menyamankan diri di pundak Air.
Mereka berdua kembali diam menikmati keheningan bersama di bawah langit malam penuh bintang.
Air menatap jauh ke depan. Pikirannya terlempar pada masa suramnya. Bertahun-tahun ia tidak pernah keluar. Dalam benaknya berpikir untuk apa hidup tanpa orang yang mengakui mereka. Sosok yang menerima dirinya dan kembarannya hanyalah Almarhum Tok Aba semata.
Membayangkan bisa hidup sampai sekarang pun, ia tidak bisa. Hidup mereka sudah hancur dan begitu hampa.
Sampai akhirnya Yaya masuk ke dalam kehampaan mereka. Secara perlahan menyusupkan kehangatan. Mengingatkan kembali apa yang namanya sentuhan.
Berbeda lagi dengan Yaya. Ia hanya gadis biasa yang lahir di keluarga yang menyayanginya. Mendapatkan teman, tapi juga tidak merubah kemungkinan bahwa ada yang tidak suka padanya. Hanya sesederhana itu.
Terkadang juga Yaya diundang ke perayaan-perayaan yang diadakan oleh temannya. Saling melempar candaan lalu tertawa bersama.
Dan sekarang .…
Kedua atau mungkin bisa dikatakan keenam—sebab BoBoiBoy hidup berlima—kepribadian dipertemukan dalam sebuah ikatan pernikahan.
“Aku bahagia …,” lirih Air di antara keheningan. Menatap Yaya dengan lekat-lekat dan tersenyum tipis padanya.
Yaya menoleh pada Air.
Kemudian Air menyatukan dahinya dengan sang istri. “… Bisa mengenalmu dan sadar bahwa kami tetaplah manusia yang membutuhkan teman,” sambung lelaki itu.
Yaya sedikit sedih mendengarnya. Ia tidak berani membayangkan jika dirinya tidak bertemu mereka.
“Syukurlah …,” balas Yaya, menghapus air mata di sudut matanya.
Suara sorakan dari orang-orang terdengar bergemuruh, menandakan pergantian tahun tinggal beberapa saat lagi. Bahkan mereka sudah mulai menghitung.
Lima …
Empat …
Tiga …
Dua …
Satu …
DUAR! DUAR!
Kembang api besar meledak dengan indah di atas langit. Menciptakan visualisasi bunga api dengan berbagai warna cantik menghiasi langit yang penuh bintang.
“Cantiknya,” ucap Yaya penuh takjub.
“Masih lebih cantik kamu,” bantah Air dengan polos.
Mendengar perkataan frontal Air membuat muka Yaya memerah.
“A-apaan, sih!”
Air hanya tersenyum tipis. “Kita nyalain kembang api kecilnya,” katanya, membuka bungkusan yang dibawa dari rumah.
Air menyalakan koreknya, kembang api pun menyala, memercikan bunga api yang indah menyala. Yaya ikut menyalakan satu kembang api di tangannya dan tersenyum melihat kembang apinya menyala.
Air menikmati kembang apinya dengan sangat tenang. Hanya terpulas senyuman kecil di bibirnya, namun ia terlihat senang. Yaya pun ikut senang melihatnya.
“Aku harap, aku bisa terus bahagia bersama dirimu di samping kami,” bisik Air.
Yaya membelai lengan Air. “Semua itu sudah kalian dapatkan,” ucapnya tulus. Air menoleh padanya dan tersenyum lembut kemudian mengangguk.
Lalu, ia meraih dagu Yaya dan mengecup bibirnya. Yaya tersenyum dan menciumnya balik.
Baginya, ciumannya itu memercik seperti kembang api.
Setelah lama asyik menikmati keindahan langit malam. Perlahan mata Yaya mulai memberat dan mulai tertidur dalam dekapan hangat Air. Samar-samar ia bisa merasakan ada seseorang yang mencium keningnya, rasa yang sangat familier jadi Yaya hanya tersenyum kemudian terlelap.
“Makasih udah mau direpotin buat ngurusin kita,” bisik Air, memandang paras cantik istrinya.
====================
Maaf chapter ini tidak sesuai dengan harapan kalian. Iya, tahu kok, buatan saya mah jelek.
Kalo ada yang merasa kedapatan kalimat/paragraf familier bahkan sama persis dengan chapter sebelumnya, itu memang iya. Coba tebak dari chapter mana saja?
Bingung mau tulis scene yang kayak gimana … jadi ya gitu deh— //disleding pembaca
Silakan vote dan comment XD
——————————
K O L O M N U T R I S I
——————————
1. Menurutmu sikap Air di part ini seperti apa?
2. Bagaimana caramu merayakan tahun baru?
3. Apa pendapatmu terhadap Special Chapter 1 di Love The Way You Are ini?
***
Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.
***
Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?
Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Love The Way You Are.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top