Chapter 7

Aku bakalan lebih sibuk setelah ini, jadi jangan harapkan aku buat update kilat kayak kemaren-kemaren ya.

Selamat menikmati chapter ini

———————————————

Uang. Uang bukan segalanya, tapi pada saat yang sama uang adalah kebutuhan vital dalam kehidupan manusia. Uang bahkan bisa menghancurkan kehidupan rumah tangga. Tak sedikit pasangan yang bercerai karena masalah ekonomi.

Jadi, Yaya memutuskan ia akan menghadapi hal yang selama ini ia hindari.

Masalah ekonomi dalam kehidupan pernikahannya.

Yaya selama ini menghindarinya semata-mata karena ia tak tahu harus bersikap seperrti apa. Ia diajarkan cara hidup oleh ayah dan ibunya, uang bukanlah segalanya. Seseorang akan merasa dirinya miskin karena ia terus menerus merasa 'kurang'. Jika sudah puas dengan kehidupan dan keadaan yang ada, maka seseorang tidak akan merasa miskin. Yaya bukanlah dari keluarga kaya raya. Kehidupan ekonomi keluarganya cukup pas-pasan, namun ia bisa hidup dengan layak. Tapi, seperti yang diajarkan orang tuanya, Yaya tidak pernah merasa miskin. Ia bahagia dengan keadaanya.

Karena itu, ia tidak tahu harus bersikap seperti apa untuk menghadapi kekayaan Boboiboy. Ia bersyukur, suaminya itu bukan orang yang suka pamer kekayaan. Berbeda dengan kebanyakan sikap orang kelas atas, tampaknya cara Boboiboy menilai sesuatu dan seseorang memang lain. Mungkin, karena dirinya sendiri punya kondisi khusus, jadi ia tak pernah merendahkan siapapun.

Tapi, Yaya sadar kalau suaminya itu tidak punya kepekaan soal uang.

Mata gadis berkerudung itu mengalir mengikuti pot-pot bunga yang memenuhi ruang tamu. Ukurannya bermacam-macam, ada yang kecil sampai besar. Ada bunga mawar, melati sampai tulip yang hanya pernah Yaya lihat di taman bunga.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Kali ini, daripada memberi sambutan hangat, Yaya hanya duduk di sofa, mungkin setengah melotot, pada Boboiboy.

Suaminya tampak bingung melihat ruang tamu penuh pot bunga sampai hampir ke pintu depan.

Justru reaksi suaminya membuat Yaya ikut bingung.

Tapi, Yaya menyingkirkan rasa bingung itu untuk sementara.

"Kenapa kamu bisa beli bunga sebanyak ini?"

Boboiboy mengerjapkan mata.

Dari caranya bereaksi, Yaya tebak ini pasti Gempa.

"Ng... maaf, ini salahku. Aku sibuk di kantor, jadi aku cuma suruh orang untuk beli bunga."

"Kamu nggak sebutin jumlahnya?" tebak Yaya, tidak percaya.

"Aku cuma kasih uang aja, karena aku juga nggak tau berapa harga bunga ... aku cuma pesan, jangan beli bunga yang terlalu mahal."

Yaya memutar matanya. Ia bukan pakar bunga, tapi ia tahu bunga tulip tidak umum ditemui di iklim tropis, jadi pasti harganya tidak murah. Jadi, mungkin orang-orang juga bingung takaran 'mahal' untuk Boboiboy itu seperti apa.

Gempa melangkah menghampiri Yaya sambil berusaha mencari tempat untuk menapakkan kaki.

"Sekarang ini semua mau diapain?" tanya Yaya lagi dengan ketus. Dari siang ia sudah bingung harus diapakan semua bunga ini sampai tidak pergi ke restoran.

Gempa akhirnya sampai ke sofa dimana Yaya duduk, kemudian duduk di sebelahnya.

"Kira-kira di balkon bisa muat berapa?" tanya Gempa, ia mengendurkan dasinya. Kelihatannya ia lelah seperti biasa, tapi Yaya masih merasa agak kesal.

"Balkon apartemen kita kan kecil, sekitar lima pot kecil, kan ada kursi juga di sana," jawab Yaya.

"Kalau restoranmu, bisa nampung bunga?" tanya suaminya lagi.

Yaya mengerjapkan mata. "Hm... bisa, tapi udah ada tanaman lain juga ... paling 5 pot sedang." Di restorannya, lahan parkirnya kecil dan di dalam sudah banyak tanaman lain.

"Aku bisa kirim 5 pot lagi untuk di kantor. Sisanya, mungkin bisa dikasih ke teman-teman kamu."

Yaya sebenarnya masih agak jengah. Namun, ia tahu ini keputusan terbaik. Tidak mungkin menjual kembali semua ini, Boboiboy bukan tipe orang seperti itu. Ia tidak terlihat menyesal atas jumlah uang yang terpakai, lebih ke jumlah pot yang terlalu banyak.

Suaminya mengambil handphone-nya dan menelepon seseorang. "Halo? Pak Budi? Tolong ke rumah, bawa mobil bak ukuran sedang ..."

Dan layaknya seseorang yang punya jabatan tinggi di perusahaan, Gempa bisa mengatur semuanya dengan mudah.

"Gempa."

Selesai telepon, Gempa menoleh pada Yaya karena namanya di panggil.

"Sebenarnya aku menanti kamu yang ngomong duluan ... tapi ini masalah uang ...."

"Kamu butuh uang?" potong Gempa cepat, tidak seperti biasanya. Mungkin, ia sudah sangat sering menghadapi situasi seperti itu, di mana orang-orang ingin meminta atau meminjam uang padanya.

"Bukan, bukan ... maksudku ...," Yaya sedikit terbata-bata.

Yaya tidak tahu cara menjelaskannya. Tapi, ia tidak tahu apakah bisa tahan dengan cara suaminya menghabiskan uang. Bukan berarti ia mau mengurus keuangan suaminya. Meski umumnya istri lah yang mengurus keuangan keluarga ....

"Ah, aku nggak pernah kasih kamu uang belanja bulanan ya? Maaf, aku nggak sadar. Aku biasanya nyuruh orang untuk belanja," Gempa mengambil asumsi lagi, ia menarik keluar dompetnya sebelum Yaya bisa mengatakan sesuatu.

"Ini kartu ATM-ku, kamu pegang aja. Aku masih punya yang lain."

Yaya melihat kartu yang disodorkan padanya. Kartu yang tampak rapuh, bisa rusak hanya dengan sekali tekuk tapi Yaya berani bertaruh, nilainya melebihi nilai semua organ tubuhnya bila dijual.

"Nggak usah, aku juga punya uang sendiri kok," Yaya menepisnya secara cepat. Gempa mengernyit padanya.

"Kamu dapat uang dari mana?"

Itu sebuah pertanyaan bodoh dan polos yang Yaya pertama dengar dari Gempa.

"Aku kan ngurus restoran, aku kerja jadi kasir lho. Aku masih dapat uang, yah lebih mirip 'uang jajan' sih," jawab Yaya. Tentu 'uang jajan' yang ia terima tak bisa dibandingkan dengan gaji orang kantoran. Tapi ia tak pernah merisaukan, karena ketika masih hidup dengan ibunya, ia tidak perlu menghidupi dirinya sendiri.

Gempa mengerjapkan mata, wajahnya masih bingung. "Tapi, bukannya habis nikah sama aku, kerjamu jadi nggak penuh ya?"

Yaya sedikit kagum Gempa ingat jam buka restorannya. Memang restoran keluarganya buka dari pukul 11 sampai 8 malam. Namun, sejak menikah, Yaya selalu pulang pukul 4. Semata-mata karena ibunya bersikeras kalau istri sebaiknya ada di rumah saat suami pulang.

"Iya sih ...," jawab Yaya jujur. Ia juga masih merasa tidak enak soal hal itu. Ia pikir, rasanya ia tak akan meminta uang jajan lagi pada ibunya karena ia tak pernah bekerja penuh sekarang.

"Kamu nggak perlu dapat uang lagi dari restoran. Aku aja yang kerja udah cukup 'kan?"

Yang Yaya tangkap dari perkataan itu, suaminya tidak melarangnya untuk membantu restoran keluarganya, namun ia tidak ingin Yaya mendapat 'gaji' di sana.

Mungkin, karena sebagai suami, ia punya harga diri menafkahi keluarga barunya, apalagi gajinya pasti besar dan lebih dari cukup.

"Baiklah ...," Yaya akhirnya setuju. Ia masih agak sedih karena sekarang ia tidak punya penghasilan sendiri, namun memang benar Boboiboy bekerja itu sudah lebih cukup untuk mereka berdua.

"Makanya, kamu pegang kartu ATM ini, aku rasa ini cukup untuk belanja bulanan," Gempa menaruh kartu tersebut di tangan Yaya.

Yaya menggenggamnya dengan ragu.

"Terus kalau kamu mau sesuatu, kamu bilang aja ke aku. Oh ya, pasti capek 'kan pakai angkutan umum pulang pergi ke restoranmu. Kamu bisa naik mobil?"

Yaya tidak tahu kenapa, mungkin bila orang lain akan merasa senang bila ditawari mobil. Tapi, Yaya justru sebaliknya. Ia merasa malu dan sungkan. Ia tidak merasa butuh mobil. Ia selama ini bisa bertahan dengan naik angkutan umum. Ia tidak merasa senang bila suaminya mulai menawarinya sesuatu yang mahal. Entah kenapa Yaya jadi merasa rendah diri.

"Nggak usah, aku juga nggak bisa naik mobil," Yaya menolak dengan halus.

"Yah, masih bisa pakai supir 'kan?" tawar Gempa lagi, namun wajahnya menjadi bingung. Mungkin karena ia sadar kalau Yaya tidak nyaman dengan penawaran itu.

"Aku salah lagi ya?" tanyanya dengan suara kecil.

Yaya menggeleng. Selama ini mungkin suaminya tidak pernah bergaul dengan orang menengah ke bawah. Jadi, tidak sadar bahwa kebaikan dan ketulusannya kadang menyakiti harga diri Yaya.

"Aku nggak butuh apa-apa."

Itu jujur. Yaya sebenarnya menginginkan banyak hal yang selama ini tidak bisa ia, itu hanya sebuah keinginan bukan kebutuhan. Ia hanya akan menjadi seseorang yang boros dan serakah bila menuruti hawa nafsunya seperti itu.

"Maaf, ya."

Yaya menoleh pada Gempa, wajahnya menjadi muram.

"Aku ... selama ini cuma bisa membahagiakan orang lain dengan uang ... karena selain uang, aku nggak punya apa-apa."

Perkataan itu membuat Yaya merasa sedih. Gempa memang sudah pernah cerita bagaiamana orang-orang di sekitar mereka hanya berada di sisinya untuk ikut 'kecipratan' hartanya saja.

Yaya sekarang menjadi merasa bersalah. "Bukan kamu yang salah Gempa ... aku ... aku mungkin terlalu sensitif juga. Mungkin, karena aku nggak pernah punya banyak uang jadi nggak tahu harus apa ...," sang istri berusaha mencerahkan suasana.

Gempa menatap matanya dan tersenyum tipis. "Nggak apa-apa."

Yaya menatap kartu ATM di tangannya. "Ini aku pegang, nggak apa-apa?" tanyanya masih ragu.

"Iya ... itu untuk kamu. Aku selama ini nggak pernah belanja sendiri, jadi ... nggak apa-apa kan kalau kamu yang belanja?" Gempa bertanya dengan sungkan.

Yaya mengangguk dan tersenyum pada suaminya. Suka tidak suka, meski kadang ia tidak nyaman, ia harus menerima kenyataan kalau Boboiboy orang kaya.

"Kalau aku beli belanjaan barang murah untuk sehari-hari nggak masalah kan?" tanya Yaya lagi.

Gempa mengangguk. "Ah tapi, ada barang-barang tertentu yang nggak bisa diganti."

Sang istri mengernyitkan dahinya sama sekali tidak mengerti.

"Taufan cuma mau pakai parfum merek tertentu dari Paris. Api cuma mau pakai kaus merek tertentu juga. Terus, untuk masak kalau bisa kamu pakai minyak goreng kelapa khusus ..."

Dan daftar itu berlanjut panjang sampai Yaya tidak bisa ingat semuanya. Ini pertama kalinya ia mendengar Gempa secerewet ini.

"...dan terakhir Halilintar cuma bisa minum kopi yang digiling. Kalau nggak, dia suka sakit perut."

Yaya berusaha untuk bersabar. Memang orang kaya pasti punya standar hidup tertentu, zona nyaman mereka yang pastinya tidak akan mau dirubah.

"Nanti kamu kasih ke aku aja daftar belanjaannya," Yaya menyimpulkan demikian pada akhirnya.

"Baiklah, nanti aku buat."

Meski tampaknya Boboiboy tidak pernah cerewet dan merendahkan orang lain, tapi ia punya standar tertentu soal dirinya sendiri. Yaya hanya bisa menyimpulkan, ia harus menerima semua itu. Suka tidak suka, karena ia harus belajar mencintai suaminya apa adanya.

Meski ketidakpekaannya soal uang membuat Yaya merasa agak pusing.

"Selama kamu nggak mengulang ini lagi ...," Yaya melirik ke semua pot bunga yang sudah dibeli secara 'tidak sengaja' oleh Boboiboy.

Gempa tersenyum gugup, menatap semua pot bunga yang memenuhi ruang tamu. "Akan kuusahakan."

Yaya memutuskan, itu artinya ia harus bersiap bila hal seperti ini terulang lagi.

IoI

Yaya merasa, dari semua kembaran yang ada di dalam tubuh suaminya, ia sudah bisa berteman dengan mereka semua sampai taraf tertentu.

Kecuali Halilintar.

Yang satu itu, sampai sekarang Yaya masih tidak paham.

Jujur, Yaya senang karena Halilintar sudah mengakui pernikahan mereka dan tampaknya tidak membenci dirinya.

Tapi, bukan berarti mereka sudah berteman. Sikapnya dingin dan sangat cuek pada Yaya. Berbanding terbalik dengan semua kembaran suaminya yang tampaknya mudah luluh di depan Yaya.

Sang istri ingin berteman lebih dekat dengan Halilintar. Tapi, ia tidak tahu harus bagaimana. Halilintar seperti membuat batasan garis jelas dengannya yang tak akan bisa ia lewati.

Yaya mendesah, yang jelas ia tidak boleh menyerah. Sekarang, ia harus fokus dengan belanjaan.

Hari ini, ia baru sadar kalau ia kehabisan deterjen. Boboiboy yang tampaknya sebelum menikah selalu memilih jasa laundry tapi begitu menikah ada seongok mesin cuci canggih baru di apartemen mereka. Sudah tentu, Yaya tidak keberatan mengurus masalah rumah tangga seperti itu. Itu kan memang tugasnya sebagai istri.

Dan untungnya, Boboiboy tidak cererwet soal merek deterjen. Ia hanya berpesan, Yaya harus memakai pelembut dan pengawi juga.

Meski agak ragu, karena stok deterjen yang datang satu paket dengan mesin cuci dulu terkesan merek sangat mahal yang tidak ada di supermarket biasa, Yaya tetap memilih deterjen lain yang harganya lebih murah namun tidak murahan.

Tak lupa, ia juga belanja sayuran dan bahan pangan lain, mumpung di supermarket. Kehebatan punya apartemen mewah di tengah kota, semua tempat tidak jauh dan bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Jaraknya hanya sekitar beberapa blok dari apartemen.

Dan Yaya selesai belanja dengan wajah senang (meski ia sempat was-was ketika akhirnya memakai kartu ATM dari Boboiboy untuk membayar). Dari dulu, meski tidak punya banyak uang, seperti wanita pada umumnya, ia tetap senang belanja.

Sekantong besar plastik belanjaan ia tenteng, Yaya pun pulang menelusuri jalur gang kecil agar lebih cepat sampai ke apartemen.

Namun, mendadak Yaya merasa sakit perut.

Eh? Jangan-jangan ....

IoI

Selama ini, Halilintar tidak pernah merasa ia memiliki 'rumah' sejak Tok Aba meninggal. Meski harus melalui pertengkaran hebat, ia cukup puas bisa hidup sendiri sejak SMA. Dengan begitu, mereka semua bisa berganti kontrol dengan leluasa tanpa dilihat siapapun. Tapi apartemennya, cuma sebatas tempat tinggal untuk melepas lelah dan berteduh dari cuaca. Bukan tempat dimana ia ingin pulang.

Sampai Yaya datang.

Perasaan Halilintar soal gadis itu masih rumit. Ia tidak membenci gadis itu, tapi juga tidak menyukainya. Hidup bersama gadis itu satu-satunya pilihan, karena semua saudara kembarnya menyukai gadis itu.

Tapi, masih sulit bagi Halilintar untuk memandang Yaya sebagai seorang istri. Mungkin selama ini, ia merasa Yaya seperti saudara ipar yang sudah menikah dengan saudara-saudara kembarnya.

"Asalamu'aalaikum."

Halilintar terdiam saat melihat kondisi apartemen yang gelap.

Eh?

Ia menyalakan lampu dan melihat jam dinding.

Hari sudah menunjukkan pukul 7 malam. Ia pulang lebih telat dari biasanya karena ada pekerjaan anak buahnya yang kacau sampai ia pun kena imbasnya.

Lalu kemana Yaya?

Halilintar agak sebal dengan dirinya sendiri karena merasa tidak nyaman tidak mendapat sambutan dari gadis itu. Ia selalu memperhatikan gadis itu menyambut hangat Gempa (dan Air sekali waktu) setelah pulang kerja. Mungkin, perlahan, ia pun mulai terbiasa mengetahui ada seseorang yang menantinya di rumah.

Dan saat orang itu tidak ada ....

Halilintar menahan diri untuk tidak menampar dirinya sendiri.

Belum ada 2 minggu mereka menikah, ia sudah mulai ketergantungan akan kehadiran Yaya, menyedihkan sekali ... sejak kapan ia jadi selemah ini?

Tapi, tetap saja Halilintar tidak bisa menekan rasa khawatirnya.

Yaya selalu ada di rumah sebelum ia pulang, kecuali Boboiboy pulang lebih cepat dari biasanya. Tidak ada telepon juga dari Yaya. Apa sudah terjadi sesuatu?

Halilintar mengeluarkan teleponnya dan menelepon Yaya. Ia mendecak saat ternyata nomornya tidak bisa dihubungi.

"Dia pergi kemana sih?"

Sempat terbesit dalam hati Halilintar, ia tinggal pergi melepaskan kontrol dan biar kembarannya saja yang menangani masalah ini. Tapi, ia bisa menebak bagaimana reaksi mereka. Gempa pasti panik, Taufan pasti akan langsung berlari ke luar apartemen sambil meninggalkan kunci tertinggal di dalam, Api mungkin bahkan akan lupa pakai sepatu dan jatuh sedangkan Air mungkin akan menangis atau malah tidak mau keluar sama sekali.

Halilintar menggelengkan kepalanya.

Ia punya kembaran-kembaran yang bodoh.

Petir mendadak menyambar di luar dan suara hujan lebat memenuhi apartemen.

Halilintar mengernyitkan dahinya. Oh, ia akan mengomeli Yaya habis-habisan setelah ini.

IoI

Yaya tidak pernah merasa ia gadis lemah. Ia memang takut kecoa, tapi biasanya ia gadis yang mandiri. Hanya saja, gadis tetap saja gadis ....

Ia tidak menyangka, ia terserang sakit karena haid sekarang. Memalukan sekali.

Perutnya melilit dan kram menjalar sampai pahanya. Rasanya sangat sakit, sampai Yaya tak bisa berjalan maupun sekerdar berdiri. Jadi, Yaya hanya bisa diam menanti di gang samping gedung yang sepi sementara hari mulai menjadi gelap. Jaraknya tidak begitu jauh dari apartemen tapi ia tidak bisa beranjak sedikit pun.

Sialnya lagi, Yaya tidak membawa obat penghilang rasa sakit yang biasanya ia simpan di dompetnya. Jadi, si gadis tidak bisa berbuat apa-apa, hanya terus berjongkok sambil menanti sakitnya akan reda.

Masalahnya, meski ia ingin menghubungi seseorang, handphone-nya mati karena baterainya habis.

Yaya sempat bertanya-tanya, apa Boboiboy khawatir dengan keadaannya. Namun, sakit perutnya membuat kepalanya susah berpikir.

"Gleeegaaar!"

Yaya melonjak, ia terkejut mendengar petir menyambar tiba-tiba. Kemudian hujan pun turun dan dalam sekejap menjadi deras. Yaya berusaha mencari tempat berteduh namun, gang di samping gedung ini sangat panjang dan tidak ada tempat untuk berteduh. Daripada memaksakan diri berjalan dan kemudian pingsan, Yaya tidak punya pilihan lain selain tetap di tempat.

Hujan yang dingin membuat rasa sakitnya berkurang, tapi Yaya jadi kedinginan.

Ia tidak tahu sampai kapan harus begini, biasanya sakit perutnya akan reda sekitar 3-4 jam. Tapi ... yang benar saja ia harus berada di bawah hujan selama itu.

Yaya merasa ingin menangis, separuh karena sakit perutnya makin menjadi-jadi dan separuhnya karena emosinya labil.

Rasanya seperti perutnya sedang diperas, ditambah ia kedinginan dan basah, kemudian karena emosinya labil, ia merasa sangat sedih dan kesepian.

Setidaknya, ia tidak akan mati karena semua ini, tapi tetap saja ....

"Yaya!?"

Yaya mendongakkan kepalanya dan melihat Boboiboy ternyata datang menghampirinya, basah kuyup meski memakai payung. Saat semakin dekat, Yaya bisa melihat wajahnya yang tampak murka, membuatnya menebak dengan mudah, itu pasti Halilintar.

"Kamu kemana aja!? Udah gila ya duduk di sini hujan-hujan, malem-malem begini!?"

Omelan dengan nada tinggi itu menyatu dengan suara hujan dan petir yang menyambar. Yaya menahan tangis, tidak kah Halilintar kasihan melihatnya seperti ini? Bukannya bersimpati, malah diomeli.

Selang beberapa waktu Yaya tidak menjawab, tampaknya Halilntar sadar kalau Yaya sedang kesakitan.

"Kamu kenapa?" ia berjongkok di depan Yaya dan memayunginya. Agak percuma karena Yaya sudah basah kuyup begitu pula dirinya.

Mungkin, bila sedang tidak kesakitan, Yaya akan bisa melihat wajah khawatir yang langka dari Halilintar, tapi karena perutnya seperti sedang ditonjok ratusan kali oleh petinju profesional. Otot pahanya kram dan kepalanya berkunang-kunang.

Sakit saat haid memang dialami hampir separuh wanita di dunia dan sayangnya, tidak ada obat yang bisa mengobatinya. Paling hanya diberi pil KB untuk mengatur hormon atau obat penghilang rasa sakit. Jadi, mau tak mau Yaya harus menghadapi ini tiap bulan.

Dan sekarang ia tidak tahu cara menjelaskannya pada Halilintar. Tentu saja, ini agak memalukan. Tapi, perut Yaya yang sakit membuatnya lebih mudah melupakan urat malunya.

"Aku sakit perut ... datang bulan ...."

Kalau tidak sedang kehujanan dan kesakitan, mungkin Yaya akan menertawakan wajah bingung Halilintar. Tapi itu hanya berlangsung sesaat sebelum akhirnya ia terlihat paham.

"Sesakit itu sampai kamu nggak bisa pulang?" tanya Halilintar, kali ini nada bicaranya tidak terdengar sinis ataupun sarkartis.

Yaya mengangguk, bagaimana cara ia memeluk lututnya dan tangannya terus memijat perutnya, sudah jelas kan ia sedang kesakitan?

"Nggak bisa jalan?" tanya Halilintar lagi. Yaya mengangguk, jangan kan berjalan, berdiri saja tampaknya ia tidak bisa.

Halilintar mendengus, kemudian berputar memunggungi Yaya. Ia berjongkok di depan Yaya.

"Ayo naik."

"Eh?" Yaya agak bingung.

"Kamu nggak bisa jalan kan? Mobil juga nggak bisa masuk ke gang ini dan aku juga nggak punya motor."

Jadi kesimpulannya adalah Halilintar tidak punya pilihan lain selain menggendong Yaya sampai rumah.

Yaya sebenarnya merasa sungkan, tapi memang rasa sakit membuatnya lupa akan segalanya. Yang ia inginkan sekarang hanyalah berada di tempat yang nyaman sampai rasa sakit di perutnya pergi. Jadi, ia segera naik ke punggung Halilintar dan suaminya itu berdiri dengan hati-hati.

"Payung ...," gumam Yaya, payung mereka terlupakan di tanah.

"Biarin aja," balas Halilintar ketus. Jelas mereka tidak begitu membutuhkannya, Halilintar fokus menggendong Yaya dan sang istri terlalu sakit untuk peduli pada payung. Lagipula, mereka sudah terlanjur basah kuyup.

"Pegangan yang kuat," kata Halilintar. Yaya mengangguk, mengencangkan pegangannya.

IoI

Yang Yaya sadari selanjutnya, ia sudah sampai di apartemen. Lantai basah karena mereka berdua basah, namun Yaya hanya fokus ingin berbaring di tempat tidurnya. Meski separuh logikanya berseru ia tidak bisa berbaring dalam keadaan basah kuyup seperti itu.

Namun, Halilintar sudah membawa Yaya ke kamarnya, sang istri segera bergelung di lantai. Kemudian, tak lama Halilintar muncul lagi dan membawa sebuah handuk.

"Kamu butuh obat?" tanya Halilintar. Yaya mengeringkan tubuhnya dengan asal, yang penting cukup kering, meski bajunya sangat basah seperti baru dicuci.

"Obat penghilang rasa sakit ...," gumam Yaya. Halilintar segera menghilang lagi. Yaya memanfaatkan kesempatan itu untuk merangkak ke lemari dan mengambil baju ganti. Susah payah ia ganti baju dan akhirnya lega bisa membaringkan diri di tempat tidur. Tak lupa ia pakai pembalut sebelumnya.

Yaya meringkuk menahan sakit dalam hati ia terus berdoa agar rasa sakitnya segera pergi. Meski mengalami rasa sakit ini hampir tiap bulan, tetap saja Yaya masih kesakitan. Padahal ia tahan dengan suntik, jatuh, luka sobek, dan semacamnya, tapi untuk yang satu ini hanya mampu membuatnya bertekuk lutut.

Halilintar kembali lagi ke kamarnya, membawa segelas air dan obat.

"Ini diminum."

Yaya melihatnya masih belum berganti baju, tapi sudah cukup kering dengan handuk menggantung di pundaknya.

Sang istri menurut, meraih obat dan segera meminumnya. Minum obat penghilang rasa sakit tanpa makan dulu? Yaya merasa lebih baik ia sakit perut karena iritasi lambung daripada nyeri haid.

Halilintar menghilang lagi dari kamarnya sementara Yaya terus meringkuk di tempat tidurnya.

Karena ia sudah berbaring di tempat tidur, ada di tempat tidur yang nyaman, sudah kering dan lebih hangat, juga tak lupa ia sudah minum obat, Yaya merasa jauh lebih baik. Perutnya masih melilit seperti diperas, tapi ia bisa berpikir lebih jernih.

Ia baru sadar, Halilintar tadi masih memakai baju kantornya. Hanya tanpa dasi dan jas. Tampaknya, setelah pulang kerja, ia langsung pergi mencari Yaya. Dan hebatnya, ia bisa menemukan Yaya.

Bagaimana ia bisa tahu Yaya ada di gang itu?

Lalu, Halilintar juga menggendong Yaya, di mana Yaya samar-samar ingat bagaimana satpam dan pengawas apartemen agak panik melihat kondisi mereka berdua. Tapi, Halilintar segera menepis mereka dan berlalu.

Lalu, ia memberi Yaya handuk, obat dan air minum. Untuk Yaya yang selama ini terus mendapat perlakuan dingin dari Halilintar (meski tentu ia sadar, Halilintar memang orangnya seperti itu) rasanya ia jadi agak senang.

Setidaknya, Halilintar peduli padanya. Cukup peduli dan mau mengurusnya yang sedang sakit.

Yaya melihat Halilintar kembali ke kamarnya. Kali ini, sudah berganti baju dan tampaknya baru selesai mandi.

"Terima kasih ya ...," gumam Yaya, berusaha tersenyum sambil meringis kesakitan.

Halilintar mendengkus. "Lain kali hati-hati, bikin susah aja."

Khas Halilintar. Namun, Yaya tidak peduli. Sekarang ia mulai sadar, ia tidak perlu mendengarkan perkataan ketus Halilintar. Perbuatannya 'bicara' lebih banyak.

"Kamu butuh sesuatu lagi?" tanya Halilintar lagi. Yaya menggeleng, ia sudah cukup nyaman dan hanya perlu menanti rasa sakitnya hilang. Apalagi, obatnya sudah mulai bekerja.

Halilintar mendengkus lagi dan pergi ke luar kamar. Yaya sedikit kecewa, sejujurnya ia ingin ditemani. Tapi, ia sadar kalau itu adalah keinginan bodoh. Dasar hormon labil sialan!

Namun, Halilintar kembali lagi ke kamarnya kali ini dengan sebuah laptop. Karena di kamar Yaya tak ada meja kerja (adanya meja rias), Halilintar duduk di lantai tak jauh dari tempat tidur dan membuka laptopnya.

Yaya sebenarnya ingin bertanya, untuk apa ia ada di sini, tapi mengurungkan niatnya. Ia merasa, kalau ia bertanya, Halilintar akan pergi. Lagipula, seperti yang ia bilang tadi, perbuatan Halilintar 'bicara' lebih banyak.

Jelas, ia sekarang sedang menemani Yaya.

Yaya tersenyum kecil, sementara Halilintar fokus dengan laptopnya. Entah apa yang ia lakukan, tapi dari jemari tangannya yang menari di keyboard dengan cepat, tampaknya sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan.

Menit demi menit berlalu, Yaya hanya fokus berusaha menahan rasa sakitnya, sebisa mungkin tidak merintih ataupun meringis kesakitan, sementara Halilintar tak bicara apapun hanya fokus dengan laptopnya.

Tapi, jujur saja, seperti itu pun Yaya sudah merasa senang. Karena, dari semua kembaran suaminya, ia tahu Halilintar yang paling payah dalam hubungan sosial. Jadi, Halilintar ada di kamarnya dalam jangka waktu lama, atas keinginannya sendiri, itu sudah menunjukkan bagaimana Halilintar sebenarnya peduli pada Yaya.

Akhirnya, penderitaan berakhir saat rasa sakit perut Yaya perlahan menghilang. Ia masih agak pusing tapi setidaknya ia tidak kesakitan lagi.

"Halilintar ... aku udah sembuh, nggak apa-apa ...."

Halilintar beralih dari laptopnya dan memandang Yaya dengan tajam.

"Hm."

"Makasih ya."

"Sekali aja cukup," tegurnya. Yaya berusaha menahan senyum.

"Kalau udah sembuh, kamu mandi dulu sana. Nanti masuk angin," tambah Halilintar. Yaya baru sadar, meski ia sudah kering, tapi ia kehujanan tadi.

Ia segera bangkit dan berdiri namun sempat oleng karena kepalanya masih pusing. Namun, sebelum jatuh, Halilintar sudah menangkap tubuhnya.

Yaya agak terkejut, bisa dibilang, ini pertama kalinya ia sedekat itu dengan Halilintar, kecuali saat bangun tidur.

"Lupakan yang tadi, mendingan kamu langsung tidur aja," kata Halilintar dengan dahi mengernyit.

Yaya mengangguk dan tersenyum tipis pada Halilintar. Sang gadis dibantu untuk berbaring ke tempat tidur dan Halilintar menarik selimut untuk menyelimutinya.

"Tidur," katanya seperti sebuah perintah. Yaya mengangguk sambil tersenyum padanya.

Sebelum ia bisa mengucapkan sesuatu, Halilintar sudah menggeleng.

"Udah kubilang, 'terima kasih'nya sekali aja."

Yaya hanya terkikik kecil dan Halilintar mendengus.

"Aku senang ...," gumam Yaya. Halilintar terlihat bingung.

"Ternyata, kamu memang nggak benci aku," lanjut Yaya. Halilintar mengerjapkan mata kemudian mendengus.

"Aku memang nggak pandai berhadapan dengan orang dari dulu," itu adalah sebuah jawaban. Yaya memang sudah tahu Halilintar susah bersosialisasi, tapi itu adalah sebuah pengakuan.

Yaya mengangguk. Ia paham. Dan Halilintar menatapnya tajam.

"Lain kali, jangan bikin yang lain khawatir lagi."

Entah kenapa terdengar di telinga Yaya 'jangan bikin aku khawatir juga'.

Dan Halilintar pun keluar dari kamarnya. Yaya menyamankan diri di tempat tidurnya. Meski ia selalu benci hari pertama ia dapat haid, tapi ternyata hari ini menjadi hari yang agak spesial.

Rasanya, ia sudah berteman dengan Halilintar sekarang. Dan Yaya terlelap dengan mudah.

Eh? Kayaknya tadi ada yang terlupa? Oh ya, belanjaan! Namun Yaya hanya mendengkus, oh sudahlah lupakan saja ....

IoI

Halilintar mendengkus di luar kamar Yaya, ia ingin menampar dirinya sendiri.

Entah kenapa rasanya makin sulit ... makin sulit untuk menolak kehadiran Yaya dalam hidupnya... sejak kapan ia jadi selemah ini?

Halilintar menggelengkan kepalanya, dalam hati meski tak mau mengakuinya, ia paham kenapa semua kembarannya mulai jatuh hati pada Yaya. Kebaikan gadis itu, kejujurannya, kepolosan, kesederhanaannya, kasihnya, sampai kelemahannya yang membuat Halilintar ingin melindunginya ...

Sial, bagaimana sih Tok Aba bisa menemukan gadis itu? Halilintar merutuk dalam hati.

TBC
———————————————


Aku bikin chapter ini spontan karena hubungan Halilintar dan Yaya masih kompleks. Setidaknya dengan ini, hubungan HalixYaya mulai setara dengan yang lain.

Ok, ternyata tepat tebakanku, GempaxYaya emang yang paling sweet. Tapi, yang lain juga sweet sih. Kasian ApixYaya paling sedikit. Hahaha... yah liat ntar lah

Ok, silakan review-nya...

——————————
K O L O M  N U T R I S I
——————————

1. Bagaimana ya reaksi yang lain pas tahu Yaya haid?

2. Bila kamu kedapatan rezeki lebih, hal pertama apa yang akan kamu beli dengan uang itu?

3. Apa pendapatmu terhadap Chapter 7 di Love The Way You Are ini?

***

Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.

***

Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?

Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Love The Way You Are.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top