Chapter 6
Karena chapter kemarin udah rada sedih, jadi chapter ini jadi enteng lagi ... soalnya kalau sedih terus, aku juga nulisnya susah sih ...
Silakan dinikmati
------------
Hidup setiap orang itu berbeda-beda. Bahkan bisa dikatakan bahwa hidup setiap orang itu diandaikan sebagai dunia kecil, yang dibangun atas dasar sentuhan, penglihatan, pendengaran dan pemikiran seseorang.
Yaya paham sekali hal itu. Karena itu pula yang dialaminya, sejak menikah, ia merasa seperti masuk ke dunia lain. Dunia Yaya yang normal, kecil dan damai tiba-tiba berubah menjadi kacau dan sulit ditebak. Bukan berarti ia tidak menyukainya, namun ia masih membutuhkan waktu untuk beradaptasi.
Awalnya, saat menikah terpaksa, ia ingin menjalani semuanya dengan perlahan. Mengenal Boboiboy, suaminya, mulai dari teman rasa sama sekali tidak buruk. Namun, semuanya berubah saat ia tahu Boboiboy punya kondisi khusus yang jujur saja, membuat Yaya merasa ia menikahi lima orang sekaligus.
Semuanya memulai pola yang berbeda-beda, ia harus mendekati mereka dengan cara yang berbeda-beda pula.
Dan lagi ....
Yaya melihat Gempa yang kelihatannya sudah tertidur di pangkuannya. Selama sang suami menangis, Yaya tidak mengatakan apapun dan tidak berbuat apa-apa. Hanya diam dan menunggu hingga tarikan napasnya menjadi lambat dan teratur.
Dengan hati-hati, Yaya menggeser handuk yang kini sudah dingin dari mata Gempa. Ia melihat kelopak matanya memerah dan agak bengkak, tapi semoga besok sudah hilang.
Sang istri kemudian menarik bantal, ia tidak keberatan Gempa tidur di pangkuannya seperti ini. Tapi sayangnya kakinya mulai kesemutan karena terus diam dan tidak bergerak.
Dengan perlahan, ia memindahkan kepala suaminya itu ke bantal dan untungnya, ia tidak terbangun. Hari sudah sore, Gempa pulang tengah hari tadi. Mungkin, sebaiknya sekarang Yaya menyiapkan makan malam, kalau Gempa bangun ia pasti lapar.
Saat Yaya hendak beranjak dari tempat tidur, sebuah tangan menggapai tangannya.
"Jangan pergi ...."
Yaya menoleh melihat Gempa yang memandangnya dengan tatapan memohon.
"Aku tidak kemana-mana ... cuma mau buat makan malam ...," jelas Yaya, bertanya-tanya apakah ini Gempa atau Api. Namun, ia harus mengingatkan dirinya sendiri kalau Gempa tidak selamanya sempurna. Dan mungkin saja ia bisa manja seperti Api.
"Hm ... itu beli aja ...," tepis suaminya. Menarik Yaya lebih keras sehingga sang istri terjerembab di tempat tidur di samping dirinya.
Yaya merasa tidak punya pilihan lain, apalagi setelah melihat wajah suaminya yang tampak puas ia sudah berbaring di sisinya.
Jadi, ia hanya berusaha menyamankan dirinya. Yah, sekali-kali tidur siang bukan hal yang buruk.
IoI
Saat Boboiboy sedang muram, Yaya baru sadar kalau ia akan memiliki dua sikap.
Pertama jadi manja, atau malah menutup diri sama sekali.
Setelah bangun untuk salat magrib juga makan malam, Gempa berterus terang kalau ia ingin menyendiri dan tak keluar lagi dari dalam kamarnya.
Mungkin, ia terkena mood swing? Yaya sedikit tidak paham, tapi mungkin ini semua karena ia sudah sendiri untuk waktu yang lumayan lama jadi masih kikuk untuk terbuka di depan orang lain.
Dan mungkin, karena keadaannya sedang muram, tak ada kembaran Boboiboy lain yang mau mengambil alih? Entahlah.
Jadi, Yaya hanya bisa tidur sendiri di dalam kamarnya malam itu.
Sepanjang waktu sebelum terlelap ia sibuk memikirkan bagaimana ia harus memberi dukungan pada suaminya. Melihat tangis Gempa hari ini, Yaya merasa ia harus berbuat sesuatu tapi tidak tahu apa.
Dan sayangnya, ia terlelap sebelum menemukan jawabannya.
Rasanya hanya sekejap sebelum Yaya merasa ada sesuatu yang aneh menyentuh bibirnya.
Ia membuka matanya sambil melawan rasa kantuk.
"Bangun putri tidur, udah pagi lho ...."
Refleks Yaya yang pertama adalah langsung mendorong orang yang ada di atas tubuhnya hingga nyusruk dari tempat tidur.
"Taufan?" Yaya baru sadar setelah kesadarannya penuh.
"Aduh ... buset, sekali lagi aku kena pukul dari kamu, bisa dapet piring nih," canda suaminya, tampaknya sama sekali tidak marah, malahan tertawa.
Yaya kemudian meraba bibirnya dan menatapnya dengan tajam. "Kamu cium aku ya!?" seru Yaya agak marah, memeriksa keadaan tubuhnya. Untung semua bajunya masih rapi dan kancingnya tertutup rapat.
"Kan kalau mau ngebangunin putri tidur pakai ciuman dong," goda Taufan. Yaya hanya menggembungkan pipinya.
"Lagian, ini udah subuh lho, kamu nggak bangun-bangun sih, udah kupanggilin dari tadi," tambah Taufan.
Yaya segera melirik ke jam dinding. Ia membelalak melihat sudah pukul 5 lewat. Padahal rasanya ia tidur hanya sekejap tadi.
Ia buru-buru salat subuh, sambil berusaha untuk tidak mendengarkan godaan dari Taufan. Selesai salat subuh, ia melihat Taufan sudah selesai mandi dan rapi memakai jas.
"Kamu mau berangkat kerja sepagi ini?" tanya Yaya kebingungan.
"Yah, soalnya ada acara di perusahaanku. Semacam peringatan ulang tahun kantor gitu. Seharusnya dari kemarin aku ngawasin persiapannya, tapi cuma sempet sebentar sebelum harus pergi ke dokter," jelas Taufan, mengencangkan dasi di lehernya.
Wajah Yaya berubah menjadi khawatir.
"Kalian semua nggak apa-apa?" tanya Yaya hati-hati. Taufan terdiam sebentar kemudian tersenyum lembut pada Yaya.
"Nggak apa-apa, kok. Itu sih udah biasa sebenernya," jelas Taufan.
Yaya masih belum bisa menepis rasa khawatirnya sampai Taufan mengangkat dagunya. "Kan udah dihibur sama kamu kemarin, semuanya seneng banget lho," kata Taufan, mengecup lembut dahi Yaya.
Wajah Yaya jadi memerah. Padahal rasanya kemarin ia tidak melakukan apa-apa.
"Kamu nggak sarapan?" Yaya cepat bertanya saat Taufan kelihatan sudah siap berangkat padahal jam masih menunjukkan pukul 6 kurang.
"Aku sarapan di kantor aja. Oh ya, nanti aku pulang agak sore," kata Taufan lagi, berjalan ke pintu depan dan memakai sepatunya.
Yaya mengangguk mengerti dan diam saat Taufan sudah siap dan berbalik menatapnya.
"Cium aku dong sebelum pergi, di sini," kata Taufan, menyodorkan pipinya.
Yaya sedikit terkejut namun berusaha untuk menahan senyum, ia mengecup pelan pipi Taufan dan suaminya itu tampak puas.
"Ah, ini yang kuimpi-impikan dari dulu," katanya entah maksudnya apa Yaya tidak mengerti.
"Aku berangkat ya, assalamu'alaikum!" serunya.
"Wa'alaikumsalam."
Ah, Yaya lupa salim pada Taufan yang sudah keburu menghilang di balik pintu. Tapi, karena sudah mengecup pipinya, rasanya sama saja ya?
IoI
"Kamu ngapain sih melamun aja dari tadi?"
"Eh, Ibu ..."
Yaya mendesah lega, melihat ibunya yang ternyata menegurnya. Tangan Yaya berhenti memilah bon di kasir. Karena iklan, restoran keluarganya jadi ramai, namun mereka telah menambah jumlah pegawai sehingga kesibukan bisa ditangani dengan baik.
"Nggak ... cuma mikir ...," Yaya ragu bagaimana harus menjelaskannya. Sejak menikah ia belum pernah curhat kepada ibunya masalah Boboiboy. Ia merasa sedikit bersalah karena tidak memberitahukan kondisi khusus suaminya pada ibunya tercinta tersebut, tapi Yaya masih butuh waktu untuk menemukan cara yang tepat untuk menjelaskannya.
"Mikir apa? Masalah suamimu?" tebak ibunya tepat sasaran.
"Eh ... iya ... aku lagi mikir, gimana ya caranya memberi dukungan pada Boboiboy ...," jelas Yaya dengan wajah sedikit pilu, ingat bagaimana kondisi suaminya kemarin tapi hari ini sudah harus kerja lagi.
"Iya ya, suamimu itu kan punya jabatan penting di perusahaan besar gitu, ya. Ibu nggak ngerti sih, tapi pasti berat," celetuk ibunya mengambil kesimpulan sendiri. Yaya tidak membenarkan, tidak juga menyalahkannya.
"Gini Yaya, untuk memberi dukungan pada suamimu, pertama, kamu harus jadi istri yang baik," ibunya mulai memberikan wejangan. Sebagai anak yang baik, Yaya mendengarkannya dengan seksama. Lagipula, ia memang butuh saran atas masalah yang ia hadapi. Paling baik saran dari ibunya sendiri yang sudah punya pengalaman menikah bukan?
"Cara menjadi istri yang baik itu banyak, tapi yang paling penting, kamu harus bisa masak."
Yaya cemberut mendengarnya, namun ibunya melihatnya dengan tegas. "Dengar ya Yaya, mau masakanmu nggak enak, nanti kalau sudah punya anak, tetap aja masakanmu jadi favorit anakmu, Ibu yakin itu."
Yaya berusaha untuk tidak mendengarkan yang satu itu. Anak? Rasanya masih jauh, sejauh kutub utara dari Malaysia.
"Lagian, kan ada pepatah, 'dari perut naik ke hati!', makanya kamu harus bisa masak."
"Dari 'mata turun ke hati', Bu," ralat Yaya.
"Lho, Ibu bener kok. Hati kan ada di bawah perut.
"Iya, sih ...," Yaya mengalah saja.
"Lalu, kamu juga harus berpenampilan yang baik di rumah."
Sekarang Yaya menaikkan satu alisnya. "Dandan sedikit, rambutnya jangan berantakan, yang cantik, yang wangi gitu. Kan kalau suami pulang kerja liat istrinya cantik, jadi ikut seneng juga pastinya."
Yaya mengangguk, saran yang satu itu bisa ia terima.
"Terus, ikutin suami maunya apa. Dia mau dipijitin kah? Atau mau curhat? Ya kamu turutin aja kemauannya. Jangan bertengkar, apalagi habis pulang kerja. Udah capek, masa mau adu mulut? Kasian, 'kan?"
Yaya mangut-mangut. Selama bukan Halilintar mencari gara-gara dengannya, rasanya Yaya tidak akan bertengkar dengan suaminya.
"Dan yang terakhir ...."
IoI
Yaya memang tidak bisa memasak. Karena, saat ia kecil, ia selalu diusir dari dapur restoran keluarganya. Memang sih, kalau ia mencoba membantu pasti jadinya malah kacau. Karena itu, Yaya terbiasa menghindari tempat yang namanya 'dapur'.
Makanya, kemampuannya memasak hampir 'nol'.
Ibunya mengajarkannya memasak sebentar tadi. Hanya memasak sup sayur, lauknya telur goreng. Resep yang sangat sederhana dan Yaya merasa, ia seharusnya bisa.
Tak lupa juga, penampilannya lumayan rapi hari ini. Biasanya di rumah, ia lebih memilih memakai daster atau baju yang santai namun berpenampilan kurang menarik, tak lupa juga rambutnya berantakan.
Awalnya saat menikah dengan Boboiboy ia agak ragu bagaimana harus memakai baju, karena suaminya sendiri selalu rapi meski di rumah. Kaus yang ia kenakan juga selalu kelihatan mahal. Yah, kastanya memang berbeda dengan Yaya ....
Namun, karena selama ini, tak ada satu pun kembaran yang pernah mengkritik penampilan Yaya (minus Taufan yang memintanya untuk tidak memakai kerudung di dalam rumah) Yaya merasa Boboiboy bukan orang yang menilai seseorang dari penampilannya.
Namun, Yaya merasa ibunya ada benarnya juga. Sekali-kali tampil cantik di rumah tidak masalah. Rambut Yaya yang sebahu di sisir rapi dan dijepit. Ia memakai daster paling bagus yang ia miliki, tak lupa juga mandi dan memakai parfum.
Sisanya, tinggal masakan ini saja ....
"Assalamu'alaikum."
Yaya terkejut, ia pikir suaminya akan pulang malam tapi baru pukul setengah 7, Boboiboy sudah pulang?
Sang istri segera berbalik menuju pintu depan.
"Kamu udah pulang ...," Yaya segera salim pada suaminya. Saat ia mendapatkan sebuah pelukan hangat, Yaya langsung tahu siapa yang sedang mengambil kontrol tubuh suaminya.
"Air, tumben ... katanya kamu nggak mau kerja ...," Yaya sedikit agak takjub. Taufan tidak akan memeluknya, pasti akan langsung minta cium. Gempa juga tak seperti itu. Apalagi Halilintar. Api juga... jadi pasti Air.
"Aku ambil kontrol pas pulang," jelas Air. Ia kemudian menyodorkan sesuatu yang membuat mata Yaya membelalak.
"Ini buat kamu."
Yaya menatap sebuah rangkaian bunga mawar merah yang cukup besar. Ia menerimanya dengan canggung. Baru kali ini ia menerima buket bunga sebesar ini. Tak terbayang harganya, harga buket bunga sebatang saja sudah mahal apalagi yang sebesar ini.
"Terima kasih," kata Yaya merasa kikuk. Ia merasa tak enak suaminya membuang-buang uang hanya untuk hal seperti ini. Namun, Yaya tidak protes.
Tapi, Air pasti melihat sesuatu dari ekspresi wajahnya.
"Kamu nggak suka?" tanya Air, seperti biasa, frontal dan lurus.
"Suka kok," jawab Yaya sedikit berbohong. Ia merasa tersanjung, tapi lebih condong merasa sayang jumlah uang yang harus dibuang hanya untuk karangan bunga yang tidak tahan lama seperti ini.
Air sepertinya tidak percaya tapi tidak bertanya lebih jauh.
"Aku salat dulu," katanya. Dan ia pun pergi, sementara Yaya menatap karangan bunga mawar di tangannya.
Sebaiknya, ia taruh di vas bunga sebelum layu.
Yaya pun sibuk memindahkan karangan bunga di tangannya ke vas dengan hati-hati, agar bunga yang sudah dirangkai susah payah tidak berantakan.
"Yaya, kamu nggak cium bau gosong?"
Yaya tersentak dan segera menoleh pada Air.
"Supnya!" seru Yaya. Ia segera berlari ke dapur, melewati Air yang tampak masih lambat merespons. Ia segera mematikan kompor dan membuka tutup panci, tapi tutup panci yang panas membuatnya terkejut dan melepaskannya.
"Ah!"
"Yaya!?"
Yaya menggosok tangannya, matanya menatap supnya yang sudah hangus. Bodohnya ia tadi, harusnya ia mematikan kompor namun malah membiarkannya menyala begitu lama. Tentu saja, air akan kering dan supnya akan hangus.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Air, tampak panik dan menarik tangan Yaya.
"Ah, cuma kena tutup panci sedikit," kilah Yaya, namun ia tahu tangannya terasa sakit dan sudah memerah sekarang.
Air segera menariknya ke baki cuci piring dan menyiram tangannya. Yaya merasa air yang dingin membuat tangannya sedikit lebih baik.
"Aku ada salep luka bakar, tunggu sebentar ya," kata Air, segera menghilang mencari kotak obat. Yaya hanya mendesah dan terus mendinginkan tangannya dengan air.
Payah, padahal ia sudah yakin supnya akan berhasil.
Ia benar-benar harus belajar masak. Tidak mungkin selamanya ia dan Boboiboy bergantung dengan membeli makanan jadi terus. Sebenarnya sih tidak masalah, tapi kan kalau bikin sendiri, gizi dan kebersihannya sudah terjamin.
"Ini, cepat pakai," Yaya melihat Air sudah kembali membawa sebuah salep. Yaya segera mengoleskannya ke tangannya.
"Maaf ya, supnya hangus," kata Yaya dengan muram.
Air tidak mengatakan apapun. Sementara Yaya mendesah melihat tangannya yang sudah tidak sakit, asal tidak digerakkan.
"Aku nggak pernah masak."
Yaya mendongak melihat Air menatap panci yang gosong.
"Tapi, Taufan sama Gempa bisa, tunggu ya."
Dan sebelum ia bisa mengatakan apapun, Air sudah menutup matanya.
Yaya mengerjapkan mata sambil menanti. Ia tahu, Gempa sudah bilang, ia tidak bisa menebak siapa yang akan mengambil alih bila ia melepaskan kontrol.
Jadi, kemungkinannya 2 banding 4, 'kan?
Saat suaminya membuka matanya, Yaya masih menanti.
"Kamu gimana sih? Sayang 'kan tangan yang mulus cantik gini jadi luka ... hati-hati dong."
Entah Yaya harus bersorak atau bersedih karena yang muncul Taufan.
"Biar aku yang masak, kamu duduk aja, ya," kata Taufan. Yaya mengerjapkan mata, merasa kaget kemudian tidak enak.
Tugas istri kan memasak. Suaminya yang pasti sudah lelah karena bekerja seharian sekarang malah mau memasak untuknya. Kenapa jadinya malah kebalik seperti ini?
"Jangan ...," keluh Yaya. Taufan mengernyitkan dahi padanya.
"Kenapa memangnya? Bagus, 'kan? Kamu belum pernah dimasakin sama aku atau Gempa kan? Yah, aku cuma bisa masak yang simpel-simpel aja sih ... tunggu ya."
Taufan menekan bahunya agar Yaya mau duduk di meja makan.
Yaya mendesah, memilih untuk tidak melawan. Ia melihat bagaimana Taufan menggulung kaus lengan panjangnya dan menyiapkan bahan-bahan. "Kamu suka pasta?" tanyanya.
"Suka ...," jawab Yaya. Ia jarang makan pasta, tapi ia cukup suka.
"Kalau gitu, kita makan yang simpel aja ya. Spaghetti napolitan gimana?"
Yaya hanya mengerjapkan mata, belum pernah mendengar nama pasta itu. Jadi, ia hanya bisa mengangguk.
Ia melihat Taufan mengambil spaghetti instan kering, saus tomat, jamur kancing, paprika hijau, sosis dan bubuk cabe. Dengan cekatan ia memasak, membuat Yaya merasa kagum.
"Sebenarnya aku suka spaghetti bolognese, tapi kita nggak ada daging sih. Mungkin kapan-kapan aja ya," celetuk Taufan sambil memasak.
Yaya hanya bisa mengangguk, menatap Taufan yang biasanya hanya bisa menggoda dan mesum, ternyata juga bisa memasak.
Iya ya, kalau diingat, roti panggang buatannya saja enak. Begini, ia bilang ia hanya bisa memasak yang simpel-simpel saja. Bagaimana dengan Gempa?
"Kok kamu bisa masak?" tanya Yaya merasa heran. Ia kan anak orang kaya yang sepertinya punya koki di rumahnya.
"Ah, aku lulus SMA tinggal sendirian. Awalnya sih coba-coba gitu, soalnya bosen kan kalau beli jadi terus. Apalagi Gempa, dia jago banget masaknya. Yah, dia sih apa aja bisa," jelas Taufan.
Yaya mengangguk mengerti. "Apalagi Api juga suka banget sama pasta gitu, suka minta dibikinin macem-macem malem-malem. Yah, khas anak kecil lah. Ups, sorry Api ...," Taufan kemudian tertawa. Yaya menahan senyuman, pasti karena Api juga bisa mendengar ejekan itu jadi seharusnya tidak boleh dibilang secara frontal.
Kelihatannya spaghetti sudah matang, Taufan menuangkannya ke atas dua piring dan menyajikannya di meja makan.
"Kayaknya spaghetti-nya tadi kematengan deh," katanya. Yaya tidak bisa berkomentar, dirinya saja belum tentu bisa memasak sehebat ini.
Bagaimana bila disandingkan dengan Gempa?
"Kalau Gempa masaknya kayak apa?" tanya Yaya.
Taufan menggeser kursi dan duduk di seberang Yaya. "Yah, dia lebih ke masakan Melayu sih. Kalau aku ke barat, tapi bisanya simpel-simpel aja."
Yaya tidak mengerti batasnya 'simpel-simpel aja' itu seperti apa.
"Nah, ayo makan. Berdoa dulu."
Mereka berdua berdoa kemudian menyantap makan malam.
"Tangan kamu nggak apa-apa, 'kan? Mau aku suapin?" goda Taufan. Yaya yang sedang mengunyah segera menggeleng.
"Enak ...," Yaya merasa takjub.
"Ah, spaghetti-nya agak kematengan sih ...," komentar Taufan.
Yaya menyantap makan malam di depannya dengan rasa takjub. Ia kemudian melihat cara makan Taufan, yang ternyata mirip dengan Gempa. Entah kenapa, meski hanya memakai garpu tapi gerakannya sangat anggun seperti memakai table manner.
Taufan memandang Yaya dengan bingung.
"Kenapa? Kagum sama kegantengan aku?"
Yaya hanya memutar matanya dan balik ke makanannya.
"Maaf ya, jadi kamu yang masak ... padahal kan kamu pasti capek ...."
Taufan terdiam, garpu dengan lilitan spaghetti hanya terangkat di udara.
"Kok gitu? Kamu kan udah sering nyiapin makan, nggak masalah dong sekali-kali gantian," balasnya.
Yah, kalau yang dibilang menyiapkan makan itu berupa sereal dan roti panggang hangus, Yaya merasa itu tidak bisa dihitung.
Semakin ia memakan masakan Taufan, semakin Yaya merasa sedih. Padahal, sebagai istri yang baik ia seharusnya bisa memasak. Ia juga mengerti, saat ia pulang sekolah ibunya selalu menyiapkan makanan di rumah. Hanya dengan sepiring nasi hangat saja rasanya sudah senang sekali.
Ia ingin jadi istri yang seperti itu ....
"Yaya?"
Yaya tersentak dan segera menoleh pada Taufan yang sudah menghabiskan makanannya.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Taufan.
Oh bodohnya Yaya, seharusnya ia menjadi istri yang mendukung suaminya, bukannya malah bikin khawatir.
"Nggak apa-apa kok," Yaya buru-buru menyantap makanannya.
Taufan kemudian melirik jam dinding dan mendengus. "Oh sial, udah jam segini."
"Kenapa memangnya?"
"Api mau nonton sesuatu di TV kabel. Biasa, film Tokusatsu gitu, belum ada DVD-nya sih," keluh Taufan. Yaya mengerti kenapa ia merasa kesal, karena ia harus berganti kontrol sekarang.
Taufan menutup matanya, sebelum melirik pada Yaya sebentar.
Saat membuka matanya, Yaya melihat mata itu berubah menjadi bulat dan penuh sinar kekanakan.
"Ah, udah mulai nih. Taufan sialan!" seru Api, segera melesat meninggalkan Yaya di meja makan.
Yaya kemudian membereskan piring dan dapur sebelum menyusul Api. Ia melihat kembaran suaminya itu dengan mata berbinar tengah menonton televisi.
"Ini apa?" tanya Yaya, duduk di sofa, di samping Api.
"Ini? Ini tuh Ksatria Bertopeng! Masa kamu nggak tahu!?" seru Api dengan semangat. Yaya menatap televisi, dimana ada sesosok orang menggunakan kostum yang tengah bertarung dengan ...
"Itu monster?"
"Iya, minggu ini, monsternya bentuk kecoa," terang Api.
Yaya buru-buru bangkit. "Aku ke kamar dulu ya," kata Yaya, segera berlari kecil menuju kamarnya.
Ia tidak mau melihat kecoa raksasa menghantui pikirannya. Yang benar saja ... itu bisa jadi mimpi buruk.
IoI
Yaya membaringkan diri di tempat tidur dengan desahan panjang. Entah kenapa rasanya usahanya hari ini sia-sia saja. Padahal tadi, setidaknya ia berharap Taufan akan sadar akan penampilannya, tapi ternyata ia bahkan pergi, untuk pertama kalinya, tanpa menggoda Yaya dengan mesum.
Memasak gagal. Penampilan juga gagal. Mau menemani Boboiboy, juga gagal.
'Tok, tok.'
Yaya segera bangkit. Memangnya filmnya sudah selesai? Cepat sekali ....
Saat ia membuka pintu, ia bertemu dengan sepasang mata tajam.
"Kamu kenapa sih hari ini?"
"Filmnya udah selesai?" tanya Yaya lebih dulu.
"Cuma setengah jam," jawab Halilintar. Ia dengan kesal menatap Yaya, membuat sang istri bingung. Lho? Apa ia sudah berbuat salah?
"Kamu kenapa sih hari ini? Dikasih bunga mukanya malah asem, dimasakin malah sedih, nonton TV malah kabur," cerocos Halilintar dengan emosi.
Yaya mengerjapkan mata, merasa bingung sendiri.
"Sebelum yang lain sedih dan salah paham, apalagi Gempa mungkin aja udah mikir yang nggak-nggak, kita harus ngelurusin ini dulu," terang Halilintar, memaksa masuk ke kamar Yaya. Sang istri membiarkannya, ia duduk di samping Halilintar di tempat tidur.
"Soal bunga, aku cuma ngerasa nggak enak ... pasti mahal, 'kan?"
"Itu nggak seberapa," tepis Halilintar.
Yaya mendesah. Memang kepekaaan mereka berdua soal uang berbeda.
"Maksudku, harganya kan mahal, tapi layu cuma beberapa hari gitu. 'Kan sayang ... kalau aku sih, lebih milih dikasih bunga yang masih dipot. 'Kan bagus, bisa dipelihara di teras."
Halilintar mengernyit menatapnya dengan pandangan kesal. "Dasar cewek aneh."
Yaya merasa tersinggung, namun menahan diri untuk tidak marah.
"Terus, kenapa malah sedih udah dimasakin gitu?" tanya Halilintar lagi.
"Soalnya... harusnya kan aku yang masak. Kalian kan udah kerja seharian ... pasti capek ... aku jadi nggak enak ...," terang Yaya lagi. Halilintar mendengus keras dan memijit dahinya.
"Terus, kenapa kabur pas nonton TV?"
"Aku nggak suka kecoa..."
Yaya terkejut saat Halilintar mencubit pipinya. Wajahnya tampak kesal dan Yaya mengira, sebenarnya bahkan ia ingin memukulnya sekarang.
"Dasar cewek bego."
Yaya mengelus pipinya yang sudah dilepas Halilintar.
"Nggak sih, semuanya itu bego di sini. Sekarang jelas masalahnya di mana, cih. Bisa-bisanya aku ikut ketarik ke masalah tolol kayak gini ...."
Yaya mengerjapkan mata merasa bingung. Halilintar menutup matanya dan saat dibuka, Yaya bisa melihat sinar mata yang lembut.
"Maaf Yaya, sakit?" tanya Gempa, Yaya segera tersenyum padanya.
"Nggak apa-apa sih. Tapi, Halilintar marah kenapa?"
Gempa terlihat sedikit malu, namun akhirnya menjawab. "Hm ... sejujurnya, hari ini kita semua lagi mencoba mencari cara untuk menjadi suami yang baik."
"Eh?"
Wajah Gempa memerah sedikit. "Yah, karena nggak bisa tanya siapa-siapa. Jadinya, cuma bisa browsing di internet sih. Katanya, jadi suami harus romantis."
Oh, itu menjawab kenapa mereka pulang membawa bunga.
"Terus, membantu pekerjaan istri."
Itu juga menjawab kenapa Taufan masak.
"Terus menghabiskan waktu bersama."
Sebenarnya Api memang ingin nonton, yang ini tidak ada hubungannya.
"Tapi, kayaknya malah gagal ya ...," ujar Gempa tersenyum miris. Yaya buru-buru menggeleng.
"Aku juga lagi coba untuk menjadi istri yang baik. Tapi gagal ...."
Gempa mengerjapkan mata dan wajah Yaya memerah.
"Makanya kamu penampilannya rapi hari ini?"
Yaya mengerjapkan mata, lho? Gempa sadar?
"Kamu tahu? Makanya tadi pas Taufan muncul, dia sibuk masak sama ngoceh terus, 'kan? Kalau nggak gitu, dia mungkin udah nyerang kamu. Kamu wangi sih, sampe sini juga kecium. Makanya dia jadi mati-matian nahan diri gitu."
Yaya mengerjapkan mata lagi kemudian wajahnya memerah seperti tomat kemudian Gempa tertawa kecil.
"Kamu nggak usah nyoba untuk menjadi istri yang baik kok."
Gempa memandangnya dengan lembut.
"Kamu ada di sini, itu aja udah cukup."
Yaya tidak tahu harus mengatakan apa, jadi ia hanya bisa mengangguk kecil. Gempa membelai lembut pipinya dan mendekatkan wajahnya.
"Uhm ... aku boleh cium kamu?"
Yaya hampir tertawa mendengarnya. Berbeda sekali dengan Taufan yang asal main cium saja.
"Boleh ...," jawab Yaya.
Kemudian Gempa mengecup bibirnya lembut. Tidak terlalu lama sebelum ia mundur dan tersenyum pada Yaya. Sang istri hanya bisa tersenyum dengan wajah merona, sementara hatinya berdegup kencang.
"Oh ya, Api minta tidur bareng sama kamu malam ini. Dia marah karena aku yang monopoli kamu terus dari kemarin," kata Gempa mengacaukan suasana.
Yaya hanya tertawa kecil mendengarnya.
IoI
"Misi, Mbak. Ada kiriman."
"Oh ya, silakan."
Yaya memandang sang pengirim paket memasukkan sebuah pot bunga mawar ke dalam rumahnya, ia terkejut melihatnya dan dengan segera tersenyum hangat. Dasar Boboiboy.
Namun, senyumannya berhenti saat sang pengirim datang lagi dan lagi dan lagi sampai sekarang terdapat sekitar 20 pot bunga berbagai macam jenis di depan pintu.
"Terima kasih Mbak, saya permisi dulu."
Saking terkejutnya, Yaya hanya bisa mengangguk.
Yaya ingin menampar dirinya sendiri. Ia merasa senang, tapi juga merasa bodoh sekarang. Tidak mungkin terasnya yang kecil muat dengan semua pot bunga ini. Ia kemudian mengutuk soal kepekaan suaminya terhadap uang. Atau lebih tepatnya, tidak adanya kepekaan soal uang.
Atau sebenarnya, ini memang salahnya. Mungkin seharusnya ia dengan jelas menyebutkan jumlah pot tanaman untuk menghias teras.
Sekarang, ia harus apakan semua pot bunga ini?
TBC
------------
Bagian Api dan Air sedikit, Taufan dobel, ya sudahlah ... susah sih.
Maaf ya untuk chapter yang sedikit gaje ini ....
Oh ya, sekalian mau tanya. Dari semua pairing yang ada, kalian paling favorit siapa? GempaxYaya, TaufanxYaya, HalixYaya, ApixYaya atau AirxYaya?
Ini cuma pertanyaan iseng yang nggak akan berpengaruh banyak ke jalan cerita kok, tenang aja
Jadi, silakan review-nya ^^
----------
K O L O M N U T R I S I
----------
1. Kenapa Halilintar begitu ketus pada Yaya, ya?
2. Hal seperti apa yang bisa membuat orang tersenyum akibat ulahmu?
3. Apa pendapatmu terhadap Chapter 6 di Love The Way You Are ini?
***
Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.
***
Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?
Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Love The Way You Are.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top