Chapter 4
Ini chapter 4, silakan dinikmati
------------
Sedikit namun pasti, Yaya mulai terbiasa dengan kehidupan pernikahannya. Ia mulai sadar bahwa Boboiboy adalah suaminya dan dirinya adalah istrinya. Dan akhirnya ia tahu, bagaimana Boboiboy selama ini berjuang untuk hidup di bawah pandangan aneh orang-orang dan penolakan dari keluarganya sendiri.
Jadi, Yaya sudah bertekad untuk memberinya dukungan.
"Baru bangun jam segini? Dasar kebo!"
Seandainya saja, kembaran suaminya yang satu ini lebih mudah untuk diajak damai.
"Memangnya kenapa?" Yaya menggerutu. Ia tertidur setelah salat subuh dan baru bangun jam 6 lewat. Ini kan hari Sabtu, weekend! Boboiboy saja libur dari perkerjaannya.
"Buruan ganti baju, kita keluar sekarang," perintah Halilintar dengan tegas.
Yaya mengerjap bingung. "Lho, memangnya kita mau kemana?" tanyanya.
Ia memandang Halilintar yang sudah mengenakan kaus ditambah jaket dan juga celana training.
"Kita olahraga ke luar," jawab Halilintar.
Yaya masih kebingungan. Namun, ia memutuskan untuk menurut saja, jadi ia kembali masuk ke dalam kamar, memakai kaus lengan panjang, kerudung langsung pakai dan celana training.
"Kenapa tiba-tiba banget?" tanya Yaya. Halilintar tengah memakai sepatu tali.
"Semuanya sepakat untuk menghabiskan waktu seharian ini sama kamu dan aku kena jatah pertama, ayo buruan," kata Halilintar lagi.
Yaya memakai sepatu miliknya sambil kebingungan.
Menghabiskan waktu seharian dengannya?
Itu artinya, kencan?
IoI
"Jadi ini yang namanya Car Free Day ...," Yaya takjub dengan jalan raya yang biasanya penuh dengan kendaraan bermotor kini penuh dengan orang-orang yang berolahraga. Ia tak menyangka, jalan tepat di depan apartemennya termasuk dalam bagian Car Free Day setiap weekend.
Namun, seakan tidak mendengar perkataannya, Halilintar sudah lari jauh dari sisinya. Yaya berusaha mengejarnya dengan wajah cemberut.
Padahal ia masih deg-degan dengan ciuman semalam, lalu ingat kalau yang menciumnya itu Air.
Tapi, memangnya Halilintar tidak ikut merasakan sesuatu? Apa ia masih tidak terima dengan pernikahan mereka?
"Ha- Boboiboy tunggu!" seru Yaya. Ia tidak terbiasa berlari cepat, sudah lama ia tidak olahraga dan sekarang perutnya terasa sakit karena mencoba untuk mengejar suaminya yang melesat jauh di depannya.
Yaya berhenti berlari dan memegangi perutnya yang terasa kram. Mungkin Halilintar sendiri terpaksa menemaninya karena semua saudara kembarnya sudah sepakat. Memikirkan hal itu, membuat Yaya sedih dan berdiam sendiri di tengah kerumunan banyak orang yang berolahraga.
"Dasar payah."
Ia mendongak dan terkejut melihat Halilintar di depannya. Ia pikir, orang ini sudah melesat meninggalkannya.
Tanpa banyak bicara, Halilintar menarik lengan Yaya dan membawanya ke pinggir jalan di tempat yang lebih sepi.
"Makanya pemanasan dulu yang bener," tegurnya dengan wajah kesal.
"Aku mana tahu, kan kamu yang tiba-tiba langsung lari gitu," omel Yaya balik.
Yaya cemberut memandang orang-orang yang lalu lalang di depannya. Banyak yang berolahraga, ada juga pedagang-pedagang kaki lima yang mencari rezeki, membuka banyak lapak mulai dari makanan hingga pakaian.
Namun, tampaknya dari pada bersenang-senang, Halilintar datang ke sini bertekad untuk olahraga.
"Hali-"
Yaya menoleh dan baru sadar kalau ia sudah ditinggal seorang diri lagi.
Ia mengerjapkan matanya, sama sekali tidak percaya.
Ia kemudian memeluk lututnya sambil cemberut. Dasar laki-laki tidak berperasaan! Ia sama sekali tidak percaya orang itu saudara kembarnya Gempa yang baik hati dan ramah. Taufan saja ia yakin tidak separah ini. Api dan Air juga pastinya tidak akan begitu saja meninggalkannya seperti ini.
Mulut berkerut Yaya berubah menjadi terkesima saat ada sebuah botol air minum dingin disodorkan padanya dan lagi-lagi melihat Halilintar berdiri di depannya.
Ia menerimanya dengan canggung, merasa sedikit bersalah karena sudah berpikiran buruk. Halilintar duduk di sampingnya dan membuka botol minum yang baru ia beli kemudian menengguknya.
Yaya mengikutinya, merasa lebih segar setelah minum air yang dingin.
"Makasih, ya," kata Yaya, baru sadar meski tidak menunjukkannya secara langsung, sebenarnya Halilintar tidak seburuk yang ia kira.
"Hm," Halilintar hanya membalasnya dengan gumaman tanpa arti.
"Aku udah sembuh, ayo lari lagi, tapi jangan cepet-cepet," kata Yaya segera berdiri.
Halilintar memandangnya dengan tatapan ragu tapi tidak berkomentar banyak.
Mereka pun berlari kembali, terlihat sekali kalau wajah Halilintar yang malas sebenarnya ia tidak menikmati lari kecil yang sedang ia lakukan. Namun, karena ia tidak protes, Yaya tidak mengatakan apapun.
Badan mulai berkeringat dan perut Yaya mulai keroncongan karena belum sarapan.
"Ha- Boboiboy?"
Orang itu hilang lagi.
Di tengah kerumunan orang di Car Free Day seperti ini, sepertinya mereka mudah sekali terpisah.
Seseorang menggenggam tangan Yaya, sang gadis sempat panik sebelum sadar kalau suaminya yang menarik tangannya.
"Jangan tersesat," katanya. Yaya mendengkus, memangnya yang menghilang siapa?
"Aku lapar nih, sarapan dulu yuk," bujuk Yaya. Matanya bertemu dengan pedagang kaki lima di pinggir jalan yang banyak dikerumuni orang-orang yang sedang sarapan.
Baru kemudian ia sadar bahwa yang sedang ia ajak ini adalah anak generasi ketiga keluarga kaya raya. Masa' makan di pinggir jalan?
Namun, di luar dugaan, Halilintar menariknya ke sana.
"Eh? Kamu serius mau makan di sini?" tanya Yaya tidak percaya.
"Emang kenapa?" tanya Halilintar balik.
Yaya mengerjapkan mata. Ia pikir orang kaya tidak akan mau makan di pinggir jalan. Tapi mungkin selama ini ia terlalu banyak nonton sinetron sampai beranggapan demikian.
Mereka berdua memilih untuk menyantap bubur untuk sarapan. Yaya memakannya dengan senang hati, sehabis olahraga memang makan apapun jadi terasa enak. Halilintar pun makan tanpa banyak bicara.
"Jadi, maksudmu 'semuanya sepakat untuk menghabiskan waktu seharian denganku' itu apa?" tanya Yaya di sela-sela makan.
Halilintar mengunyah dan menelan makanan di mulutnya sebelum ia menjawab. "Yah, kita kan sudah menikah, tapi belum pernah menghabiskan waktu bersama karena aku terus sibuk kerja," jelas Halilintar.
Yaya segera paham 'aku' di sini, maksudnya 'mereka berlima'.
Sang istri mengangguk paham, selesai dengan sarapannya dan baru sadar kalau sudah ada tiga mangkuk bertumpuk di depan Halilintar. Ternyata makannya banyak juga.
"Sekarang kita mau ngapain?" tanya Yaya.
"Lari lagi," jawab Halilintar dan Yaya memutar matanya.
"Jalan santai aja ya, kan baru makan," bujuk Yaya. Halilintar mendengkus namun tidak protes.
"Wah, ada yang jual soft ice cream!" Yaya bersorak seperti anak kecil saat menemukan penjual es krim tak jauh dari mereka berada. Halilintar di sebelahnya hanya mengernyitkan dahi.
"Pagi-pagi udah mau makan es krim?" tanyanya.
"Nggak apa-apa dong, kan udah sarapan," kilah Yaya sambil tersenyum. Ia berlari kecil menuju si penjual es krim, sementara Halilintar mengikutinya dengan ogah-ogahan.
"Beli satu ya, Mas. Yang vanilla, nggak usah pakai cokelat," pinta Yaya. Ia menoleh pada Halilintar.
"Es kopinya satu," pesan Halilintar.
Mereka berdua segera menerima pesanan mereka dan berjalan menuju taman untuk bersantai.
"Kamu nggak makan es krim?" tanya Yaya, duduk di sebuah bangku dan menjilat es krimnya dengan penuh senyum.
"Nggak suka manis," jawab Halilintar singkat. Yaya mengerjapkan mata, ingat Api yang suka susu hangat, maupun Air yang tidak menolak susu hangat dengan madu.
"Kamu waktu itu makan sereal," kata Yaya.
"Yang dari corn flakes, itu gurih," balas Halilintar. Yaya mengangguk mengerti. Sepertinya meski punya tubuh yang sama, masing-masing kembaran memiliki makanan kesukaan yang berbeda.
"... terima kasih untuk yang kemarin."
Yaya buru-buru menoleh pada Halililintar, takut ia salah dengar. Halilintar tampak menyibukkan diri meminum es kopinya, tidak mau bertemu mata dengannya.
"Maksudmu?" tanya Yaya tidak percaya apa yang baru ia dengar.
"Karena sudah mau percaya pada kami."
Yaya terdiam, kemudian tersenyum kecil pada Halilintar yang entah kenapa seperti berusaha menutupi rasa malunya.
"Jadi, kau sudah terima pernikahan kita?" tanya Yaya.
Halilintar mendengkus. "Mau menolak sekalipun, kami semua satu tubuh, sudah sah menikah secara hukum dan agama, mau bagaimana lagi?"
Yaya tersenyum lega dan memakan es krimnya yang entah kenapa rasanya sekarang makin manis. Setidaknya, ia sudah tidak perlu takut lagi dengan Halilintar, meski sikapnya dingin dan ketus, tapi setidaknya ia sudah mau mengakui pernikahan mereka.
"Kenapa kau awalnya menentang?" tanya Yaya sedikit penasaran.
"Air, Api dan Taufan itu terlalu bodoh, mereka cenderung gampang percaya dengan orang lain. Gempa masih membuat jarak aman, apa boleh buat..."
Yaya mengangguk sepaham. Ketiga kembaran yang disebutkan, sejak pertama muncul sudah mau bermanjaan dengan Yaya, Gempa masih menjaga jarak aman namun Halilintar seperti partai oposisi di pemerintahan.
Tapi, setidaknya Halilintar sudah mau mengakuinya sekarang.
"Jadi, kita mulai dari teman?" tanya Yaya.
Halilintar memutar matanya. "Terserah."
Yaya sudah mulai terbiasa dengan sikap ketus itu, jadi ia memakan es krimnya kembali sebelum keburu meleleh. Menikmati rasa manis yang meleleh di mulutnya.
"Enak banget, ya?" tanya Halilintar, entah maksudnya sarkartis atau pertanyaan murni.
"Iya dong, cobain aja sendiri," jawab Yaya.
Tanpa disangka, Halilintar tiba-tiba merunduk dan menjilat es krim yang sedang di makan Yaya. Mata sang istri terbelalak saat ia merasakan lidah Halilintar sedikit menyapu bibirnya. Halilintar kemudian mundur dan wajahnya berkerut tak senang.
"Cih, manis ...."
Yaya masih terpaku di tempat, otaknya seperti berhenti berpikir.
Setelah akhirnya otaknya kembali bekerja, wajahnya merah padam dan segera meraba bibirnya.
"Apaan sih!?" serunya marah untuk menutupi rasa malu dan debaran hebat di dadanya.
"Katanya suruh 'cobain sendiri'," kilah Halilintar.
"Iya, maksudku bukan es krim ku, beli sendiri sana," omel Yaya lagi. Wajahnya masih sangat merah. Halilintar mendengkus di sampingnya dan lanjut meminum es kopi miliknya. Seakan yang ia perbuat itu hal yang normal dan wajar.
Yaya merutuk dalam hati karena hanya ia sendiri yang jadi salah tingkah. Ia menghabiskan es krim miliknya dengan perasaan kalut, malu dan juga jantungnya berdegup kencang bagai derap kuda yang sedang berlari.
IoI
"Cepet mandi, terus ganti baju, habis ini kita keluar."
Yaya masuk ke dalam kamar dengan perasaan tidak karuan. Jadi, ia memutuskan untuk menurut saja dan mandi untuk membasuh badannya yang penuh keringat. Jam menunjukkan pukul 9 kurang saat ia keluar kamar mandi dan segera berganti baju.
Yaya tidak tahu mereka akan pergi kemana, ia harus pakai baju formal atau casual, jadi ia memilih baju semi formal yang masih enak untuk bergerak bebas. Atasan berwarna merah dengan celana jeans warna coklat muda. Ia kemudian memakai kerudung warna pink dan memakai make up tipis.
Saat keluar, tiba-tiba badannya disergap dan sebelum sadar sudah ada yang mencium bibirnya.
Yaya berusaha memberontak, sebelum sadar kalau yang sedang menciumnya adalah suaminya. Ciuman yang sangat dalam dan penuh hasrat, belum lagi ia dipeluk sangat erat.
Namun, benaknya masih panik, jadi ia berusaha mendorong dan melepaskan diri. Sebelum akhirnya si pelaku mau melepaskannya.
Yaya segera mundur dan mendelik marah, namun terkejut karena si pelaku tampak lebih kesal darinya.
"Kamu nggak mau ciuman sama aku? Kalau sama Air mau?"
Yaya mengerjapkan mata, mencoba untuk mengenali siapa yang megambil alih. Tidak sulit, karena ia tahu yang melakukan hal semacam ini cuma Taufan saja. Ciuman tadi terlalu dalam dan penuh nafsu dibandingan ciuman manis dan sekejap dari Air.
"Waktu itu aku kan kaget, kamu juga ngapain sih langsung cium gitu?" omel Yaya, meski wajahnya merah padam. Sekarang lipstik di bibirnya jadi berantakan, sebagian lipstiknya ada di bibir Taufan.
"Yah, pokoknya aku nggak mau keduluan lagi. Apalagi sama yang lain," balas Taufan enteng, tampaknya sudah puas dan tidak kesal, ia menghapus lipstik Yaya dari bibirnya.
Yaya mencoba untuk memarahinya, namun batal karena jantungnya berdebar terlalu keras dan ia terlalu malu untuk marah. Kalau boleh ia jujur, ciuman tadi tidak buruk, hanya saja ia terlalu panik untuk menikmatinya.
"Ok, udah jam segini, pergi yuk," kata Taufan, tanpa aba-aba, menarik tangan Yaya.
"Eh, kita mau kemana?"
"Lihat aja deh pokoknya."
IoI
"Ta- Boboiboy, mall 'kan baru bukan jam 10 atau 11 kan?" tanya Yaya, sekarang masih baru pukul 9 lewat.
Taufan tersenyum padanya, mereka berdua turun dari mobil dan memasuki kawasan mall yang masih sangat sepi.
"Tenang aja ...," jawab Taufan.
Mereka menuju ke depan pintu mall, dimana sang satpam segera memberikan hormat pada Taufan dan membukakan pintu untuk mereka berdua. Yaya menatapnya kebingungan, namun Taufan yang sedari tadi menggandeng tangannya menariknya masuk.
"Jangan-jangan mall ini punyamu?" tanya Yaya tidak percaya. Suasana mall sangat sepi, semua toko masih tutup, hanya banyak pegawai yang sedang bersiap-siap membuka toko.
"Tentu saja tidak," jawab Taufan. Yaya merasa sedikit lega, entah kenapa ia sedikit terintimidasi dengan kekayaan suaminya ini.
"Tapi lebih dari setengah saham mall ini memang dipegang olehku, jadi aku bisa berbuat semaunya," tukas Taufan membuat Yaya menganga.
Ia harusnya sudah menduga ini sebelumnya.
Mereka berjalan menyusuri mall. Jujur, Yaya jarang ke mall yang mewah seperti ini, mall di mana hanya didatangi oleh orang kaya. Dimana mungkin satu potong pakaian yang dijual di sini harganya setara dengan perhiasan mahal.
Namun, matanya membelalak dan mulutnya terbuka lebar saat melihat kemana Taufan membawa mereka.
"Kita... ke game center?" tanya Yaya, tidak percaya Taufan membawanya ke tempat favorit anak-anak di mall selain toko mainan.
"Jujur, tadinya aku berniat membawamu ke taman bermain, tapi kalau cuma tiga jam, mana puas," kata Taufan, menarik Yaya masuk. Berbeda dengan toko lain, game center ini tampaknya sudah buka dan sudah siap, membuat Yaya bertanya-tanya apa ini sudah disiapkan Taufan sebelumnya.
Semua pegawai toko game center memberi hormat pada Taufan dan Yaya berusaha untuk mempedulikannya.
"Tiga jam? Kenapa tiga jam?" tanya Yaya.
"Ya, supaya semuanya kebagian menghabiskan waktu denganmu, jadi masing-masing dari kami dapat tiga jam, supaya adil," kata Taufan, mengeluarkan dompet dan menarik sebuah kartu.
Mereka berada di depan sebuah mesin game Dance Dance Revolution. Taufan menggesekkan kartu di sana dan naik ke mesin game tersebut.
"Ayo, kita bisa main sepuasnya di sini sebelum ramai sama anak-anak," katanya. Yaya mengernyit tidak yakin. Ia melihat Taufan yang memakai pakaian semi formal sama dengannya, kaus putih dengan jaket dengan hoodie warna hitam tapi entah kenapa mirip dengan bahan blazer ditambah dengan celana jeans warna biru gelap.
Bukan pakaian yang biasa dipakai orang yang akan main di game center.
"Aku nonton saja," kata Yaya, karena ia sendiri pakai sepatu yang ada haknya.
Taufan mengernyit dan akhirnya memilih untuk bermain sendiri.
Musik berdentum keras dan suaminya itu mengikuti setiap langkah yang ada di layar. Yaya hanya bisa membelalak bagaimana kompleks dan rumitnya setiap langkah namun Taufan bisa melakukan semuanya dengan baik.
"Ini namanya double trick, pakai tangan dan kaki sekaligus," jelas Taufan saat sudah selesai tanpa satupun keringat menetes.
"Ayo main, pakai couple mode," kata Taufan, mengulurkan tangannya.
"Eh, aku nggak bisa ...," tolak Yaya.
"Nggak apa-apa, kita main yang level yang gampang aja, sepatunya dicopot juga nggak apa-apa," bujuk Taufan.
Akhirnya Yaya menurut dan menyambut uluran tangan Taufan.
Musik dimulai dan terlihat sekali kalau Yaya canggung melangkah. Sepanjang waktu Taufan memberinya arahan diselingi tawa. Pada akhirnya, Yaya memutuskan untuk cuek dan menikmati saja permainan yang ada.
"Hasilmu jelek banget, tapi buat pemula lumayan sih," kata Taufan. Yaya cemberut padanya, namun merasa senang.
"Main yang lain yuk," katanya. Taufan tersenyum padanya.
"Ayo."
Dan mereka pun mencoba hampir semua game yang ada. Suasana sepi dan mereka bisa main sepuasnya, terlebih Yaya curiga kartu yang dimiliki Taufan punya saldo tidak terbatas jadi mereka bebas bermain sepuasnya.
Mulai dari bermain racing game yang dimana tempat duduknya bisa ikut bergerak, bermain permainan menembak, memukul tikus tanah sampai game memancing pun ada.
"Oh ya, katanya kau waktu itu menggoda klien kerjamu."
Taufan yang sedang bermain game memancing berhenti menarik kail yang ia gunakan.
"Kenapa? Cemburu? Itu sebelum menikah denganmu ...," katanya. Wajah Yaya memerah sedikit.
"Kau ini menggoda semua cewek yang kau temui, ya?" Yaya ingat bagaimana mereka pertama bertemu di pagi hari. Taufan tertawa mendengarnya.
"Aku suka ngeliat reaksi cewek kalau kugoda, tapi cuma bercanda, kok," katanya sambil tertawa.
Yaya mengangguk paham, kembaran yang satu ini ternyata memang jahil.
"Tapi, kan sekarang aku udah nikah sama kamu, jadi aku cuma bisa godain kamu aja," tambahnya.
"Lagian, aku memang percaya kok sama pilihan Tok Aba dari awal," tambahnya lagi. Mencoba untuk menjelaskan kenapa ia sudah bersikap sangat manja pada Yaya di hari pertama mereka bertemu.
Yaya terkejut sedikit dan wajahnya kembali memerah. Untuk menutupi rasa malunya ia membuang muka dan matanya bertemu dengan sebuah crane game.
"Aku mau yang itu," pinta Yaya, menarik jaket Taufan. Sang suami menoleh melihat berbagai macam crane game yang berjejer. Dimana isinya macam-macam mulai dari snack sampai boneka.
"Aku paling nggak ngerti sama yang satu itu. Kalau mau, aku bisa beliin kamu sesuatu, nggak usah dari situ," kata Taufan.
Yaya menggeleng. "Oh ayolah ... aku belum pernah cobain yang kayak gitu," pintanya.
Taufan akhirnya menurut dan mereka menuju game itu. Game itu adalah game dimana diisi banyak hadiah dengan sebuah capit untuk mengambilnya, namun capitnya sangat kendor dan sulit untuk mendapatkan hadiah itu.
"Kamu mau yang mana?" tanya Taufan.
"Aku mau boneka yang ini," kata Yaya, menunjuk sebuah boneka kelinci warna pink yang ada di sebuah crane game.
"Aku bisa beliin yang seukuran kamu, lho," Taufan mengingatkan. Yaya menggeleng dan bersikeras, jadi Taufan menggesek kartunya ke game itu dan mulai memainkannya.
"Tuh kan, susah ...," keluh Taufan, boneka yang ia hendak ambil ada di pinggir dan sulit sekali untuk mengambilnya.
"Oh ayolah ... sekali lagi ...," pinta Yaya.
Taufan tersenyum padanya. "Ok deh, kalau kamu memang pengen sampai segitunya. Sebagai gamer, aku pertaruhkan harga diriku di sini!" seru Taufan, menggulung lengan jaketnya. Yaya menatapnya, kemudian tertawa karena sikapnya yang berlebihan.
Butuh setidaknya sepuluh kali mencoba sampai akhirnya boneka itu berhasil mereka dapatkan.
"Makasih," Yaya dengan girang mengambil boneka yang keluar dari mesin game itu. Bonekanya kecil hanya seukuran tangan.
"Padahal bisa kubeliin yang lebih gede lho, harganya juga nggak bakal jauh beda," kata Taufan, yang ia maksud adalah saldo yang sudah terpakai untuk mendapatkan boneka kecil itu pasti setara dengan boneka yang lebih besar.
"Maaf ya, tapi aku mau ini ... kan bagus untuk kenang-kenangan kencan pertama kita," kata Yaya, mengaitkan boneka itu ke tasnya. Kesannya sedikit kekanakan, namun ia tak peduli.
Tiba-tiba Taufan menariknya menuju sebuah photo booth, Yaya kebingungan sebelum akhirnya Taufan mendorong ke dinding photo booth tersebut dan mencium lagi bibirnya.
Yaya terkejut, namun mencoba untuk rileks dan membiarkannya. Kali ini, ia bisa merasakan ciuman itu penuh dengan rasa sayang. Sulit baginya untuk menahan diri agar tidak merespons.
Saat akhirnya Taufan mundur, Yaya bisa melihat wajahnya kemerahan.
"Kau ini ... kenapa sih harus manis begini ... bikin susah menahan diri saja ...," katanya, sambil menggosok bibirnya.
Yaya mengerjap kebingungan. Tidak paham apa yang dimaksud dengan manis di sini. Bukannya ia seperti gadis bodoh yang keras kepala akan sebuah boneka murah di sebuah mesin crane game.
Taufan merunduk lagi, namun Yaya mendorongnya.
"Di luar udah mulai ramai ...," kata Yaya dengan wajah merah.
Memang benar, sudah hampir tengah hari dan semakin lama game center semakin ramai dengan anak-anak. Mereka memang tersembunyi di balik photo booth, tapi Yaya tidak akan pernah mau kepergok berciuman di tempat umum dengan suaminya sekalipun.
Taufan berdecak, sedikit mengingatkan Yaya akan Halilintar.
"Uh ... ya udah deh ...," katanya dengan wajah kesal dan tidak puas.
"Aku harus ke kamar mandi ...," kata Yaya, bibirnya pasti merah dan lipstiknya berantakan lagi.
Taufan mengangguk dan akhirnya mereka keluar dari game center. Sebelum Yaya pergi ke kamar mandi, Taufan menariknya.
"Lain kali, kita kencan lagi ya, cuma berdua ... seharian ...."
Yaya mengerjapkan mata dan Taufan beralih ke kamar mandi untuk pria. Yaya mengecek jam tangannya, ah benar sudah jam 12. Sudah tiga jam berlalu ....
Yaya segera mengejar Taufan yang hendak masuk kamar mandi, membuat banyak laki-laki lain yang masuk kamar mandi agak kaget, kemudian mencium pipinya.
Ia tidak mau berpisah dengan Taufan yang merasa kecewa.
Taufan jelas terkejut, Yaya memerah dan tersenyum malu padanya.
"Sampai nanti."
Ia buru-buru pergi ke kamar mandi, karena orang-orang melihat mereka dan Yaya sangat malu, namun ia melirik sekilas Taufan yang tampak nyengir kuda seperti orang bodoh, Yaya tidak menyesal sudah melakukannya.
IoI
Selesai dari kamar mandi ternyata sudah zuhur, akhirnya Yaya memutuskan untuk sekalian salat. Saat keluar, suaminya sudah menanti di luar. Ia sedang mengecek jam tangannya sebelum mendongak dan tersenyum hangat pada Yaya.
"Udah salat?" tanyanya.
Yaya mengangguk segera paham ia sedang menghadapi Gempa.
"Makan siang yuk," katanya. Yaya segera mengikuti langkahnya. Ia memandang tangan Gempa. Halilintar dan Taufan sudah menggenggam tangannya hari ini, meski masing-masing dari mereka punya alasan yang berbeda.
Yaya mengipas wajahnya yang kemerahan dengan tangan, ia masih agak terbawa suasana oleh Taufan tadi.
"Kau mau makan apa?" tanya Gempa padanya.
"Uh, apa aja boleh," jawab Yaya cepat.
Gempa berhenti sebentar dan menarik napas panjang. "Nggak ... gini, aku mau kamu yang milih, terserah kamu mau makan apa aja, di mana aja, selama tempat itu bisa dicapai kurang dari tiga jam."
Itu pertama kalinya Yaya mendengar Gempa menggunakan bahasa non-formal. Dan dari wajahnya dan badannya yang kelihatan agak canggung, Yaya tahu Gempa sudah berusaha. Ia ingat bagaimana perkataan Halilintar, bahwa selama ini Gempa membuat jarak aman dengannya.
Dan sepertinya, jarak aman itu ingin dihapus oleh Gempa sekarang.
"Hm ... kalau begitu ...," Yaya tahu ia ingin makan apa sekarang.
IoI
"Ini ...."
"Iya, di sini ...."
"Kamu yakin?"
"Iya ... di sini enak deh, ayo!" Yaya menarik tangan Gempa masuk ke sebuah restoran masakan Jepang. Untunglah restoran itu ada di dalam mall, jadi tidak butuh waktu lama untuk sampai di sana.
"Di sini pakai sistem buffet, makan sepuasnya!" kata Yaya girang. Gempa hanya mengerjapkan mata, mereka duduk di tempat duduk paling pojok di restoran itu. Suasananya ramai karena jam makan siang.
Pelayan pun datang dan menyalakan hot pot serta panggangan yang ada di meja mereka. Kemudian setelah memesan minuman, Yaya merasa girang sekali, sudah lama ia tidak makan shabu-shabu ataupun yakiniku.
Ia kemudian melihat Gempa yang kelihatan seperti anak hilang, terus kebingungan sepanjang waktu.
"Terus? Kita ngapain?" tanya Gempa.
"Kamu belum pernah ke sini?" tanya Yaya. Gempa menggeleng.
"Aku belum pernah pergi ke restoran sistem buffet kayak gini," jawabnya jujur.
Yaya kemudian segera paham. Buffet adalah sistem pembayaran dimana seseorang membayar satu harga dan bisa makan sepuasnya. Harganya memang cukup mahal, namun untuk ukuran suaminya, mungkin ia tidak melihat dimana untungnya sistem buffet. Wajar, ia kan orang kaya.
"Ayo, kita ambil makanan yang di sana itu, terus kita masak sendiri," kata Yaya, menarik Gempa bangkit dari tempat duduknya.
Yaya sendiri cuma pernah makan sekali di restoran semacam ini. Harganya perorang cukup mahal, normalnya itu bisa untuk dua kali sampai tiga kali harga makan perorang di restoran biasa.
Mereka kembali ke meja mereka, Yaya membawa berbagai macam seafood dan daging untuk yakiniku, sementara Gempa membawa setumpuk sayuran untuk shabu-shabu.
Sambil memasak, Gempa tertawa kecil.
"Kenapa?" tanya Yaya, merasa aneh mendadak Gempa tertawa.
"Nggak ... pas kubilang aku mau kamu milih mau makan dimana aja, kupikir kamu mau makan di restoran mahal ... atau yang belum pernah kamu coba ...," kata Gempa.
Yaya mengerjapkan mata. Rakyat jelata seperti Yaya memang belum pernah makan di restoran berkelas apalagi sampai restoran hotel bintang lima. Ia belum pernah dapat tagihan makan seorang seharga dengan perhiasaan emas. Kalau orang lain diberi kesempatan untuk makan apapun dengan harga tak terbatas, pasti umumnya akan ingin makan makanan mahal.
"Nggak apa-apa, 'kan? Aku suka di sini," jawab Yaya jujur. Ia memakan daging yang sudah dipanggang dengan rasa bahagia. Enak sekali ....
"Makanya tadi Taufan sampai susah menahan diri gitu," kata Gempa, menyendok shabu-shabu yang penuh sayuran, kemudian menyantapnya.
"Kenapa memangnya?" tanya Yaya lagi.
Gempa berhenti makan kemudian matanya jadi sendu sedikit. "Orang-orang biasanya cuma mau dekat dengan kami karena uang ...."
Yaya mengerjapkan mata sementara Gempa melanjutkan makan.
Ia menatap Gempa yang tampak senang dengan sup yang ia makan. Kemudian sadar kalau sedang dipandangi Yaya, kemudian tersenyum hangat padanya.
Selama beberapa hari ini, Yaya baru sadar kalau suaminya tidak pernah membicarakan orang lain. Saat selesai menikah, yang datang hanya keluarganya dan rekan bisnis. Sekarang, Yaya baru sadar kalau seperti Boboiboy tidak memiliki teman. Tidak sepertinya yang punya sahabat, Ying.
Mungkin, selama ini, orang-orang yang ada di sekelilingnya hanya orang yang ingin memanfaatkan kekayaannya. Yaya baru paham, mungkin itu alasan kenapa Halilintar pertama tidak terima pernikahannya dan Gempa menjaga jarak dengannya. Selama ini, tidak ada orang yang dekat dengan mereka bukan karena uang.
Dengan kata lain, tidak ada orang yang menerima mereka apa adanya.
"Uang bukan segalanya, kau tahu ...," kata Yaya, kembali memakan daging panggangnya.
"Yah, tapi uang memang bisa membuat hidup seseorang lebih bahagia," kata Gempa, mengatakan logika orang dewasa.
"Tapi ... aku senang kau percaya pada kami ... makanya, kami sepakat untuk menghabiskan hari ini untuk mengenalmu lebih jauh," tambahnya.
Yaya tersenyum padanya dan Gempa tersenyum balik.
"Kamu kok cuma makan sayur terus. Ini daging juga dimakan dong ...," kata Yaya, menaruh daging panggang di atas mangkok nasi Gempa.
"Oh, iya ...," jawab Gempa, memakan daging panggang dari Yaya.
"Kau nggak suka daging?" tanya Yaya, baru ingat kalau semua kembaran punya kesukaan makanan masing-masing.
"Oh? Bukan ... cuma, yang lain nggak ada suka sayur. Jadi, daripada aku sakit karena kekurangan makan serat, jadi aku kebiasaan makan sayur terus," jawab Gempa dengan senyum miris.
Yaya hampir tertawa mendengarnya.
"Memangnya, yang lain suka makan apa?" tanya Yaya, merasa penasaran.
"Hm ... Halilintar sukanya makan pedas, kalau Taufan dia suka makanan simpel ...."
"Simpel?" Yaya tidak mengerti.
"Iya, yang gampang makannya pakai satu tangan. Kayak sandwich, hamburger, roti, kebab, semacam itu lah."
Yaya mengangguk paham. Tampaknya memang sesuai karena Taufan suka bergerak.
"Api suka junk food dan makanan manis. Kalau Air, dia jarang keluar jadi hampir nggak pernah makan ...," jawab Gempa lagi.
"Kalau kamu?" tanya Yaya, geli sendiri karena Gempa melewati dirinya sendiri.
"Aku ... aku suka semuanya, nggak ada yang kubenci. Cuma kayak yang kubilang tadi, aku kebiasaan makan sayur," jawabnya.
Yaya mengulum senyum simpul. Mungkin, karena yang lain sudah cukup makan makanan berlemak dan karbohidrat tinggi, jadi Gempa merasa punya kewajiban makan sayur lebih banyak.
Kelihatannya, hidup berlima dalam satu tubuh juga repot soal asupan makanannya.
"Tapi masa kamu makan sayur terus sih, kasihan dong ... sekali-kali harus makan yang enak juga," kata Yaya, kembali memberikan daging panggang pada Gempa.
"Iya, sih ...," gumamnya.
"Tenang aja, nanti kalau yang lain makan, kupaksa mereka makan sayur," tambah Yaya. Gempa mengerjapkan mata memandangnya kemudian tertawa kecil.
"Makasih," katanya penuh senyum.
Kelihatan jelas sekali kalau dari semua kembaran, Gempa selalu berusaha menjadi anak baik. Mungkin agak terlalu berusaha sampai melupakan kesenangannya sendiri.
"Di sini juga ada tempura, puding, sampai dessert buah, kamu mau apa? Biar kuambilin," tawar Yaya.
"Uhm ... aku mau buah," jawab Gempa.
Dasar orang yang makan makanan sehat. Namun, Yaya tidak memaksa jadi ia mengambilkan banyak buah-buahan untuk suaminya.
"Makannya yang banyak dong, ini kan buffet. Kalau nggak banyak, rugi," omel Yaya melihat Gempa tampaknya sudah selesai makan.
"Eh, aku udah kenyang ...," katanya.
Yaya cemberut memandangnya. Untuk ukuran laki-laki dewasa, Boboiboy condong memiliki tubuh kurus. Padahal tadi pagi, Halilintar bisa makan bubur sampai tiga mangkuk.
"Nggak, makan lagi, ayo," paksa Yaya.
Gempa hanya mampu tersenyum padanya, namun menurut.
IoI
"Kenyang ...."
"Aku kekenyangan ...," keluh Gempa. Yaya hanya tertawa kecil memandangnya.
"Aku masih muat makan lagi lho," kata Yaya, mengedipkan mata.
"Kamu cewek makannya banyak banget...," meski kesannya seperti hinaan, tapi kalau dari Gempa, itu seperti rasa takjub.
"Biarin aja ... kan nggak bisa gemuk," kilah Yaya.
Gempa terseyum padanya.
"Jadi, kamu masih mau makan lagi?" tanya Gempa.
"Uhm ... nggak usah deh," tolak Yaya, sedikit tidak enak karena Gempa sendiri sudah kekenyangan.
"Terus, kita mau kemana sekarang?" tanya Yaya. Gempa mengangkat bahunya.
"Terserah kamu, kita masih ada satu jam lagi," jawab Gempa.
Akhirnya mereka berdua berjalan-jalan menyusuri mall yang besar.
"Aku boleh pegang tangan kamu?"
Yaya menoleh dan tersenyum pada Gempa.
"Nggak usah izin segala lagi...," goda Yaya. Gempa tersenyum malu padanya. Tangannya akhirnya menggenggam tangan Yaya dan mereka berjalan bergandengan bersama.
Kencan bersama Halilintar, Taufan maupun Gempa masing-masing terasa berbeda. Namun, masing-masing dari mereka punya cara mereka sendiri untuk membuat Yaya merasa berdebar-debar. Sikap ramah dan lembut Gempa, membuat Yaya merasa berbunga-bunga sepanjang waktu.
"Jepitan ini bagus, ya?"
Sebuah jepitan bunga berwarna kuning menangkap perhatian Yaya.
"Mau kubeliin?" tanya Gempa. Yaya sedikit mengerjap malu, namun sadar kalau yang ada di sampingnya ini suaminya. Setidaknya, ia bukan pacar yang matre, 'kan ...?
Gempa menariknya ke sebuah toko penuh pernak-pernik untuk wanita.
"Mungkin agak terlalu kekanakan, ya?" tanya Yaya, memandang jepit di tangannya. Gempa memandang seluruh etalase toko, mungkin baru kali ini masuk ke toko seperti ini.
"Yang ini bagus," katanya, mengambil sebuah bros dari kaca berbentuk bunga mawar warna merah.
"Bagus, aku suka. Tapi, kayaknya mahal deh ...," keluh Yaya sebelum bisa menghentikan dirinya. Gempa tersenyum padanya. Tampak kagum dengan Yaya yang sama sekali tak tertarik dengan kekayaannya.
"Kamu ini ... satu toko ini pun bisa kubeli untuk kamu lho," ia mengingatkan istrinya. Yaya dengan cepat menggeleng dan Gempa tertawa melihatnya.
Ia kemudian menarik Yaya ke kasir. "Beli yang ini, sama yang ini, Mbak," katanya, menaruh bros pilihannya dan jepit pilihan Yaya.
Yaya hanya tersenyum pada Gempa. "Makasih, ya."
"Sama-sama ...."
Mereka berdua keluar dari toko tersebut. "Bisa tolong pasangin?" tanya Yaya, memberikan jepitan bunga pada Gempa, kemudian menunjuk sisi kerudungnya. Gempa tersenyum dan memasang jepitan tersebut dengan hati-hati.
Ia kemudian menggenggam kedua bahu Yaya, kemudian mengecup kening Yaya dengan penuh rasa sayang.
"Terima kasih, ya ... untuk hari ini ...."
Yaya mengangguk, wajahnya merah seperti tomat.
"Jujur sebenarnya aku ingin lebih dari ini. Tapi, sayangnya aku bukan Taufan ...," wajah Gempa memerah sedikit. Wajah Yaya makin merah bila mungkin.
Gempa menarik satu tangan Yaya dan mengecupnya seperti seorang gentleman.
"Mungkin lain kali, ya."
Senyumannya yang hangat dan tatapan matanya yang lembut penuh rasa sayang membuat Yaya seakan ingin meleleh ke pelukannya.
IoI
"Nah, sudah sampai."
Yaya mengerjapkan mata, saat mereka tiba di suatu tempat. Ia memandang Gempa yang tersenyum padanya.
"Sebagai tambahan, Api dilarang untuk menyetir. Dan karena dia pengennya ke sini ... yah, pokoknya, selamat bersenang-senang," jelas Gempa, kemudian ia menutup matanya dan saat dibuka Yaya melihat mata yang bulat dan bersinar seperti anak kecil.
"Yah, udah jam 3 lewat ... ya udah, yuk buruan masuk," kata Api, menarik tangan Yaya.
"Serius? Ini udah sore lho, mau tutup ...," kata Yaya.
Mereka ada di depan kebun binatang. Sudah lama sekali Yaya tidak kemari, mungkin terakhir kali saat SD. Setahunya, kebun binatang seperti ini tutup pukul 5 sore.
"Nggak apa-apa, spesial untuk hari ini, tutupnya jam 6."
Yaya mengerjapkan mata. Kemudian sadar bagaimana dengan uang, orang bisa melakukan banyak hal. Ia mencoba untuk tidak memikirkannya selama Api menariknya untuk masuk ke kebun binatang.
IoI
Setelah salat asar di musala kecil, Yaya dan Api segera berkeliling kebun binatang. Kelihatan sekali kalau Api sangat senang dan sulit untuk mengontrolnya agar mau diam di tempat.
"Ayo Yaya ke sana! Ada singa!" serunya seperti anak kecil hiperaktif.
Yaya hanya mampu tersenyum padanya sepanjang waktu. Daripada kencan, rasanya ia seperti sedang menjaga anak kecil sekarang.
"Singanya cuma dua ...," kata Api, menatap dua ekor singa dari kejauhan.
"Iya, tapi sepasang, tuh. Laki-laki sama perempuan," kata Yaya, sedikit kagum melihat kedua singa yang seperti sepasang suami istri, berbaring berdampingan menatap balik pengunjung.
"Hehehe, kayak kita dong," kata Api polos. Yaya memerah sedikit dan tersenyum padanya.
"Ke sana yuk, ada rumah reptil!" seru Api cepat, Yaya hanya mampu menggelengkan kepalanya. Api benar-benar seperti anak kecil.
IoI
"Api, istirahat sebentar ...."
Kelemahan dari pergi ke kebun binatang adalah harus menyiapkan kaki untuk berjalan-jalan jauh. Masalahnya, Yaya sudah lari tadi pagi, bermain di game center, lalu melihat-lihat mall, kakinya sudah sampai batasnya.
Api terlihat kesal melihatnya, namun Yaya sudah tidak mampu berjalan lagi. Ia duduk di sebuah bangku taman dan melepaskan sepatunya.
"Wah, kakimu merah ...," Api sudah nampak tidak kesal, malah khawatir.
Mungkin seharusnya tadi pagi ia memilih sandal biasa saja daripada sepatu berhak seperti ini. Mana ia tahu ia akan berjalan sejauh ini ....
"Kupijitin, ya."
"Eh?"
Sebelum Yaya bisa merespons, Api sudah berjongkok satu kaki di bawahnya, mengambil satu kakinya dan memijitnya perlahan. Wajah Yaya memerah melihatnya.
Api memijitnya dengan telaten, membuat otot-otot kaki Yaya yang tegang menjadi mengendur dan rasa sakit perlahan menumpul kemudian menghilang. Rasanya masih agak pegal tapi lebih baik dari yang tadi.
"Udah Api, ayo kita jalan lagi ...," kata Yaya. Api mendongak padanya.
"Tapi kamu nggak apa-apa?" tanyanya tampak khawatir.
Yaya mengangguk meyakinkannya. Meski terlihat seperti anak kecil, namun pada poin tertentu ia bukan sepenuhnya anak-anak yang hanya mementingkan dirinya sendiri.
Yaya bangkit dan Api menawarkan tangannya, sang istri tersenyum dan menggenggam tangannya.
Kali ini, Api tidak berlarian ke sana kemari seperti cacing kepanasan. Mereka berjalan berdua lebih pelan, meski Api terus bersorak kegirangan seperti anak kecil.
IoI
"Yang ini kayaknya bagus deh ..."
"Jangan yang itu ...."
Yaya mendengkus, berusaha menghentikan Api membeli suvenir di toko cindera mata kebun binatang. Masalahnya, kebanyakan pilihannya seperti selera anak-anak atau norak. Seperti kaus dengan gambar macan mengaung berwarna merah menyala atau topeng gorila seperti untuk halloween.
Yaya berjalan-jalan sekeliling toko. Kakinya masih sakit tapi ia ingin melihat-lihat.
Ia melihat gantungan kunci berhias burung hantu yang manis.
"Yang ini lucu ...."
Saat Yaya menoleh, Api sudah menghilang entah kemana.
"Eh?" Yaya bingung.
Jangan-jangan sifat hiperaktifnya kumat lagi.
Yaya mencari sekeliling toko namun tak ada sosok Api. Ia segera mencari keluar.
Kemana pergi bocah itu?
"Api!? Api!?"
"Eh, ada kebakaran ya, Mbak?" seru orang-orang di dekatnya. Wajah Yaya langsung memerah karena malu.
"Bukan ... bukan ...," Yaya segera pergi karena malu.
"Boboiboy!" serunya lagi, tahu sekarang tidak bisa menggunakan nama Api untuk dipanggil sambil berteriak, bisa membuat orang-orang salah paham.
Yaya mulai merasa khawatir. Bagaimana kalau Api sampai tersesat? Atau melakukan hal bodoh seperti masuk ke kandang orang utan?
"Yaya?"
Yaya bertubrukan sedikit dengan Api, yang tampaknya masih riang, tersenyum tanpa dosa padanya.
"Kamu kemana aja sih, dari tadi kan aku cariin!" omel Yaya kesal.
"Aku kan tadi udah bilang, aku mau beli minum, kamunya nggak denger ...," kilah Api. Ia menyodorkan sesuatu yang dingin pada Yaya.
"Ini jus stroberi, kamu suka?" tanyanya.
Yaya menerimanya dengan perasaan kesal. "Kamu jangan pergi seenaknya gitu dong, aku kan khawatir."
Api mendengkus padanya. "Aku kan bukan anak kecil."
Yaya memandangnya dengan ragu. Api cemberut padanya. "Enak aja, aku pokoknya bukan anak kecil! Umurku juga udah 25 tahun!"
"Gempa melarangmu nyetir," kilah Yaya, memberikan bukti.
"Iya, gara-gara aku pernah ngerusakin mobil, cuma 2 kali kok."
Yaya menghela napas dan Api tampak kesal. "Pokoknya aku bukan anak kecil!"
Justru dirinya yang berseru seperti itu, kelihatan sekali sifat kanak-kanaknya.
"Iya, iya ...," kata Yaya, menyeruput jus miliknya.
Namun, Api mendadak memeluknya, membuat jus Yaya jatuh karena kaget.
"Aku bukan anak kecil," katanya lagi dengan nada lebih rendah.
Yaya sedikit panik di dalam pelukan Api. "I-iya aku ngerti ...," katanya terbata-bata.
Terjebak di dalam pelukan seorang pemuda dengan badan yang tegap dan dada yang bidang jelas seperti menampar Yaya kalau ia memang bukan berhadapan dengan seorang anak kecil.
"Aku bukan anak kecil, aku juga laki-laki seperti yang lain."
Yaya mengangguk, berusaha agar Api mau melepaskannya. Ia seperti tenggelam dan tidak bisa bernapas dalam pelukannya yang erat.
"Api ... lepasin ...," pinta Yaya yang wajahnya sangat merah. Ia tidak enak orang-orang sudah memandang mereka sekarang.
Api akhirnya melepaskannya.
"Tuh kan, jusku juga jadi tumpah, beli lagi yuk," katanya, seperti sudah berubah lagi jadi anak kecil. Namun, Yaya mengingatkan dirinya sendiri sekuat tenaga.
Api bukan anak kecil. Sama sekali bukan.
IoI
"Aku benci jadi dewasa."
Yaya menoleh pada Api, mereka akhirnya beristirahat lagi sambil meminum jus. Suasana kebun binatang yang sejuk sungguh nyaman, meski matahari sudah hampir terbenam.
"Aku masih mau main ... kayak dulu. Tapi sekarang, harus kerja, yah aku nggak boleh kerja sih," kata Api lagi.
"Taufan nggak pernah main skateboard lagi sekarang, Halilintar juga jadi jarang latihan karate sekarang, Gempa juga jarang masak sekarang."
Yaya mengerjapkan mata mendengarnya. Skateboard? Karate? Ia tahu soal Gempa bisa masak tapi, ia tidak tahu yang lain.
"Soalnya, kata Papa, kita semua bukan anak-anak lagi. Nggak bisa semuanya. Baju ini," Api menarik jaket yang tengah ia kenakan.
"Aku nggak suka baju kayak gini. Aku pengennya pake kaus aja, tapi selalu aja harus semi formal. Pake blazer, cardigan atau apalah itu namanya. Sepatu juga."
Yaya baru sadar kalau sepatu yang suaminya kenakan adalah sepatu kulit warna hitam yang tampak mahal.
"Lebih enak pakai sepatu tali biasa aja ...," keluh Api.
Yaya jadi merasa kasihan padanya. Sepertinya, yang memaksakan diri untuk menjadi anak baik bukan cuma Gempa saja, tapi semuanya sama. Mereka terpaksa melakukan banyak hal yang mereka tidak suka dan mengorbankan sesuatu yang mereka suka.
Namun, mereka punya imej yang harus mereka jaga. Dari cara berpakaian pun tidak bisa sembarangan.
"Tapi ... kadang aku pikir ... jadi dewasa nggak jelek juga sih."
Yaya menaikkan satu alisnya. Api menoleh padanya dan tersenyum manis.
"Kan aku jadi bisa nikah sama kamu."
Wajah Yaya memerah. Api mengatakannya dengan lugas tanpa rasa malu sama sekali khas anak kecil.
"Dari awal, aku juga percaya, pasti perempuan yang dipilih Tok Aba itu baik, nggak kayak cewek-cewek matre dan nyebelin pilihannya Papa sama Mama," jelas Api lagi.
Eh?
"Jadi, kamu pernah dijodohin sebelumnya?" tanya Yaya, ia baru tahu soal ini.
Api mendengkus. "Udah sering banget. Tapi aku nggak suka semuanya. Yang lain juga sama. Apalagi, cewek-cewek itu langsung ilfil gitu kalau aku muncul."
Yaya sebenarnya paham akan hal itu. Karena, ia juga kaget bukan kepalang saat pertama Api muncul. Karena, Gempa dengan Api terlalu kontras perbedaannya.
"Tapi, aku suka banget sama kamu," tandas Api penuh senyum.
Wajah Yaya memerah lagi.
"Soalnya kamu baik banget, terus mau percaya sama kita. Bahkan kamu langsung sadar sama Air, itu hebat banget."
Pujian tulus dan polos dari Api membuat wajah Yaya makin memerah.
Meski, Yaya masih bertanya-tanya. 'Suka' yang dimaksud Api itu 'suka' seperti apa ....
"Makanya, makasih ya..."
Dan Api mengecup pipi Yaya. Sang istri cepat menoleh dan mendapat senyum kekanakan dari Api.
"Kalau sama kamu, aku juga mau coba jadi lebih dewasa lagi ...."
Wajah Yaya memerah saat mencoba membayangkan apa maksud dari perkataan itu.
IoI
Setelah salat magrib di masjid terdekat, Yaya melihat Air sudah menunggunya di luar. Wajahnya yang tampak mengantuk dan tanpa ekspresi mulai dikenali oleh Yaya dengan mudah.
"Kita mau kemana sekarang?" tanya Yaya.
Air hanya menggandeng tangannya kemudian mengajaknya berjalan menyusuri trotoar dimana matahari sudah tenggelam dan langit mulai gelap.
Yaya memilih untuk menikmati keheningan di antara mereka. Tampaknya dari semuanya, memang Air yang paling pendiam.
"Beli jagung bakar yuk," kata Air, menunjuk seorang penjual jagung bakar.
Yaya segera mengangguk, meski sudah makan buffet tadi, ia lapar lagi sekarang.
Mereka membeli dua jagung bakar, namun tidak dimakan di tempat.
"Aku tahu tempat makan yang bagus," kata Air. Yaya mengangguk, memilih untuk menurutinya saja.
"Kamu masih mau makan yang lain?" tanya Air.
Yaya memilih-milih makanan yang dijual banyak pedagang kaki lima di pinggir jalan.
"Roti bakar," kata Yaya, menunjuk penjual roti bakar. Air mengangguk dan mereka pun membeli dua porsi roti bakar yang kemudian dibungkus.
IoI
"Aku nggak tahu ada tempat kayak gini."
Yaya awalnya sangat terkejut saat diajak terus berjalan ke suatu tempat oleh Air, namun ternyata sadar kalau mereka da di sebuah pinggir bukit kecil dengan pemandangan lampu kelap kelip di bawah mereka.
Air duduk di rerumputan, menaruh makanan yang mereka beli dan mengeluarkan jagung bakarnya. Yaya tersenyum padanya dan ikut duduk di sampingnya dan membuka roti bakarnya.
Mereka makan dalam diam sambil menikmati indahnya lampu-lampu perkotaan di malam hari.
"Sayang nggak ada bintang," kata Yaya, memandang langit gelap.
"Bintangnya sih ada, tapi nggak kelihatan," kata Air. Yaya mengangguk, bintang-bintang kalah dengan lampu-lampu terang perkotaan.
"Lain kali kamu bakal kuajak ke bukit bintang."
Yaya menoleh pada Air.
"Bukit bintang?" tanyanya.
"Iya, agak jauh dari sini. Tempatnya bagus, bintang-bintangnya kelihatan banyak," jelas Air. Yaya mengangguk paham.
Mungkin Air tidak membawanya ke sana karena terlalu jauh dan tidak bisa dicapai dalam waktu 3 jam.
"Oh ya, katanya kamu jarang keluar ...," kata Yaya, mencoba memulai obrolan.
Air menatap jauh ke depan. "Ya, aku cuma lebih suka melihat aja. Udah cukup kok."
"Tapi, kamu udah keluar dua hari berturut-turut sekarang," kata Yaya. Ia ingat bagaimana Gempa mengingatkannya tidak perlu khawatir pada Air karena ia jarang sekali keluar.
"Hm ...," Air bergumam, seperti tidak tahu harus menjawab apa.
"Aku ... kadang merasa aku nggak hidup."
Yaya mengerjapkan mata mendengarnya.
"Dalam sehari, kami cuma bisa keluar beberapa jam karena harus terus gantian. Seperti sekarang, aku juga cuma dapat jatah 3 jam bersama kamu."
Air mengenggam tangan Yaya di sebelahnya. Yaya tersenyum padanya dan menggenggam balik.
"Aku selalu berpikir, untuk apa hidup seperti itu? Jadi, aku lebih suka melihat aja," katanya.
Yaya sedikit sedih mendengarnya. Ia tidak pernah membayangkan, bagaimana kalau dalam sehari ia cuma mendapatkan waktu tiga jam untuk keluar dan sisanya ia hanya bisa melihat tanpa bisa melakukan apapun sesuai kehendaknya.
"Tapi, sekarang kan ada kamu."
Air tersenyum manis pada Yaya, membuat wajah Yaya memerah.
"Meski cuma tiga jam, aku mau keluar, asal ada kamu."
Yaya menjadi kikuk dan salah tingkah sendiri.
"Jadi, mulai sekarang, aku bakal lebih sering ketemu kamu, 'kan?" tanya Yaya, berusaha menahan diri agar wajahnya tidak terbakar seperti udang rebus.
Air mengangguk. "Aku nggak mau kalah sama yang lain sekarang."
Yaya merasa kata-kata itu sangat ambigu, jadi ia harus bertanya.
"Maksudnya?"
"Aku juga mau menghabiskan waktu sama kamu, nggak cuma ngeliat aja," jelas Air.
Oh itu maksudnya ....
"Jadi, yang kerja itu, cuma Gempa, Halilintar sama Taufan?" tanya Yaya, ia tahu karena sudah melihat Taufan dan Halilintar berangkat kerja, meski yang pulang kerja selalu Gempa.
Air mengangguk. "Aku nggak suka kerja, bikin ngantuk."
Yaya sekarang paham kemiripan Air dan Api ada di mana.
"Lagian kan, nggak ada kamu."
Yaya sudah tidak tahu harus bereaksi seperti apa menanggapi itu.
"Awalnya aku nggak nyangka bakal nikah gini. Kupikir, itu mustahil."
Yaya menoleh pada Air, kemudian ingat bagaimana Api bercerita mereka sudah dijodohkan dengan banyak orang tapi tampaknya selalu gagal.
"Memangnya, saat kita menikah, perasaan kamu seperti apa?" tanya Yaya. Ia sudah tahu reaksi yang lain saat mereka pertama menikah, tapi ia belum tahu bagaimana dengan Air.
"Hm ... aku nggak mau keluar dan ketemu kamu. Jadi aku ngeliat yang lain ... tapi kamu baik sama Api ... tahan sama Halilintar dan Taufan juga ... jadi aku mau keluar."
Yaya mengangguk paham.
"Tapi, langsung cium gitu?" tanya Yaya merasa sangsi. Air tersenyum padanya.
"Semuanya mulai suka sama kamu."
Yaya mengerjapkan mata.
"Aku bisa tahu. Waktu kamu bilang kamu percaya, semuanya merasa tersentuh, aku juga merasa begitu. Makanya aku cium kamu..."
Yaya memikirkan perkataan itu. Semuanya? Itu bahkan termasuk Halilintar?
Ia memikirkan semua kembaran yang sudah menghabiskan waktu bersamanya hari ini. Kemudian, ia tersenyum pada dirinya sendiri.
Mungkin, hari ini, apa yang mereka semua lakukan adalah sebuah cara untuk menyampaikan terima kasih karena sudah mau percaya pada mereka.
Yaya gemetaran sedikit saat angin berembus. Sayang ia tidak pakai jaket. Kemudian, ia melihat Air menyelimuti jaketnya padanya. Yaya tersenyum hangat padanya.
"Makasih," katanya dan Air tersenyum tipis padanya.
"Maaf ya, di sini dingin," katanya. Yaya menggeleng.
"Nggak apa-apa kok. Aku suka," balas Yaya.
Air bergeser ke sisi Yaya, kemudian menarik kepala Yaya pelan agar mau bersender pada pundaknya. Yaya menurutinya, kemudian lengan Air memeluk pinggang Yaya dari belakang dan kepalanya bersender ke kepala Yaya.
Yaya sedikit takjub, tadinya ia kedinginan sekarang rasanya sangat hangat .
"Kamu masih kedinginan?" tanya Air.
Yaya menggeleng.
"Nggak kok, udah hangat sekarang," jawab Yaya, menyamankan diri di pundak Air.
Mereka berdua kembali diam menikmati keheningan bersama di bawah langit yang gelap.
Perlahan Yaya merasa mengantuk dan mulai tertidur di dalam dekapan hangat Air. Samar-samar ia merasakan ada seseorang yang mencium keningnya, rasa yang sangat familiar jadi Yaya hanya tersenyum dan kemudian terlelap.
TBC
------------
Sorry bagian Air dikit, jujur aku udah kehabisan event (?)
Tapi, chapter ini udah panjaaaang banget.
Ini adalah chapter spesial... chapter depan mungkin update agak lama karena harus cari ide lagi. Kira-kira minggu depan lah ya...
Yosh, silakan review-nya ^^
----------
K O L O M N U T R I S I
----------
1. Manakah scene terfavoritmu di chapter ini?
2. Siapakah yang bisa membuatmu tersenyum dari orang tersayang?
3. Apa pendapatmu terhadap Chapter 4 di Love The Way You Are ini?
***
Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.
***
Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?
Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Love The Way You Are.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top