Chapter 3
Maaf chapter ini ceritanya agak berat, tapi chapter besok bakal sangat sangat ringan
Ini chapter 3, silakan dinikmati
------------
Dalam agama Islam, laki-laki diperbolehkan untuk poligami, yang artinya memiliki lebih dari satu istri. Namun, seorang wanita tidak boleh punya suami lebih dari seorang.
Masalahnya sekarang, Yaya tidak tahu bagaimana dengan kondisi pernikahannya sekarang masuk poligami atau tidak. Memang, dia menikah dengan seorang laki-laki bernama Boboiboy, tapi suaminya mengaku kalau ia adalah kembar lima dalam satu tubuh. Yang artinya, meski badannya ada satu tapi dihuni oleh lima orang yang berbeda.
Kadang Yaya berharap suaminya itu salah dan memang delusional, kemudian suatu saat nanti akan sembuh. Tapi, jika mengakui hal itu, itu artinya Yaya sudah menikah dengan laki-laki kelainan jiwa.
Ia tidak tahu mana yang lebih buruk, menikahi laki-laki berkebutuhan khusus yang tidak akan pernah sembuh atau laki-laki kelainan mental.
Namun, sekali lagi, pernikahan adalah pernikahan. Allah SWT tidak menganjurkan hambanya untuk bercerai bila memang tidak dalam keadaan yang sangat mendesak. Yaya sendiri tidak ingin menjadi janda di usia muda. Jadi, ia lebih memilih untuk bertahan dengan semua ini.
Meski kadang rasanya sulit.
Yaya terbangun di hari ketiga ia menikah, menemukan bahwa ia tidur seorang diri. Saat keluar dari kamar, ia melihat Halilintar meliriknya dengan tatapan tajam dan dingin sambil menggerutu sesuatu seperti 'dasar Api sialan' dan pergi berlalu seakan menganggap Yaya tembus pandang.
Sang istri paling tidak tahu bagaimana menghadapi kembaran suaminya yang satu ini.
Untuk bisa hidup damai dengan Boboiboy, mau tidak mau Yaya juga harus bisa mengakrabkan dirinya dengan Halilintar. Karena itu, ia harus bisa melunakkan hatinya.
Dan Yaya memutuskan untuk membuat sarapan.
Mungkin, itu kesalahannya yang pertama di hari itu.
"Kamu ngapain, sih?"
Yaya mungkin akan bersorak karena akhirnya Halilintar mau mengajaknya bicara (kecuali sedang mengancam) kalau tidak sedang meratapi sarapan gosong yang ada di wajan.
"Uuh ... masak?" tanya Yaya tidak yakin.
Halilintar memandangnya dengan tatapan yang jelas bingung kemudian berubah menjadi sinis. "Kalau nggak bisa masak mending jangan masak, buang-buang bahan makanan aja," omelnya.
Yaya hanya tersentak di tempat dan mengerutkan bibirnya dengan kesal. Halilintar mengambil sekotak susu dari kulkas dan sekotak sereal dari lemari. Ia mengambil satu mangkuk dan sendok lalu menyiapkan sarapannya sendiri.
"Aku kan niatnya baik, cuma mau buat sarapan aja buat kita berdua," kilah Yaya, membereskan kekacauan yang ia buat di dapur.
Halilintar menyantap sarapannya dengan wajah dingin. "Kalau hasilnya kayak gitu, yang makan bisa masuk rumah sakit."
"Kayak kamu sendiri bisa masak aja!" balas Yaya mulai kesal. Gempa saja tidak menertawakan atau mencibirnya, Halilintar benar-benar keterlaluan sekali.
"Aku nggak bisa masak. Tapi, Gempa sama Taufan bisa. Seenggaknya, aku nggak kayak kamu, nggak bisa masak sok nyoba masak segala," sindir Halilintar lagi, sudah menghabiskan sarapannya dan menaruh mangkuknya begitu saja di bak cucian piring.
Yaya cemberut padanya dan Halilintar berlalu meninggalkannya.
"Eh, tunggu!" Yaya berlari mengejar namun terlambat, Halilintar sudah mengambil tas kerjanya dan keluar dari apartemen.
Padahal Yaya, setidaknya, mau salim pada suaminya itu dan melepasnya pergi bekerja.
Tapi, tanpa ucapan salam, Halilintar hanya pergi begitu saja.
"Uh, dasar cowok nggak punya hati!" gerutu Yaya.
IoI
Selama Boboiboy bekerja, Yaya akan membersihkan apartemen. Apartemennya cukup luas, tapi perabotnya tidak begitu banyak sehingga membersihkannya tidak sulit. Menjelang siang, Yaya akan pergi meninggalkan apartemen menuju restoran milik ibunya. Meski sudah menikah, ia tetap bertekad akan membantu ibunya bekerja.
Hari itu, saat ia sampai, ia hampir tak mengenali restoran milik keluarganya.
"Oh Yaya, akhirnya kamu datang!"
"Ibu ... ini kenapa banyak yang ngantri di luar?" Yaya kebingungan, restoran dibuka pukul 11, sekarang memang belum dibuka tapi banyak sekali orang yang mengantre di luar restoran.
"Ibu juga nggak ngerti. Tapi, katanya restoran ini masuk iklan di televisi," jawab ibunya.
...
"Eh?"
"Iya... tadi Ibu tanya Mas Ilham, katanya kemarin restoran ini ada iklannya di televisi. Terus, katanya ada juga videonya di internet, apa itu namanya ... Yusuf?"
"Youtube, Bu," koreksi Yaya.
"Iya, itu," timpal ibunya tampak senang.
Yaya berdiri kebingungan sementara sang ibu pergi untuk mempersiapkan restoran dibuka. Seumur hidup Yaya, baru kali ini ia melihat ada yang mengantre di depan restorannya. Kenapa bisa ada iklan sampai di Youtube segala?
Dan mulutnya pun menganga saat ia sadar ini ulah siapa.
Ia mengambil handphone-nya dan dengan cepat menelepon suaminya. Separuh berharap yang lain sudah mengambil alih, karena Halilintar pasti tak akan mau meladeninya.
"Halo, Yaya, ada apa?"
Nadanya yang normal, membuat Yaya tahu yang ada di seberang telepon adalah Gempa.
"Ge- maksudku, Boboiboy," Yaya berjalan ke pinggir restoran, takut ada yang mendengar percakapannya. Hampir kelepasan ia memanggil nama Gempa, nanti malah dikira ia sedang selingkuh dengan laki-laki lain oleh pegawai restorannya.
"Kamu yang bikin iklan tentang restoranku di televisi dan internet, ya?" tanya Yaya.
"Oh, akhirnya selesai juga? Aku sudah minta bagian periklanan sejak kita menikah, yah kurasa 3 hari itu termasuk rekor bagus," jawab Gempa dengan nada biasa. Seakan yang ia perbuat adalah sesuatu yang sangat lumrah dan tidak istimewa.
Yaya kemudian bingung harus merespons apa. Ia ingin bertanya, kenapa? Bagaimana? Kapan? Namun, tidak ada satupun yang bisa ia katakan.
"Hasilnya bagus, 'kan? Aku cuma sempat lihat iklannya sebentar karena waktu itu ada rapat, tapi seharusnya itu sudah cukup," tambah Gempa lagi.
Yaya bahkan tidak tahu iklannya seperti apa. Ia menatap restorannya tengah dibuka dan akhirnya para pengunjung masuk.
"Kenapa kau melakukan ini?" tanya Yaya, akhirnya tak mampu menahan diri.
"Kenapa? Aku tahu alasanmu menikah denganku untuk mempertahankan restoran milik keluargamu. Lalu kulihat, hasil penjualan di restoranmu tidak maksimal. Sebenarnya masakan di restoranmu itu enak, hanya saja lokasinya kurang strategis dan kurang promosi. Jadi, itu semua bisa dibantu dengan periklanan yang bagus."
Detik itu Yaya mulai sadar kalau suaminya itu memang seorang pengusaha sejati.
"Terima kasih," kata Yaya sambil tersenyum. Meski Gempa tidak bisa melihatnya, tapi senyumnya sangat tulus.
"Tidak masalah. Kalau kau perlu bantuan, kau bisa minta padaku, kita kan sudah menikah, tidak perlu sungkan," balas Gempa.
Yaya mengangguk, merasa seperti orang bodoh.
"Ah, maaf Yaya, sebentar lagi ada rapat. Sampai nanti ya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Yaya menutup teleponnya dan tersenyum. Pagi ini Halilintar bersikap ketus padanya, tapi kebaikan hati Gempa membuat mood Yaya membaik. Dalam hati, ia tidak menyesal sudah menikahi laki-laki itu.
"Ciee ... pengantin baru ...."
Yaya cepat menoleh dan menatap pegawai restorannya, Mas Ilham.
"Ih, apaan sih, Mas Ilham," omel Yaya, namun mukanya memerah.
"Jangan ketus gitu dong, Mbak. Saya doain pernikahan Mbak tuh bakal langgeng, terus cepet punya momongan juga. Udah, sekarang dari pada Mbak ngelamunin suaminya Mbak, mendingan bantuin Ibu tuh," canda sang pegawai.
Wajah Yaya terbakar saking malunya.
Tapi, ia tidak bisa membalas karena sang pegawai sudah berlalu meninggalkannya.
Pernikahan langgeng, tentu ia senang mendengarnya. Cepat punya momongan? Yaya buru-buru menggeleng.
Rasanya masih jauh sekali. Asalkan Taufan tidak mendadak muncul dan mencuri keperawanannya begitu saja.
IoI
Yaya dengan berat hati harus berpamitan dengan ibunya tercinta, karena hari sudah sore dan Boboiboy akan pulang sebentar lagi. Restorannya selalu ramai dan penuh, untunglah tidak ada yang pelanggan yang protes, semuanya memuji rasa masakannya yang enak hanya saja pelayannya kurang sehingga Yaya dan ibunya kewalahan.
"Sudahlah, cepat sana pulang. Istri yang baik itu, harusnya ada di rumah saat suaminya pulang," tegur ibunya.
Yaya mengangguk dan akhirnya pulang ke apartemennya. Dalam hati, ia harus mengusulkan perekrutan pegawai baru untuk menangani restorannya sekarang.
Betapa terkejutnya Yaya saat pulang ternyata Boboiboy sudah ada di rumah.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Yaya segera menghampiri Boboiboy dan salim padanya. Ia melihat, suaminya sudah tidak lagi mengenakan pakaian kerja, tapi masih memakai baju formal. Sebuah kemeja dengan blazer biru tua.
"Kok pulangnya cepat? Mau kemana?" tanya Yaya.
"Kamu tidak baca SMS dariku?" tanya Gempa. Yaya menggeleng, seharian ini ia sangat sibuk sampai tidak sempat memegang handphone-nya.
"Bunda minta kita makan malam bersama di rumah, hampir aja aku mau telepon kamu tadi. Maaf ya, tiba-tiba," kata Gempa.
Yaya sedikit bertanya-tanya kenapa Gempa kelihatan tertekan sekarang. Seharusnya Yaya yang merasa gugup karena akan makan malam dengan mertuanya untuk pertama kalinya.
"Ya udah, aku mandi sama ganti baju dulu sebentar," kata Yaya cepat. Gempa mengangguk.
Yaya mandi dengan cepat, kemudian memakai baju. Melihat Boboiboy memakai setelan formal meskipun mau makan malam di rumah sendiri, Yaya memutuskan untuk mengikutinya. Ia pakai baju terusan berwarna putih dan pink kemudian memakai kerudung dengan warna senada. Biasanya ia hanya pakai baju ini kalau mau ke acara pesta formal saja.
"Sudah siap?" tanya Gempa dari luar.
"Iya, tunggu sebentar," Yaya mengambil tas dan membawanya ke luar kamar. Gempa tersenyum padanya, senyum tipis yang tampaknya dipaksakan.
"Ayo cepat," kata Gempa, menutup pintu kamar Yaya dan keduanya segera keluar dari apartemen mereka.
IoI
Sejujurnya Yaya sangat lelah, seharian ia sibuk di restoran namun ia tahu ia tidak punya kesempatan untuk menolak. Lagipula, Gempa tampak lebih tertekan daripada dirinya.
Wajahnya seakan sedang bersiap untuk masuk ke medan perang. Yaya tadinya menganggap itu berlebihan sampai ingat bagaimana Api mendeskripsikan perasaannya mengenai orang tua mereka.
Benci.
Yaya sudah pernah bertemu orang tua Boboiboy sebelum mereka berdua menikah. Ibunya sangat baik, ayahnya sedikit menyeramkan (entah kenapa sepertinya mirip dengan Halilintar), namun mereka berdua orang baik. Mereka tidak sinis pada Yaya yang dari golongan rakyat jelata, juga tidak merisaukan pekerjaannya.
Lalu Yaya ingat, bagaimana Gempa menjelaskan kalau tak ada yang percaya pada kondisinya selain Almarhum Atoknya dan ia malah kena diagnosis kelainan kepribadian.
Apa berarti orang tuanya pun tidak percaya?
Yaya berhenti merisaukan itu saat mereka sampai ke rumah orang tua Boboiboy. Yaya sampai sekarang masih takjub dengan rumah ini.
Rumahnya sangat megah, besar dan indah. Mobil masuk ke pekarangan dan pintu segera dibukakan oleh pelayan. Yaya dengan kikuk keluar dari mobil, berbeda dengan Gempa yang pastinya sudah terbiasa dengan semua ini.
Mereka jalan bersama masuk ke dalam rumah yang pintunya lagi-lagi dibukakan oleh pelayan.
"Assalamu'alaikum," sahut mereka berdua.
"Wa'alaikumsalam," sahut ibu Boboiboy dengan ceria. Wanita paruh baya yang cantik dan tampak lembut. Ia menghampiri mereka berdua dengan wajah sumingrah.
Mereka berdua pun salim dengan cepat.
"Ayah! Cepat turun! Yaya dan Boboiboy sudah sampai nih," sahut ibunya kencang. Yaya hanya tersenyum melihat kebahagiaan mertuanya, berbanding terbalik dengan Gempa yang sejak tadi wajahnya terus muram.
"Bunda sudah siapkan banyak masakan untuk kalian. Yaya, kamu ada alergi makanan?" tanya mertuanya.
"Tidak ada Bu, terima kasih," jawab Yaya dengan gugup.
Seorang laki-laki paruh baya pun turun dari tangga. Dari wajah dan sikap tubuhnya saja, Yaya bisa tahu orang tersebut memiliki watak keras dan tegas. Namun, wajahnya melembut saat bertemu pandang dengan Yaya.
"Akhirnya kalian kemari juga," kata sang ayah. Yaya segera salim memberi hormat dan kelihatan sekali kalau Gempa melakukannya dengan berat hati.
"Ayo kita makan, nanti keburu dingin," kata ibu Boboiboy. Jadi, mereka segera berjalan ke ruang makan.
Bisa dikatakan, rumah Boboiboy itu ibarat istana. Langit-langitnya begitu tinggi, dindingnya bercat warna krem muda, perabotannya kebanyakan bernuansa kayu yang antik. Berbeda sekali dengan apartemen Boboiboy yang didesain minimalis dan modern. Kalau di sini, Yaya merasa sekali dikelilingi barang-barang mahal.
Mereka akhirnya duduk di sebuah meja makan yang besar yang kemungkinan besar terbuat dari kayu jati. Yaya duduk di samping Gempa, di seberang orang tuanya.
Banyak sekali makanan yang sudah dihidangkan, jumlahnya tidak main-main. Yaya tahu tidak mungkin mereka berempat bisa menghabiskan sebanyak ini, tapi ia tidak mengatakan apapun.
"Ayo makan yang banyak," kata ibu Boboiboy ramah.
Yaya merasa sangat kikuk. Ibu mertuanya memang ramah, mengingatkannya akan Gempa sendiri. Tapi, namanya juga menantu, Yaya tetap merasa gugup karena belum terbiasa menghadapi mereka.
Makan berlangsung dalam diam, Yaya berusaha menahan diri agar tidak merasa terintimidasi dengan cara makan keluarga Boboiboy yang benar-benar berbeda dengannya. Mereka memang makan biasa menggunakan sendok garpu, tapi tetap saja terasa berbeda dengan cara makan Yaya.
"Ayo Yaya, tambah nasinya."
"Eh, tidak usah, Bunda," tolak Yaya halus. Karena gugup, meski makanannya enak, tapi ia tidak bisa menikmatinya. Ia melirik pada Gempa, yang sejak tadi memasang wajah tanpa ekspresi.
Meski postur tubuh dan cara makannya sangat sempurna, Yaya bisa tahu kalau suaminya itu tidak nafsu makan. Makannya sedikit dan wajahnya sama sekali tidak menikmati apa yang sedang ia santap.
Setelah acara makan selesai, pelayan satu persatu muncul mengambil makanan yang masih tersisa. Kemudian, setelah meja bersih dari makanan yang tersisa, mereka menghidangkan teh hangat.
"Bagaimana makanannya?" tanya ibu Boboiboy.
"Enak sekali," jawab Yaya.
"Keluarga memiliki restoran, 'kan? Mungkin Bunda akan makan di sana kapan-kapan," tambahnya.
Yaya hanya bisa mengangguk, ia berusaha menghilangkan rasa gugupnya dengan menghirup teh hangat di cangkirnya.
"Boboiboy, kau sudah memberitahu Yaya?" tanya ayah Boboiboy.
Sang anak hanya mengangguk tanpa mengatakan apapun. Yaya sempat bingung, memberitahu apa, namun ia segera paham yang dimaksud adalah kondisi khusus Boboiboy.
"Maaf ya, Yaya. Bunda tidak memberitahumu sebelum ini, karena Bunda takut kau akan langsung menolak lamaran," jelas ibu Boboiboy, sangat mengingatkan Yaya akan perkataan Gempa kemarin.
"Iya, tidak masalah, saya mengerti keadaannya," balas Yaya sopan.
"Ah, ternyata memang benar, calon yang dipilihkan Atok sangat sesuai dengan Boboiboy," puji ibu Boboiboy. Wajah Yaya memerah sedikit, namun kemudian bertanya-tanya, apa jangan-jangan neneknya tahu kondisi Boboiboy dan sengaja menjodohkan Yaya dengannya?
Sepertinya, Yaya tidak akan pernah bisa tahu jawaban dari pertanyaan itu.
"Kalau kau mau, kau bisa bekerja di perusahaan bersama dengan Boboiboy. Bunda sudah melihat pendidikan terakhirmu, kau cerdas sekali, rasanya kau bisa bekerja di bagian mana pun di perusahaan," tambah ibu Boboiboy lagi.
Yaya hampir tersedak. Ia sama sekali tak pernah membayangkan akan bekerja bersama Boboiboy di perusahaan.
"Tidak perlu lah Bunda, yang namanya istri itu lebih baik di rumah saja. Betul, 'kan?" kata ayah Boboiboy. Yaya mengangguk setuju, meski kesannya sangat kuno, tapi ia tidak mau masuk ke perusahaan suaminya dan malah stres bekerja di sana.
"Katanya kau membantu restoran ibumu, ya?" tanya ayah Boboiboy. Yaya mengangguk sopan.
"Memang anak yang baik," puji ibu Boboiboy. Yaya jadi merasa canggung.
"Oh ya, Boboiboy rajin minum obat, 'kan?" tanya ibu Boboiboy tiba-tiba. Yaya sedikit terkejut, namun senggolan dari kaki Gempa seakan mengisyaratkannya untuk berbohong. Karena tentu saja, Yaya tidak pernah melihat Boboiboy meminum sebutir pun obat selama mereka menikah.
Mau tidak mau, meski merasa bersalah, Yaya mengangguk.
"Tapi tampaknya masih belum sembuh juga ya. Sebaiknya kau ganti dokter, Bunda dengan ada dokter penyakit jiwa yang bagus di kota sebelah, nanti Bunda cek lagi," kata ibu Boboiboy.
"Boboiboy."
Gempa menoleh pada ayahnya, dari suaranya yang tegas, Yaya merasa ada sesuatu yang buruk akan dikatakan.
"Ayah dengar laporan dari teman Ayah, katanya kau bersikap aneh saat rapat kemarin."
Yaya hampir tersentak, namun wajah Gempa tidak menujukkan perubahan ekspresi.
"Kau menggoda klien dari perusahaan lain katanya."
Yaya hampir menyemburkan teh yang ia minum.
"Cuma mengedipkan mata, Ayah, cuma bercanda," jelas Gempa.
Yaya langsung tahu itu perbuatan siapa. Pasti Taufan, tapi ia tidak menyangka, ia selalu berpikir yang bekerja cuma Gempa saja. Apa itu artinya, Taufan juga ikut mengambil alih pada saat jam kerja.
"Benar kah? Itu bukan kepribadian lainmu yang keluar, 'kan?" sang ayah menginterogasi.
Gempa menggeleng, meski Yaya tahu yang sebenarnya. "Tentu tidak."
"Aduh, Nak ... Bunda 'kan sudah bilang, kalau kamu merasa ada yang aneh dengan badanmu, cepat-cepat minum obat supaya kepribadianmu tidak ada yang keluar. Kalau orang-orang tahu bagaimana?" tegur ibu Boboiboy.
Gempa hanya mengangguk. "Iya."
"Ah, mungkin lain kali saat kunjungan dokter berikutnya, Yaya bisa ikut bersamamu. Jadi, ia bisa paham bagaimana cara menangani kondisimu," usul ibu Boboiboy.
Di sini, akhirnya Gempa menunjukkan reaksi. Dari wajahnya yang tersentak kemudian memucat, Yaya langsung paham kalau ia sama sekali tidak menyukai ide itu.
Gempa kelihatan ingin menolak, namun akhirnya tidak mengatakan apapun.
"Yaya, kau harus tahan dengan semua kepribadian Boboiboy ya. Bunda tahu, Boboiboy anaknya baik, tapi kepribadiannya yang lain memang agak aneh, tapi tenang saja, Bunda yakin Boboiboy akan sembuh jadi kau tidka perlu khawatir."
Yaya melirik pada Gempa, yang wajahnya menjadi makin muram dan sendu.
"Permisi, aku mau ke belakang dulu," kata Gempa, bangkit dan pergi meninggalkan meja makan.
Yaya memandang kepergiannya dan mulai paham kenapa Gempa, ataupun Api, terkesan tak suka dengan orang tua mereka.
"Oh ya Yaya, dia pasti menjelaskan padamu soal kembarannya itu, 'kan?" tanya ibu Boboiboy, ketika anaknya sudah tidak nampak.
Yaya sedikit kebingungan namun akhirnya mengangguk.
"Jangan percaya padanya, itu cuma omong kosong," kata ayah Boboiboy dengan wajah tegas.
Yaya tidak tahu harus membalas seperti apa.
"Kata dokter, itu salah satu bentuk penolakan. Karena tidak ingin dicap menderita kelainan jiwa, makanya Boboiboy membuat alasan itu dan membohongi dirinya sendiri. Dia juga susah sekali untuk diajak berobat, makanya, kau harus bantu bujuk dia ya," jelas sang ibu.
Yaya hanya bisa diam, tidak tahu harus berkata apa.
"Kalau bisa, kau juga bantu harus merahasiakan ini dari orang lain. Kalau sampai Boboiboy ketahuan menderita kelainan jiwa, ia tidak bisa menjadi penerus perusahaan. Saham perusahaan pun bisa turun drastis dan kita bisa kehilangan banyak proyek," tambah ayah Boboiboy.
Yaya mengangguk. Untuk yang satu ini, ia paham.
Yaya memandang kedua orang tua Boboiboy. Bertanya-tanya kenapa mereka tidak percaya keadaan Boboiboy. Suaminya memang sudah mengatakan, kalau yang percaya padanya hanya mendiang Atoknya saja. Tapi, Yaya tidak menyangka akan jadi separah ini.
"Ayah, Bunda, maaf, tapi saya harus pulang," Gempa yang muncul ke ruang makan membuat Yaya sedikit terkejut.
"Eh? Besok 'kan Sabtu libur, menginaplah di sini, Bunda juga masih ingin bicara banyak dengan Yaya," sang ibu protes.
"Masih ada pekerjaan yang tertinggal di rumah dan harus diselesaikan malam ini. Lagipula, Yaya juga pasti lelah karena bekerja di restoran ibunya sejak tadi," Gempa menepuk pundak Yaya, membuat sang istri langsung mengangguk setuju.
"Sudahlah, Bu. Boboiboy punya tanggung jawab di perusahaan, pekerjaan harus diselesaikan," bujuk ayahnya.
"Oh baiklah, tapi kalian harus sering mampir kemari lho ya," tegur sang ibu. Yaya hanya bisa tersenyum tipis padanya.
Meski melihat dari wajah Gempa, tampaknya itu tak akan terjadi.
IoI
"Maaf ya, aku mau langsung tidur," jawab Gempa dengan wajah muram. Yaya memandangnya dengan rasa kasihan. Suaminya itu terus diam sepanjang perjalanan pulang, meski kadang Yaya bisa melihat tangannya gemetaran memegang stir mobil.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Yaya khawatir.
Gempa mendesah dan tersenyum. Yang justru senyumannya itu membuat Yaya jadi merasa miris.
"Aku cuma sedikit pusing, tapi tidak apa-apa, selamat tidur," kata Gempa, lalu masuk ke dalam kamarnya.
Yaya menatap pintu kamar yang ditutup dengan sedih.
Ia tidak tahu rasanya seperti apa tidak dipercaya oleh orang tua sendiri. Ia mengerti, keadaan Boboiboy memang sulit diterima dengan nalar dan logika. Rasanya terlalu mengada-ada. Tapi, pada saat yang sama Yaya sangat yakin dengan kuasa Allah SWT yang tidak ada batasnya. Apapun bisa terjadi kalau memang Allah menghendakinya.
Jadi, kenapa tidak?
Sekarang, Yaya ingin berbuat sesuatu untuk Boboiboy. Suaminya itu terjebak dalam keadaan yang sama dengannya, nikah paksa, namun selama ini berlaku baik padanya (Halilintar ... yah, tidak perlu dihitung). Bahkan ia sudah membantu mempromosikan restorannya tanpa diminta.
Yaya bangkit dari sofa.
Sebagai seorang yang istri, ia harus mendukung suaminya apapun yang terjadi.
IoI
"Boboiboy?"
Dari semua bagian apartemen yang sudah dihuni Yaya sejak beberapa hari yang lalu, hanya tinggal kamar Boboiboy saja yang belum pernah ia masuki. Kamar itu selalu tertutup rapat, meski Yaya kira kamar itu tak dikunci. Namun, tetap saja ia segan memasukinya tanpa ijin.
Ia mengetuk pintu pelan.
"Boboiboy?" tanyanya lagi.
Di tangannya sekarang ada segelas susu dengan madu hangat yang sudah ia siapkan tadi. Gempa tadi mengaku ia merasa pusing, wajahnya juga pucat, Yaya harap resep turun temurun keluarganya ini bisa membantu.
"Masuk saja."
Ada balasannya dari dalam, jadi Yaya segera masuk dengan hati-hati.
Ternyata kamar Boboiboy lebih luas dibanding kamarnya. Terdapat kasur dengan ukur queen bed, lemari besar penuh buku, sebuah meja dengan laptop di atasnya, kemudian sebuah rak kecil di sudut yang penuh dengan mainan dan pajangan.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Yaya, menghampiri Boboiboy yang meringkuk di dalam selimut, hanya kepalanya yang sedikit menyembul di luar.
"Pusing."
Yaya benar-benar tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa sekarang. Mungkin Gempa bila sedang bad mood jadi begini? Api rasanya tidak, Halilintar apalagi. Tapi, ia juga tidak tahu bagaimana sikap Taufan bila sedang murung.
"Aku buatkan kamu susu hangat dengan madu," bujuk Yaya pelan, duduk di tempat tidur di sebelah Boboiboy.
Akhirnya suaminya ia menurunkan selimutnya dan melirik Yaya. Sang istri berusaha untuk tersenyum selembut mungkin padanya.
Perlahan ia bangkit, wajahnya masih terlihat muram meski sisanya tanpa ekspresi.
Ia mengambil gelas yang diulurkan Yaya, kemudian menghirup susu hangatnya.
Kesempatan itu Yaya manfaatkan untuk memperhatikan suaminya baik-baik. Kira-kira siapa yang sedang memegang kendali sekarang.
"Terima kasih," kata Boboiboy, menyodorkan kembali gelas yang sudah setengah kosong pada Yaya. Sang istri menaruh di meja sebelah tempat tidur, lalu kembali duduk.
Ia masih belum bisa menebak siapa. Tapi, jelas siapapun yang pegang kendali merasa sangat muram juga sakit kepala sekarang.
Yaya baru mau menawarkan diri untuk memijat kepala suaminya, saat Boboiboy tiba-tiba menyenderkan kepalanya ke bahu Yaya.
"Kau percaya padaku?"
Pertanyaan itu ditanyakan dengan nada rendah dan pelan, hampir tidak terdengar. Rasanya sangat pilu.
Yaya menahan diri untuk tidak membelai kepala Boboiboy sekarang. Sejak menikah, baru kali ini ia lihat suaminya semuram ini.
"Aku sangat yakin, yakin sekali kalau aku tidak menderita gangguan jiwa. Tapi, tidak ada yang percaya selain Tok Aba. Kadang, aku jadi tidak percaya pada diriku sendiri. Aku tidak tahu harus percaya pada siapa ...."
Yaya mendengarkan curhatan suaminya dengan seksama. Kemudian, akhirnya ia paham sedang berhadapan dengan siapa.
"Air?"
Boboiboy mendongak dan menatap Yaya dengan lurus.
"Baru kau saja yang bisa mengenali diriku, Tok Aba saja tidak bisa," katanya, mengonfirmasi tebakan Yaya.
Jadi ini yang namanya Air. Sedikit sulit dibedakan dari Gempa, namun wajahnya tanpa ekspresi, juga bagaimana dia langsung bersender ke bahu Yaya. Gempa tidak akan melakukan hal seperti itu tanpa merasa canggung.
Air kemudian mendesah dan pandangannya bergulir ke bawah.
"Kadang ... kupikir, mungkin lebih baik kalau aku menghilang saja ...."
Yaya mengerjapkan mata, merasa kaget.
"Kalau memang Boboiboy menderita kelainan jiwa, itu artinya harus hanya ada satu kepribadian kan? Kalau tidak, ia tidak bisa dinyatakan sembuh ...."
Air terlihat sedih, meski wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun.
"Ironisnya, kita bahkan tidak tahu siapa kepribadian yang asli di antata kami, jadi siapa sebenarnya yang harus hilang ...."
Yaya tidak tahan lagi, jadi ia membelai pipi Air, membuatnya menatap Yaya.
"Aku percaya padamu."
Mata Air membelalak.
"Kau tidak sakit. Aku percaya padamu."
Yaya mengatakan itu dengan jujur.
Kemarin ia masih bimbang. Namun, ia percaya, suaminya bukan menderita kelainan jiwa. Ia hanya sedikit spesial dibandingkan yang lain. Ia tidak kelihatan mengalami gangguan apapun, tidak ada gangguan ingatan, tidak ada tanda-tanda depresi, ia terlihat sehat minus sering berganti-ganti kendali dengan kembarannya.
Lagipula, dari yang Yaya tangkap, Boboiboy sudah berobat sejak lama namun tidak kunjung sembuh. Itu artinya, ia memang tidak sakit.
"Kau percaya padaku?" tanya Air. Yaya mengangguk.
"Aku percaya padamu. Aku memang bukan dokter spesialis jiwa, tapi bagiku kau tidak menderita kelainan jiwa. Kau baik-baik saja. Kau sehat, jadi tidak ada yang perlu menghilang," tambah Yaya.
Air mengerjapkan mata, wajahnya masih tampak ragu.
"Lagipula, orang yang aku nikahi itu Boboiboy. Kalian semua adalah Boboiboy, termasuk kau, Halilintar, Taufan, Api dan Gempa. Semuanya, kalian semua adalah Boboiboy. Jadi, aku tidak mau satupun dari kalian menghilang."
Yaya menatap Air dalam-dalam.
"Dan kau berhak untuk hidup dan bahagia," tambah Yaya.
Mata Air membelalak, lalu kemudian menjadi berkaca-kaca. Yaya hampir menangis melihatnya. Yang ia butuhkan selama ini hanyalah dukungan dan kepercayaan.
"Terima kasih."
Air memeluknya tiba-tiba.
Yaya terpaku sebentar sebelum kemudian melunak dan memeluk Air balik. Pelukan itu sangat erat, menyiratkan Yaya betapa kesepiannya suaminya selama ini. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya tidak dipercaya oleh orang tua sendiri dan terus diperlakukan seperti orang aneh.
Bagaimana Gempa menjelaskan kondisinya padanya dan beranggapan Yaya akan langsung mau bercerai dengannya, bagaimana Api mengatakan bahwa ia membenci orang tuanya karena mereka pun membenci dirinya, bagaimana Air mengatakan ia sebaiknya menghilang saja, bagaimana Halilintar mengancamnya untuk tidak menyakiti satu pun di antara mereka, bagaimana Taufan menggodanya yang mungkin bentuk rasa haus kasih sayang ....
Mereka semua sudah bertahan sejauh ini dan Yaya tak ingin membiarkan mereka sendiri lagi, mulai dari sekarang.
Saat akhirnya Air mengendurkan pelukannya, Yaya bisa melihat senyumannya yang sangat tulus. Senyumannya tipis, tapi sangat jujur. Yaya tersenyum balik padanya.
Sampai Air tiba-tiba menarik badannya dan mengecup bibirnya.
Mata Yaya membelalak, seperti mau meloncat keluar.
Sebelum ia bisa protes, Air sudah mundur lagi dan kali tersenyum manis seperti anak-anak, agak sedikit mirip dengan Api.
"Terima kasih, sekarang aku sudah tidak sakit kepala lagi," katanya, seakan tidak melakukan apa-apa.
"Uh ... ng ... ya, sama-sama," Yaya jadi kikuk sendiri. Tidak tahu harus marah, panik atau malu.
"Ce-cepat tidur kalau begitu, aku juga mau tidur," tambah Yaya.
"Kau tidak tidur di sini?" tanya Air dengan wajah polos.
Yaya hampir jatuh dari tempat tidur saking kagetnya.
"Aku mau tidur sendiri," katanya cepat.
"Kau cuma mau tidur sama Api saja?" tanya Air lagi dengan nada datar, bukan godaan, bukan juga sindirian, murni pertanyaan biasa.
Oh, Yaya sudah paham perbedaan Air dengan Gempa sekarang. Air menanyakan apapun dengan frontal dan lugas tanpa rasa canggung ataupun malu sedikitpun.
"Sudah, selamat tidur," Yaya cepat-cepat berlari ke luar kamar kemudian menutup pintu.
Sekilas sebelum ia menutup pintu, ia bisa melihat Air tersenyum manis padanya.
Apa-apaan itu!? Yaya meraba bibirnya yang sudah dikecup oleh Air.
Awalnya, ia terkesan seperti anak kecil yang melankolis, tapi ternyata ... diam-diam menghanyutkan!
TBC
------------
Air... kau susah sekali untuk ditulis. Sifatnya masih sedikit ngambang. Tapi, semoga bisa diterima sama semuanya, kau penggemarnya banyak lho *colek Air
Memang kondisi Boboiboy aneh, bahkan dari review, ada juga yang nggak percaya hahaha. Tapi, akhirnya, Yaya memilih untuk percaya!
Dan kata-katanya yang menyentuh langsung bikin Air cium dia, itu maksudnya tanda sayang dan terima kasih.
Dan apa Halilintar ntar akhirnya bisa menerima pernikahannya dengan Yaya? Oh lihat aja chapter besok. Maaf ya chapter ini akhirnya penuh dengan angst dan hurt comfort, chapter besok bakal full dengan romance dan fluff.
Silakan review-nya! XD
----------
K O L O M N U T R I S I
----------
1. Mengapa orang tua BoBoiBoy tidak percaya terhadap anaknya sendiri ?
2. Bagaimana perasaanmu saat orang tua tidak mempercayaimu?
3. Apa pendapatmu terhadap Chapter 3 di Love The Way You Are ini?
***
Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.
***
Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?
Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Love The Way You Are.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top