Chapter 23

Yosh, silahkan dinikmati.

————————————

Cherophobia, atau fobia terhadap kebahagiaan, bukan merupakan sebuah penyakit fobia sungguhan, tidak termasuk ke dalam daftar penyakit jiwa yang sudah ditentukan oleh para psikiatri dunia. Namun, istilah itu cukup umum digunakan oleh orang-orang awam.

Fobia terhadap kebahagiaan, entah kenapa sedikit banyak Taufan bisa mengerti akan hal itu sekarang.

Ketika ia mengerti apa itu rasanya bahagia, ia jadi mengerti bagaimana kondisi mereka sebelum menikah dengan Yaya itu sangat menyedihkan. Ia tidak tahu apakah kondisi mereka itu layak disebut 'hidup', menjalani hari-hari kosong dengan penuh kehampaan dan kesepian seperti itu.

Namun, karena sudah mengerti apa artinya bahagia, Taufan tahu, akan sangat mengerikan kalau kebahagiaan itu mendadak diambil darinya. Tangannya masih sering berkeringat dingin jika memikirkan bagaimana saat mertuanya mengusirnya dari rumah. Dalam waktu sekejap, dunianya seperti hancur berkeping-keping, terlalu mengerikan. Ia tidak mau hal itu terulang kembali.

Ia baru mengerti alasan kenapa Halilintar begitu bersikeras menjaga jarak dengan Yaya dulu. Mereka tidak akan selamat bila sudah terlanjur dekat dengan Yaya kemudian Yaya pergi dari sisi mereka.

Taufan berusaha untuk tidak memikirkannya, ia harusnya menikmati kebahagiaan yang ia rasakan sekarang, bukannya ketakutan menanti kapan kebahagiaan itu akan pergi. Meski begitu, ketakutan itu terus ada di sudut pikirannya yang gelap yang masih sering bangkit dalam wujud mimpi buruk.

"Pak Direktur, handphone Anda berbunyi dari tadi."

Taufan sedikit tersentak dari lamunannya, secara refleks memandang Alif dengan ketus, sementara sang asisten hanya tersenyum tanpa merasa terintimidasi sedikit pun. Hubungan mereka berdua kini jadi aneh, Taufan hampir mengategorikan Alif sebagai 'teman', seandainya ia tahu 'teman' itu sebenarnya apa.

"Oh… video call Yaya?" gumam Taufan. Istrinya itu bukan orang yang kecanduan gadget seperti generasi sekarang, Yaya tidak yang lebih senang bertatap muka daripada melalui layar. Rasanya bisa dihitung jari berapa banyak Yaya menelepon atau menge-chat-nya sejak mereka menikah.

Taufan menerima video call dari istrinya, tahu kalau Yaya hari ini sedang bersama sang bunda mereka yang tercinta itu, bertemu dengan wedding organizer untuk melihat sejauh apa persiapan resepsi pernikahan mereka berjalan.

"Assalamu'alaikum, Boboiboy," kata Yaya dari layar. Video sedikit bergoyang dan kurang stabil, tapi Taufan bisa melihat wajah istrinya yang cantik dengan jelas.

"Wa'alaikumsalam," balasnya, paham kalau ada orang lain di dekat Yaya hingga istrinya harus memanggilnya dengan nama yang jarang digunakan itu. "Kenapa video call?" tanya Taufan.

"Uhm… ini… aku disuruh…," kata Yaya sedikit terbata-bata. Taufan mengernyitkan dahi, berusaha membaca ekspresi wajah Yaya yang sedikit susah dilihat karena resolusi video call yang tidak begitu tajam.

"Tunjukan padanya, tunjukan!" ada suara orang lain di dekat Yaya. Kemudian ada seseorang yang sepertinya mengambil handphone Yaya, karena mendadak jarak ambil videonya menjadi menjauh, akhirnya memperlihatkan Yaya bukan hanya wajahnya saja.

"Nona cantik sekali…," gumam Alif di samping Taufan, yang ternyata sejak tadi mencuri pandang video call mereka. Mungkin Taufan akan kesal saat menyadari hal itu, tapi ia terlalu terpaku pada layar untuk menyadarinya. Ia melihat pakaian, atau lebih tepatnya mungkin gaun pengantin yang sedang Yaya gunakan.

Kalau boleh jujur, sewaktu akad nikah mereka, Yaya mengenakan gaun pengantin putih yang cukup cantik, tapi tentu gaun yang dipilih secara terburu-buru itu sangat berbeda dengan apa yang digunakannya sekarang. Model kerudungnya pun dihias dengan cantik, menutupi dada dengan sopan, tapi berhiaskan bunga-bunga dan digelung dengan apik. Baju pengantinnya pun bukan baju pengantin yang ketat di badan. Cukup longgar, tapi sangat anggun seakan Yaya adalah tuan putri dari kisah dongeng.

Taufan tidak sanggup berrkata apa-apa, otaknya seperti menguap seketika.

"Boboiboy?" Yaya memanggil dari layar, namun karena jarak handphone-nya agak jauh, suaranya terdengar kecil.

"Sepertinya suami Anda terlalu syok melihat anda nona, padahal ini baru satu dari sekian baju pengantin koleksi saya…," ada suara orang lain dari handphone tersebut.

"Ahaha… sebenarnya aku meneleponmu untuk bertanya apa kau suka dengan model baju pengantin yang ini…? Menurutmu?" tanya Yaya, mengambil kembali handphone-nya, video kembali fokus ke wajahnya, membuyarkan sedikit lamunan Taufan.

"Uhm… ng… bagus…," kata Taufan tidak begitu meyakinkan karena ia masih merasa terpesona, tidak bisa menghilangkan sosok Yaya yang menggunakan gaun pengantin tadi. Awal mereka menikah dulu, Boboiboy kembar terlalu takut dan resah dengan pernikahan paksaan mereka hingga tidak begitu bisa menikmati Yaya yang cantik dalam balutan baju pengantin.

Foto pernikahan mereka pun hanya dokumentasi akad nikah mereka, dimana wajah keduanya terlalu kaku dan serius hingga foto itu menyakitkan untuk dilihat.

Foto… ya, foto… Taufan begitu ingin meminta Alif untuk menyewa fotografer terbaik dan mengabadikan Yaya dengan baju pengantin barusan, tapi menahannya karena ia tahu itu tindakan bodoh.

"Oh.. begitu… eh, tunggu sebentar, Bunda ingin bicara."

Taufan yang awalnya sedang merasa terbang di awang-awang langsung jatuh kembali ke dunia. Ia sedikit melonjak di tempat duduknya, berusaha untuk merapikan jas yang ia kenakan dan memasang topeng setebal mungkin karena terlalu telat untuknya berganti tempat dengan Gempa.

"Boboiboy."

Taufan hanya tersenyum palsu yang ia sering gunakan ketika berhadapan dengan klien bisnis.

"Kau suka dengan gaun pengantin Yaya barusan? Bunda yakin dengan desainer pilihan Bunda," katanya. Taufan mengangguk, sedikit bingung dengan pembicaraan ini. Ibunya tidak pernah menanyakan apa pendapat mereka tentang sesuatu, tidak pernah, tahu makanan kesukaan mereka pun ia rasa tidak.

"Iya, aku suka," jawab Taufan berhati-hati.

"Kalau begitu, besok kau membantu Yaya memilihkan baju pengantinnya, pilihlah yang kalian suka," Taufan sedikit mengernyit mendengarnya, merasa ada yang aneh, "setelah kalian pulang dari psikiater baru pilihan Bunda."

Taufan membatu di tempat, rasa bahagia karena melihat Yaya yang begitu cantik seperti putri kerajaan langsung menguap menghilang begitu saja.

"Eh… harus sama Yaya?" tanya Taufan. Tangannya yang memegang handphone mulai berkeringat dingin.

"Bunda sudah pergi ke psikiater itu, katanya lebih bagus kau pergi bersama istrimu, ingat, resepsi pernikahanmu sudah dekat, ini penting," kata bundanya, meski dari video call, Taufan bisa merasakan nada dingin dari perkataan ibunya.

Dan video call pun dimatikan.

Taufan menghempaskan dirinya ke tempat duduknya, menghembuskan napas yang sedari tadi ia tahan. Ia menutup matanya dengan tangannya, perasaannya begitu kalut dan tidak menentu.

'Resepsi pernikahanmu sudah dekat, ini penting, jangan sampai kau mengacaukan semuanya,' ia merasa itu yang ibunya hendak sampaikan tadi.

Ke psikiater bukan hal baru bagi mereka semua, sejak kecil mereka sudah menemui puluhan psikiater untuk kondisi mereka yang aneh. Satu psikiater biasanya hanya bertahan 2-3 sesi pertemuan sebelum akhirnya orang tua mereka merasa tidak puas dengan tidak adanya kemajuan dari kondisi mereka dan mencari psikiater lain.

Sampai ke poin dimana psikiater dijadikan semacam hukuman untuk mereka bila berbuat ulah.

Tapi sekarang, bundanya sudah menemukan cara lain untuk mengontrol mereka. Bukan untuk hukuman, kali ini mereka dikontrol dengan memanfaatkan Yaya.

Bundanya sepertinya sudah mengerti bagaimana perasaan mereka terhadap istri mereka itu dan memanfaatkannya dengan baik.

Yaya jadi titik kelemahan mereka. Taufan ingin tertawa miris, merasa ironis dengan kondisinya.

Karena sudah jelas, mereka rela melakukan apa saja demi Yaya…

Tapi… pergi ke psikiater bersama Yaya…. Biasanya setelah pergi ke psikiater, mereka sering menjadi gundah dan resah, mulai mempertanyakan kondisi mereka yang aneh, sebenarnya sungguhan atau mereka memang gila… itu semua menakutkan… bagaimana bila akhirnya Yaya merasa mereka memang gila?

Tangan Taufan yang basah oleh keringat sedikit bergetar.

Ia sekarang benar-benar paham kenapa kebahagiaan bisa terasa sangat mengerikan.

IoI

Yang paling Yaya benci di dunia ini, sekarang, adalah melihat suaminya menderita.

Ketika tahu bagaimana rencana ibu mertuanya, yang memanfaatkannya, untuk membuat suaminya patuh padanya, ingin sekali rasanya ia membentak ibu mertuanya itu. Ia merasa sedih melihat suaminya dikontrol sedemikian rupa oleh orang tuanya, bagaikan hewan peliharaan dengan tali kekang di lehernya.

"Kalau kamu nggak mau aku pergi, aku nggak akan pergi."

Yaya menatap Gempa, yang sedang memasang wajah teguh, wajah yang Yaya anggap 'siap bertempur' meski ia yakin suaminya sangatlah berantakan di dalamnya. Matanya lurus menatap ke luar jendela mobil, meski sudah sampai di rumah sakit sejak tadi, suaminya masih termenung di tempat duduknya, sepertinya butuh waktu untuk mempersiapkan diri.

Yaya sebenarnya sudah lama merasa tertarik untuk ikut pergi ke sesi psikiater bersama suaminya, semata-mata karena ingin memberikan dukungan. Psikiater adalah hal menakutkan kedua setelah kedua orang tuanya, Yaya tahu itu. Ia sering membayangkan bagaimana suaminya sering ke psikiater seorang diri, tanpa dukungan sama sekali, seakan ia sebatang kara dan tidak punya siapa-siapa.

Namun, Yaya juga mengerti, ke psikiater seperti menunjukkan aib dari suaminya yang ia yakin suaminya tidak ingin Yaya melihatnya. Mata Gempa yang penuh dengan kebencian terhadap diri sendiri sudah cukup menjelaskan semuanya.

Ke psikiater akan membuat mereka semakin terlihat tidak normal, semakin membuat mereka membenci diri mereka sendiri dan mereka takut akan membuat Yaya membenci mereka juga.

"Bunda yang minta… nggak apa-apa," kata Gempa.

Yaya menutup matanya. Itu bukan 'tidak apa-apa' tapi 'tidak ada pilihan lain'.

Ia menggenggam tangan Gempa dengan erat. "Aku ada di sini," katanya menegaskan sambil menatap mata suaminya dalam-dalam.

Di kedua bola mata kecoklatan itu tersimpan begitu banyak kepedihan, ketakutan, kecemasan dan kebencian pada diri sendiri yang selama ini terpendam. Gempa menggenggam tangannya balik dan menunjukkan sebuah senyuman pilu yang terlihat ketakutan.

Ingin rasanya Yaya memeluknya, menariknya pergi dan melindungi suaminya dari semua orang yang selalu berusaha menyakiti mereka.

Namun, ia berusaha untuk ikut tegar demi suaminya, ia yakin psikiater manapun tidak akan sanggup menggoyahkan keyakinannya akan suaminya.

Tidak akan bisa.

IoI

"Halo, perkenalkan saya dokter Rizal, ada yang bisa saya bantu?"

Gempa menatap psikiaternya yang baru, kali ini dokter yang masih terbilang muda. Kepalanya mulai terasa berdenyut sakit, tapi ia berusaha untuk tidak menunjukkannya. Tangannya menggenggam erat Yaya yang ada di sampingnya, seakan istrinya itu adalah jangkar yang mencegahnya hanyut.

"Saya Boboiboy, ini istri saya, Yaya… saya yakin dokter sudah bertemu dengan ibu saya…," Gempa tidak suka berbasa-basi dengan dokter, dari tebalnya berkas yang dokter tersebut pegang, yang pastinya berisi semua catatan medis yang mereka punya dari lahir hingga sekarang, dokter tersebut hanya memancingnya untuk bicara.

"Ah… ya, memang, sejujurnya kita bahkan pernah bertemu sebelumnya… waktu itu saya masih dengan Profesor Mahmud, mungkin Anda ingat?"

Gempa mengernyitkan dahi, semua kunjungannya ke psikiater bukan lah yang ingin ia ingat. Bagaimana ada kalanya banyak dokter yang berrkumpul, memperrhatikannya seperti sebuah kelinci percobaan juga bukan pengalaman yang enak untuk dikenang.

Sadar kalau Gempa kurang kooperatif dalam menjawab pernyataannya, dokter tersebut membuka berkas-berkasnya. Gempa tahu ia membuat pekerjaan dokter itu menjadi sulit, padahal bukan ia yang salah, tapi ia tidak pernah suka dengan psikiater.

"Sejujurnya kasus Anda adalah kasus yang menarik, kalau bukan karena status alAnda, mungkin sudah ada yang membuat laporan kasus anda untuk menjadi karya ilmiah," tambah dokter itu.

Entah itu pujian atau hinaan, Gempa berusaha menahan diri untuk tidak mengurut dahinya karena kepalanya semakin sakit. Yaya mengelus ibu jarinya yang menggenggam tangannya, Gempa melirik padanya dan tersenyum sedikit.

"Jadi bagaimana keadaan suami saya, Dok?" tanya Yaya.

Dokter tersebut menatap Yaya untuk sejenak, kemudian tersenyum. "Oh… yah… saya akan menanyakan beberapa pertanyaan dulu, saya tahu suami Anda pasti bosan diwawancara setiap kali bertemu psikiater, tapi saya harus bertanya untuk memastikan diagnose psikiater-psikiater sebelumnya."

Gempa menyiapkan diri untuk serbuan pertanyaan yang sering membuatnya merasa tidak nyaman.

"Sebaiknya Anda jawab sejujurnya, sebenarnya anda merasa Anda ini sakit atau tidak?"

Oh, pertanyaan yang sering ditanyakan padanya, tapi aneh, karena biasanya pertanyaan itu ditanyakan di bagian akhir, bukan di awal.

Gempa menatap dokter tersebut dengan seksama, kemudian menoleh pada Yaya.

"Saya tidak tahu,"

Dokter tersebut terdiam. Membetulkan kacamatanya dan tersenyum, bukan senyuman yang enak dilihat, hanya sekedar senyuman bisnis.

"Terlepas dari perkataan orang lain, perkataan orang tua Anda, perkataan dokter sebelumnya, hanya menurut Anda sendiri, Anda ini sakit atau tidak?"

Gempa terdiam kembali. Ia menatap ke lantai, berusaha mencari jawaban atau pertanyaan itu. Sulit untuk melakukan itu, setelah puluhan tahun dicap sakit oleh semua orang yang mengetahui kondisinya.

Genggaman dari tangan Yaya mengingatkannya kalau ada orang yang menerimanya apa adanya.

"Tidak."

"Ho…," dokter itu seperti terpukau dengan jawabannya. Gempa sendiri berusaha untuk terlihat meyakinkan saat menjawabnya.

"Kondisi Anda yang sekarang, mengganggu kehidupan Anda sehari-hari tidak?" tanya dokter itu lagi.

Pertanyaan ini lebih mudah dibanding yang sebelumnya, jadi tidak butuh waktu lama untuk menjawabnya.

"Dulu, ya, sekarang saya sudah mengerti bagaimana cara mengendalikannya jadi sudah tidak lagi."

Dokter itu mengangguk-angguk, sambil mendengarkan jawaban, dokter itu menulis di atas berkas.

"Ada keluhan lain?"

Gempa terdiam sebentar. Ia menatap Yaya, dulu saat pergi ke psikiater, ia bukanlah pasien yang kooperatif, sering berkelit dan berbohong ketika menjawab pernyataan, karena menjawab apa adanya pun tidak merubah apapun, kondisinya tidak pernah berubah.

Tapi sekarang…

"Saya kadang sakit kepala kalau terlalu stres," jawab Gempa apa adanya. Setidaknya untuknya, tangan berkeringat untuk Taufan, kesulitan mengendalikan amarah untuk Halilintar dan Api, terus mengantuk untuk Air. Mereka semua punya respons stres yang berbeda-beda.

"Stres yang seperti apa?" tanya dokternya.

"Seperti sekarang," jawab Gempa lugas, mungkin dalam situasi lain terkesan lucu, tapi dokter itu terlihat serius dan terus menulis di berkasnya.

"Stres setiap saat atau bisa dikendalikan?" tanyanya lagi.

"Kalau tidak ada pemicunya… saya tidak apa-apa," jawab Gempa.

"Pemicunya?" tanya dokternya lagi.

Gempa tidak tahu bagaimana harus menjelaskan itu. Berhadapan orang tuanya, berhadapan dengan psikiater, berhadapan dengan orang-orang, berhadapan dengan siapapun yang tak bisa menerima kondisinya, ketika ia harus berpura-pura, ketika ia cemas Yaya akan meninggalkannya, ketika kerjaan menumpuk terlalu banyak…

"Banyak," jawab Gempa singkat. Tidak yakin ia mau menceritakan semua masalahnya satu persatu.

"Tapi penyebabnya jelas? Maksudnya, apa Anda kalau cemas itu pasti ada penyebabnya?" tanya dokter tersebut.

Gempa mengangguk.

"Sudah berapa lama seperti itu?" tanya dokter itu lagi.

"Entahlah, sudah lama?" tanya Gempa ke dirinya sendiri, tidak begitu yakin.

"Lebih dari 6 bulan?" tanya dokter itu lagi.

"Lebih dari 10 tahun," tandas Gempa dengan sedikit sarkartis.

"Ada gangguan tidur? Sulit konsentrasi?" tanya dokter itu lagi.

Gempa kembali mengangguk.

"Oke, yang ini cuma untuk memastikan, Anda juga pasti sudah bosan dengan semua pertanyaan berulang ini."

Seperti yang Gempa kira, sang dokter menanyakan banyak pertanyaan membosankan, untuk mengetes mulai dari ingatan, orientasi, pengetahuan umum, kemampuan berpikir secara abstrak, kemampuan berhitung. Hingga ke pertanyaan yang mulai absurd, seperti gejala halusinasi, kepercayaan yang aneh.

Ia sedikit goyah saat pertanyaan soal depresi, tapi pertanyaan itu cepat berlalu hingga akhirnya sang dokter kembali diam dan sibuk menulis.

Setelah sekian lama, sepertinya Yaya mulai gelisah di tempat duduknya. "Jadi, bagaimana kondisi suami saya dok?" tanya Yaya.

"Yah… seperti yang sudah Anda dan suami Anda tahu, dari catatan-catatan dokter sebelumnya, suami Anda didiagnosis mulai dari kepribadian ganda, sampai skizofrenia… kalau menurut saya sendiri, suami Ibu cuma sakit gangguan kecemasan saja kok. Makanya suka sakit kepala kalau stres, ada gangguan tidur dan makan juga. Saya kasih obat anti cemas ya," kata dokter tersebut dengan santai.

Gempa mengerjapkan matanya, ia sadar betul dari tadi dokternya tidak menyinggung masalah saudara-saudara kembarnya yang hidup satu tubuh dengannya.

"Terus kondisi saya… dengan saudara-saudara kembar saya…?" tanya Gempa merasa bingung. Biasanya dokter yang selalu bertanya duluan mengenai hal itu, karena seperti yang dokter itu katakan, kondisinya merupakan kasus yang langka dan menarik.

"Memang aneh sih, tapi tidak semua kondisi aneh itu termasuk gangguan jiwa," jawab dokter itu, wajahnya yang awalnya masih penuh kalkulasi sekarang terlihat santai seakan sudah menemukan jawaban dari semua misteri yang ada.

"Maksudnya?" tanya Yaya.

"Gangguan jiwa disebut gangguan jiwa bila ada penderitaan atau disebut stres, dan juga ada gangguan fungsi," jawab dokter tersebut kemudian menoleh pada Gempa. "Pada Anda, ada stress, tapi tidak ada gangguan fungsi. Maksudnya, dari kondisi aneh anda itu, Anda sendiri bilang sekarang Anda bisa mengontrolnya dengan baik, jadi ya sudah, itu bukan termasuk gangguan jiwa namanya."

Gempa mengerjapkan mata, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

"Tapi bukannya banyak orang sakit jiwa yang merasa bahwa dirinya sehat?" tanya Gempa.

"Yah, memang, tapi pasti tetap ada stress dan gangguan fungsinya, disadari atau tidak," tandas dokter tersebut. "Kalau memang anda nyaman dengan kondisi Anda yang sekarang, kenapa harus diobati?"

Gempa terdiam, sebenarnya ia tidak bisa bilang bahwa kondisinya itu 'nyaman', tapi ia tahu bahwa ia juga tidak ingin kondisinya ini menghilang. Tidak adil untuk semua Boboiboy kembar.

"Sejujurnya, mungkin sakit kepala Anda karena penyakit namanya tension type headache, sakit kepala berat sampai ke leher terasa seperti tertekan atau terikat, coba saya konsul ke dokter saraf ya," kata dokter itu, mengambil kertas lain dan kembali menulis.

Gempa hanya termangu di tempat. Dokter tersebut mengangkat wajahnya, sepertinya paham kalau Gempa tidak percaya padanya begitu saja.

"Orang tua saya tidak akan percaya kata-kata dokter…," gumam Gempa. Meksi pelan, tampaknya sang dokter mendengarnya.

"Kalau begitu tidak perlu diberitahu, saya sebagai dokter punya kewajiban untuk melindungi data pribadi pasien, kalau Anda tidak ingin memberitahu orang tua Anda, saya juga tidak akan memberitahu mereka," jawab dokter tersebut santai.

Gempa masih merasa gelisah, tidak percaya ia didiagnosa dengan penyakit jiwa yang… terkesan sepele.

"Dari yang saya lihat, kondisi anda jauh lebih membaik setelah menikah, kalau Anda mau tahu," katanya sambil tersenyum pada Yaya.

Gempa kembali mengerjapkan mata, menatap Yaya kemudian pipinya sedikit bersemu.

"Kalau segitu masih tidak percayanya, mau psikotes sebentar?" tanya dokter itu lagi. Sebelum Gempa bisa menolaknya, seorang asisten muncul dan menarik Gempa ke tempat lain untuk menjawab psikotesnya.

Ia menatap Yaya yang duduk bersama dokternya.

Ia takut dokter itu mengatakan sesuatu yang aneh selama ia pergi.

IoI

"Dok, jujur, kondisi suami saya bagaimana?" tanya Yaya dengan resah, sikap santai sang psikiater ketika sudah menyimpulkan diagnose suaminya sama sekali tidak membantu menenangkan keresahannya.

"Kondisinya? Bagus, saya tidak bohong," jawab sang dokter. Ia mengambil kertas resep dan menuliskan obatnya di sana.

"Serius dokter? Jangan bercanda," tegur Yaya. Ia pernah melihat bagaimana suaminya terguncang setelah pulang dari psikiater, jadi pasti biasanya sesi wawancara dengan psikiaternya tidak seperti ini.

"Bu," Yaya sedikit aneh dipanggil dengan sebutan itu, "di kejiwaan, psikiater itu mendiagnosa mulai dari penyakit jiwa, penyakit fisik, sampai ke kondisi sosial ekonomi, hubungan pasien dengan keluarganya dan lain-lain."

Yaya terdiam mendengarnya.

"Psikiater-psikiater sebelumnya, diagnosa penyakit jiwa suami ibu selalu berubah-ubah, tapi ada yang selalu sama, ini saya bacakan ya 'hubungan pasien dengan keluarganya tidak baik, tidak ada dukungan dari keluarga'," sang dokter membacakan berkas-berkas dari psikiater sebelumnya pada Yaya, yang selama ini Yaya tidak pernah lihat.

"Dulu, waktu saya masih menjadi asisten profesor psikiater, sudah S3 dan semacamnya itulah, saya pernah bertemu suami anda dan beliau berbeda sekali dengan sekarang, kalau kata saya. Kalau waktu itu, saya tidak akan ragu mendiagnosa suami ibu menderita gangguan jiwa," kata sang dokter.

Yaya berusaha membayangkan suaminya, sebelum menikah dengannya. Sendirian datang ke psikiater karena terpaksa, entah seperti apa rasanya. Apalagi bila ditanya tentang hubungan dengan keluarga, ia rasa suaminya tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Atau mungkin langsung lugas menjawab kalau orang tuanya membencinya.

"Kenapa psikiater susah-susah ikut mendiagnosa hubungan keluarga pasien segala? Karena memiliki dukungan dan tidak itu berbeda sekali hasilnya pada perkembangan penyakit pasien nanti, contohnya suami ibu, sudah jadi lebih baik kan?" tanya sang dokter.

Yaya ingat bagaimana suaminya masih sering terluka ketika berhadapan dengan orang tuanya, ketika menerima penolakan ibu mertuanya, ketika dibandingkan dengan Alif, tapi Yaya sadar dibandingkan dengan kondisinya dulu, yang bahkan berjanji untuk bunuh diri setelah sekian tahun, kondisinya masih lebih baik.

Yaya terdiam, sementara sang dokter kembali menulis. Tak lama, Gempa kembali muncul bersama dengan asisten dokter tersebut.

"Yah… hasilnya lumayan," kata dokter tersebut kemudian menaruh hasil psikotes tersebut di catatan medis dengan santai, Yaya merasa dokter tersebut tidak benar-benar butuh data psikotes tersebut, hanya menggunakan alasan itu untuk bisa bicara berdua dengan Yaya.

Atau mungkin untuk mengulus waktu agar bisa menulis catatan medis lebih lama.

"Saya cuma kasih obat anti cemas untuk mengurangi rasa cemas, sakit kepalanya ya pak. Untuk sesi selanjutnya, kalau Anda mau, saya bisa berikan konseling, kalau tidak mau juga tidak apa-apa."

Yaya benar-benar tidak mengerti dengan psikiater yang satu ini.

"Bagaimana, masih ada yang mau ditanyakan lagi?"

Yaya dan Gempa terdiam, keduanya saling pandang. Setelah beberapa saat, akhirnya Gempa menggeleng.

"Terima kasih ya, Dok," kata Yaya.

"Iya, sama-sama," jawab dokter tersebut, masih juga menulis. Entah harus sebanyak apa ia menulis.

Yaya menatap Gempa, yang kali ini tidak terlihat terguncang atau hancur berantakan dan kemudian tersenyum.

Ada yang bilang, pasien dan dokter itu butuh kecocokan, mungkin akhirnya suaminya sudah menemukan dokter psikiater yang cocok untuknya.

IoI

Yaya memandang suaminya yang sedang menatap obat di tangannya, seakan obat itu mengejeknya. Mereka berdua duduk di kantin rumah sakit, setelah dari apotik dan menebus obat untuk sang suami.

"Kalau nggak mau diminum, nggak usah diminum…," saran Yaya.

Diluar dugaan Gempa mengambil obat tersebut dan meminumnya. Ia kemudian menatap Yaya sambil mendenguskan napas. "Aku juga mau sembuh dari kecemasanku… itu mengganggu," katanya dengan senyuman tipis.

Yaya ikut tersenyum, tampaknya kenyataan bahwa obat itu cuma untuk mengurangi kecemasan, bukan bertujuan untuk menghilangkan kondisi aneh mereka, membuat Gempa tidak memusingkan obat itu terlalu dalam.

"Terimas kasih ya, sudah menemaniku tadi," tambah Gempa.

Yaya ingin mengingatkan bahwa awal mulanya Gempa tidak mau Yaya ikut bersamanya tapi terpaksa karena ibunya, tapi sang istri memilih diam karena pada akhirnya, ia akan selalu mendukung suaminya.

"Sama-sama," jawab Yaya sambil tersenyum hangat.

"Yosh… jadi sekarang kita… memilihkan baju pengantin untukmu? Aku rasa semuanya sudah menantikan saat ini," kata Gempa, mood-nya tampak membaik, bahkan bisa sedikit bercanda, membuat Yaya tertawa sedikit. Ia lega melihat suaminya tampak lebih lepas, sepertinya beban pikiran bahwa ia menderita penyakit jiwa yang parah sudah berkurang.

Keduanya pun bangkit dan beranjak dari kantin, tanpa malu Yaya merangkul lengan suaminya dan tersenyum padanya.

Yaya sepertinya akhirnya mengerti kunci dari kondisi suaminya. Selama mereka menerima kondisi mereka seperti itu dengan lapang dada, semuanya akan baik-baik saja.

Ya, mereka akan baik-baik saja.

TBC

————————————

Maaf kalau chapter ini terkesan… medis banget dan hampir nggak ada feelsnya. Tapi ini titik yang penting dan emang harusnya begini…

Review kalau berkenan

——————————
K O L O M  N U T R I S I
——————————

1. Bagaimana kira-kira reaksi kembaran mendengar pernyataan dari psikiater tadi?

2. Pernahkah kamu pergi ke psikiater?

3. Apa pendapatmu terhadap Chapter 23 di Love The Way You Are ini?

***

Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.

***

Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?

Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Love The Way You Are.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top