Chapter 22
Chapter selanjutnya, untung bisa dapet feels-nya. Sorry kalau chapter ini agak aneh atau gimana... yah aku akui memang kemampuan nulisku turun... tapi yah, nikmati aja kalau masih berkenan untuk baca.
————————————
Hidup itu penuh perjuangan, bukan hidup namanya bila tidak ada perjuangan. Perjuangan tanpa henti dengan masalah yang tanpa akhir adalah sebuah kehidupan, jika menyerah dengan itu semua namanya kematian.
Namun, merasa lelah dan jenuh itu manusiawi. Meski tidak bisa selamanya terus terpuruk berlarut-larut hingga akhirnya depresi.
Itu yang dirasakan Air. Saat dulu ia memilih untuk menutup diri dan tak pernah untuk bangun lagi semenjak kematian Tok Aba, hidupnya seakan berhenti dan ia menjadi penonton semata untuk kehidupan saudara-saudaranya yang lain. Ia berhenti untuk merasakan dan tak lagi berpikir, ia hanya berada di sana, hidup segan mati pun tak mau, seperti itulah kondsinya.
Sampai akhirnya Yaya muncul di dalam kehidupan mereka. Ia tahu, ia sangat egois, ia memilih jalan mudah, keluar saat mereka tak lagi sendiri. Ia hanya melihat bagaimana semua saudara-saudaranya terpuruk dalam lingkaran setan dan menderita selama bertahun-tahun, ketika Yaya muncul ia baru mau keluar lagi.
Kadang ia ingin tahu apa yang mereka semua pikirkan tentang dirinya, bencikah mereka pada dirinya? Hubungan mereka sangatlah kompleks, hidup bersama tanpa bisa berkomunikasi dua arah. Rasanya seperti tinggal sekamar dengan empat orang asing tanpa pernah bertemu sekalipun. Namun, pada saat yang sama mereka juga paling dekat satu sama lain karena bisa melihat dan merasakan langsung apa yang tubuh itu alami.
Benci ataupun cinta bukanlah sebuah pilihan, mereka akan terus bersama entah bagaimana pun perasaan mereka terhadap satu sama lain.
Namun, ketika kemarin ia merasakan bagaimana terpuruknya hidup mereka setelah menerima penolakan dari mertua mereka serta kemunculan Alif, Air bisa merasakan apa itu yang dinamakan 'depresi' secara langsung.
Mungkin itu bisa dinamakan neraka duniawi.
Setiap hari ia sering berpikir untuk mati tapi tidak pernah benar-benar melakukan apapun untuk mengakhiri kehidupannya. Entah apa ia bisa disebut pemberani atau pengecut.
Yang jelas ia bersyukur mereka semua memiliki Yaya, kalau tidak ...
Air merapikan helai rambut Yaya yang menutupi matanya. Melihat istrinya tertidur nyenyak di sampingnya membawakan kebahagiaan tersendiri. Aneh rasanya, begitu mudah merasa bahagia karena Yaya ketika hanya dengan bernapas saja kadang membuatnya merasa begitu ingin mati.
Meski ia juga tak mengerti kenapa Yaya bisa menerima keadaan mereka yang seperti ini ... ia tak ingin merisaukan hal itu sekarang, karena ia tak yakin ia akan pernah bisa mendapatkan jawabannya.
Ketika bola mata istrinya yang tertutup mulai berkedut, Air memperhatikan Yaya perlahan terbangun dengan seksama. Bagaimana Yaya sedikit menggerutu, kemudian kembali meringkuk, menggeser badannya agar lebih dekat dengannya, tapi setelah beberapa lama akhirnya ia membuka matanya kembali.
Ia kemudian menatap mata Air.
"Kamu sudah bangun dari tadi?" tanyanya dengan nada mengantuk.
Dari matanya yang belum mau membuka seluruhnya, Air tahu Yaya belum sepenuhnya sadar. Mungkin ia ingin kembali tertidur, tapi tak bisa karena hari sudah pagi dan ia harus bangun.
"Sudah," jawab Air singkat.
Yaya akhirnya mengangkat badannya ke posisi duduk, ia mengucek matanya kemudian merapikan posisi rambutnya yang berantakan selama tidur. Kerah baju piyamanya yang besar sedikit turun memperlihatkan leher yang putih yang membuat badan Air seperti melilit.
Kadang ia tak mengerti, ia tak suka konsep bersentuhan dengan manusia lain, kecuali Yaya. Kalau istrinya, bila mungkin ia ingin mendekapnya selamanya dan tak pernah melepaskannya lagi.
"Jam berapa ini...?" gumam Yaya masih belum terbangun sepenuhnya. Air ikut bangkit, memeluk Yaya dari belakang, menghentikan niatnya untuk mengecup leher dan pundak yang putih, ia memilih untuk mengecup pipi Yaya dan menyandarkan kepalanya di bahunya.
"Masih pagi," jawab Air. Ia bisa merasakan bagaimana badan Yaya kembali rileks dan menyandarkan badannya ke suaminya.
"Bagaimana keadaan kalian?" tanyanya, menaruh tangannya di atas tangan Air yang melingkari perutnya.
"Hari ini cukup baik," jawab Air jujur. "Meski aku tak tahu bagaimana keadaan yang lain, tapi kurasa mereka juga cukup baik."
Yaya mendesah, ia kembali merapikan rambutnya yang menghalangi matanya. Air bisa melihat kekhawatiran dan kesenduan di matanya. Ia merasa sedikit bersalah sudah membuat Yaya khawatir akhir-akhir ini.
Ia seharusnya bisa lebih— ah ia harus berhenti berpikir seperti itu, tapi berubah memang sulit.
Kali ini Yaya yang mengecup pipinya, seakan menarik dirinya kembali dari pikiran muram.
"Sholat subuh dulu yuk," katanya lembut. Air mengangguk dan melepaskan pelukannya dengan berat hati.
Yaya beranjak dari tempat tidur, membetulkan posisi piyamanya sedikit dan kelihatannya sudah lebih bangun dibandingkan tadi. Ia menoleh ke Air dan tersenyum lembut sambil memberikan isyarat agar Air cepat mengikutinya.
"Terima kasih ya," kata Air spontan.
Entah terima kasih untuk apa, ia merasa ia berhutang begitu banyak terima kasih pada istrinya, hingga bila semua terima kasih itu ditukar menjadi uang, Yaya akan lebih kaya dibandingkan dirinya.
Yaya tidak membalas ucapan terima kasihnya, hanya tersenyum penuh makna dan keluar kamarnya.
Air pun ikut beranjak dari tempat tidur.
Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang baik, setidaknya ia mengawalinya bukan dengan pikiran ia ingin mati.
IoI
"Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat."
Halilintar berhenti mengunyah sejenak dan menatap Yaya. Sang istri memberikan senyuman terbaiknya. Ia senang melihat kondisi suaminya semakin membaik akhir-akhir ini. Setidaknya tangisan tengah malamnya sudah berhenti dan nafsu makannya perlahan kembali normal. Sebelum ini, kelihatan sekali kalau suaminya kehilangan nafsu makan dan berat badannya turun karena stres.
"Kemana?" tanya Halilintar singkat, melanjutkan melahap sarapan buatan Yaya. Roti bakar keju susu buatan Yaya, kali ini sukses tidak gosong ataupun kurang matang, meski tampaknya ia seharusnya menambahkan makanan lain seperti salad atau telur mata sapi, tapi ya sudahlah.
"Ada seseorang yang ingin kukenalkan padamu," jawab Yaya.
Halilintar kembali berhenti mengunyah. Yaya bisa melihat semburat rasa cemas dan ragu di matanya, meski ekspresi wajahnya paling sulit dibaca dibanding kembarannya yang lain.
"Tenang saja, kali ini aku yakin semuanya akan baik-baik saja," Yaya berusaha menenangkan. Kata-katanya hanya mampu mengurangi sedikit kecemasan di mata suaminya tidak menolak ajakannya dan Yaya sudah cukup bersyukur dengan itu.
Yaya meraih tangan Halilintar yang dikepal kuat, sang suami akhirnya mau menatap matanya. Yaya tersenyum sambil mengusap jemari tangan sang suami dan ia merasakan tangan suaminya yang tegang mulai rileks.
"Baiklah."
IoI
Sepanjang perjalanan Halilintar hanya mampu diam, matanya menatap lurus jauh ke depan, sambil sesekali fokus kembali karena sedang menyetir. Ia menatap Yaya di sampingnya, mulai meragukan keputusannya sendiri.
Mungkin sebaiknya sebelum mengiyakan ajakan Yaya, ia seharusnya voting dengan saudara-saudaranya yang lain.
Setidaknya menyiapkan semacam strategi untuk membuat kesan pertama yang baik, entahlah, Halilintar kurang jago soal hal itu.
Mungkin seharusnya ia bertukar tempat dengan Taufan atau Gempa.
Namun, ia merasa tak adil menyerahkan semua hal yang berhubungan dengan berhadapan dengan orang lain pada mereka berdua, Taufan bahkan sudah merasakan rasanya diusir oleh mertua mereka, sementara Gempa yang selalu berhadapan dengan kedua orang tua mereka.
Sesekali Halilintar ingin bisa meringankan beban mereka berdua.
Kalau nanti ia tak mampu lagi mengendalikan situasi, baru ia akan melepas kendali, nanti.
"Berhenti di sini, aku mau beli bunga dulu," kata Yaya memecah keheningan. Halilintar menghentikan laju mobil mereka dan Yaya pun keluar untuk membeli sekeranjang kelopak bunga dari sebuah toko bunga kecil di pinggir jalan.
Halilintar hanya memperhatikannya dengan saksama.
Mungkin kah...?
"Ayo jalan lagi," kata Yaya. Halilintar mengangguk singkat dan kembali menginjak gas. Ia menatap keranjang bunga penuh kelopak bunga berbagai macam warna di pangkuan Yaya.
Mobil kembali melaju, begitu pula keheningan di antara mereka. Sesekali Halilintar mencuri pandang ke arah istrinya, melihat Yaya yang menerawang jauh keluar jendela di sampingnya.
Beberapa kali ia membuka mulutnya untuk mengarahkan mobil menuju tempat yang ia ingin tuju. Mobil keluar dari jalan raya besar menuju jalan raya kecil hingga akhirnya tiba di perumahan yang tak jauh dari rumah dan restoran kecil keluarga Yaya.
Telapak tangan Halilintar yang memegang stir sedikit berkeringat, tapi Halilintar tidak mau menunjukkan ekspresi apapun.
Yaya sudah melihat semua air mata saudara-saudaranya, tapi berbeda dengan dirinya. Ia tidak akan pernah mau menunjukkannya ke siapapun. Tidak akan pernah.
"Berhenti di sini," pinta istrinya. Halilintar memandang tempat yang sudah mereka capai. Tidak meleset dari dugaannya, ia manatap ke sebuah pemakaman kecil di tengah-tengah perumahan. Jelas bukan pemakaman elit dengan rumput yang terpotong rapi, tapi komplek pemakaman ini cukup terawat.
Mereka berdua keluar dari mobil dan Halilintar membiarkan Yaya menuntun mereka berdua.
Halilintar memandang batu nisan di sekeliling mereka, beberapa terawat beberapa yang lain tidak, ada yang namanya sudah begitu memudar, ada juga yang masih baru. Melihat semua ini mengingatkannya akan Tok Aba.
Yaya akhirnya berhenti dan berjongkok di depan sebuah batu nisan. Halilintar membaca namanya dan tahu siapa yang Yaya ingin perkenalkan padanya.
"Ini ... ayahku," jawabnya lirih. Senyumannya sedikit sendu, tapi yang ada di matanya bukanlah keputusasaan, hanya terlihat semburat kerinduan yang terpendam.
"Maaf selama ini aku tak sempat membawa kalian kemari, padahal kalian sudah pernah membawaku ziarah ke makam Tok Aba," katanya lagi.
Halilintar ikut berjongkok di samping Yaya dan menepuk pundaknya. Ia tak bisa menawarkan kata-kata penghibur yang tak ada artinya, jadi ia hanya bisa diam di samping Yaya.
Selama ini Yaya tidak pernah menyebutkan mendiang ayahnya, kalau dipikir Yaya tidak begitu sering menceritakan tentang keluarganya. Mungkin istrinya bersikap seperti itu karena suaminya memiliki hubungan keluarga yang kurang baik. Mungkin Yaya tak ingin berkesan seakan ia memamerkan keluarga yang ia miliki kepada mereka.
Hubungan keluarga yang tak mereka miliki.
Meski sebagian kecil dari sifat pesimis mereka mengatakan Yaya melakukan itu karena merasa mereka belum layak masuk ke dalam keluarga Yaya.
Namun, sekarang Yaya di sini, mengajak mereka menemui sosok yang tak sempat mereka kenal.
"Ayahku meninggal saat aku SD, saat adikku masih sangat kecil. Beliau adalah ... ayah yang sangat baik, sabar, humoris dan pengertian. Beliau sangat menyayangi Ibu dan juga kami anak-anaknya ... Tapi Ayah tiba-tiba meninggal karena kecelakaan, kami semua sangat kehilangan...," Yaya mulai bercerita. Matanya tampak berkaca-kaca, membuat Halilintar merasa pilu. Ia ingin mendekapnya, tapi ia tahu Yaya bukan perempuan yang lemah.
"Ayah sering mengatakan, ia tak yakin bisa membiarkanku menikah, karena tak yakin bisa rela melepaskanku ke laki-laki lain... ahahaha... saat itu aku masih belum mengerti, tapi mungkin lucu juga kalau kau sempat bertemu ayahku, entah seperti apa reaksi beliau ketika bawahanmu datang ke restoran untuk mengajukan lamaran," canda Yaya, ada sedikit air mata yang menetes di pelipis matanya, Halilintar hanya mampu mendengkus mendengarnya.
Memang ia akui itu cara melamar paling buruk yang pernah ada, tapi sebagai pembelaan, saat itu pun mereka semua terlalu kalut untuk bisa bertemu dengan Yaya yang belum mereka kenal.
Yaya berhenti bercerita dan mulai merapikan makam mendiang ayahnya. Ia mencabuti rumput liar yang tumbuh di makam, Halilintar mengikutinya. Kemudian ia membuka botol air yang ia bawa dan membasahi tanah makam sebelum akhirnya menaburkan kelopak bunga di atasnya.
Halilintar ikut Yaya saat berdoa, matanya melirik melihat Yaya yang membaca doa dengan khusyuk dan meneteskan beberapa bulir ar mata.
Selesai berdoa, Yaya menghembuskan napas panjang dan menatap Halilintar. Sang suami terdiam, kemudian menatap batu nisan yang ada di depannya.
Di bawah sana tertidur sosok ayah dari istrinya. Seseorang yang tak bisa ia kenal.
Boleh dikatakan, ia tidak puya figur seorang ayah dalam hidupnya. Yang paling mendekati cuma Tok Aba, tapi tentu itu berbeda. Ayah yang ia tahu hanyalah ayahnya yang keras, kaku dan dingin padanya. Sosok yang mengatur hidupnya tanpa memberikan cinta kasih atau bahkan sekadar pengakuan.
"Assalamu'alaikum, perkenalkan... saya Boboiboy, suami dari anak Bapak," Halilintar mulai berbicara. Ia tak biasa berbicara kepada nisan lain selain nisan Tok Aba. Namun, rasanya canggung tak mengatakan apa-apa, sudah menjadi kebiasaan untuknya.
"Maaf kalau sebelumnya saya tidak pernah berkunjung kemari ... seharusnya sebelum saya menikahi anak bapak, saya harusnya meminta izin terlebih dahulu kepada Bapak... "
Halilintar melihat Yaya tersenyum padanya jadi sang suami melanjutkan pembicaraan satu arahnya.
"Saya tahu saya salah, saya tidak menikahi anak bapak dengan tulus pada awalnya, tapi juga terpaksa, begitu juga dengan anak bapak. Tapi sekarang saya sangat bersyukur dan tidak bisa membayangkan bagaimana hidup saya tanpa dirinya, karena itu terima kasih ... terima kasih karena Bapak, saya jadi bisa bertemu dengan Yaya... terima kasih untuk semuanya."
Halilintar merasakan Yaya menggenggam bahunya dengan lembut. Matanya sedikit berkaca-kaca, entah apa yang ia pikirkan Halilintar tidak tahu.
"Aku rasa, kalau Ayah masih hidup, beliau pasti bisa menerima kalian...," kata Yaya dengan suara sedikit parau.
Halilintar menyandarkan dahinya ke dahi Yaya dan menarik napas panjang. Ia tidak ingin merusak suasana dengan mengatakan 'aku ragu soal itu' jadi ia hanya diam dan menikmati kehadiran Yaya di dekatnya.
Apakah mungkin bagi mereka jatuh lebih dalam, terpikat begitu jauh pada Yaya?
Rasanya menakutkan tapi juga menenangkan, ia ingin berhenti tapi juga tak mau berhenti, rasanya sangat kompleks.
Halilintar mengambil satu tangan Yaya dan menciumnya dengan lembut.
Ia merasa berterima kasih karena Yaya sudah mau berbagi soal mendiang ayahnya, mempersilakannya masuk ke dalam lingkaran keluarganya, mulai dari sosok yang tak bisa ia kenal.
"Dulu ... kita tidak bisa membayangkan akan menikah dan memiliki keluarga...," ucap Halilintar pelan, ia masih menyandarkan dahinya ke dahi Yaya, begitu dekat sampai ia bisa menghitung bulu mata istrinya yang lentik natural, bisa merasakan hembusan napasnya dan melihat rona wajahnya.
"Jangankan menjadi ayah, menjadi suami pun kita tidak bisa membayangkannya ... membangun sebuah keluarga, memiliki istri, memiliki anak, benar-benar tidak bisa dibayangkan...," lanjut Halilintar.
Dulu semua itu terlihat begitu jauh, seperti bintang yang tak pernah bisa digapai. Hal yang orang anggap 'wajar' terlihat begitu mustahil bagi mereka.
Namun, sekarang sedekat ini...
"Tapi sekarang sudah mulai terlihat, rasanya aneh, menakutkan... bagaimana kalau bayangan itu hilang tiba-tiba... meski kita pun tak yakin bisa menjadi kepala keluarga ataupun ayah yang baik... entahlah...," Halilintar menengguk ludahnya.
Ia tidak terbiasa memperlihatkan sisi lemahnya pada orang lain, tapi untuk Yaya ... ia berhak melihatnya.
"Aku bisa membayangkan kalian semua menjadi ayah yang hebat," balas Yaya sambil tersenyum. Halilintar memutar matanya, sulit membayangkan bagaimana mereka berlima mengasuh anak mereka. Entah jadinya seperti apa, tapi... memikirkan kalau itu akan menjadi masa depan mereka.
"Sayang ayahmu tidak bisa membimbing kita ... entah bagaimana caranya menjadi ayah ataupun suami yang baik. Kita tidak tahu harus bertanya ke siapa," Halilintar sedikit sarkartis pada dirinya sendiri.
Yaya tersenyum pilu, merapikan helai rambut yang menutupi dahi suaminya. "Kalian sudah melakukannya dengan sangat baik."
Halilintar hanya mendengkus dan menutup matanya.
Logika berkeras untuk melawan perasaannya, berusaha mengatakan kalau ia tidak boleh jatuh lebih dalam pada semua perasaannya terhadap Yaya. Bila ia membiarkan perasaannya mengalir, maka ia tak akan selamat jika Yaya menghilang dari kehidupannya, kehidupan mereka.
Namun, ia tidak sanggup berhenti, tidak sanggung melawan.
Halilintar akhirnya memundurkan wajahnya dan tersenyum pada istrinya.
Ia melihat sang istri tertegun, mungkin baru kali ini melihatnya tersenyum seperti itu padanya.
"Ayo pulang," kata Halilintar. Yaya tersenyum dan mengangguk.
Halilintar menatap ke langit saat merasakan tetesan air yang membasahi pipinya, ia melihat ke langit yang mendung di atas kepala mereka.
"Gerimis...," gumamnya, menghirup aroma tanah basah yang menenangkan.
"Oh... benar..., ayo keburu deras...," Yaya berhenti berbicara dan mematung menatap ke depan. Halilintar mengikuti arah pandangannya dan ikut terdiam.
Di ujung pemakaman berdiri ibu dan adik Yaya yang juga tertegun melihat mereka berdua.
IoI
Yaya menatap ibunya dan suaminya. Keduanya sama-sama diam berhadapan dengan meja membatasi keduanya. Di luar hujan gerimis turun, tidak bisa memberikan ketenangan pada tegangnya suasana di antara keduanya, justru menambah rasa pilu dan mencekam. Adik Yaya yang tidak tahu duduk permasalahannya hanya duduk diam dengan wajah gugup. Yaya merasa kasihan padanya.
Mereka semua berteduh di retoran keluarga Yaya, yang untuk kali ini sepi tanpa pengunjung. Karyawan restoran pun memberi mereka privasi, meski Yaya merasa mereka masih curi-curi pandang pada mereka.
Terutama suaminya yang belum pernah menapakkan kaki ke restoran ini.
Ibunya mendesah panjang membuat suaminya berjengit sedikit. Hati Yaya sedikit hancur melihat ekspresi suaminya yang tampak pasrah, pasrah untuk menerima perlakuan macam apapun.
"Ibu siapkan minuman dulu ya," kata ibunya, akhirnya bangkit dan pergi meninggalkan mereka.
Yaya menatap ibunya yang pergi ke arah dapur, mempertanyakan kenapa ibunya mengulur waktu. Ia tahu ibunya masih belum bisa menerima kondisi suaminya tapi ...
"Dahimu kenapa?"
Yaya menatap Gempa yang sedang memandang adiknya, suasana yang awalnya begitu tegang mencekik sudah sedikit lebih baik meski masih terasa kaku dan berat.
Yaya baru sadar, ia begitu terpaku pada ibu dan suaminya hingga tak sadar ada luka lebam di dahi adiknya.
"Ah... ini... jatuh di sekolah," jawab adik Yaya gugup. Tangannya meraih luka lebam di dahinya, seakan berusaha menutupinya.
Yaya melihat suaminya mengernyit, tampak meragukan kata-kata adiknya.
Adiknya curi-curi pandang antara Yaya dan Gempa dengan wajah ketakutan, jelas menyembunyikan sesuatu tapi tak bisa mengutarakannya langsung. Yaya melihat Gempa sempat menatap kepadanya, pandangan yang agak sulit ia artikan sebelum akhirnya Yaya mengerti maksudnya.
"Kakak ke kamar mandi sebentar ya," kata Yaya pada adiknya, ia kemudian tersenyum pada Gempa, yang sedikit canggung membalasnya, sang istri memberi tepukan di pundaknya sebagai bentuk penyemangat sebelum melangkah pergi meninggalkan mereka berdua.
IoI
Mungkin agak menyedihkan untuk diakui, tapi Gempa bisa tahu mana luka yang didapatkan karena kecelakaan atau karena perbuatan orang lain.
Hidupnya yang kelam bukan cuma diisi dengan perlakuan dingin orang tuanya, bebat dari perawat, ataupun obat pahit dari dokter jiwa, tapi juga bully dan perkelahian di sekolah.
Orang macam mereka yang tak punya teman, cenderung labil dan memancing banyak amarah, luka lebam dan lecet sudah menjadi makanan sehari-hari. Karena itu Halilintar memilih untuk menekuni karate, agar bisa membela diri mereka.
Karena dulu tak ada yang sudi membela ataupun melindungi mereka.
"Coba jujur sama Kakak," kata itu sangat asing di lidah Gempa, tapi aneh rasanya kalau ia menyebut dirinya 'Om' ke adik iparnya, "Kakak nggak bakal cerita ke Ibu ataupun ke kakakmu kok."
Boleh dibilang, adik Yaya ini adalah pengalih perhatian yang sempurna. Mentalnya bisa keburu hancur bila ia memikirkan mertuanya, jadi ia lebih senang mendapat pengalih perhatian.
"Uhm... cuma jatuh kok, Kak," katanya lagi.
Gempa mendesah. Ia memang tidak begitu pandai berhubungan dengan orang lain, apa yang ia harapkan? Tiba-tiba bisa membuat adik Yaya terbuka padanya ketika ia bahkan tak mau terbuka pada ibu dan kakaknya sendiri?
"Dulu kakak juga sepertimu ... makanya kakak khawatir padamu, kakak yakin, kakakmu dan ibumu juga khawatir, tapi kalau kamu tidak cerita, kita tidak bisa berbuat apa-apa," jelas Gempa.
"Kakak memang dulu kenapa?" tanya sang adik ipar.
Gempa menatapnya dengan ragu, tak yakin harus menceritakan masa-masa kelam sekolahnya pada adik Yaya yang baru SMP.
"Biasa ... ada masalah dengan orang ... berkelahi, memang begitu 'kan?" tanya Gempa, berusaha menutupi kenyataan.
Adik Yaya, Totoitoy terdiam. Ia masih tampak ragu, sesekali tangannya bermain dengan poninya seakan ingin menutupi lebam di dahinya.
"Kakak tahu kok... memang... memang rasanya sedih dan nggak enak, rasanya juga malu... tapi kita tetap harus kuat. Asal kamu tahu, kalau kamu dipukul atau dilukai, itu bukan karena kamu yang salah, apapun yang terjadi namanya kekerasan itu salah, apapun alasannya. Makanya Kakak berusaha untuk jangan berpikir 'semua ini aku yang salah' dan semacamnya..."
Gempa merasa sedikit bersalah mengatakan hal itu, karena pada kenyataannya ia melakukan kebalikannya. Ia merasa lebih mudah membenci dirinya sendiri dibanding orang lain. Lebih mudah menyalahkan diri sendiri dibandingkan menyalahkan orang lain. Namun, dalam kasus pem-bully-an sekolah, ia tetap berusaha untuk tegar, bangkit dan juga melawan.
Meski hasilnya cenderung kacau balau, antara Api mengamuk membabi buta atau Halilintar membuat semua yang menyerangnya masuk rumah sakit.
"Aku ... digencet sama temen-temen sekolah, Kak ..."
'Digencet?' awalnya Gempa tidak paham sebelum akhirnya mengerti apa yang dimaksud adik Yaya itu.
"Oh... karena masalah...?"
"Masalah ... tugas gitu, Kak," jawabnya.
"Ah... ya... ya...," Gempa mengangguk, mulai paham tapi kemudian mula bingung apa yang harus ia perbuat selanjutnya.
"Sudah lapor guru?" tanya Gempa. Totoitoy menggeleng.
"Nggak lah Kak, malu masa lapor? Nanti Ibu tau...," gumam sang adik ipar lirih.
"Kenapa kamu nggak mau ibumu tau?" tanya Gempa.
"Soalnya ... kasian kan Ibu... udah capek ngurusin restoran, aku nggak tega..."
Gempa terdiam, sedikit iri dengan adik iparnya. Namun, ia berusaha memendam rasa iri itu.
"Kalau kamu nggak mau bikin ibumu khawatir, kamu harus bisa melindungi dirimu sendiri."
"Caranya? Mana bisa aku menang lawan banyakan gitu..."
"Bisa aja, ikut bela diri dong. Kamu laki-laki 'kan? Harus bisa kuat untuk melindungi dirimu sendiri dan orang-orang yang kamu sayang."
Totoitoy tertegun menatap Gempa. Gempa tersenyum pada adik iparnya. Rasanya aneh, tapi mungkin karena ia punya saudara kembar, meski tak bisa berkomunikasi dua arah, secara teknis ia punya kakak atau adik, tak sulit memposisikan dirinya sebagai kakak untuk adik iparnya.
"Kakak sendiri gimana? Bisa bela diri?" Totoitoy memastikan.
"Bisa dong... sempet menang kejuaran juga," tambah Gempa, meski yang menang itu Halilintar.
"Beneran? Hebat banget! Ajarin aku bisa?" tanya sang adik ipar dengan semangat.
"Jangan, jangan, Kakak udah lama nggak latihan lagi ... kamu bagusnya ikut les bela diri aja, gimana?" tanya Gempa. Totoitoy tampak sedikit kecewa.
"Tapi ..."
"Tenang, Kakak yang bayar," tambah Gempa.
Totoitoy masih tampak ragu, ia menatap mata Gempa. Sang kakak ipar sedikit canggung, tidak terbiasa bertatapan mata dengan orang lain lebih dari tiga detik.
"Beneran?"
"Iya, tapi minta izin ibumu dulu ya," balas Gempa.
Sang adik ipar akhirnya tersenyum dan mengangguk, ia segera melompat dari kursinya dan berlari menghampiri ibunya yang ternyata berada tak jauh dari mereka.
"Ibuuu... aku boleh ikut les bela diri nggak?"
Gempa sempat bertatapan mata dengan mertuanya kembali, ia buru-buru mengalihkan pandangan, berdoa ia tidak melakukan kesalahan. Tangannya kembali berkeringat dan sedikit gemetaran. Ia tahu ia harus kuat, ia harus siap apapun yang terjadi, tapi tidak mungkin ia bisa menyiapkan diri andaikata ia tidak boleh bertemu dengan Yaya lagi.
Sang ibu mertua akhirnya sampa di meja tempatnya duduk, Totoitoy yang tampak senang, pertanda kalau ibunya memberikannya izin.
Gempa tidak tahu apa harus ikut senang atau sedih jadi ia memilih untuk diam.
"Minum teh nggak apa-apa 'kan?"
Gempa sedikit melonjak, melihat sang ibu mertua menaruh secangkir teh hangat di depannya.
"I-iya nggak apa-apa...," Gempa sedikit gugup.
Ia mendesah lega melihat Yaya juga ikut kembali ke tempat mereka duduk.
"Ini teh buatmu Yaya, hati-hati masih panas..," kata ibunya lembut.
"Iya, makasih, Bu..."
"Ini juga teh untukmu Totoitoy..."
"Maunya es jeruk..."
"Hush, kehujanan tadi kok malah minta es, nanti sakit lho..."
Gempa sedikit merasa canggung duduk di tempatnya. Taufan jauh lebih mudah membaur dan berakrab ria dengan orang lain dibandingkan dirinya yang terlalu kaku. Atmosfer keluarga yang harmonis membuatnya merasa begitu asing dan ingin melarikan diri.
Gempa menyeruput pelan tehnya, tak bisa menatap mata siapapun.
"Jadi ... kapan ibu dapat cucu?"
"UHUK! UHUK! UHUK!" Gempa sama sekali tidak menyangka akan mendengar hal itu. Teh panas masuk ke tenggorokannya dan membuatnya tak bisa berhenti batuk. Yaya yang langsung panik menepuk-nepuk punggungnya sementara Gempa mati-matian berusaha mengontrol batuknya agar ia bisa bernapas.
"Ibu kenapa sih? Kok mendadak nanya gitu bikin kaget!" hardik Yaya, Gempa bisa mendengar nada malu di kata-katanya, tapi Gempa masih belum bisa berhenti batuk jadi tidak bisa mengatakan apa-apa.
Sementara sang ibu mertua tampak tersenyum geli, hilang sudah wajah dingin dan seramnya yang tadi.
"Yah Ibu kan pengen cepet-cepet punya cucu, biar bisa ditunjukkin ke temen-temen Ibu yang lain."
"Cucu kok buat pamer...," Yaya geleng-geleng kepala. Gempa akhirnya bisa mengendalikan batuknya, sudah bisa kembali bernapas meski sesekali masih batuk. Matanya memerah karena batuk, tenggorokannya panas dan perih tapi kondisinya justru lebih baik dibandingkan sebelum ia batuk.
Ia menatap ibu mertuanya yang tersenyum padanya.
Kemudian pada Yaya yang menyodorkan segelas air putih padanya.
"Secepatnya, Bu," jawab Gempa singkat, sedikit takut tapi lega saat melihat sang ibu mertua terlihat senang mendengarnya.
Ia kembali menoleh pada Yaya yang tampak begitu lega dan senang. Ia meraih tangan Gempa dan menggenggamnya, sang suami pun menggenggamnya balik.
Entah apa yang terjadi sampai sang ibu mertua mendadak berubah sikapnya 180 derajat, tapi Gempa merasa sangat senang dan lega.
"Ya, secepatnya."
Masa depan yang begitu jauh seperti bintang tak tergapai itu sekarang rasanya sudah ada dalam jangkauan tangan.
TBC
————————————
Silakan review bila berkenan
Tunggu chapter selanjutnya ya
——————————
K O L O M N U T R I S I
——————————
1. Akankah hubungan kembaran dapat membaik dengan ibu Yaya?
2. Bagaimana tipe kakak idamanmu?
3. Apa pendapatmu terhadap Chapter 22 di Love The Way You Are ini?
***
Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.
***
Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?
Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Love The Way You Are.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top