Chapter 2
Perempuan dan laki-laki diciptakan berbeda. Bukan hanya dari jenis kelamin, fisik maupun mental. Tapi juga pola pikirnya. Bahkan ada istilah kalau perempuan itu dari planet Venus, sedangkan laki-laki dari planet Pluto. Terbayang jauhnya? Kira-kira jarak kedua planet itu menggambarkan betapa berbedanya laki-laki dan perempuan.
Dan untuk Yaya, ia paham sekali kalau ia tidak punya banyak pengalaman dengan laki-laki. Ayahnya meninggal saat ia masih kecil. Terlahir dengan agama Islam juga membuatnya membuat jarak aman dengan laki-laki yang bukan keluarganya. Satu-satunya panutan yang bisa ia pakai hanya adik laki-lakinya saja. Sayangnya, sebuah penelitian membuktikan kalau anak laki-laki dan perempuan yang belum remaja mempunyai pola pikir yang tidak terlalu berbeda. Yang lebih berpengaruh itu, pola asuh orang tua.
Jadi, simpulkan saja, pengalaman Yaya dengan laki-laki hampir nol besar.
Karena itu, ia sangat kebingungan dengan masalah yang ia hadapi sekarang.
Suaminya (ia harus mulai terbiasa menerima kenyataan ini), Boboiboy.
"Bagaimana malam pertamamu dengan Boboiboy?"
Yaya hampir tersedak ludahnya sendiri, ketika ibunya memilih pertanyaan itu dari semua pertanyaan yang ada di muka Bumi ini untuk memulai sebuah obrolan santai sambil membereskan barang Yaya untuk pindahan.
"Uhm ... belum, Bu. Katanya kami bisa mulai pelan-pelan saja," jawab Yaya jujur
Ibunya sudah nampak tenang hari ini, matanya masih sering berkaca-kaca tapi setidaknya tidak histeris seperti kemarin. Mungkin tampaknya mulai lega setelah paham kalau Boboiboy adalah pemuda yang baik dan sopan.
Yaya tak tega memberitahukan apa saja yang ia alami kemarin bersama Boboiboy.
"Kalian berdua baik-baik saja, 'kan?"
Yaya tak suka berbohong. Namun, merasa kalau ia tidak berbohong. Tentu ia dan Boboiboy baik-baik saja. Pertengkaran kecil dalam rumah tangga itu masih wajar kan? Jadi, sang anak pun mengangguk.
Sambil berpikir, Yaya melipat baju-bajunya ke dalam kardus. Jujur ia masih bingung dengan apa yang terjadi kemarin malam dan hari ini. Ada apa dengan Boboiboy?
Bukannya yang lebih sering labil dan terkena mood swing itu perempuan? Yaya sama sekali tak paham bagaimana Boboiboy kerap berubah sikap secara drastis hanya dalam kurun waktu beberapa jam saja.
Dari sopan dan pengertian, menjadi kekanakan dan mudah tersinggung, menjadi tebar pesona dan senang menggoda... rasanya terlalu drastis. Sampai seperti menjadi orang yang berbeda.
Yaya menggelengkan kepalanya, ia harus bertanya soal ini pada Boboiboy nanti, sekarang ia harus fokus membereskan barang-barangnya untuk pindahan dulu.
"Ini kamu ngapain masukin baju seragam SMA-mu segala, Yaya?"
Sang gadis tersentak dan mukanya berubah merah. "Aduh, aku nggak sengaja!" serunya panik. Ibunya hanya tersenyum simpul.
"Makanya jangan ngelamun terus."
IoI
"Sudah, Mas. Sisanya biar saya yang bereskan sendiri."
"Eh, tapi Nona..."
"Sudah tidak apa-apa, saya bisa kok."
Yaya mendesah lega saat akhirnya orang-orang suruhan Boboiboy mau meninggalkannya sendiri di apartemen. Bukannya ia tidak percaya pada mereka. Namun, sikap mereka yang memperlakukan Yaya seperti seorang putri membuatnya jadi canggung.
Namun, sepertinya ia tidak punya banyak pilihan selain mulai membiasakan diri dengan semua ini.
Tapi setidaknya, jangan dimulai dari hari ini.
Yaya menggulung lengan bajunya, bersiap membereskan semua barang-barangnya yang jumlahnya tidak begitu banyak sambil menanti suaminya pulang.
Setidaknya, ia butuh banyak pekerjaan agar tak kerap melamun memikirkan masalahnya.
IoI
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Yaya buru-buru mematikan kompornya. Dalam hati ingin menangis bagaimana ia mengubah dapur yang tadinya bersih mengkilap menjadi berantakan namun tak ada satupun makanan yang layak disajikan.
Ia berusaha melupakan bencana yang ada di dapur dan beralih ke pintu depan.
Ia melihat Boboiboy pulang, wajahnya sedikit letih dan tampaknya banyak pikiran. Yaya berusaha mengenyampingkan apa yang ia pusingkan hari ini dan mengambil tangan suaminya kemudian mengecupnya untuk salim.
Boboiboy tampaknya masih belum terbiasa, sama seperti Yaya. Keduanya tampak canggung. Namun, ia tersenyum tipis padanya.
"Kok ada bau gosong?"
Yaya merasa kepalanya seakan dijatuhi batu besar.
"Uh ... aku coba masak ... tapi gagal," kata Yaya, memilin celemek yang ia kenakan yang kotor dan berminyak.
Sang istri menanti reaksi suaminya. Apapun, tawa atau cercaan, tapi yang ada Boboiboy hanya mengerjapkan mata kemudian tersenyum padanya.
"Oh, ya udah, nanti kita tinggal pesan delivery makanan aja, ya. Kamu mau apa?" tanyanya.
Di sini Yaya mulai paham. Boboiboy bersikap normal, maksudnya, seperti yang ia kenal saat pertama menikah. Atau lebih tepatnya, beberapa saat setelah menikah.
"Apa aja boleh," jawab Yaya.
Boboiboy mengangguk dan mengendurkan dasinya. Sebenarnya wajahnya yang lelah membuat Yaya hampir tak tega untuk bertanya, tapi ia sangat butuh jawaban sekarang.
"Anu, Boboiboy...."
"Aku tahu kau mau bicara denganku, mari kita bicara sambil minum teh," sela Boboiboy dengan halus.
Yaya terkesima sebentar kemudian mengangguk, lega karena Boboiboy tampaknya paham akan masalah yang menerpa mereka.
"Biar kubuatkan," tawar Yaya. Boboiboy mengangguk.
Sang istri membuatkan teh, setidaknya untuk yang satu ini ia mampu melakukannya dengan baik. Tak lama, sepasang suami istri yang baru menikah itu sudah duduk di sofa dengan dua cangkir teh hangat di atas meja.
Boboiboy menyeruput teh miliknya. Yaya tak bisa menekan rasa kagum bagaimana Boboiboy bisa membuat hal yang sederhana menjadi elegan dan penuh wibawa.
Namun, hal itu semakin membuatnya pusing karena sikapnya kemarin sangat aneh.
"Jujur ... sebenarnya aku merasa sangat bersalah kepadamu sekarang."
Yaya tidak menanti jawaban seperti itu, jadi ia terkejut.
Boboiboy mendesah dan meletakkan kembali cangkirnya di meja.
"Aku tahu, seharusnya aku memberitahumu dari awal. Tapi, aku tidak punya pilihan lain. Jadi ...."
Sang suami mendesah dan menatap Yaya dengan pilu.
"Aku bahkan tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya padamu."
Semua perkataan itu menyiratkan bahwa apa yang terjadi pada Boboiboy kemarin bukanlah hal yang sepele. Itu membuat Yaya jadi sedikit tegang.
"Kemarin, kau berubah sikap, pagi ini juga, aku bingung ...," ucap Yaya lirih.
Boboiboy menggulirkan matanya ke samping. Wajahnya tampak muram.
"Kurasa tidak ada yang percaya padaku meski aku mencoba menjelaskannya, tapi aku merasa harus menjelaskannya padamu."
Yaya menanti dengan tangan penuh keringat. Rasanya masalahnya lebih besar dari yang ia duga, ia menjadi makin khawatir.
"Aku sebenarnya kembar lima."
Yaya mengerjapkan mata, agak terkejut.
"Tapi, dari lima bayi yang lahir prematur, yang bertahan hanya satu."
Yaya memiringkan kepalanya ke pinggir sedikit. Mulai tidak paham apa hubungan semua itu dan masalah ini.
"Tapi, aku merasa, yang meninggal hanya raganya saja. Jadi, sederhananya ...," Boboiboy berhenti sebentar.
"Aku hidup berlima dalam satu tubuh."
Yaya dan Boboiboy bertatapan. Jujur, Yaya berusaha untuk memikirkan apa yang dikatakan Boboiboy ini serius atau bercanda.
"Yah, tapi tak ada yang percaya. Yang percaya padaku hanya Almarhum Tok Aba saja ... jadi ...," Boboiboy terlihat makin muram.
"Aku didiagnosis mengalami gangguan kepribadian ganda oleh dokter. Bahkan kadang, aku juga dianggap delusional."
Yaya berusaha mencerna semuanya. Boboiboy menatapnya, jelas menanti reaksi dari Yaya.
Yang pertama Yaya rasakan adalah rasa bingung, kemudian marah, kemudian khawatir dan semua itu bercampur aduk sehingga sang istri sudah tidak tahu lagi harus memberikan respons macam apa.
"Se-sepertinya berat, ya ...."
Akhirnya Yaya memutuskan untuk menunjukkan rasa simpati.
"Terserah kau mau menganggapku apa, orang aneh atau orang gangguan jiwa. Yang jelas, aku sangat menyesal tidak memberitahumu sebelumnya soal ini. Tapi, aku tidak punya pilihan lain ... aku ... untuk jadi pewaris ...."
Setidaknya, Yaya bisa melihat rasa penyesalan itu terlihat tulus.
"Uhm ... kau bilang, kau kembar lima ...," ucap Yaya. Boboiboy mendongak padanya.
"Itu berarti, ada 2 lagi yang belum aku temui?" lanjutnya.
Boboiboy mengangguk.
"Apa kau percaya padaku...?" tanya Boboiboy dengan suara kecil. Yaya hampir tak bisa mendengarnya.
"Percaya ...?" Yaya agak bingung.
Boboiboy mendengus. "Soal kembaranku yang hidup bersama di dalam tubuhku ... atau kau pikir aku ini mengalami gangguan jiwa?"
Itu pertanyaan yang sangat berat untuk dijawab.
Kalau dipikir secara rasional. Yaya lebih condong percaya Boboiboy mengalami gangguan jiwa dan tidak mau mengakuinya.
Namun, di sisi lain, Yaya tahu banyak hal aneh di dunia ini yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.
Mungkin Boboiboy bisa melihatnya kebingungan jadi ia tersenyum tipis padanya.
"Maaf, itu pertanyaan bodoh. Tak usah dijawab, lagipula tidak akan mengubah apapun ...," bagian terakhir diucapkan dengan suara lebih pelan.
Yaya memandang Boboiboy. Ia tahu, ia berhak marah sekarang. Jujur, ia merasa seperti ditipu dan dipermainkan. Tapi ....
"Uhm ... terima kasih sudah mau jujur padaku," balas Yaya dengan senyum.
Boboiboy mengerjapkan mata.
"Kau tidak takut padaku?" tanya Boboiboy balik.
Itu sama sekali tidak disangka Yaya, jadi sang gadis kebingungan.
"Setelah kau jelaskan, aku mengerti keadaannya, jadi tidak ... aku tidak takut," jawab Yaya dengan jujur.
Boboiboy tampak terkesima dan Yaya malah bingung melihat reaksinya. Sang istri baru sadar, kalau mungkin saja Boboiboy sudah pernah mencoba menjelaskan kondisinya pada orang lain dan reaksi yang ia terima mungkin bukan reaksi yang Yaya berikan padanya.
"Terima kasih ...," balas Boboiboy dengan senyuman tulus. Bukan senyuman ramah, sopan ataupun tipis yang selama ini Yaya lihat, tapi sebuah senyuman yang tulus.
Senyuman itu bicara lebih banyak daripada kata-kata, membuat Yaya berpikir bahwa mungkin perkataannya adalah perkataan yang selama ini Boboiboy idam-idamkan diucapkan oleh orang lain padanya.
Membuat Yaya sadar, bahwa yang Boboiboy alami pasti berat.
"Jadi, kau bisa berubah-ubah seperti dalam waktu satu hari?" tanya Yaya, ia butuh informasi untuk menghadapi kondisi khusus Boboiboy ini.
"Ya, kurang lebih begitu. Tapi, aku merahasiakan ini dari kebanyakan orang. Yang tahu hanya keluargaku dan segelintir orang saja," jawab Boboiboy.
Yaya paham dengan cepat, Boboiboy adalah anak dari keluarga kaya yang terkenal. Kondisinya akan berpengaruh banyak pada keluarganya dan perusahaan bila sampai terbongkar.
"Kalau begitu, bagaimana dengan dua kembaranmu yang lain? Mereka seperti apa?" tanya Yaya, memutuskan untuk menyebut kepribadian Boboiboy yang lain sebagai 'kembaran', karena suaminya menganggap mereka seperti itu.
"Ah ... yang satu jarang sekali muncul, jadi kau tak perlu merisaukannya. Yang satu lagi ... entahlah, dari semua kembaranku, dia yang paling menentang pernikahan kita. Aku tidak tahu ... sikapnya padamu mungkin akan kasar, atau malah mungkin akan menganggapmu seperti tidak ada," jelas Boboiboy.
Yaya mengangguk.
"Terima kasih."
Yaya mendongak pada Boboiboy.
"Setidaknya, kau berusaha untuk mengerti kondisiku ... aku minta maaf sekali lagi ...."
Sikapnya yang seperti membuat Yaya tak bisa marah pada suaminya.
"Sudahlah Boboiboy, aku memang agak marah karena kau menyembunyikan ini dariku. Tapi ... aku mengerti situasinya. Jadi, apa boleh buat?" Yaya merasa marah pun tak akan ada gunanya.
"Oh ya, apa kembaranmu bisa muncul tiba-tiba tanpa peringatan?" tanya Yaya.
"Bisa ... tapi, kami berlima sudah terlatih untuk memegang erat kendali supaya tidak mudah direbut yang lain. Biasanya kami menentukan kapan akan muncul setiap harinya, jadi tidak ada masalah."
Yaya mengangguk.
"Itu berarti, aku bisa bertemu dengan kembaranmu yang lain sekarang?"
"Eh?"
"Aku pikir, mengenal mereka semua lebih cepat lebih baik. Oh ya, kalian semua punya nama masing-masing, 'kan?"
Yaya sedikit kebingungan saat Boboiboy butuh waktu lama untuk menjawabnya. Yaya tak begitu mengerti, tapi ia pikir ia bisa melihat Boboiboy sedang merasa bingung tapi juga terharu.
"Ya ... kami semua punya panggilan masing-masing. Aku Gempa."
"Gempa?" Yaya mulai berpikir apa mungkin penamaan aneh di keluarga Boboiboy itu merupakan sifat keturunan.
"Ya, yang semalam menyelinap ke kamarmu itu Api. Ah, aku lupa, aku minta maaf soal itu."
"Oh, sudahlah, itu tidak penting sekarang. Selanjutnya?"
"Tadi pagi, yang, uhm ... maaf, menggodamu, itu Taufan."
"Oh, ok," Yaya merasa ia harus mengingat yang satu itu.
"Lalu sisanya Halilintar dan Air. Kau harus hati-hati dengan Halilintar, aku yakin ia tidak akan menyakitimu secara fisik ... tapi mulutnya sedikit tajam ...," jelas Boboiboy.
Yaya mengangguk, ia agak pusing tapi ia berusaha untuk menerima semua ini.
"Aku bisa bertemu Halilintar sekarang?" tanya Yaya.
Boboiboy, oh maaf, Gempa kelihatan ragu.
"Kau yakin?"
"Ya, lebih cepat lebih baik."
"Aku bisa melepaskan kontrol, tapi aku tidak bisa menebak siapa yang akan mengambil alih jadi siap-siap saja ...," Gempa memperingatkan.
Yaya mengangguk mengerti.
Suaminya itu kemudian menutup matanya, kemudian membukanya lagi. Hanya sesederhana itu, tapi Yaya bisa melihat mata suaminya seakan berubah. Dari tadinya lembut dan hangat, menjadi tajam dan dingin.
"Tch."
Dan dia mendecak.
"Halilintar?" tanya Yaya hati-hati.
"Dengar, ya."
Nada bicaranya pun beda, lebih dingin dan lebih rendah, bahkan hampir serak. Sikap tubuhnya terlihat berubah. Kalau Gempa mempunyai sikap tubuh yang sopan, tegak tapi terlihat kecil pada saat yang sama, maka Halilintar memiliki sikap tubuh yang kaku dan berwibawa.
"Kau sudah paham situasi kami sekarang. Jadi, aku harap kau tutup mulut dan tidak akan menceritakannya pada siapapun."
'Itu ancaman?' batin Yaya sedikit takut.
"Lalu, aku tidak terima pernikahamu dengan kami. Aku tidak peduli dari kami semua yang menentang hanya aku, tapi kau bukan siapa-siapa bagiku."
Rasanya sedikit menyakitkan, namun mendengarnya juga membuat Yaya agak marah. Dia kan menikah juga karena terpaksa. Namun, sang gadis memilih untuk tidak protes karena takut apa yang bisa Halilintar lakukan padanya bila ia marah.
"Dan yang terakhir, kalau kau sampai menyakiti salah satu di antara kami, aku akan membuatmu menyesal sudah hidup!"
Yang terakhir benar-benar membuat bulu kuduk Yaya merinding.
Sang istri mencoba menghirup lebih banyak keberanian namun gagal.
"Untuk apa aku menikah dengan orang yang bahkan tidak percaya dengan kondisiku?" gerutu Halilintar dengan nada rendah, bangkit dari sofa dan berlalu meninggalkan Yaya.
Yaya hanya bisa terpaku di sana.
Perkataannya sangat kasar, tapi Gempa benar, Halilintar tidak menyakitinya. Tapi, cukup dengan kata-kata saja sudah mampu membuatnya takut dan gemetaran.
Dan Yaya baru sadar ....
Oh, ya ampun, ia benar-benar sudah menikahi laki-laki yang sangat merepotkan!
IoI
Yaya berusaha mencerna semua yang baru saja ia terima dengan perlahan, agar bisa lebih paham.
Sebenarnya ada dua penjelasan yang bisa menjelaskan keadaan Boboiboy.
Yang pertama, bagaimana kelima anak kembar hidup dalam satu tubuh.
Yang kedua, Boboiboy mengalami delusi bahkan memiliki gangguan kepribadian ganda.
Yaya masih belum tahu harus percaya yang mana, tapi ia mengenyampingkan hal itu.
Dari yang ia tangkap, tampaknya meski di bawah kendali yang lain, tapi semua kembaran langsung paham apa yang tengah terjadi. Apa itu artinya tidak ada gangguan ingatan? Halilintar tahu kalau Gempa baru saja menjelaskan semuanya pada Yaya saat itu juga. Gempa juga tahu apa yang sudah dilakukan Api dan Taufan.
Itu artinya, mereka semua bisa melihat dan merasakan apa yang terjadi pada saat yang sama, hanya yang memegang kendali tubuh hanya satu orang?
Oh itu, sangat memusingkan...
Yaya tidak mau mengakaui ini, tapi rasanya gangguan kepribadian tidak seperti itu. Apa benar kalau Boboiboy itu adalah kembar lima dalam satu tubuh?
Apa itu artinya, Yaya sudah menikahi lima, ok empat karena yang satu tampaknya tidak terima, orang sekaligus?
Yaya sudah tidak tahu harus bereaksi seperti apa, jadi ia mendekap kepalanya dengan bantal dan berteriak sekuat tenaga.
'Tok! Tok!'
"Yaya?"
Yaya terkesima dan segera bangkit, ia membuka pintu kamarnya dengan hati-hati. Ia bertemu mata dengan suaminya (yang mana nih?) yang tampak khawatir dan resah.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya.
Yaya berusaha menyugingkan senyuman padanya. "Iya ... aku agak pusing, tapi aku baik-baik saja."
"Uhm ... Maaf soal ancaman Halilintar, ia sedikit keterlaluan," tambahnya.
Pemuda di depannya itu menggigit bibirnya.
"Aku merasa ini tidak adil untukmu. Maksudku ... kalau kau merasa ... uhm ... ingin bercerai dariku, aku ... tidak akan menghentikanmu."
Yaya mengerjapkan mata. Ia merasa sedikit sedih mendengar perkataan suaminya itu. Perlakuan macam apa yang sebenarnya ia terima selama ini? Memang kondisinya aneh, tapi ia bersikap seakan semua orang akan lari darinya jika tahu kondisinya.
Atau mungkin, memang kenyataannya seperti itu.
"Tentu saja tidak."
Ia kelihatan terkejut. Yaya tersenyum padanya.
"Pernikahan tetap pernikahan. Aku akan mencoba menerima kondisimu. Jadi, tidak perlu takut."
Lagi-lagi tatapan itu, seakan perkataan Yaya membuat suaminya itu terharu.
"Terima kasih."
"Sama-sama," balas Yaya.
"Oh ya, aku mau pesan piza, kau mau?"
"Boleh, aku mau. Aku sudah lapar nih," Yaya tertawa kecil.
Yaya merasa, ia harus mencoba menjalani ini semua terlebih dahulu. Yang jelas, ia merasa, Boboiboy, semua kembarannya, meski ia belum bertemu yang satu lagi, mereka bukan orang jahat. Jadi, ia patut mencoba menjalani ini semua terlebih dahulu.
Ia harap begitu.
IoI
Tiba banyak hal yang bisa membuat Yaya takut. Meski tidak terlihat, gadis itu sebenarnya gadis yang tegar. Namun, seperti perempuan pada umumnya, ia juga kadang takut dengan hal-hal sepele.
Yaya sebenarnya masih bingung dengan apa yang baru saja dijelaskan Boboiboy, maaf, Gempa padanya. Meski setelah rangkaian penjelasan panjang, ancaman dari Halilintar, permintaan maaf dari Gempa kemudian mereka berdua makan malam seakan tidak ada apa-apa.
Aneh sekali rasanya. Kepala Yaya masih agak sedikit pusing, jadi ia memilih untuk mandi air hangat sebelum salat isya. Untunglah, di kamarnya ada kamar mandi, jadi ia tak perlu berbagi kamar mandi dengan suaminya.
Orang kaya memang hebat, Yaya tak tahu apartemen semewah ini berapa harga sewanya setiap bulan.
Sambil melamun, Yaya membasuh badannya sebelum akhirnya ia sadar ada sesuatu berwarna hitam sedang terbang ke segala arah dan akhirnya hingga di wajahnya.
"KYAAAAAAAAA!" jerit Yaya, panik bukan main karena serangga yang super duper ia benci, yang bernama kecoa memilih untuk hinggap di wajahnya.
Yaya panik, si kecoa juga panik dan akhirnya sadar kalau wajah gadis itu bukan tempat yang bagus untuk mendarat. Jadi, si kecoa terbang lagi dan sama paniknya dengan Yaya, jadi hanya bisa terbang ke segala arah.
Sang gadis buru-buru mengambil handuk dan menutupi tubuhnya. Tidak peduli bagaimana badannya masih penuh busa dan sabun, ia harus cepat melarikan diri dari tempat ini! Dari semua serangga ia paling benci dengan kecoa. Tapi dari semua kecoa, dia paling benci dengan kecoa yang bisa terbang!
Yaya keluar dari kamar mandi dengan tergesa-gesa.
"Yaya, kamu-"
Tidak sadar kalau Boboiboy sudah ada di depan pintu dan dengan indah menubruknya karena kakinya yang masih belum dibilas, jadi licin karena sabun.
'BRUK!'
Dan mereka berdua jatuh bertumpuk di atas lantai.
"Uuukh ...," Yaya mencoba untuk bangkit. Apa yang baru saja terjadi?
Sang istri bertemu mata dengan suaminya. Butuh waktu beberapa saat sampai ia sadar dimana ia sedang berada sekarang.
Tentu saja, tepat di atas tubuh Boboiboy, entah siapa yang sedang pegang kendali sekarang.
"Jujur, aku sama sekali nggak nyangka kamu bisa jadi agresif juga ...."
Cukup dengan godaan dan senyuman mesum itu, Yaya langsung paham siapa yang sedang ia hadapi. Ia memang sedang berada di atas tubuh suamina, tidak lupa juga Yaya sendiri tidak mengenakan apapun selain handuk yang sudah hampir terbuka.
Mukanya kontan memerah dan satu refleks yang ia keluarkan.
'BUAK!'
Kepalan tangannya bertemu dengan pipi Taufan.
"Jangan kurang ajar!" seru Yaya marah dengan muka sangat merah. Ia buru-buru bangkit dan memperbaiki handuknya.
Beberapa saat kemudian ia baru sadar.
Yang sudah ia pukul ini suaminya.
Sebenarnya, tidak dosa meskipun Taufan melihat Yaya telanjang sekalipun.
Sepertinya, ia datang kemari karena jeritan Yaya tadi.
Oh! Apa yang sudah ia lakukan!?
Di luar dugaan, yang ia dengar justru tawa.
"Hahaha! Baru kali ini aku kena pukul sama cewek! Kamu kuat juga ya ternyata ...," tawa Taufan sambil mengelus pipinya.
"Ma-maaf, habis kamu sih. Lagi panik malah digodain," bela Yaya.
"Emangnya kenapa sih? Kamu teriak-teriak gitu di kamar mandi, lagi karaoke?"
Yaya menahan diri untuk tidak menonjok suaminya lagi. Ini orang bisa serius apa tidak sih sebenarnya?
"Ada kecoa terbang-"
Dan si kecoa yang sedang dibicarakan, mungkin sadar kalau lagi dipanggil, memilih untuk terbang keluar kamar mandi ke dalam kamar Yaya.
"KYAAA!" jerit Yaya lagi, langsung melompat mundur sejauh mungkin.
"Eh buset, sejak kapan di sini ada kecoa? Bentar, kamu keluar dulu, nangkepnya susah nih," kata Taufan, Yaya segera menurutinya dan lari keluar kamar.
Yaya sebenarnya sangat malu dan sangat ingin untuk memakai baju. Badannya masih basah, penuh busa dan sabun, cuma ditutup selembar handuk, tapi ia lebih memilih terjebak dalam keadaan begini daripada harus menghadapi kecoa terbang.
"Udah aman sekarang, ini udah ketangkep," Taufan muncul dari kamar Yaya, memegang sebuah plastik (dapat darimana?) berisi kecoa yang tampak panik.
"Makasih ...," Yaya merasa sangat lega.
"Nah, sekarang, cepet bilas sana. Nanti badannya gatel lho," kata Taufan lagi. Yaya mengangguk malu.
Di luar dugaan, meski Taufan mesum dan agak jahil, tapi ia masih bisa diandalkan. Tampaknya, tidak begitu berbeda dengan Gempa.
"Maaf ya, udah mukul kamu," kata Yaya, merasa bersalah.
Taufan tersenyum padanya.
"Nggak masalah sih, toh sebagai gantinya, aku ngeliat pemandangan bagus, hahaha ..."
Mungkin seperti aba-aba, selembar handuk yang membalut tubuh Yaya hampir lepas.
"Dasar mesum!" omel Yaya, buru-buru lari ke kamar mandi lagi.
"Hahaha, mesum sama istri sendiri nggak apa-apa dong," Yaya mendengarnya dari balik pintu kamar mandi. Wajahnya merah namun mencoba untuk menenangkan diri. Jujur sekarang ia sadar, ia tidak masalah menikah dengan Gempa, tapi dengan Taufan, Halilintar, Api dan Air ....
Yaya memijat keningnya sendiri.
Apa ia bisa tahan menghadapi mereka semua?
IoI
'PRANG!'
Yaya melonjak, terkejut dengan suara sesuatu yang pecah di tengah malam. Baru saja ia bisa terlelap setelah terlalu resah untuk tidur.
Sang istri muda mengendap-endap keluar kamar, suasana apartemen gelap karena sudah malam. Hari kedua setelah ia menikah, tak ia sangka jadi seperti ini ....
Ia melihat lampu dapur menyala dan segera menuju ke sana. Ia melihat suaminya sedang berdiam diri, entah karena apa. Namun, dari deru napas yang cepat, Yaya segera tahu kalau kondisi emosinya sedang tidak baik.
"Uh ... Boboiboy?" Yaya tidak tahu harus memanggil nama siapa karena tidak tahu siapa yang sedang memegang kendali, jadi memanggil nama Boboiboy itu yang paling aman.
Dengan cepat suaminya menoleh, wajahnya kesal dan matanya sedikit berkaca-kaca.
"Ngapain kau ke sini?" tanyanya dengan nada ketus.
Yaya mengerjapkan matanya, berusaha untuk menerka-nerka siapa yang tengah ia hadapi. Ia tahu ia harus mulai belajar mengenali semua kembaran suaminya mulai dari sekarang agar tahu harus memberi respons seperti apa.
Dari wajahnya yang kesal, Yaya menebak antara Halilintar dan Api. Tapi, dari suaranya yang sedikit tinggi, hampir cempreng, tebakan Yaya lebih mengarah ke Api.
"Kenapa gelasnya pecah?" tanya Yaya balik, ia cepat mengambil sapu yang ada di sudut dapur dan mulai membersihkan lantai. Bahaya kalau sampai ada luka.
"Aku mimpi buruk, nggak bisa tidur ...," jawab suaminya dengan wajah merengut.
Sekarang Yaya yakin ia berhadapan dengan Api.
"Kamu mau bikin sesuatu?" tanya Yaya. Api mengangguk.
"Susu hangat ...," jawab Api lagi. Yaya berusaha mengulum senyum. Jika Api yang pegang kendali, entah kenapa rasanya ia berhadapan dengan anak kecil. Atau lebih tepatnya, anak kecil yang terjebak dalam tubuh orang dewasa.
"Biar kubuatkan sebentar, kamu duduk dulu di sana, hati-hati nanti kena pecahan beling," kata Yaya, menyapu di sekitar Api, mengumpulkan pecahan gelas yang berserakan di lantai.
Api masih terlihat kesal namun menurut dan duduk di meja makan sambil menatap Yaya.
Sambil menyapu, Yaya baru sadar kalau Api mungkin saja masih marah karena insiden kemarin malam.
"Ah, maaf ya, soal kemarin malam," kata Yaya hati-hati.
Api mencibirkan bibirnya, jelas ia masih marah.
"Aku kan agak kaget ... makanya maaf, ya," tambah Yaya lagi. Ia menyapu semua pecahan gelas ke pengki, kemudian membuangnya ke tempat sampah.
"Hm ... kata Gempa, aku nggak boleh tidur sama kamu," balas Api. Dari nada dan wajahnya, tampak jelas kalau ia tidak suka dengan keputusan itu.
Yaya menaruh kembali sapu dan pengki di tempatnya kemudian berjalan menuju kulkas untuk mengambil sekotak susu segar.
"Memangnya, kamu kalau mimpi buruk nggak bisa tidur sendiri?" tanya Yaya, mengambil gelas baru dan menuangkan segelas susunya di sana.
"Aku dulu biasa tidur sama Tok Aba ...."
Yaya mendongak dan berbalik menatap Api yang sedang memangku tangan di meja makan. Wajahnya tampak sendu, entah kenapa melihatnya Yaya menjadi merasa kasihan.
"Tapi, sejak Tok Aba meninggal ...."
Sang istri menaruh segelas susu ke dalam microwave kemudian menyalakannya agar susunya menjadi hangat.
"Bagaimana dengan orang tuamu?" tanya Yaya.
Ia tidak menyangka reaksi yang ia terima adalah hentakan keras di meja.
'BUK!'
"Aku benci mereka."
Itu adalah sebuah pernyataan yang sangat mengagetkan. Karena, meski kelihatannya interaksi Boboiboy dengan orang tuanya setelah mereka menikah biasa saja.
Ah, itu Gempa, ya.
"Kenapa begitu?" tanya Yaya lagi, duduk di seberang Api sambil menanti susunya hangat.
"Soalnya mereka benci aku."
Sang gadis hanya bisa termangu mendengarnya. Ia merasa kebingungan, namun dari tampangnya, jelas Api tidak akan menjelaskan lebih dari itu.
"Jadi, dari kecil kamu biasa tidur sama Atokmu?" tanya Yaya, berusaha mengalihkan pembicaraan. Api mengangguk, wajahnya kesal namun tampak kekanakan. Meski agak ganjil, tak sulit untuk Yaya membayangkan Api manja pada kakeknya.
"Tapi dulu, Papa sering marah kalau aku ketauan tidur sama Atok."
"Papa ...?"
Saat Api mendelik pada Yaya tajam, sang gadis tahu sebaiknya ia tidak berkomentar soal itu.
"Makanya kamu mau tidur sama aku ...?" tanya Yaya lagi. Api kembali mencibirkan bibirnya, tampak kesal karena keinginannya terus terhalang.
Yaya menatap suaminya yang ada di depannya. Gempa yang sangat sopan dan pengertian, Taufan yang mesum dan jahil, Halilintar yang dingin dan menakutkan, lalu Api yang kekanakan dan temperamental ....
Mereka semua sangat berbeda. Yaya merasa cara menangani mereka pun memang harus berbeda.
"Kamu boleh tidur sama aku malam ini."
Wajah merengut itu segera berubah menjadi wajah terkejut.
"Beneran?" tanya Api terlihat tak percaya.
"Iya, tapi kamu harus janji ... jangan melakukan yang aneh-aneh," kata Yaya. Meski Api terlihat kekanakan, mau bagaimana pun juga tubuhnya tetap saja laki-laki normal berumur 25 tahun.
"Ih, aku bukan Taufan kali," gerutu Api, namun dengan cepat wajahnya tersenyum cerah.
Yaya tidak bisa menahan diri, ia ikut tersenyum melihatnya.
"Ting!" Microwave berbunyi dan Yaya segera bangkit mengambil segelas susu hangat dari dalam alat tersebut.
"Ini, minum dulu sampai habis. Jangan lupa gosok gigi, terus kita tidur," kata Yaya, entah kenapa merasa jiwa keibuannya muncul. Ia sedikit takut salah memperlakukan Api sebagai anak-anak. Namun, Api sama sekali tidak protes, ia mengambil gelas tersebut dari tangan Yaya dan segera meminumnya perlahan.
Jika Gempa bisa membuat meminum secangkir teh terlihat elegan dan berkelas, maka Api bisa membuat meminum segelas susu hangat begitu kekanakan dan manis. Caranya memegang gelas dengan kedua tangannya, meniup susunya perlahan kemudian meminumnya sambil tersenyum.
"Udah habis," katanya dengan bangga, menunjukkan gelasnya yang sudah kosong. Yaya berusaha agar tidak tertawa.
Asalkan tidak marah, sebenarnya Api manis sekali.
"Itu ada bekas susu di bibir," kata Yaya, menunjuk bibir atas Api. Dengan cepat suaminya itu menjilatnya kemudian mengelapnya dengan tangan.
"Sekarang gosok gigi," kata Yaya mengingatkan.
"Iya, cerewet," balas Api, namun sang istri tahu itu main-main dan tidak serius. Api berlari kecil ke kamarnya karena kamar mandinya ada di dalam sana dan beberapa saat kemudian sudah kembali ke depan kamar Yaya.
Yaya yang sudah menanti di kamar, berusaha menyiapkan mentalnya, tersenyum padanya.
"Kamu tidur di sini, ya," Yaya menunjukkan satu sisi yang sudah di rapikan. Ia harusnya bersyukur ia mendapat tempat tidur yang cukup besar, ukuran double small bed yang cukup untuk dua orang. Yaya menyiapkan satu guling di tengah-tengah kasur untuk pembatas.
Api menatap guling itu lekat-lekat, sejenak Yaya menyangka ia akan marah namun ternyata Api tak mengatakan apapun dan langsung melompat ke sisi tempat tidur bagiannya.
"Met bobo ...," katanya, terlihat puas, menyamankan dirinya di tempat tidur.
"Selamat tidur."
Yaya tersenyum, ia mematikan lamput tidur di samping tempat tidur dan segera membaringkan dirinya. Ia agak sedikit takut tidur bersama suaminya, tapi ia percaya Api tidak akan melakukan hal-hal aneh.
Selama Taufan tidak muncul ... semoga saja.
TBC
------------
Ok? Kalian bingung sekarang? Aku udah bilang Boboiboy nggak kena DID. Jadi, meski kondisinya dia mirip sama kepribadian ganda, tapi bukan. Dia kembar lima dalam satu tubuh. Dari lahir udah begitu dan nggak bakal ada kembaran yang menghilang ataupun bertambah. Mereka juga bisa melihat dan mendengar apa yang terjadi meski nggak megang kendali. Dan karena bukan penyakit, jadi ya nggak bisa sembuh.
Sayangnya, nggak ada yang percaya dan Boboiboy malah kena diagnosa DID. Di situ lah inti masalahnya.
Aku bikin fanfic begini, selain karena pengen bikin kondisi dimana Yaya harus menghadapi 5 elemental Boboiboy sekaligus, tapi juga tentang gimana perlakuan yang diterima orang-orang yang punya kondisi khusus. Banyak kan di dunia ini hal-hal yang nggak bisa dijelaskan secara ilmiah dan logika? Orang-orang dengan kondisi khusus ini nggak jarang diperlakukan seperti orang gila. Di sini lah temanya.
Maaf ya, kalau ceritanya aneh dan susah dimengerti.
Aku bakal berusaha bikin cerita fanfic ini nggak terlalu berat dan bakal menyisipkan humor di setiap chapter-nya.
Air belum muncul? Aku tuh mengulur waktu sambil menanti kapan bisa liat kepribadian Air di kartun Boboiboy ... tapi kalau nggak muncul-muncul juga ... ya udahlah, kemungkinan Air muncul chapter 3 atau 4, lihat aja ya.
See you next time. Ingat, semakin banyak review semakin cepet aku update, semakin sedikit, semakin lama, gitu aja, hahaha *author dilemparin tomat busuk sama pembaca
Review!
----------
K O L O M N U T R I S I
----------
1. Sudah mengerti dengan kondisi BoBoiBoy?
2. Jika kamu ada di posisi Yaya, apa tanggapanmu terhadap 'para kembaran' BoBoiBoy?
3. Apa pendapatmu terhadap Chapter 2 di Love The Way You Are ini?
***
Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.
***
Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?
Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Love The Way You Are.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top