Chapter 19
Manusia itu memiliki bermacam-macam sifat, antara yang satu dengan yang lain memiliki sifat dan pemikiran yang berbeda. Bahkan untuk anak kembar identik yang memiliki DNA yang sama, belum tentu memiliki pemikiran yang sama. Namun, banyak manusia yang sering melupakan hal itu dan cenderung menggeneralisasi manusia lainnya.
'Semua cowok itu sama aja.'
'Mana ada orang tua yang menelantarkan anaknya.'
Dan lain sebagainya, menganggap suatu hal mayoritas merupakan sesuatu yang 'wajar'.
Namun pada kenyataannya, ada manusia-manusia yang berbeda dengan kelompok mayoritas yang ada. Hal yang 'sewajarnya' dimiliki seseorang, belum tentu dimiliki orang lainnya. Sehingga kadang, manusia melupakan kalau hal yang 'sewajarnya' itu adalah sesuatu yang harus disyukuri, karena ada orang lain yang belum tentu memiliki hal yang sama dengannya.
"Ayah tak menyangka kamu melakukan ini ..."
Jika kasih sayang orang tua adalah sesuatu yang wajar, maka Gempa yakin, ia tidak menerima sesuatu yang sewajarnya itu. Namun, daripada menyalahkan orang lain, ia lebih menyalahkan dirinya sendiri. Karena memang, dirinya merupakan manusia di luar golongan manusia normal.
Ia bahkan tak bisa membela dirinya sendiri. Ia hanya menatap hampa foto-foto dan laporan tertulis bagaimana apartemennya porak poranda seperti diterjang puting beliung.
Meski mengatakan kalau ia tak menyangka, pada kenyataannya ayahnya tidak terlihat terlalu terkejut. Wajahnya tetap dingin tanpa ekspresi, seakan sudah menduga kalau hal itu akan terjadi cepat atau lambat. Sayangnya Gempa harus mengakui kalau ini bukan pertama kalinya ia dan saudara-saudara kembarnya menghancurkan barang-barang di sekeliling mereka, mengamuk tak terkendali.
"Bagaimana reaksi Yaya?"
"...ia tidak marah...," jawab Gempa dengan suara kecil.
"Ini semua terjadi karena kamu tidak rutin minum obat, Ayah tahu hal itu. Hanya karena Ayah memberimu kebebasan bukan berarti Ayah tak tahu apa yang kau lakukan. Bagaimana kalau orang lain tahu soal hal ini?"
Gempa hanya bisa menutup mulutnya. Ia benar-benar tidak memiliki kata-kata yang bisa membela dirinya. Bagaimana ayahnya bisa mengerti? Hidupnya terasa seperti hancur ketika mengira Yaya akan pergi meninggalkannya.
"Untung saja istrimu bisa mengerti, kalau tidak?"
Gempa hanya terus diam, matanya hanya bergulir menatap lantai. Tentu saja ia menyesal sudah melakukan itu semua. Namun, tetap saja ... ia tak memiliki pilihan lain. Sudah untung ia hanya menghancurkan barang-barang, bukan melukai dirinya sendiri atau orang lain.
"Ayah akan meminta ibumu untuk mengurus masalah mertuamu, setelah ini Ayah minta kamu rutin mengkonsumsi obat dan pergi ke psikiater."
Gempa hanya mengangguk, merasa ibunya hanya akan memperkeruh pendapat mertuanya dengan dirinya, tapi tahu ia tak bisa melawan.
Ia hanya ingin cepat pulang, memeluk Yaya dan tidur, meninggalkan semua kepenatan dunia nyata untuk sesaat.
"Dan Ayah minta kamu menjaga sikapmu setelah ini. Kamu harus sadar posisimu Boboiboy. Sampai kapan mau begini?"
Gempa ingin membalas, ia bukannya melakukan semua itu dengan sengaja. Namun, lagi-lagi ia tahu kalau ayahnya tak akan mengerti.
"Satu lagi, sebagai hukumannya, Ayah sudah meminta boneka jelek itu dibakar di belakang rumah. Masa umur segini masih menyimpan boneka seperti itu? Memangnya kamu anak perempuan?"
"Eh...?" Akhirnya Gempa mengeluarkan suaranya. Ia mengerjapkan mata. Butuh beberapa saat sampai ia paham apa yang ayahnya maksudkan.
Ochobot...?
Gempa berusaha sekuat tenaga agar mimik wajahnya tidak berubah, tapi sangat sulit. Ia hanya menanti ayahnya selesai bicara, kali ini soal perusahaan, sebelum akhirnya ia bisa keluar ruang kerja ayahnya di rumah kemudian berlari secepat yang ia bisa ke belakang rumah.
'Hukuman' begitu ayahnya menyebutnya.
Hal yang sama terjadi pada skateboard milik Taufan, karate dougi miliki Halilintar, mainan robot kesayangan Api, dan mengubah kolam renang menjadi taman, padahal itu tempat kesukaan Air.
Gempa berhenti, saat ia bisa melihat dari jendela bagaimana api menyala dan asap hitam membumbung tinggi ke angkasa.
Ia bahkan sudah tidak bisa melihat bentuk boneka kesayangannya lagi.
Matanya mulai berkaca-kaca dan air mata berkumpul di sudut matanya.
Kenang-kenganan daru Tok Aba ... satu-satunya teman yang ia miliki ...
Tangannya menyentuh kaca jendela sedikit gemetaran.
Satu persatu kenangan dimana ia melewati masa-masa sulit bersama Ochobot kembali menyeruak.
Ia juga cuma manusia biasa ...
Ia cuma ingin teman, atau mendapatkan pelukan hangat. Dulu hal itu mustahil dan Ochobot adalah satu-satunya hal yang paling mendekati semua itu.
Gempa berusaha menenangkan dirinya. Ia masih belum sepenuhnya bangkit dari trauma penolakan ibu Yaya. Meski tahu Yaya masih ada di sisinya sekarang, tapi ia masih terus ketakutan istrinya akan pergi begitu saja.
Ia harus cepat pulang sekarang, cepat pulang sebelum mentalnya hancur berkeping-keping dan ia tak bisa berpikir lurus lagi.
Gempa berjalan cepat ke depan rumah, berusaha untuk fokus dan tak memikirkan apa-apa.
"Oh, Alif! Ibu kangen banget sama kamu!"
Namun saat hendak menuruni tangga, pekikan dari ibunya menghentikan Gempa.
Ia tahu sebaiknya ia cepat pergi, tapi tubuhnya seakan menolak perintahnya dan hanya diam di tempat, melihat apa yang terjadi di depan matanya.
"Halo Tante, apa kabar?"
"Baik ... alhamdullilah ... Kamu sendiri gimana? Kok kurusan sekarang? Aduuh ..."
Gempa hanya melihat dengan getir, bagaimana ibunya yang biasanya dingin padanya terlihat begitu keibuan dengan orang lan.
Aba Corporation yang memiliki yayasan amal, tak mengherankan orang tuanya memiliki beberapa anak asuh. Anak-anak kurang beruntung yang diberi bantuan serta beasiswa.
"Ah nggak kok Tante, saya memang begini dari dulu, Om ada?"
Gempa tak ingin melihat bagaimana ibunya membelai punggung dan pundak anak asuhnya dengan penuh sayang. Atau bagaimana ia penuh senyuman, bahagia karena anak kesayangannya pulang.
Sejak kecil Gempa sudah terbiasa dengan semua itu, ibunya selalu seperti orang lain kalau bertemu anak-anak atau anak asuhnya. Ibunya yang biasanya dingin dan tak mau bertemu mata dengannya.
"Iya ada, kamu ada perlu ya? Tapi nanti harus makan siang di sini ya, temenin Tante."
"Iya Tante ... terima kasih."
Gempa berusaha menghentikan reflek tubuhnya untuk memeluk tubuhnya sendiri. Tanpa sadar, kedua lengannya makin gemetaran.
Ia ingat saat-saat ia berjuang sekuat tenaga, agar bisa mendapat sedikit kasih dari ibunya. Hanya sekedar senyuman kecil atau belaian lembut di kepala.
Namun, tentu saja, sekuat apapun ia berjuang, ia tidak pernah mendapatkan semua itu.
Saat ini, ingin rasanya ia menangis, berlari ke ibunya, meminta untuk ditenangkan, karena teman kesayangannya yang sudah dibakar tak akan bisa kembali.
Ia juga ingin ...
... disayang.
Ia ingin berteriak, "tidak adil". Karena bukankah seharusnya ia yang menerima semua kasih itu?
Namun, ia tahu kenapa ibunya bersikap dingin padanya.
Karena memang karena dirinya seperti ini ... memang dirinya yang seperti ini, tidak berhak mendapat kasih dari orang tuanya sendiri.
IoI
Kadang ada barang yang bisa menghilang di rumah sendiri. Yaya pernah mengalaminya, novel yang dulu pernah ia beli, entah kenapa bisa menghilang dan tidak bisa ditemukan lagi. Itu suatu misteri yang tidak bisa dipecahkan. Barang yang selalu ada di dalam rumah dan tidak dibawa keluar, kenapa bisa hilang?
Kalau dicuri, lain lagi ceritanya.
"Aduh ... kemana ya?"
Yaya berusaha membongkar kardus demi kardus, berusaha untuk tidak panik dan membuat suasana makin berantakan.
Apa yang harus ia katakan pada suaminya?
Boneka kesayangan suaminya hilang ...
Yaya hanya menemukan Kokoa, padahal ia yakin ia mengepak Ochobot bersama boneka beruang buatannya itu.
Setelah insiden suaminya mengamuk dan hampir menghancurkan seisi apartemen, meski Yaya merasa mereka bisa membereskan apartemennya lagi, tapi suaminya bersikeras untuk pindah.
"Sebenarnya aku sudah menyiapkan rumah ini untuk hadiah saat resepsi pernikahan kita, tapi sudahlah..."
Dan akhirnya mereka berdua pindah ke sebuah rumah di sebuah kompleks perumahan, yang tentunya miliki Aba Corporation juga. Rumah yang terdiri dari dua lantai yang sudah didesain sedemikian rupa hingga cocok untuk Yaya maupun Boboboy bersaudara.
Memang nyaman, tapi bagi Yaya rasanya terlalu luas untuk ditinggali berdua saja.
Yaya sendiri sibuk membongkar barang-barang pindahan. Memang tidak banyak yang bisa diselamatkan dari apartemennya, tapi barang-barang di kamar Yaya tidak tersentuh dan dari ruang penyimpanan rahasia Boboiboy pun masih utuh.
Ochobot dan Kokoa juga selamat meski tertimpa lukisan.
Lalu sekarang, kenapa bisa menghilang?
"Aduh bagaimana ini...?" Yaya jadi semakin panik karena tak bisa menemukan Ochobot.
Ia terkejut saat mendengar deru mobil di depan rumahnya yang kemudian berhenti.
Oh, gawat! Boboiboy sudah pulang! Semoga ia tak sadar kalau Ochobot menghilang, Yaya berdoa boneka kesayangan suaminya itu hanya tertimbun di antara sekian kardus pindahan yang belum dibongkar.
Pintu dibuka tanpa permisi dan tanpa ucapan salam, suaminya masuk ke dalam rumah.
"Boboi-"
Yaya belum mengatakan apa-apa, tapi suaminya sudah memeluk dirinya dan hampir membuat keduanya terjatuh ke lantai karena mendadak Yaya harus menopang berat suaminya.
"Ukh..."
Sebuah rintihan pelan yang menyayat membuat Yaya melupakan soal Ochobot yang hilang.
Kenapa? Ada apa? Ia hanya bisa panik sambil memeluk balik suaminya.
"Ada apa...? Apa terjadi sesuatu?" Yaya berusaha untuk tidak terdengar sedang panik.
Kedua lengan suaminya yang mencengkram tubuhnya dengan erat gemetaran hebat. Kepalanya ditenggelamkan ke pundak Yaya, napasnya berat dan terisak, hampir sulit untuk mendengar apa yang sedang ia katakan.
"...maaf..."
Yaya hanya terdiam mendengarnya.
"...aku tidak sengaja... uhuhu... maaf... hu... hiks..."
Yaya tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa, saat suaminya sedang seperti ini sulit untuk menebaknya.
Ia hanya bisa memeluk suaminya erat, sambil membelai punggungnya dengan lembut.
"...uh... huaaa... hiks hik... maafkan aku... hiks... huaaa..."
Dan Yaya hanya bisa menatap tangis suaminya yang pecah. Ia meraung dan merintih akan sesuatu, tapi Yaya tak bisa mendengarnya dengan jelas. Air matanya mengalir dengan deras, entah kenapa rasanya seperti melihat anak kecil yang sedang terluka dan penuh dengan trauma.
"Api...?" tebak Yaya. Ia berusaha membelai pipi suaminya yang penuh dengan air mata.
"Ukh... hiks... ngh... huaaaa... Ochobot..."
Yaya berusaha mendengarkan apa yang Api berusaha katakan, di antara semua raungan dan isak tangis itu.
"Ochobot... dibakar?" akhirnya Yaya mengerti apa yang berusaha Api ucapkan.
"Aku nggak... sengaja... ukh... hiks hiks... huaaa... Atook..."
Yaya hanya diam, ini pertama kalinya ia menghadapi Api seperti ini. Tangisannya berbeda dengan tangisan kembaran yang lain.
Tangisannya seperti anak kecil ... sambil memanggil orang yang ia sayangi, seperti meminta untuk ditenangkan.
"Sssshhh... Api... tenang sayang...," Yaya berusaha menenangkannya.
"Ukh...uhuk... uhuk...," Api terbatuk karena tersedak isak tangisnya sendiri. Yaya menghapus air mata yang ada di pipinya.
"Kepalaku sakit...," rintihnya.
Namun, bukan hanya memegangi kepalanya, Api juga memegangi dadanya.
"Iya... makanya, kita ke kamar ya," Yaya berusaha membujuk.
"Ngh... sakit... sesak...," raung Api membuat Yaya kebingungan.
Pada akhirnya ia hanya bisa menatap suaminya, yang menangis dan meraung seperti berusaha menguras semua air matanya keluar. Dalam hati ia bertanya, apa ini yang terjadi ketika suaminya menyangka ia akan meninggalkannya? Ia seperti kehilangan dirinya sendiri dan tidak sadar siapa dan apa yang terjadi di sekitarnya.
Namun, secara insting ia tahu, Yaya masih ada di sana dan berusaha menenangkannya. Karena kedua tangan yang gemetaran itu, terus memegangnya, tak membiarkannya pergi.
Kehilangan Ochobot saja suaminya jadi seperti ini, apa yang akan terjadi bila Yaya benar-benar meninggalkannya? Yaya tak sanggup membayangkannya.
IoI
Yang paling menyakitkan ketika melihat orang yang disayangi menderita adalah saat ketika tak ada yang bisa dilakukan untuk mengurangi penderitaannya.
Yaya mendesah panjang, berusaha mengurangi penat yang menyerang kepalanya.
Berat dan sakit rasanya melihat suaminya dalam kondisi seperti itu.
Yang lebih menyedihkan, Yaya membayangkan bagaimana saat suaminya masih sendirian tanpa ada seorang pun yang bisa menenangkannya.
Rasanya seperti apa, hanya bisa meraung dan menangis seorang diri.
Apalagi suaminya belum benar-benar pulih sejak penolakan dari ibunya. Lukanya masih terlalu baru dan ia sudah menerima luka lain lagi.
Yaya merasa kasihan, tapi juga merasa kesal pada dirinya sendiri karena ia bingung bagaimana ia harus membantu suaminya.
Ia ikut merasa frustrasi.
Yaya tersentak saat mendengar langkah kaki dan melihat suaminya ternyata memasuki dapur di mana ia berada.
Wajahnya sudah jauh lebih tenang, meski matanya sedikit membengkak karena menangis terlalu banyak.
"Kamu sudah baikan?" tanya Yaya.
"Sudah..."
Jawaban yang singkat dengan nada rendah dan terkesan dingin. Halilintar ya?
Yaya memandangnya, ingin menanyakan banyak hal tapi tak tahu apa yang harus ia katakan. Halilintar hanya mengambil gelas dalam diam dan menuangkan air kemudian meminumnya.
"Kenapa?"
Halilintar menoleh padanya.
"Maksudku ... kenapa Ochobot dibakar?" tanya Yaya dengan hati-hati.
Halilintar memandang keluar jendela dengan tampang hampa. Ia tidak terlihat emosional, berlawanan dengan Api. Namun, tatapan itu terasa sendu.
"Karena kita menghancurkan apartemen," jawabnya.
Yaya diam sebentar. Ia bisa mengerti letak kesalahan suaminya. Kalau dikeluarga lain, menghancurkan seisi rumah memang sebuah kesalahan besar. Namun, Yaya juga paham kondisi mental suaminya. Ia tak bisa menyalahkannya, makanya ia tidak marah. Semua itu terjadi karena suaminya tidak bisa menangani emosi yang meluap dengan baik.
"...kenapa...?" Yaya menggumamkannya lagi.
Suaminya yang selalu sendirian, yang hanya memiliki boneka beruang sebagai temannya, itu saja sudah menyedihkan. Ia pun tahu kalau suaminya tahu itu menyedihkan.
Namun, boneka itu kemudian dibakar...
Entah seperti apa rasanya, tidak heran Api sampai seperti itu.
Halilintar diam beberapa saat, tapi Yaya juga tidak menanti jawaban. Mereka hanya termenung di dapur, dengan lampu temaram dan keheningan malam.
"...dulu tidak seperti itu."
Yaya mendongakkan wajahnya, mendengar Halilintar bicara. Kembaran suaminya itu menatap keluar jendela, menatap jauh, entah apa yang ada di refleksi matanya.
"Dulu orang tua kita masih peduli ... awalnya."
Yaya menanti dengan sabar, tiap kalimat memiliki jeda panjang. Mungkin terlalu sakit untuk diingat, tapi Yaya memberikan pilihan kalau akhirnya suaminya mau menceritakan keadaan keluarganya.
"Kondisinya kita dulu lebih kacau... mengamuk... menangis... menyakiti orang... pada akhirnya mereka pun kehabisan kesabaran."
Yaya terdiam, berusaha membayangkan itu semua. Ada orang tua yang mencintai anaknya apa adanya, tapi ada juga orang tua yang tidak sanggup menerima kondisi anaknya yang berbeda dengan anak lainnya.
Anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus.
Yaya bahkan tahu ada orang tua yang memasung anaknya yang memiliki keterbelakangan mental. Atau yang sengaja menelantarkan anaknya ke tempat yang jauh.
Yaya sendiri tahu, beratnya menghadapi orang-orang seperti mereka. Karena jujur, tubuh dan hatinya pun kadang lelah menghadapi kondisi suaminya. Melihat suaminya tertekan ia ikut tertekan, melihat suaminya terluka ia pun ikut terluka. Semua itu melelahkan.
Namun, rasa cintanya lebih besar jadi ia bisa menerima semua itu.
Ia merasa kasihan dengan orang tua Boboiboy, yang pasti lelah dengan kondisi anaknya, tapi juga merasa marah kenapa mereka tidak bisa menerimanya.
"Bunda yang menerima beban paling berat ... mungkin."
Yaya kembali fokus pada Halilintar. Di matanya, ia bisa melihat kebencian, tapi juga ada kesedihan.
"Orang tua kita bertengkar hebat... karena Bunda... seperti gagal memberikan keturunan yang bisa melanjutkan perusahaan..."
Yaya sama sekali tidak bisa berkomentar mendengar hal itu. Keturunan pasti segalanya untuk keluarga yang memiliki perusahaan besar. Bukan hanya sekedar buah hati, tapi untuk menjadi pewaris perusahaan.
"Bunda tidak bisa hamil lagi..."
Yaya tidak memerlukan cerita yang lebih detail, kenapa dan bagamana karena itu semua tidak penting. Satu kenyataan itu saja sudah terasa menyakitkan untuk didengar. Banyak orang yang menganggap wanita yang mandul itu tidak ada artinya.
Seperti apa rasanya, tidak bisa hamil lagi dan anak satu-satunya tidak normal.
Yaya sekarang mulai paham dengan pemikiran suaminya. Kenapa setelah diperlakukan seperti itu oleh orang tuanya sendiri, ia tidak pernah benar-benar memberontak? Kenapa mereka semua masih bertahan di bawah tekanan semua itu.
Karena mereka merasa itu semua wajar...
Karena merasa mereka memang tidak layak dicintai...
Karena itu mereka tidak menyalahkan ... meski tidak menerima kasih dan mendapat perlakuan seperti itu.
Dan sebaliknya, terus berjuang untuk bisa layak mendapatkan kasih itu. Meski sayangnya belum mereka terima hingga sekarang.
"Terima kasih ... karena sudah mau bercerita padaku...," Yaya hanya bisa mengucapkan itu, tak bisa berkomentar soal semua yang terjadi pada suaminya.
Halilintar hanya mendesah pelan.
"Mau kubuatkan kompres untuk matamu?" tawar Yaya, berusaha mengalihkan perhatian. Ia merasa ingin menangis sekarang, tapi tahu tidak sebaiknya ia menangis ketika suaminya yang butuh untuk ditenangkan.
"Terserah...," jawab Halilintar.
Yaya pun menyibukkan diri membuat kompres, memakai kantung kompres dan es batu.
Apa suatu saat nanti orang tua Boboiboy bisa menerima kondisi anak mereka apa adanya? Dan apa suatu saat nanti Boboiboy juga mengerti kalau mereka layak dicintai?
Yaya berharap, suatu saat itu akan terjadi.
Ia berdoa dalam hati.
IoI
Air bersyukur ketika bangun tidur, matanya sudah tidak begitu bengkak. Malu rasanya jika ia harus pergi ke kantor dengan mata bengkak karena terlalu banyak menangis. Setidaknya setelah tidur, kondisi hatinya terasa lebih baik.
Lagipula, tidak baik terus bermuram durja, ia hanya akan membuat Yaya ikut frustrasi.
"Hati-hati ya di kantor," pinta Yaya sambil mengencangkan dasi untuknya. Air mengangguk, berusaha untuk membulatkan tekad agar bisa menghadapi banyak orang di kantor.
"Terima kasih..., aku berangkat, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Untuk sebagian orang, berhadapan dengan orang lain mungkin bukan masalah besar. Namun, Air merasa, berhadapan dengan orang lain merupakan hal terberat yang harus ia lakukan. Dan lagi, ia merasa saudara-saudaranya yang lain pun punya pemikiran yang sama.
Berat rasanya harus berpura-pura normal sepanjang hari. Kadang, seperti banyak mata mengintai setiap saat, setiap keganjilan yang tidak sengaja diperlihatkan, dan hal itu memang berat.
Namun, seperti inilah kenyataan.
Setidaknya ia memiliki Yaya di rumah, seseorang yang akan menyambutnya dengan penuh senyum dan tak perlu lagi bersikap berpura-pura normal.
Membayangkan Yaya, ia jadi ingin cepat pulang.
Begitu sampai di kantor, banyak karyawan yang menyapa, Air sendiri mencoba untuk fokus apa yang akan ia kerjakan hari ini. Kerjakan semua itu secepat mungkin jadi ia bisa segera pulang.
"Ah... Pak Direktur, ada yang menunggu Bapak, di ruangan Bapak."
Air cuma mengangguk sambil lalu, meski dalam hati bertanya siapa yang ingin menemuinya sepagi ini.
Ketika ia membuka pintu kantornya, ia akhirnya bertemu muka dengan tamu yang sudah menunggunya.
"Ah... Pak Direktur, selamat pagi."
"...Alif?" gumam Air sedikit syok. Dalam hati timbul rasa dengki melihat anak asuh kesayangan ibunya ada di kantornya.
Meski sebenarnya itu bukan hal baru, Alif memang salah satu anak buah kesayangan ayahnya yang sering disuruh-suruh berbaga hal. Pemuda yang lebih muda darinya, tinggi kurus, cukup tampan dan memiliki senyum sopan ini memang salah satu anak asuh orang tuanya yang berhasil mencapai taraf pendidikan yang tinggi.
"Maaf saya tiba-tiba mengganggu," katanya berbasa-basi.
"Ada perlu apa kamu ke sini?" Air menolak bertemu mata dengannya, dalam hati berharap orang ini cepat-cepat pergi dari pandangannya. Ia masih merasa ngilu membayangkan bagaimana ibunya membelai dan menyapa orang ini dengan lembut, sementara pada dirinya sendri...
"Begini ... saya disuruh oleh ayah Anda, untuk menjadi asisten Anda mulai dari hari ini."
"Eh...?"
"Maaf tiba-tiba, saya juga sudah mencoba untuk menolak, tapi ayah Anda bersisikukuh, makanya..."
Air sudah tidak mendengar kelanjutannya lagi, telinganya berdengung kencang membayangkan anak asuh kesayangan orang tuanya ini akan mengintainya setiap hari di kantor.
Sudah pasti ini cara ayahnya untuk bisa memantaunya lebih dekat. Tapi kenapa harus dia!?
Tak cukupkah ia menahan pedih melihat orang ini mendapat kasih sayang yang tak pernah ia dapatkan? Sekarang ia harus terus diingatkan bagaimana berbedanya orang ini dengan dirinya. Bagaimana ia adalah sosok 'sempurna' dibandkan dirinya 'palsu'.
"Pak Direktur ... Anda baik-baik saja?"
"Ya... cuma agak pusing...," jawab Air lirih, berusaha memikirkan cara untuk mencari waktu agar ia bisa bertukar dengan saudaranya yang lain. Ia tidak sanggup menerima keberadaan orang ini di dekatnya.
Ia hanya termenung saat Alif menyodorkan sebotol obat penuh tablet ke hadapannya.
"Ini titipan dari Tante, obat untuk Pak Direktur."
Air hanya membatu, dalam hati bertanya-tanya sejauh apa orang ini tahu tentang kondisi dirinya. Sudah cukup ia direndahkan oleh orang-orang yang tahu bagaimana keadaan dirinya sebenarnya.
Betapa menyedihkan ia sesungguhnya.
"Terima kasih...," Air hanya bisa menggumamkannya dan mengambil botol obat itu dengan berat hati.
"Saya ambilkan minum dulu, sebentar."
Dan Alif pun pergi.
Sedangkan Air berusaha menahan diri untuk tidak melempar obat di tangannya ke luar jendela.
Kantor akan berubah menjadi seperti neraka, mulai dari sekarang.
TBC
---------------
Makasih buat dukungannya, silakan yang mau me-review.
----------
K O L O M N U T R I S I
----------
1. Dari yang kamu lihat, bagaimana pribadi Alif?
2. Pernah dibandingkan dengan anak lain? Bagaimana perasaanmu?
3. Apa pendapatmu terhadap Chapter 19 di Love The Way You Are ini?
***
Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.
***
Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?
Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Love The Way You Are.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top