Chapter 16

Makasih buat review, flame, spam dan semuanya. Nggak tahu harus komentar apa, tapi saya sih berterimakasih aja. Kalau memang nggak suka dengan fanfic ini, bisa klik tombol 'back'. Saya nggak memaksa siapapun untuk baca, ataupun me-review. Saya nulis fanfic ini hanya untuk berbagi imajinasi saya yang kerap membludak.

Just enjoy it!

———————————————

Manusia tidak bisa hidup sendirian. Manusia adalah makhluk sosial, suka ataupun tidak suka, manusia tidak bisa hidup seorang diri tanpa bantuan siapapun. Karena, dalam kehidupan manusia terdapat hubungan dengan manusia lain. Di mana hubungan tersebut terdapat bercama-macam bentuk. Hubungan keluarga, hubungan saudara, hubungan teman hingga hubungan cinta. Setiap hubungan manusia memiliki kerumitannya masing-masing.

Bahkan untuk hubungan saudara kembar lima yang terjebak dalam satu tubuh.

Yaya sendiri baru menyadarinya akhir-akhir ini. Sedikit memalukan ketika pernikahannya sudah memasuki bulan ke dua, tapi sebagai pembelaannya, saudara-saudara kembar itu tidak bisa berinteraksi dua arah jadi tentu Yaya kadang lupa kalau dalam satu tubuh itu pun mereka memiliki hubungan yang kompleks antara satu sama lain.

Hanya karena tidak terlihat bukan berarti tidak ada.

Selama ini ia hanya beranggapan kalau mereka semua memiliki hubungan yang cukup baik. Tapi, setelah tahu bagaimana Gempa yang ingin bunuh diri, Taufan yang berusaha menghentikannya, Halilintar yang apatis, Api yang terjebak di dalam dunianya sendiri dan Air yang tidak mau keluar, Yaya rasa hubungan mereka semua jauh lebih rumit dari yang selama ini ia kira.

Setidaknya, Yaya merasa hubungan mereka cukup baik sehingga mereka bisa hidup damai berlima dalam satu tubuh.

Hari itu seperti biasa, sang istri pulang setelah seharian membantu restoran ibunya. Di tangannya terdapat belanjaan berisi sayur-mayur yang ia titipkan ke pegawai restorannya kemarin. Sebagai seorang istri, meski agak berat untuk mengakui kalau Gempa jauh lebih jago memasak dari dirinya, Yaya tetap bertugas mengurus dapur rumah tangannya.

Gempa tak protes meski bahan pangan mereka Yaya beli dari pasar, bukan dari supermarket. Yang Gempa tekankan hanyalah penggunaan minyak goreng kualitas tinggi juga margarin tanpa lemak trans. Sepertinya suaminya yang satu itu peduli sekali akan kesehatan makanannya.

Yaya sedikit bingung saat melihat sepatu suaminya sudah ada di kotak sepatu. Itu artinya suaminya pulang lebih dulu darinya? Padahal sekarang masih sore.

"Boboiboy ...," panggilnya. Ia menaruh barang belanjaan di meja makan kemudian berkeliling apartemen untuk mencari sosok suaminya.

Ia kemudian melihat suaminya duduk di kursi balkon apartemen mereka.

"Boboiboy, kamu jam segini sudah pulang? Ada apa?" tanya Yaya. Suaminya itu menoleh padanya, wajahnya tanpa ekspresi dan cenderung mengantuk membuat Yaya sadar kalau ia sedang berhadapan dengan Air. Namun, dari kedua bola mata coklat itu, Yaya bisa melihat rasa sedih yang terpendam.

"Air ... kamu kenapa?" tanya Yaya, duduk di sebelah suaminya.

Air menoleh kembali menatap langit senja.

"Bagaimana ... caranya meminta maaf yang baik?" Akhirnya ia bicara.

Yaya mengerjapkan matanya. Ia kemudian sadar kalau Air terlihat bimbang dan kebingungan. Meski terlihat tenang dan dewasa, Yaya sadar masih banyak hal yang Air tidak ketahui dan rasakan sendiri.

"Kamu berbuat salah pada seseorang?" tanya Yaya. Air mengangguk lirih.

"Kurasa kamu cuma bisa mengatakan maaf dengan tulus pada orang tersebut, tetapi soal orang itu akan memaafkanmu atau tidak itu kembali kepada orang tersebut. Yang penting kamu sudah meminta maaf lebih dulu," jelas Yaya penuh senyum.

Dari raut wajahnya, tampaknya Air tidak puas dengan jawaban Yaya. Sang istri jadi heran sendiri, kesalahan macam apa yang sudah diperbuat Air? Air yang cenderung frontal, jujur dan memiliki my pace sendiri itu jarang sekali terlihat menyesal akan sesuatu.

"Memangnya, kamu salah apa?" tanya Yaya. Apa mungkin Air melakukan kesalahan di perusahaan? Kemampuan bersosialisasi Air masih belum begitu bagus.

"Aku ... selama ini bersikap tidak adil pada yang lain," jelas Air lirih. Matanya menatap lantai dengan sendu.

"Yang lain?" tanya Yaya masih bingung. Ia baru menyadari kalau di pangkuan Air ada sebuah buku. Buku yang Yaya sudah lihat dan tahu apa isinya.

Buku dari time capsule yang Yaya bawa dari rumah orang tua suaminya.

"Sejak awal ... aku selalu berpikir apa gunanya hidup seperti ini— hidup yang tidak berarti. Karena itu semenjak Tok Aba meninggal, aku tidak mau keluar," cerita Air.

Yaya sudah tahu soal itu. Ia ingat Air pernah menceritakan hal itu padanya. Bagaimana hidupnya tidak berarti namun ia ingin berubah.

"Aku tahu bagaimana Gempa selalu berjuang, aku tahu kesulitan yang mereka semua alami ... aku bisa merasakan semuanya, melihat dan mendengar semuanya ... tapi aku tidak pernah keluar. Meski Gempa berusaha memotong pergelangannya sendiri ... meski Taufan susah payah membujuk Gempa ... meski Halilintar berusaha untuk belajar bersosialisasi, aku hanya diam dan tak pernah keluar ..."

Yaya tertegun mendengarnya. Ia sedikit tahu. Saat mereka kecil, yang menanggung semua beban hanya Gempa, karena itu suaminya itu hampir hancur dan menyerah. Untungnya Taufan sadar akan hal itu dan berusaha untuk membagi beban itu. Kemudian Halilintar perlahan berhenti menjadi apatis dan mau ikut berbagi.

Sebelum mereka semua menikah dengan Yaya, mereka sudah melewati banyak hal untuk bisa mencapai titik ini. Hubungan mereka semua mungkin jauh lebih buruk di masa lalu.

"Kenapa dulu kamu tidak keluar?" tanya Yaya. Setidaknya Air sekarang merasa menyesal, tanda kalau ia pun sebenarnya peduli dengan kembarannya yang lain. Meski dulu ia tidak mau keluar dan menolak untuk melakukan apapun.

Air menatap langit senja, seakan bingung untuk menemukan kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Yaya.

"Aku takut ... aku tidak merasa aku bisa membantu. Aku tidak tahu harus melakukan apa, aku takut aku hanya akan menyusahkan saja ... makanya—," kata-katanya berhenti dan menggantung.

Yaya tidak tahu bagaimana rasanya hanya diam menyaksikan dan merasakan kehidupan yang memilukan. Jika itu dirinya, ia pasti ingin bisa melakukan sesuatu untuk mengubahnya. Namun, ia tak bisa menyalahkan Air. Berbicara memang mudah, tapi melaksanakannya tak akan mudah. Pada akhirnya hubungan mereka dengan orang tua mereka pun tidak mengalami kemajuan, bukti kalau untuk mengubah kehidupan mereka pasti sangat susah.

"Karena itu kau ingin minta maaf pada Gempa dan yang lain?" tanya Yaya, mengonfirmasi tebakannya. Air mengangguk kecil. Wajahnya terlihat menyesal dan Yaya tahu rasa penyesalan itu tulus.

"Mereka semua baik padaku, meski aku hanya mau muncul kembali setelah menikah denganmu, mereka tidak memarahiku justru memberikanku kesempatan ... untuk merasakan bagaimana hidup itu sebenarnya," lanjut Air.

Yaya tersenyum lembut pada Air. Ia bangga dengan semua saudara kembar itu. Meski hidup mereka berat, mereka tetap berusaha untuk menjalaninya bersama.

"Mereka sebenarnya bisa mendengar semua yang kau katakan sekarang. Aku yakin mereka semua sudah memaafkanmu," hibur Yaya. Air masih terlihat ragu.

Suaminya itu diam, seperti sedang berusaha untuk menyusun kata dan Yaya menantinya dengan sabar.

"Semuanya ... aku minta maaf. Aku sudah jadi pengecut dan tidak membantu kalian semua ketika sedang susah. Aku berjanji aku tidak akan mengulanginya lagi, aku akan menghadapi semua masalah bersama kalian mulai dari sekarang."

Yaya tersenyum bangga dan memeluk Air. Suaminya itu membalas pelukannya. Ia kemudian mundur dan mengecup pipinya dengan penuh sayang.

"Kau hebat, itu permintaan maaf yang bagus," puji Yaya, seperti memuji anak kecil tetapi ia tidak bisa menahan dirinya. Air tersenyum tipis padanya dan mengangguk.

"Aku yakin mereka semua memaafkanmu," tambah Yaya, membelai pipi Air. Air hanya bisa mengangguk lagi meski ada keraguan di wajahnya.

"Sudah mau gelap nih, ayo masuk. Aku mau masak makan malam," Yaya mengingatkan. Belanjaannya masih belum tersusun, terlupakan di atas meja makan. Air mengangguk lagi dengan patuh dan mengikuti Yaya masuk kembali ke dalam apartemen.

IoI

Yaya tidak tahu bagaimana rasanya harus berbagi tubuh dengan orang lain. Ia tak bisa membayangkan memiliki saudara yang tidak pernah bisa ia temui. Sebenarnya Yaya tak tahu, apakah kembaran-kembaran suaminya itu memiliki hubungan yang baik dengan satu sama lain. Atau mereka sebenarnya sebatas mentoleransi keberadaan mereka dalam satu tubuh agar bisa hidup dengan damai.

Jika saja kondisi mereka tidak seperti itu, jika saja mereka semua seperti orang normal, Yaya rasa mereka pasti memiliki hubungan yang baik.

Bukan hubungan yang rumit seperti ini.

Yaya baru saja selesai membereskan dapur. Ia senang melihat Air makan dengan lahap, sama sekali tidak protes soal sup sayurnya yang agak keasinan. Ia melewati kamar suaminya, hendak ke ruang depan untuk melepas lelah.

Sampai ia mendengar suara isak tangis.

Yaya berhenti di tempat dan memandang pintu kamar suaminya.

Ia diam untuk beberapa saat, mencoba untuk mendengarkan lebih seksama dan ternyata memang benar ada isak tangis dari balik pintu.

Yaya jadi merasa panik dan segera mengetuk pintu kamar suaminya.

"Boboiboy?" panggilnya.

Namun, tidak ada sahutan balik. Yaya memutar tuas pintu dan membukanya. Ia melihat kamar yang gelap dengan ada sebuah gundukan besar di tempat tidur, tersembunyi di balik selimut.

Yaya menyalakan lampu dan menghampiri tempat tidur.

"Boboiboy? Kamu kenapa?" tanya Yaya lagi lebih lembut.

Sudah jelas, suaminya menyembunyikan diri di balik selimut yang tebal, menolak untuk menampakkan diri dan kini sedang menangis.

Yaya meraba selimut itu.

"Boboiboy ...?" panggilnya dengan lembut.

Ia tidak tahu siapa yang sedang menangis sekarang. Rasanya Air baik-baik saja barusan, Gempa ... atau Taufan? Atau mungkin Api? Tidak mungkin rasanya kalau Halilintar ...

Yaya membelai suaminya yang ada di balik selimut, berusaha membujuknya untuk keluar.

Akhirnya, pemuda itu mau menyembulkan kepalanya dari balik selimut. Wajahnya merah dengan mata yang basah oleh air mata. Dari ekspresi kekanakannya, Yaya segera sadar kalau Api yang sedang menangis.

"Api? Kamu kenapa?" tanya Yaya, membelai rambut Api.

Api masih tak mau keluar dari selimut, ia tampaknya berusaha untuk mengontrol isak tangisnya.

"Mereka semua ... uh ... pasti benci padaku ... hiks."

Yaya mengernyit mendengarnya. Jelas tak paham maksud Api.

"Mereka semua?"

Api menutup matanya, tampak kesal meksi air matanya berjatuhan. Yaya merasa pilu mendengarnya.

"Aku cuma menyusahkan ... hiks ... tidak bisa ... melakukan apa-apa ... uh ..."

Perlahan, Yaya sadar apa yang sedang dibicarakan Api.

"Api ... itu tidak benar," hibur Yaya. Tampaknya belaian di rambut Api tidak memberikan hasil. Api masih tampak sedih juga kesal pada dirinya sendiri.

"Aku tahu semua orang benci padaku ... tapi hiks ... aku cuma ... aku tidak pernah bermaksud ... hiks ... menyusahkan mereka."

Yaya memandang Api dengan pilu. Ia sudah mendengar cerita bagaimana Api sangat temperamental dan sering menyusahkan kembarannya yang lain. Itu alasan kenapa semua kembarannya cenderung mengurung Api di dalam apartemen. Tapi Yaya juga percaya kalau Api bersikap temperamental bukan untuk menyusahkan kembarannya. Sepertinya ia hanya tidak tahu bagaimana cara untuk menangani semua kesedihan dan kemarahannya dengan baik.

"Api ... aku yakin mereka tidak benci padamu," hibur Yaya. Ia menghapus air mata Api yang terus mengalir.

"Aku yakin mereka semua juga paham dengan kondisimu ... tidak ada yang menyalahkanmu ...," tambah Yaya lagi.

Api tampaknya tidak mau mendengar perkataan Yaya. Sang istri mendesah dan membelai pipi suaminya itu.

"Kau menangis ... karena sebenarnya kau tidak mau dibenci oleh mereka bukan?" tanya Yaya ke inti permasalahannya. Api tersentak kemudian terdiam. Jelas Yaya tepat pada sasaran.

"Mau bagaimana lagi? Aku ... aku ...," Api berusaha untuk protes namun sepertinya tidak bisa mengutarakannya dengan baik. Yaya tersenyum lirih padanya.

"Aku rasa, kalian berlima pun masing-masing memiliki kesalahan, bukan hanya dirimu saja. Apa kau marah karena Gempa ingin membunuh dirinya sendiri? Atau Air yang dulu tak mau keluar?" tanya Yaya, membalikkan logika agar Api mengerti situasinya.

Api terdiam sebentar. Kemudian ia menggeleng. Yaya tersenyum melihatnya.

"Lihat, kau pun tak marah pada mereka. Aku rasa, mereka juga sama. Itu hanya sugestimu saja Api, mereka tidak membencimu," terang Yaya lagi.

Api akhirnya membuka selimutnya dan perlahan bangkit. Tangisnya sudah mulai reda.

"Aku cuma ... dada ini seperti ingin meledak," Api meraba dadanya. Yaya menatapnya dengan pilu.

"Aku tidak tahu harus bagaimana ... rasanya sakit dan aku cuma ingin rasa sakitnya berhenti. Aku tidak bermaksud menyusahkan yang lain ataupun menyakiti orang lain. Aku cuma...," Api berhenti bicara saat Yaya menaruh telunjuknya di bibir suaminya.

Yaya sudah tahu soal itu. Api yang temperamental dan kerap mengamuk, ataupun menangis tak terkendali. Karena itu kembarannya yang lain memperlakukannya dengan ekstra hati-hati. Tapi Yaya juga tahu, Api bukan orang yang jahat. Ia tidak pernah bermaksud buruk.

"Ssshht ... Aku mengerti Api ... kau tidak perlu menjelaskannya," potong Yaya. Pundak Api turun dan ia menatap pangkuannya sendiri. Tampak sedih dan pasrah.

"Aku sebenarnya ingin bisa membantu ... aku tidak mau cuma di apartemen terus," ucap Api dengan sendu.

Masalah ini lagi.

Yaya mendesah. Yaya paham Api pasti ingin bisa berbagi beban dengan semuanya, sebagai bukti kalau ia juga bagian dari saudara-saudara kembarnya. Api tidak mau diperlakukan khusus. Dan juga mungkin sebagai penebusan atas penyesalan karena dulu ia kerap membuat susah kembarannya yang lain.

"Nanti aku akan membujuk yang lain ... sekarang kamu tenang dulu ya, jangan nangis lagi," pinta Yaya, merapikan poni suaminya yang berantakan dan lengket karena keringat. Api mengangguk sambil membersihkan bekas air matanya.

Yaya bertanya-tanya, bagaimana kondisi suaminya sebelum menikah dengannya. Bagaimana Api menangis seorang diri di dalam kamar yang gelap, mungkin hanya bisa menutup dirinya dengan selimut atau memeluk Ochobot. Bagaimana Api sebenarnya tampaknya pun tahu masalah yang ia timbulkan, bagaimana sikap temperamentalnya menyebabkan masalah untuk yang lain, tapi mungkin ia tak tahu solusi yang lain. Karena itu ia merasa ia patut dibenci dan tidak tahu bagaimana cara untuk mengubahnya.

Tapi dari gambar yang Api buat, Yaya tahu kalau Api pun sebenarnya mendambakan hubungan yang baik dengan semua saudara-saudaranya.

"Aku yakin pasti ada sesuatu yang bisa kamu lakukan untuk membantu yang lain ... mungkin kamu memang tidak bisa bekerja di perusahaan, tapi bisa melakukan hal lain," saran Yaya.

Api diam mendengarnya, tampak bingung.

"Kamu 'kan bisa gambar ... kamu itu kreatif Api, aku yakin kamu bisa membantu pekerjaan yang lain, tapi bukan di perusahaan, dari rumah," jelas Yaya lagi.

"Kerja ... dari rumah?" tanya Api. Yaya mengangguk.

"Kalian bekerja di perusahaan elektronik 'kan?" tanya Yaya.

Api mengangguk lagi. "Ya ... di bidang elektronik," jawab Api. Dari semua banyaknya cabang perusahaan Aba Corporation yang terlibat di banyak bidang, Boboiboy memegang divisi bagian elektronik yang sedang berkembang pesat.

"Elektronik itu butuh inovasi dan kreatifitas, bukan cuma mengerjakan berkas. Aku juga nggak tahu detilnya, tapi kurasa yang lain pasti punya pekerjaan untukmu," tambah Yaya lagi.

Api terlihat lebih yakin dan Yaya tersenyum puas.

"Sekarang kamu yang tenang ... terus cuci muka, gosok gigi, lalu tidur ya," pinta Yaya.

Api mengangguk, sudah tampak lebih baik, ada senyum kecil yang terpulas di bibirnya.

Sang suami pun beranjak dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi. Yaya mendesah melihatnya.

Semua kembaran suaminya itu memang memiliki hubungan yang kompleks, Yaya berharap hubungan mereka akan semakin membaik. Karena jika mereka ingin bahagia, maka hubungan mereka juga harus baik.

IoI

"Sok tahu."

Yaya tertegun, baru saja ia selesai berganti memakai piyama, suaminya masuk ke kamarnya dengan tampang masam.

"Sok tahu?" tanya Yaya. Dari cara bicaranya, Yaya tahu ia sedang berhadapan dengan Halilintar.

"Sok mengatakan ke Api kalau kita punya kerjaan buat dia," cibir Halilintar. Yaya mengernyit kesal.

"Itu benar 'kan? Aku rasa selama ini pasti ada pekerjaan yang cocok untuk Api, hanya masalahnya kalian tidak mau memberikannya," kilah Yaya.

Halilintar mendengkus kesal. Namun, karena tidak bisa membalas, Yaya merasa ia benar.

"Kalian harus sabar menghadapi Api, aku rasa ia juga bisa diberi tanggung jawab," tambah Yaya lagi, menuju tempat tidur.

Halilintar menyusulnya. Yaya memutar matanya sedikit, ia pikir Halilintar marah padanya tapi ternyata masih tetap mau tidur bersamanya.

"Aku tidak setuju ... tapi lihat nanti pendapat yang lain bagaimana," balasnya.

Yaya merapikan bantalnya dan membaringkan diri. Sementara Halilintar berbaring di sampingnya.

Yaya memandang Halilintar sejenak. Suaminya itu menatapnya balik dengan tajam.

"Kenapa?" tanyanya dengan nada ketus. Namun, Yaya mulai terbiasa dengan sikap Halilintar yang seperti itu.

"Kamu ... tidak membenci saudaramu yang lain 'kan?" tanya Yaya memastikan.

Halilintar terdiam kemudian beralih menatap langit-langit kamar.

"Tentu saja tidak."

Meski cara menjawabnya meragukan, tapi Yaya tetap lega mendengarnya.

"Syukurlah...," Yaya mendesah kemudian tersenyum tipis. Ternyata tebakannya itu benar. Jadi, ia tidak berbohong pada Air dan Api.

"Kau memang aneh."

"Eh?" Yaya cepat menoleh pada Halilintar.

"Aku masih tidak mengerti kenapa kau masih di sini."

Yaya mengerjapkan matanya dengan kaget.

"Maksudmu?" tanya Yaya tidak mengerti.

"Coba pikir, semua orang yang tahu kondisi kami, kalau tidak menghindar, pasti canggung. Selama ini cuma Tok Aba yang bisa menerima kami apa adanya. Makanya, kamu aneh."

Yaya mengernyit dengan intonasi Halilintar padanya. Kenapa malah terkesan Halilintar marah padanya karena menerima mereka apa adanya? 'Kan harusnya senang.

"Memang sih ... awalnya aku kaget dan kesulitan menghadapi kalian. Namun, sebenarnya kalau sudah dijalani, tidak ada masalah. Kalian semua baik dan hebat," puji Yaya.

Mungkin karena tidak pernah menerima pujian yang tulus, Halilintar malah mengernyit mendengarnya.

Mereka semua terlalu merendahkan dri mereka sendiri.

"Dasar aneh."

Yaya hanya memutar matanya. "Berarti cocok 'kan dengan kalian yang juga 'aneh'?" canda Yaya.

Halilintar menurunkan satu alisnya, tapi tarikan tangannya agar Yaya mendekat dan berbaring di lengannya, menjawab candaan Yaya. Sang istri tidak melawan dan hanya tersenyum geli dengan sikapnya.

"Kalian semua membuatku bahagia ... apa aneh jika aku terus berada di sisi kalian?" bisik Yaya pelan, merasa nyaman berbaring dengan bantalan lengan suaminya.

"Hmm...," gumam Halilintar tidak jelas, tampaknya sudah mulai tertidur.

Dan Yaya terpikir satu hal yang selama ini sebenarnya membuatnya penasaran. Meski agak berat menanyakannya karena Halilintar sudah terlihat siap tertidur.

"Halilintar?" panggil Yaya dengan suara lembut.

"Hm?" balas Halilintar, setidaknya ia masih merespon.

"Kamu ... sebenarnya sering cemburu dengan yang lain?"

Itu adalah satu hal yang menambah rumit hubungan mereka semua.

Mata Halilintar langsung membuka dan tampak kesal. Yaya jadi merasa bersalah, padahal suaminya itu sudah siap tidur tadi.

"Bayangkan orang yang tidak pernah mendapatkan privasi seumur hidupnya, tidak ada hal yang benar-benar milikku," jelas Halilintar dengan muka asam.

Yaya agak terkejut saat ia dipeluk sangat erat oleh Halilintar. Wajahnya memerah, sementara kedua lengannya hanya bisa terperangkap di depan dada bidang suaminya.

"Kalau bisa aku ingin kau jadi milikku seorang ... tapi aku tidak punya pilihan ... harus berbagi dengan yang lain," bisik Halilintar dengan nada rendah ke telinga Yaya.

"Jadi, kalau sedang bersamaku ... usahakan jangan bicara soal yang lain," tambahnya.

Yaya hanya bisa mengangguk dengan wajah merah. Entah apa itu sebenarnya wujud kalau hubungan Halilintar dengan yang lain agak kompleks atau pada dasarnya Halilintar memang posesif, Yaya tidak tahu.

Halilintar mendengkus, setidaknya cukup puas melihat Yaya sudah mengerti perkataannya.

"Sekarang tidur, atau kubuat kau tidak bisa tidur sampai pagi," ancam Halilintar membuat wajah Yaya seperti terbakar, paham apa maksud di baliknya.

"Kau ini!" omel Yaya kesal, mencubit pinggang Halilintar dengan kesal.

Halilintar mengaduh kesakitan dan menatap Yaya dengan kesal. Yaya menanti apa yang Halilintar akan lakukan padanya sebagai pembalasan. Namun, sepertinya ia menahan diri dan kembali membaringkan dirinya.

Yaya menutup matanya dan menyamankan dirinya, bersiap untuk terlelap.

"Lihat saja nanti ... awas ...."

Yaya membuka matanya mendengar gumaman Halilintar. Ia bergeser lebih jauh sedikit dari Halilintar lalu kemudian berharap ia bisa selamat sampai pagi.

Halilintar tidak akan melakukan apapun padanya 'kan?

Semoga saja tidak.

TBC

———————————————

Maaf kalau chapter ini jelek, di akhir-akhirnya agak lost feeling-nya. Yah, nikmati aja. Berdoa aja dapet ilham bagus lagi buat chapter depan.

Silakan review-nya.

——————————
K O L O M  N U T R I S I
——————————

1. Kira-kira siapakah yang paling menyesal atas masa lalu para kembaran?

2. Kalau kamu bagaimana caranya berminta maaf?

3. Apa pendapatmu terhadap Chapter 16 di Love The Way You Are ini?

***

Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.

***

Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?

Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Love The Way You Are.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top