Chapter 14

Maaf soal chapter 13 kebanyakan adegan ciumannya, maklum itu chapter spesial.

Yosh, ini chapter 14, silahkan dinikmati

—————————————

Manusia cenderung menyimpan rahasia. Sesuatu yang ingin disembunyikan, sesuatu yang tidak ingin diketahui banyak orang. Rahasia bisa dikatakan sebagai sebuah simbol, bahwa meski manusia merupakan makhluk sosial, tapi dalam taraf tertentu, manusia juga membutuhkan privasi.

Tapi, dalam sebuah pernikahan, di mana yang paling penting adalah komunikasi, rahasia merupakan sesuatu yang dapat melukai salah satu pasangan. Karena, dengan pernikahan, seharusnya dua insan manusia ini berbagi dalam segalanya. Namun, rahasia yang tidak diberitahukan kepada salah satu pasangan, seakan menjadi jurang pemisah di antara kedua pasangan.

[Makanya, aku tidak percaya! Fang menyimpan semua barang dari mantan pacarnya! Tentu saja aku mengamuk, Yaya! Apa itu artinya dia masih belum bisa melupakan mereka? Atau masih mengharapkan mereka suatu saat akan kembali? Lalu aku? Hueeee!]

Yaya hanya bisa menggelengkan kepalanya membaca SMS dari Ying, sahabatnya. Sebenarnya, saat begini, lebih baik menggunakan komunikasi lewat telepon. Namun, saat Ying masih labil seperti ini, telepon mungkin hanya akan penuh isak tangis dan Yaya akan kesulitan untuk mengerti apa yang diucapkan sahabatnya. Mungkin akan lebih baik kalau Yaya mendatangi Ying langsung, tapi masalahnya sekarang sudah malam, dan berbeda dengan Ying, Yaya sudah menikah dan tidak bisa keluar seenaknya tanpa izin suaminya.

Sang gadis hanya membaringkan diri di tempat tidurnya sambil mengetik SMS kepada Ying, mencoba menenangkan sahabatnya itu lewat kata-kata.

Entah kenapa, ia sedikit senang mengetahui kalau Boboiboy tidak menyimpan rahasia semacam itu. Jangankan mantan pacar, teman saja tampaknya suaminya tidak punya.

Tapi, Boboiboy tetap punya banyak rahasia. Atau mungkin sebenarnya bukan rahasia, hanya sesuatu yang belum dibaginya kepada Yaya. Seperti masa lalunya ...

Yaya tahu, masa lalu suaminya bukan sesuatu yang indah untuk diceritakan. Dan mungkin, selama ini tak pernah dibagi kepadanya, karena Boboiboy sendiri tidak ingin mengingatnya.

Yah, itu hanya masa lalu, yang sudah berlalu. Tapi, karena masa lalu itu, Boboiboy jadi seperti sekarang, dan Yaya sedikit ingin tahu mengenai hal itu.

IoI

"Membersihkan seluruh apartemen?"

Yaya mengangguk penuh senyum, mulutnya penuh dengan roti bakar. Kali ini berhasil tanpa kegagalan, meski sayangnya Yaya baru sadar kalau selai roti habis jadi ia dan suaminya terpaksa hanya makan roti bakar dengan olesan mentega.

"Kita 'kan sudah sebulan menikah, aku ingin membersihkan apartemen secara menyeluruh. Aku memang menyapu dan mengepel setiap hari, tapi kan tidak sampai sela-sela lemari ataupun meja. Itu harus disapu secara rutin supaya tidak jadi sarang debu," jelas Yaya. Ia akui, sifat maniak kebersihan ia dapat dari ibunya.

Taufan hanya mengangguk paham sambil terus mengunyah roti bakar miliknya. "Kamu nggak apa-apa nggak kubantu? Yakin bisa sendiri? Biasanya, bersih-bersih kayak gitu bukannya dilakuin di akhir minggu ya?" tanyanya.

"Iya sih, cuma kan kamu udah capek kerja, masa' aku minta bantu bersih-bersih apartemen juga? Aku bisa sendiri kok, lagipula barang-barang di apartemen ini nggak terlalu banyak. Seharusnya, satu hari bisa selesai," tolak Yaya dengan halus. Ia senang bersih-bersih. Dan berbeda dengan kebanyakan istri lain, ia tidak mau meminta suaminya membantunya. Ia sudah lelah bekerja, belum pusing mengurus kondisi khususnya.

"Ya, boleh aja sih ... Kamu nggak usah minta izin segala buat kayak gitu," balas Taufan lagi, tidak mengerti kenapa Yaya meminta izin padanya. Sang istri mendengkus sedikit karena suaminya gagal menebak alasan sebenarnya dibalik izinnya.

"Bukan ... maksudku, aku boleh 'kan, beresin kamarmu?" tanya Yaya hati-hati.

Taufan mengerjapkan mata, ini reaksi yang ditunggu Yaya sejak tadi.

Meski sudah berkali-kali tidur bersama, entah di kamar Yaya ataupun kamar suaminya, kadang sang istri merasa kamar suaminya itu masih berupa tempat asing yang belum ia jelajahi. Sekilas dari luar, tampaknya tidak ada yang aneh. Tapi, sama halnya dengan suaminya yang sekilas dari luar, tampak seperti pemuda kantoran, berwibawa, tampan dan memikat. Tapi, di baliknya ...

Makanya, Yaya bertanya-tanya apa kamar Boboiboy mencerminkan pemiliknya.

"Uhm ... boleh aja sih. Tapi, hati-hati sama berkas kerja, yang itu nggak usah diberesin," akhirnya Taufan memberi izin. Meski kadang terkesan seperti kembaran yang mesum dan jahil, ternyata ia serius bekerja juga. Yaya jadi ingin melihat bagaimana suaminya kalau bekerja di kantor.

"Dan ... uhm ... nggak jadi deh," Taufan tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi dengan cepat membatalkannya. Itu agak aneh dan membuat alis Yaya naik satu.

Rasanya ia ingat perkataan Ying soal ini.

'Yaya, kalau ada cowok bilang "nggak jadi deh" itu tandanya, antara dia mau memberi kode, atau dia hampir keceplosan mengatakan suatu rahasia. Di saat kayak gini, sebagai cewek, kita harus mendesak dia buat mengutarakan apa maksudnya dengan jelas, dengan cara apapun!'

Yaya dengan cepat-cepat menggeleng. Terbayang di benaknya bagaimana Ying mengatakan semua itu dengan berapi-api.

Tapi, mana ia bisa melakukan itu pada suaminya. Mereka sudah terlalu lama sendiri dan banyak hal yang Yaya belum ketahui darinya. Ia tidak akan memaksa dan akan menanti dengan sabar sampai Boboiboy mau membagi banyak hal dengannya.

Hanya ... Yaya memandang Taufan dengan sedikit curiga.

Memangnya ada suatu rahasia yang ada di kamar suaminya?

IoI

Berbeda dengan kebanyakan gadis, yang lebih suka berdandan, belanja atau jalan-jalan ke mall, Yaya sendiri lebih suka bersih-bersih. Bersih adalah sebagian dari iman. Dan Yaya menyukai tempat yang bersih dan teratur.

Karena itu, ia bersih-bersih apartemen tanpa perasaan berat dan melakukannya dengan senang hati.

Menyapu, menggeser barang, kemudian menyapu belakangnya, kemudian mengepel, menggeser barang lagi, mengelap banyak barang. Ia melakukan semuanya dengan telaten.

Sampai Yaya akhirnya sampai di kamar suaminya.

Ia sudah sering membersihkan kamar Boboiboy sekarang, tapi hanya menyapu, mengepel dan melap barang-barang saja. Ia tidak pernah membersihkannya secara menyeluruh.

Jadi, Yaya mencopot seprai, menggantinya dengan yang baru, kemudian mengelap barang-barang dan merapikannya kecuali meja kerja Boboiboy yang tidak Yaya sentuh. Kemudian ia melihat lemari Boboiboy yang besar.

Besarnya lemari ini, sampai ada 5 pintu. Rasanya semacam lemari besar milik artis yang ia lihat di televisi. Yaya membukanya dan seperti biasa, ia melihat jejeran setelan jas tersusun rapi. Jumlahnya tidak main-main dan semuanya terlihat mahal. Di bawah semua gantungan baju, ada tumpukan kardus sepatu. Di pintu lemari yang lain, terdapat banyak pakaian yang terlipat rapi.

Yaya sudah sering membuka dan menutup lemari ini, karena dia yang mengurus cucian dan setrikaan.

Tapi, ia belum pernah membongkar lemari ini. Meski agak segan, dalam hati bertanya-tanya apakah ini melanggar semacam privasi milik suaminya, Yaya akhirnya membongkar lemari tersebut.

Namun, saat sedang mengeluarkan tumpukan kardus berisi sepatu kulit, Yaya berhenti karena melihat sesuatu yang aneh di belakang tumpukan kardus.

Itu ... pintu geser?

Yaya merangkak ke dalam lemari dan memperhatikannya. Ukurannya kecil, lebih mirip seperti jendela geser. Kemudian, Yaya menggesernya dan matanya membelalak saat melihat di balik pintu geser kecil itu ada ruangan lain.

Yaya kemudian mundur dan menatap tidak percaya.

Ini semacam ruangan rahasia? Di apartemen?

Hal yang sulit dipercaya, namun Yaya segera mencoretnya. Itu mudah sekali pastinya untuk suaminya. Yaya berani menebak, apartemen ini sebenarnya dimiliki oleh anak perusahaan dari Aba Corporation juga. Atau minimal, suaminya memiliki saham di sini. Tak sulit merenovasi isi apartemen.

Yaya tak percaya Boboiboy tidak memberitahukannya soal ini. Ruangan itu tampak kecil, mungkin semacam gudang? Tapi untuk apa gudang dibuat pintu tersembunyi yang terhubung dengan lemari seperti ini?

Rasa penasaran Yaya memintanya untuk masuk ke ruangan itu. Logika Yaya mengatakan untuk bertanya ke suaminya soal hal ini, untuk meminta penjelasan agar tidak ada prasangka buruk.

Yaya akhirnya menutup pintu geser kecil itu dan menyusun kembali kardus-kardus sepatu tersebut.

Ia harus menanyakan soal ini pada Boboiboy nanti.

IoI

"Assala'mualaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Sebuah salim dan kecupan manis dan singkat di bibir, Yaya kemudian tersenyum pada suaminya. Mudah menebaknya kalau ia sedang berhadapan dengan Air.

"Bagaimana kerja di kantor?" tanya Yaya, melipat jas yang dilepas Air.

"Yah ... aku bisa, cuma saat rapat diambil alih Halilintar," jawab Air mengendurkan dasinya, lalu ia berhenti saat bertatapan dengan Yaya.

"Ada apa?" tanyanya, langsung menyadari ada yang aneh dengan Yaya.

Sang istri kagum dengan daya observasi Air.

"Uhm ... kita makan dulu ya, aku udah masak ikan goreng," Yaya mengalihkan perhatian. Ia penasaran soal ruangan rahasia itu, tapi tahu kalau suaminya juga pasti lelah sepulang bekerja. Minimal, setelah makan dan mandi, ia bisa menanyakannya nanti.

Air mengangguk, tampaknya tahu sesuatu mengganggu Yaya dan sang istri sengaja mengalihkan pembicaraan, namun tidak protes.

Sesudah Air mandi, kemudian makan malam (ia sama sekali tak mengatakan apapun meski ada bagian ikan yang kurang matang) Yaya akhirnya siap untuk bertanya soal hal yang mengganggunya.

"Kamu mau bertanya soal ruang penyimpanan di samping kamarku?" Tapi Air menanyakannya duluan, membuat Yaya mengatupkan mulutnya.

"Iya," jawab Yaya singkat.

Air mengangguk, membuat Yaya agak malu karena Air sudah langsung bisa menebaknya dari awal. Ia bangkit dari meja makan kemudian menarik tangan Yaya.

"Biar kutunjukkan," katanya singkat.

Yaya menurut dan mengikuti Air masuk ke kamar suaminya. Suaminya itu membuka pintu lemari, kemudian mengeluarkan tumpukan kardus sepatu dan membuka pintu geser kecil itu.

"Kamu udah masuk?" tanya Air sambil merangkak masuk melalui pintu kecil itu.

"Uhm, belum," jawab Yaya kikuk, dengan ragu merangkak mengikuti Air.

Air menyalakan lampu dan Yaya bisa melihat dimana mereka sekarang.

Ruangan dimana mereka berada kecil, sangat kecil bila dibandingkan dengan kamar Yaya ataupun Boboiboy. Memang mirip gudang. Tapi bedanya, tidak penuh debu, tapi terurus rapi. Terdapat sebuah rak besar yang hampir memenuhi seisi ruangan, hanya menyisakan sedikit tempat untuk berdiri.

"Ini ... apa ya namanya? Kami menyebut ini, ruang penyimpanan rahasia. Mirip gudang, tapi isinya ... kami tidak ingin orang lain tahu," jawab Air tampak bingung bagaimana menjelaskannya.

Yaya mengerjapkan mata sambil melihat barang-barang yang tersimpan di rak.

Satu sisi rak dipenuhi berbagai macam pajangan mainan, action figure kalau tidak salah namanya. Ah, suaminya hobi koleksi seperti ini? Yaya tahu karena ada beberapa action figure yang dipajang di kamarnya, tapi ternyata sisanya di taruh di sini.

"Itu koleksi Api," jelas Air, mengambil salah satu action figure.

"Ksatria Bertopeng 1," jelasnya. Yaya hanya mengangguk sambil tersenyum simpul.

Satu bagian rak terisi dengan berbagai macam mainan, seperti miniatur berbagai macam kendaraan yang Yaya duga bisa dikontrol dengan remote control. Ada pesawat, helikopter, bahkan kereta api.

"Ini koleksi Gempa."

Yaya hampir tidak percaya mendengarnya. Air tampaknya tidak melihat kekagetan Yaya kali ini. Ia mengambil salah satu kereta api model lokomotif.

"Waktu dia kecil, sekarang udah nggak koleksi lagi, tapi semua ini masih dirawat baik-baik," tambahnya.

Yaya mengangguk mengerti. Sepertinya, untuk urusan mainan, suaminya masih masuk kategori normal. Anak laki-laki memang banyak yang suka main mobil-mobilan, atau mainan semacam ini, Yaya tahu dari adik laki-lakinya.

"Gitar ini?" tanya Yaya, tidak tahu ada salah satu kembaran suaminya yang bisa alat musik.

Sebuah gitar akustik tersandar di salah satu rak.

"Ini punya Taufan," jawab Air.

Yaya kembali kaget. Tidak menyangka Taufan bisa main gitar. Akustik pula. Ia mengaku bisa menari break dance, juga suka main game, tapi tak menyaka bisa memetik gitar juga.

Lalu, ada sebuah kotak berbentuk sesuatu yang dikenal Yaya. Ini kalau tidak salah ...

"Ini biola?" tanya Yaya, merasa kagum.

Air mengangguk. "Punya Gempa."

Entah kenapa kali ini Yaya tidak kaget.

"Tapi, dia nggak jago mainnya. Cuma bisa main beberapa lagu, itu juga sering salah," tambah Air.

"Terus, kenapa ada di sini?" tanya Yaya, dari cara Air menjelaskan, menyiratkan juga kalau Gempa tak suka biola ini.

"Ini biola pemberian Tok Aba, jadi ..."

Yaya tak membutuhkan penjelasan lebih lanjut.

Meski tak suka dan tak bisa memainkannya, ia bisa membayangkan suaminya tak mampu membuang biola ini karena ini kenang-kenangan dari Atok tercintanya.

Satu sisi rak lagi, tertumpuk kanvas-kanvas dengan berbagai macam cat, palet dan kuas.

"Punya Api ya?" tebak Yaya, mengambil salah satu kanvas.

"Iya, kadang kita masih membolehkan dia pakai kanvas, tapi jarang," jelas Air. Yaya melihat sebuah lukisan bunga matahari yang indah, meski warnanya berantakan namun Yaya bisa merasakan keindahan bunga tersebut.

Satu sisi rak lagi, berisi berbagai macam alat fitness yang berukuran kecil seperti barbel. Tak sulit menebak ini milik siapa.

"Halilintar?" tebak Yaya. Air mengangguk.

Yaya tahu Halilintar suka berolahraga, Taufan juga pernah menyebutkan dia jago karate. Tapi kemudian berhenti.

Ah, kalau tidak salah ..

"Bukannya Taufan main skateboard?" tanya Yaya. Api pernah menyebutkannya dulu. Bagaiaman Taufan main skateboard tapi kemudian berhenti. Yaya menyangka bisa menemukan papan skateboard di sini, tapi ternyata tidak ada.

"Ya, papan skateboard-nya dirusak kemudian dibakar...," jawab Air dengan ekspresi wajah sulit ditebak. Yaya hanya tertegun mendengarnya.

"Sebenarnya kami bisa beli lagi, tapi Taufan bilang nggak usah, nanti dia nggak bisa berhenti. Gitu katanya," tambah Air.

Yaya hanya bisa tertunduk lesu. Merasa kasihan pada suaminya.

"Kamu nggak simpan sesuatu di sini?" tanya Yaya, baru sadar kalau Air tampaknya tak punya barang di sini.

"Aku ... cuma suka berenang," jawab Air dengan lirih.

Taufan pernah menyebutkan hal itu, Yaya tahu berenang bukan sesuatu yang harus disembunyikan dan tidak ada barang dari kegiatan berenang yang layak di simpan seperti koleksi.

"Oh, kardus ini ...?" Yaya sadar dengan sebuah kardus besar di pojok ruangan. Ia menoleh pada Air yang kali ini hanya diam, tidak mengatakan sesuatu. Merasa ada sesuatu dengan kardus itu, Yaya tidak mendekatinya, namun justru suaminya yang akhirnya membukanya dan mengeluarkan isinya.

Sebuah boneka teddy bear ukuran sedang.

Kali ini, Yaya sangat kaget.

Boneka teddy bear itu berwarna kuning, dengan telinga hitam. Tampaknya sudah tua dan cukup lusuh, meski terawat.

"Ini satu-satunya temanku saat kecil ... sampai sekarang, namanya Ochobot," jelas Air. Ada sebuah senyum tipis dengan mata sendu sambil menatap boneka di tangannya, membuat Yaya ikut merasa pilu.

Satu-satunya ... teman?

"Uhm .. namanya seperti robot," komentar Yaya mengalihkan perhatian.

Ia tak suka melihat suaminya bersedih.

"Ya, sebenarnya namanya dari Rokusatsu yang kita tonton waktu kecil. Robot pembantu Super Ranger, namanya Ochobot. Ini hadiah ulang tahun dari Tok Aba, waktu aku SD," jelas Air.

Yaya mengangguk, kemudian Air menyimpannya di dalam kardus lagi. Hal itu membuat Yaya sedikit bertanya-tanya, dari semua barang yang ada di ruangan ini, hanya boneka itu yang dimasukkan ke dalam kardus.

"Keluar yuk, aku ngantuk," pinta Air.

Yaya tersentak dan segera tersenyum. Dalam hati lega, ternyata rahasia macam ini yang Boboiboy sembunyikan darinya. Bukan rahasia besar. Sedikit pilu rasanya, hal-hal semacam ini mereka rasa perlu disembunyikan dari orang lain.

"Ayo," balas Yaya, pandangannya tersisa pada kardus berisi boneka teddy bear milik suaminya. Sebelum ia akhirnya merangkak keluar dari ruangan penyimpanan rahasia itu.

IoI

Saat Yaya meminta izin untuk membersihkan apartemen, Gempa sudah tahu hal seperti ini akan terjadi. Ruangan penyimpanan rahasia itu akan diketauhi oleh istrinya. Sebenarnya, tak ada hal yang benar-benar ia ingin sembunyikan dari Yaya di sana.

Hanya ...

Ah, harusnya ia mengatakan sesuatu pada Air.

Ia tak menyangka Air akan mengatakan soal hal itu, soal Ochobot, pada Yaya.

Gempa berhenti memilah berkas dan bersandar di kursinya.

'Teman satu-satunya ...' Air bilang begitu pada Yaya. Gempa hanya tersenyum miris. Ia tidak ingin terkesan menyedihkan di mata istrinya, karena jujur saja mereka semua sudah cukup menyedihkan sampai mungkin tidak ada lagi harga diri yang tersisa.

Tapi, Ochobot ... membuat kesan kalau ia benar-benar kesepian saat ia masih kecil.

Memang begitu kenyataannya, tapi Air menegaskan kalau mereka tak punya teman lain selain boneka beruang, itu kesannya terlalu menyedihkan.

Gempa masih ingat, saat ia kecil, saat ia masih belum mengerti soal kondisinya. Meski ia belum mengerti, semua orang di sekitarnya tahu kalau ia anak yang aneh. Dari tenang, menjadi hiperaktif, menjadi temperamental, sikapnya terus berubah dan tak banyak yang bisa menghadapinya.

Karena itu, ia tidak punya teman.

Dan tentu saja, ia kesepian.

Ia tahu dirinya aneh, tapi tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.

Lalu, suatu hari, Tok Aba memberikanya sebuah boneka beruang sebagai hadiah ulang tahun. Ochobot, begitu mereka menamainya.

'Bertemanlah dengannya,' begitu Atoknya bilang saat itu.

Dan Ochobot menjadi temannya.

Mungkin, sedikit agak feminin, anak laki-laki bermain dengan boneka beruang. Tapi, itu menunjukkan betapa kesepiannya ia dulu. Tok Aba memang ada, tapi ia tidak bisa diajak bermain seperti anak-anak lain.

Gempa ingat, bukan hanya dirinya, semuanya, mulai dari Api, Taufan, Halilintar bahkan Air memiliki sisi lembut untuk Ochobot. Dalam hati mereka yang terdalam, Ochobot adalah teman mereka. Tempat berkeluh kesah, tempat membagi rahasia. Kadang ia memeluknya saat ia kesepian dan tak ada Tok Aba di dekatnya.

Untuk sesaat, Ochobot membawa kebahagiaan.

Sampai mereka beranjak lebih dewasa dan sadar, kalau betapa menyedihkannya mereka sebenarnya. Berteman dengan sebuah boneka beruang yang tak hidup dan tak bisa bicara?

Rasanya memalukan, namun pada saat yang sama, mereka tak bisa membuang Ochobot. Jadi, Ochobot berubah menjadi penghuni lemari mereka.

Gempa ingat, bagaimana ia berusaha untuk mendapatkan teman manusia. Bagaimana mereka dengan cepat menjadi kikuk sesudah tahu keanehannya. Bagaimana mereka hanya peduli kepada hartanya. Kadang, mereka bisa menahannya, kadang juga tidak. Di saat seperti itu, ada kalanya ia masuk ke dalam lemari dan memeluk Ochobot di dalam sana. Dengan suasana yang gelap, kadang ia bisa membohongi diri kalau yang ia peluk bukan boneka beruang tapi seorang teman.

Dan hal itu semakin memburuk setelah Tok Aba meninggal.

Hidup mereka menjadi semakin tertekan, semakin diatur oleh orang tua mereka. Gempa yang paling merasakannya, karena hanya dirinya yang kuat menghadapi orang tua mereka.

Berbagai kursus tanpa henti yang kadang menyita waktu tidur, kemudian sekolah, dan pembatasan semua hal yang mereka sukai. Kursus biola, kursus bahasa asing, kursus dansa, dan berbagai kursus lain memenuhi jadwal mereka setiap harinya. Belum lagi kegiatan sekolah, pekerjaan rumah juga selalu menanti.

Pulang ke rumah pun, tidak ada kembaran yang bisa keluar seenaknya, mereka semua terjebak di dalam kamar dan selalu takut karena merasa semua dinding bisa mendengar dan melihat.

Skateboard yang dibakar, piagam kemenangan karate yang dibuang, kolam renang yang dikeringkan, mainan yang dibuang hanya sederet dari yang orang tua mereka lakukan kepada mereka.

Untuk menjadi anak yang sempurna tanpa cela.

Terkadang, hari-hari terasa sangat berat. Terkadang, ada kalanya mereka tidak mau keluar kamar. Ada kalanya, terkadang mereka tidak bisa makan. Namun, bila mereka menunjukkan tanda-tanda depresi, mereka hanya akan kembali diseret ke psikater yang mereka benci.

Karena itu, Gempa akhirnya memohon pada orang tuanya, agar bisa hidup terpisah ketika ia masuk SMA.

Butuh banyak sekali perjanjian, peraturan, sampai harapan itu bisa dikabulkan.

Apartemen tempat ia dapatkan waktu, bukan 'rumah' tapi masih lebih baik dari 'rumahnya'. Setidaknya, di tempat itu, ia tidak perlu berpura-pura. Mereka cukup bebas dan tidak takut dengan dinding yang bisa mendengar dan melihat.

Ochobot pun ikut ia bawa.

Lucu, karena meski mereka sudah beranjak makin dewasa, ada kalanya rasa kesepian itu tidak tertahankan dan memeluk boneka beruang tua itu bisa membuatnya sedikit lebih baik.

Masa depan berubah menjadi sesuatu yang menakutkan bagi mereka. Apakah mereka akan terus seperti ini? Itu adalah sebuah pertanyaan yang menghantui mereka. Karena itu, daripada fokus ke masa depan yang jauh, mereka hanya fokus menghadapi hari demi hari.

Setidaknya hidup hari ini dan besok, lalu terus melakukannya hingga waktu terus berjalan.

Semakin dewasa, semakin mereka putus asa dan selalu berpikir, pada akhirnya mereka akan seperti ini selamanya. Mungkin suatu saat mereka akan menikah dengan seorang gadis yang lebih mencintai uang sehingga bisa melupakan kondisi khusus mereka. Entahlah, tapi yang jelas, setiap melihat ada pasangan atau keluarga yang lewat di depan mata mereka, rasanya jadi menyakitkan.

Taufan bahkan pernah bercanda, kenapa mereka tidak membayar wanita untuk menemani mereka sekali saja, namun menepisnya dengan cepat sambil tertawa miris kemudian tidur sambil memeluk Ochobot.

Api pernah mengamuk dan hampir menghancurkan apartemen saat salah satu lengan Ochobot lepas. Sampai akhirnya Gempa harus menjahit lengan itu sendiri, meski hasilnya tidak begitu rapi.

Halilintar berhenti menunjukkan rasa sayang pada Ochobot, namun sikapnya yang hanya membiarkan Ochobot ada di tempat tidur atau di dalam jarak pandangnya tanpa menunjukkan kalau ia merasa tergganggu, itu sudah cukup sebagai tanda sayang.

Gempa sendiri, ada kalanya saat lelah, saat sakit, memeluk Ochobot untuk sepersekian detik sebelum melepaskannya lagi.

Mereka terlalu seorang diri hingga sudah lupa sentuhan tubuh manusia. Sedihnya, secara semu mereka bisa mendapatkan itu dari Ochobot. Meski Ochobot selalu menjadi pengingat kalau mereka menyedihkan, kesepian dan sangat putus asa, tapi mereka tidak bisa membuang Ochobot.

Lalu kemudian rencana pernikahan itu datang. Dan Gempa akhirnya menyembunyikan Ochobot di ruangan rahasia mereka.

Karena, ia tidak tahu bagaimana tanggapan istrinya kalau tahu ia punya rasa terikat yang aneh dengan sebuah boneka beruang.

Lalu, semua itu berlalu, Yaya ternyata di luar bayangan mereka. Dan akhirnya, mereka tahu kembali, bagaimana rasanya dipeluk, disentuh, diajak bicara bukan hanya pembicaraan satu arah, mereka merasa dimanusiawikan kembali.

Dan membuat mereka semua sadar, bahwa kehidupan mereka sebelum ada Yaya, teramat menyedihkan.

Dan Ochobot, menjadi benda yang mengingatkan itu semua.

Tapi, lagi-lagi, tak ada yang tega membuangnya, bahkan Halilintar sekalipun.

Gempa mendesah dan menatap ke langit-langit ruangan kerjanya.

Ia harus melakukan sesuatu mengenai Ochobot.

IoI

"Kau ... memberikan Ochobot untukku?"

Gempa mengangguk, menarik napas panjang dan berharap senyumannya tidak terlalu dipaksakan. Semuanya sudah setuju dan sepakat itu yang terbaik. Ochobot adalah sedikit kebahagiaan miliknya di masa lalu, alangkah baiknya kalau dimiliki oleh Yaya yang merupakan sumber kebahagiaan mereka sekarang. Mungkin setelah itu, melihat Ochobot tidak akan menyakitkan lagi.

Yaya menerima boneka beruang itu dengan canggung.

"Kurasa, akan lebih baik kalau kau memilikinya," jawab Gempa dengan tulus. Yaya tersenyum kecil padanya dan mengangguk.

"Uhm, Gempa ... maaf, tapi aku bisa tidur sendiri malam ini?"

Gempa mengerjapkan mata. Sisi egois dirinya mengatakan kalau ia tidak membolehkan hal itu, setelah menatap Ochobot lagi, mengingat masa lalu kelam mereka, kemudian memberikan Ochobot pada Yaya, setidaknya, ia ingin bisa memeluk istrinya dalam tidur malam ini.

Namun, sisi yang lain muncul, mengatakan kalau Yaya juga butuh privasi, sama seperti dirinya yang kadang butuh menyendiri.

"Baiklah," jawab Gempa dengan berat.

Yaya mengangguk dan segera masuk ke kamarnya dengan cepat.

Sang suami mendesah, membayangkan bagaimana tempat tidurnya akan dingin malam ini. Mengingatkannya akan masa lalu. Bedanya, kini tak ada Ochobot yang menemaninya.

IoI

"Jari tanganmu kenapa?"

Halilintar bisa melihat Yaya terkejut, kemudian tersenyum gugup. Jemari tangan istrinya dibalut banyak plester, membuat Halilintar curiga.

Ini masih pagi, belum lagi Yaya tampak mengantuk, semalam apa yang sudah ia lakukan?

"Nggak apa-apa, cuma luka sedikit," jawabnya.

Halilintar mendengus, ia juga bisa melihat hal itu, namun memutuskan untuk tidak mengatakan apapun.

"Hari ini aku pulang agak telat," katanya. Yaya mengangguk, Halilintar melirik lagi ke tangannya.

Mungkin, sama seperti dirinya yang belum bisa berbagi semua hal pada Yaya, ada hal yang belum bisa Yaya bagi kepada mereka. Entah kenapa, rasanya sedikit menyakitkan.

IoI

Gempa mendesah lega, setelah akhirnya sampai di gedung apartemennya. Dengan langkah kaki berat dan pikiran suntuk, ia keluar dari mobil, memasuki lift yang ada di tempat parkir dan memencet tombol lantai dimana apartemennya berada.

Hari sudah cukup malam, sekitar jam 9. Ia berharap Yaya belum tidur, karena kalau sudah tidur, Gempa tak tega membangunkannya dan ia akan tidur sendiri lagi.

Lift berhenti dan orang lain masuk, sepasang suami istri dengan anaknya. Gempa hanya diam meliriknya, ingat bagaimana pemandangan sederhana ini menyakitinya sebulan yang lalu.

Tapi, sekarang tidak lagi.

Mungkin masih ada rasa pahit yang tersisa, tapi dulu jauh lebih parah.

Gempa keluar lift setelah lift sampai di lantai yang ia tuju. Ia kemudian mengeluarkan kartu dan membuka pintu apartemennya.

"Assalamu'alaikum."

Tidak ada sahutan balik. Gempa kebingungan, ia membuka sepatu kemudian mencari sosok istrinya. Seharusnya ia ada di rumah, karena tirai jendela tertutup dan lampu menyala.

Gempa mencari, hingga melihat kamar istrinya terbuka. Ia masuk ke sana dan menemukan sang istri terduduk di lantai dan bersandar ke tempat tidur. Dan ia tertidur.

"Yaya?" panggil Gempa agak bingung, sampai ia melihat kekacauan yang ada di lantai. Penuh kain dan benang dan ...

Dua pasang boneka beruang.

Yang satunya Ochobot, boneka beruang berwarna kuning hitam yang sangat akrab bagi Gempa. Tapi, yang satunya lagi ia tidak kenal. Entah kenapa bentuk dan desainnya mirip dengan Ochobot, tapi warnanya merah marun.

Gempa tidak bodoh, ia bisa menebak kalau Yaya menjahit boneka ini sendiri. Makanya tangannya luka dan ia kurang tidur?

"Yaya ...," Gempa mengguncang tubuh Yaya pelan.

Akhirnya, mata sang istri terbuka, meski tampaknya kelihatan berat.

"Boboiboy ... kamu udah pulang?" gumamnya mengantuk.

"Iya, aku udah pulang," balas Gempa dengan senyuman. Yaya mengucek matanya kemudian menguap.

"Maaf aku ketiduran," katanya. Gempa menggeleng kemudian menoleh pada dua pasang boneka beruang yang tak bisa ia lupakan.

"Ini ... maksudnya ...?" tanya Gempa bingung.

Yaya meregangkan tubuhnya, seperti menghirup lebih banyak nyawa sebelum akhirnya lebih sadar untuk menjawab. "Uhm ... aku cuma pikir, Ochobot kesepian ... jadi kubuatkan dia teman."

Gempa hanya mengerjapkan mata.

Yaya mengambil boneka beruang berwarna merah marun ke pangkuannya.

"Namanya, Kokoa. Salam kenal," ia menggerakkan salah satu lengan boneka tersebut seperti gerakan melambai.

Gempa hanya diam di tempatnya.

Lalu, ia bisa melihat wajah Yaya memerah dan menjadi ragu.

Gempa menarik napas panjang, menenangkan diri dan menyimpulan senyuman. "Terima kasih," suaranya agak serak, membuatnya malu.

Tapi, ia tidak menyangka Yaya akan melakukan ini.

Ochobot kesepian ...?

Melihat Ochobot, membuat Gempa ingat masa lalunya, saat ia kesepian dulu.

Tapi Yaya ...

"Gempa ...?" panggil Yaya, Gempa tersadar dan mengerjapkan matanya agar ia tidak menangis.

Ia segera memeluk Yaya dengan erat. Istrinya tampak terkejut namun segera menjadi rileks. Gempa tidak tahu bagaimana harus mengucapkannya. Tapi, perbuatan Yaya menyentuhnya. Rasanya, seperti mengubah rasa menyakitkan yang ia rasakan ketika melihat Ochobot, menjadi rasa yang lebih hangat.

Seperti, menyelamatkan masa lalunya yang tak ingin Gempa ingat lagi.

Gempa merasakan belaian lembut di punggungnya, rasa hangat tubuh Yaya, harum wangi tubuhnya, lembut rambut yang menggelitik hidungnya. Mengingat yang dulu ia dapatkan hanyalah sebuah tubuh boneka dingin yang empuk dengan bulu yang mulai lapuk ...

"Terima kasih, demi aku ... kamu melakukan ini," ia ucapkan lagi.

"Ya, sama-sama," balas Yaya kembali.

Gempa akhirnya bisa mengontrol perasaannya, sedikit bangga karena setidaknya ia tidak menangis, dan melepaskan pelukannya. Ia tersenyum tulus pada Yaya dan istrinya tersenyum balik padanya. Tangannya dengan lembut membelai tangan Yaya yang dipenuhi plester.

"Oh ya, Kokoa ini untukmu," kata Yaya, menarik Kokoa kemudian memberikannya ke Gempa.

"Untukku?" tanya Gempa bingung.

"Iya, 'kan kamu sudah memberikan Ochobot untukku. Jadi, Kokoa untukmu," balas Yaya, menarik Ochobot ke pelukannya.

Gempa memandang boneka beruang baru di tangannya. Jahitannya tidak begitu rapi, tapi melihatnya membuat hatinya terasa hangat. Boneka ini rasanya seperti Yaya ...

"Baiklah," kata Gempa. Yaya tersenyum senang dan Gempa ikut tersenyum padanya. Sang suami merunduk dan mencium mesra istrinya. Tangan Yaya memegang erat pundaknya. Keduanya tak sadar, kedua boneka beruang di tangan mereka pun saling berciuman.

IoI

Awalnya itu cuma sebuah ide iseng.

Saat Yaya tahu, Ochobot adalah teman satu-satunya suaminya. Yaya ingin melakukan sesuatu. Jadi, ide itu muncul, entah dari mana. Untuk membuat teman lain untuk Ochobot, supaya mata suaminya tidak menjadi sendu saat melihat boneka beruang itu.

Karena itu, setelah Yaya meminta Ying mengajarkannya cara menjahit sebuah boneka. Ying membawakannya bahan membuat boneka, membuatkan pola dan sisanya Yaya yang mengerjakan.

Dan Yaya mengerjakannya secepat yang ia bisa. Ia tidak tahu kenapa ia terburu-buru, tapi yang jelas ia ingin bonekanya cepat selesai.

Pekerjaannya lebih mudah saat Gempa memberikan Ochobot padanya, jadi ia bisa mencontoh desain dan jahitan boneka tersebut lebih mudah tanpa terkesan mencurigakan untuk suaminya. Ia ingin ini menjadi sebuah kejutan.

Dan ia senang, kejutannya berhasil.

"Api ... kamu ngapain?"

Yaya tak menyangka, di tengah malam, ia tak menemukan suaminya di sebelahnya saat terbangun di tengah malam. Dan kemudian menemukan suaminya tengah sibuk memajang dua boneka beruang di ruang depan dengan senyuman senang.

"Aku pajang mereka di sini ... supaya mereka nggak dipisah," jawab Api senang, tampak puas.

"Bukannya terlalu kekanakan dipajang di sini?" tanya Yaya. Kedua boneka beruang itu cukup besar dan tidak lazim dijadikan pajangan.

"Kan kasihan kalau Kokoa ada di kamarku, terus Ochobot ada di kamarmu, mereka nggak boleh dipisah," rengek Api, Yaya hanya mampu tersenyum dan tidak protes lebih lanjut.

Senang karena Yaya tidak protes lagi, Api berbalik dan memandang kedua boneka beruang itu dengan tatapan hangat.

"Kamu ... sayang Ochobot ya?" tanya Yaya dengan suara lembut.

"Ya, dia temanku," jawab Api dengan tulus. Matanya menjadi sendu, meski senyuman terpulas di bibirnya.

"Aku nggak pernah berpikir Ochobot kesepian ... terima kasih Yaya," katanya dengan sepenuh hati, menggenggam tangan Yaya erat.

Yaya hanya mengangguk. Sedikit tidak percaya, hanya dengan hal seperti ini, suaminya tampak sangat bahagia. Namun, ia tidak bisa mengatakan apa-apa.

"Jadi kan ... bukan cuma aku yang udah nikah, tapi Ochobot juga udah nikah 'kan sama Kokoa?" tanya Api dengan nada lebih ceria.

Yaya tertawa mendengarnya.

"Terus, terus, kalau kita punya anak nanti, Ochobot sama Kokoa juga harus punya ya," seru Api lagi, sukses membuat wajah Yaya menjadi merah padam.

Api berlari kecil ke kedua boneka beruang yang duduk berdampingan. "Di sini, kalau ada boneka beruang kecil kan lucu. Jadi, Ochobot juga punya keluarga," seru Api, tampak puas dengan idenya.

Wajah Yaya masih memerah, namun ia memberanikan diri untuk mengangguk. Masih agak sulit membayangkan ia dan suaminya memiliki anak, tapi Yaya tahu itu akan terjadi cepat atau lambat. Dan, ia mengakui itu bukan ide yang buruk.

"Oh ya, kok nama dia Kokoa?" menunjuk boneka beruang berwarna merah marun.

"Iya, kuambil dari kokoa untuk coklat, Ochobot itu ... asal namanya dari Choco yang maksudnya coklat kan?"

Api mengerjapkan mata, tampak berusaha mengingat. "Iya kah? Aku lupa," jawabnya dan Yaya tertawa lagi.

"Sudahlah, tidur yuk, Api. Udah malem, dan aku masih ngantuk banget," pinta Yaya. Api mengangguk, ia membetulkan posisi kedua boneka beruang tersebut, jadi kepalanya saling bersandar dan berlari kecil ke sisi Yaya.

Yaya memutuskan, ia tidak perlu tahu masa lalu suaminya lebih dari ini. Ia sudah cukup tahu dan tidak ingin mengungkit masa lalu. Karena, daripada fokus bersedih dengan masa lalu, masa depan akan jauh lebih bahagia, Yaya yakin itu.

TBC

—————————————

Wow, panjang juga chapter ini. Segitu tadinya mau dibuat flashback tapi jadinya susah. Maaf kalau bagian itu ngebingungin.

Nggak nyangka aku bisa bikin Ochobot muncul dalam bentuk boneka beruang di sini...

Oh ya, terima kasih buat yang ngasih ide bikin Love The Way You Are (LTWYA) di bulan puasa. Bukannya nggak mau sih, tapi alur LTWYA itu alur lambat, butuh 14 chapter buat sampe sebulan nikah. Kalau masuk bulan puasa, kelarnya bulan puasa bakal lama banget ...

Sudah, silakan review-nya bila berkenan.

——————————
K O L O M  N U T R I S I
——————————

1. Dikatakan bahwa semua kembaran punya koleksi masing-masing. Pernah berpikir untuk memilikinya?

2. Benda apa yang sampai sekarang masih terjaga dan kamu sayangi?

3. Apa pendapatmu terhadap Chapter 14 di Love The Way You Are ini?

***

Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.

***

Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?

Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Love The Way You Are.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top