Chapter 12

Silahkan dinikmati ^^

———————————————

Bagaimana rasanya bila hidup hanya bergantung pada seseorang? Ketika manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial, yang demi kesehatan fisik serta mental membutuhkan hubungan sosial dengan orang lain, tidak bisa bergantung hanya pada satu orang.

Itulah setidaknya yang dialami Boboiboy.

Ia memiliki segalanya, keluarga, harta, dan status, namun ia tidak memiliki orang lain yang mempercayai keadaannya dan menerimanya apa adanya.

Kecuali, Yaya, sekarang.

Karena itu, sekarang Yaya seperti satu-satunya tiang penyangga fondasi kehidupan Boboiboy. Dan jujur saja rasanya sangat mengerikan dan menggembirakan di saat yang sama.

Ketika semua kembarannya mulai terpikat pada Yaya, dengan sangat kuat, yang masih melawan hanya Halilintar. Ia bukannya bebal atau keras kepala, tapi ini demi kebaikan mereka semua. Sang kembaran ketus itu masih ingat betul bagaimana saat Tok Aba meninggalkan mereka semua.

Hidup mereka seperti hancur berkeping-keping, hampir tidak bisa diselamatkan. Itu karena waktu itu mereka menggantukan segalanya pada Tok Aba. Tok Aba seorang yang menjadi sumber kebahagiaan mereka. Maka dari itu, saat Tok Aba pergi, mereka semua seperti terpuruk.

Dan sekarang Yaya datang, seperti mengulang semua itu.

Halilintar masih bingung alasan kenapa Yaya masih mau bertahan bersama mereka. Jika bukan karena kasihan maupun uang, maka ... apa?

Cinta? Halilintar mau mendengus, mereka saja tidak bisa mencintai diri mereka sendiri, bagaimana dengan orang lain?

Lucu sekali ...

Halilintar berhenti berpikir dan memijit keningnya. Sebaiknya ia berhenti memikirkan gadis, baiklah, istrinya itu. Pekerjaan proyek baru masih harus ia selesaikan di hari Minggu yang cerah ini. Dan terima kasih pada Gempa yang membuat mereka ikut stres selama beberapa hari belakangan ini, kepala Halilintar terasa sakit sekarang.

"Kau baik-baik saja?"

Halilintar melirik pada Yaya, yang entah kenapa sekarang ada di sampingnya. Sejak kapan? Halilintar berhenti memijit keningnya dan mendengus.

"Kecuali aku harus menyelesaikan pekerjaanku hari ini, ya aku baik-baik saja," jawab Halilintar dengan nada sarkartis yang kental.

"Kau belum sarapan dari pagi lho ...," Yaya mengingatkan dengan nada lembut. Halilintar hanya mengernyit mendengarnya.

Kenapa gadis ini begitu ...

Oh, sudahlah.

"Nggak nafsu," jawab Halilintar singkat. Matanya kembali fokus pada laptopnya dan jemari tangannya kembali bermain di atas keyboard.

Secara tak disangka, sebuah tangan terjulur dan meraba keningnya. Halilintar kaget dan menegang, kemudian dengan cepat menepis tangan Yaya.

"Apaan sih!?" seru Halilintar kesal. Ia bisa menghadapi orang yang ia tidak sukai, ia bisa bertahan memimpin perusahaan, tapi ia paling tidak suka disentuh orang tanpa peringatan.

Yaya tampak terkejut namun matanya seperti khawatir.

"Kamu agak panas lho ..."

Halilintar mendengkus keras dan menelan kembali amarahnya. Ia tidak suka bagaimana Yaya peduli padanya, menunjukkan sisi lembutnya, ia benar-benar menyebalkan.

Akhirnya, setelah Halilintar tidak memberikan respons, Yaya pergi dari kamarnya. Untuk sesaat Halilintar merasa puas, sulit rasanya bekerja di bawah pandangan Yaya. Namun, kepuasaannya segera terbang ke luar jendela saat ia mendengar Yaya kembali.

"Ini ..."

Halilintar melirik Yaya yang sudah membawakannya sepotong roti bakar, segelas susu dan obat.

"Tch ... ntar, simpen aja di sana," Halilintar mendecak lidahnya dengan kesal. Yaya mengernyit dengan sebal.

"Kamu jangan bandel deh, badan kamu panas lho, makan dulu, terus minum obat, terus istirahat ya," omel Yaya. Mendengarnya hanya membuat telinga Halilintar terasa panas.

"Bawel, aku bukan anak kecil, aku bisa ngurus diri sendiri, udah sana!" usir Halilintar, makin kesulitan untuk mengontrol emosinya.

"Kalau kamu emang bisa ngurus diri, harusnya kamu minum obat nggak usah disuruh juga," omel Yaya balik. Halilintar menutup matanya, berusaha untuk melupakan kepalanya yang berdenyut sakit.

"Iya, nanti juga bisa, kamu resek banget sih," semprot balik Halilintar. Sang istri menggembungkan pipinya dengan kesal.

"Jangan bandel, tubuh itu bukan cuma milikmu sendiri tau!" seru Yaya. Halilintar menggeretakkan giginya, namun menahan diri untuk tidak membalas balik karena ia tahu pertengkaran seperti ini tidak akan ada ujungnya. Kadang Yaya bisa keras kepala dan Halilintar sedang sakit kepala, kepalanya hanya berdenyut makin parah dengan suara mereka yang makin meninggi.

Yaya akhirnya mendengkus dan membuang mukanya.

"Ya udah kalau gitu, aku mau pergi aja!" seru Yaya, akhirnya. Halilintar tidak merespon dan memijit keningnya, akhirnya istrinya pergi sambil membanting pintu kamarnya.

Oh bagus, sekarang Halilintar bisa membayangkan semua kembarannya marah padanya karena sudah bertengkar hanya karena hal sepele dengan Yaya.

IoI

"Kamu kenapa lagi?"

Yaya menoleh pada ibunya, wajahnya yang tadinya masam melembut sedikit. "Nggak," jawabnya bohong. Ibunya hanya tersenyum padanya.

"Jangan bohong deh sama Ibu, kenapa? Bertengkar sama suamimu?" tebak ibunya tepat sasaran. Yaya tersentak sedikit dan tersenyum gugup. Ia sedikit menyesal tidak bisa mengontrol emosinya, padahal ia sudah tahu sifat Halilintar seperti apa. Apalagi, suaminya sedang sakit.

"Kok Ibu bisa tahu?" tanya Yaya sedikit heran. Ibunya hanya tertawa kecil. Restoran mereka sedang tidak ramai meski di hari Minggu, mungkin karena matahari bersinar begitu terik di luar.

"Iya tahu dong, Ibu kan juga pernah nikah. Kamu gimana sih," canda ibunya. Yaya ikut tertawa mendengarnya.

"Dulu Ibu juga suka bertengkar sama ayahmu, apalagi waktu baru nikah. Yah, namanya juga masih muda, suka keras kepala dan nggak ada yang mau mengalah. Makanya Yaya, kontrol emosimu dan bila perlu, mengalahlah meskipun bukan kamu yang salah. Kalau nanti kalian berdua sudah lebih tenang, baru bisa dibicarakan baik-baik," nasihat ibunya.

Yaya mengangguk, bahkan ia malu untuk mengatakan kalau masalah pertengkaran mereka hanya karena masalah sepele.

Hanya kadang Yaya susah mengerti. Ia sudah bisa akrab dengan semua kembaran, mungkin bahkan sudah melebihi batas hubungan teman, kecuali dengan Halilintar. Entah kenapa kembaran yang satu itu sulit ditebak. Kadang ia bisa terlihat peduli, tapi kadang bisa sangat menyebalkan. Apa salah Yaya? Sebagai seorang istri, wajar kan kalau ia peduli pada suaminya? Kenapa Halilintar malah marah? Yaya tidak mengerti.

Tapi Yaya berusaha menenangkan diri. Kalau ia marah, Halilintar marah, tidak akan ada ujungnya. Ia harus menahan emosinya lain kali.

"Makasih ya, Bu."

"Sama-sama."

Yaya memeluk ibunya dengan penuh sayang dan ibunya memeluk Yaya balik. Ia senang punya ibu yang perhatian seperti ibunya. Kadang membuatnya miris karena hal itu tidak berlaku untuk suaminya.

IoI

Air berhenti membaca berkas sesaat ketika ia mendengar suara petir menyambar di luar. Setelah bertengkar dengan Yaya, Halilintar mencoba bekerja namun tidak bisa fokus jadi ia berganti kendali. Air sendiri sudah memutuskan untuk ikut membantu bekerja, setidaknya selama tidak harus bicara dan berhadapan dengan orang lain, ia bisa bekerja dengan baik.

"Hujan ... Padahal tadi siang panas banget," gumam Air menatap jendela dimana hujan mengguyur dengan deras.

Air membayangkan Yaya, yang seharusnya jam segini akan pulang, semarah apapun dia. Tebakannya, seharusnya Yaya berada di restoran keluarganya. Jaraknya tidak begitu jauh, cukup satu kali naik angkutan umum, tapi Air bisa membayangkan hujan deras yang harus istrinya terjang, belum lagi kemacetan karena kemungkinan jalanan penuh genangan air.

Lalu terbesit ide di benaknya.

"Halilintar, kamu jemput Yaya pakai mobil ya, sekalian kamu minta maaf sama dia," ucap Air, untuk memastikan jika ia melepaskan kendali bukan kembaran yang lain yang mengambil alih tapi Halilintar.

Dan Air pun menutup matanya, berharap rencananya berjalan lancar.

Saat sepasang mata coklat itu terbuka, Halilintar mendecak lidahnya.

Air sialan.

IoI

Cuaca itu kadang aneh, saat panas terik di siang hari kadang itu pertanda kalau sore atau malamnya akan hujan deras. Seperti sekarang.

Yaya menatap hujan deras di luar, membuat teras restorannya becek dan membuat banyak pelanggan berdatangan yang ingin berteduh sekaligus mengisi perut sambil menunggu hujan reda. Restorannya jadi penuh, sampai tak ada kursi kosong yang tersisa.

Bukannya ia tidak mensyukuri hujan yang turun, karena hujan juga berkah, tapi ia tidak suka membayangkan bagaimana ia harus pulang nanti. Ia bisa membayangkan, ia memakai payung menerjang hujan namun tetap basah, berdesak-desakan di angkutan umum, macet baru bisa sampai rumahnya.

Ia sempat berpikir untuk meminta jemput pada suaminya, untuk ingat kalau ia sedang bertengkar dengan Halilintar dan ia tidak mau menyusahkan mereka, karena suaminya sedang sakit.

Yaya mendesah sebelum akhirnya sadar bahwa ada orang lain yang baru memasuki restorannya. Sosok yang cukup familier.

"Fang!"

Pemuda bersurai hitam dengan kacamata dengan wajah oriental itu cukup kebasahan. Yaya segera menghampirinya.

"Ya ampun, kamu kehujanan ...," komentar Yaya cukup bersimpati. Teman masa kecilnya itu mendengkus padanya.

"Ying sialan emang, mendadak pengen ayam bakar restoranmu, eh di tengah jalan hujan," gerutu Fang membuat Yaya tertawa. Fang berstatus pacar Ying, sudah cukup lama mereka berpacaran sehingga kadang Yaya merasa Fang dan Ying lah yang seperti sepasang suami istri dibandingkan dirinya dengan suaminya.

"Ya udah, biar kuambilin handuk, kamu pesen aja makanannya sama Mas Ilham," kata Yaya, berbalik pergi berusaha mencari handuk.

Fang hanya mengangguk, sudah cukup familier dengan restoran Yaya bahkan sebelum seramai ini.

Tak lama kemudian Yaya kembali, dengan selembar handuk, ia melihat Fang bersandar di meja kasir karena memang sudah tidak ada tempat duduk.

"Fang, ini handuknya," Yaya menghampiri temannya itu. Namun, lantai yang licin karena becek membuatnya hampir terpeselet.

"Yaya!" Fang menangkap tangan Yaya dan menariknya sebelum ia terjatuh. Wajah Yaya memerah sedikit karena sadar ia ada di dada Fang. Dengan cepat ia segera mundur, Fang pun tidak merasa kaget.

"Maaf," kata Fang cepat. Yaya menggeleng.

"Nggak apa-apa, makasih udah nolongin aku," tepis Yaya menahan rasa malunya.

Fang mengambil handuk yang ditawarkan Yaya dan mengeringkan badannya.

"Kamu udah pesen sama Mas Ilham tadi?" tanya Yaya mengalihkan pembicaraan.

Fang mengangguk. "Nggak sekalian sama hot chocolate sekalian nunggu hujan reda?" tanya Yaya dengan senyum simpul.

Pemuda Cina itu tersenyum tipis. "Asal traktiran kamu sih nggak maasalah."

Yaya tertawa kecil, namun tetap memesankan hot chocolate untuk Fang. Untuk sesaat, pemuda itu menoleh ke arah luar restoran.

"Kenapa?" tanya Yaya heran.

"Nggak ... Kayak ada yang ngeliatin tadi ... perasaanku aja kali. Oh ya, gimana kabarmu? Maaf nggak bisa dateng ke pernikahanmu kemarin."

IoI

Yaya mendesah lega, akhirnya setelah menerjang hujan, terjebak macet, akhirnya ia bisa sampai ke apartemen tempat ia tinggal sekarang. Hari sudah malam dan hujan deras masih mengguyur di luar. Meski agak risih dengan keadaan dirinya sendiri yang basah, namun Yaya juga khawatir bagaimana dengan suaminya.

Tadi suhu badannya agak panas, semoga ia sudah minum obat dan baik-baik saja sekarang.

"Assalamu'alaikum ..."

Yaya masuk ke dalam apartemennya dan agak terkejut melihat apartemennya dalam kondisi remang-remang. Hanya lampu dapur dikejauhan yang memancarkan cahaya tapi ruang depan gelap. Yaya jadi kebingungan, apa suaminya pergi malam-malam begini?

Seseorang tiba-tiba muncul dan mendorong Yaya ke dinding, membuat gadis itu menjerit ketakutan.

"KYAAAAA!"

Namun, mulutnya segera dibekap.

Petir menyambar di kejauhan, memberikan kilatan cahaya.

Sekilas Yaya bisa melihat siluet suaminya, membuat sang istri lebih tenang. Namun, tangannya yang masih digenggam erat dan ia ditekan ke dinding membuat Yaya tetap tegang. Sepertinya ada sesuatu yang aneh.

"Kau ..."

Suara yang rendah ini, dikenali Yaya sebagai suara Halilintar. Namun, tampaknya terdengar aneh, seperti pecah dan serak. Seperti sedang menahan emosi yang tak terbendung.

"... berani-beraninya ..."

Yaya kebingungan, meski samar, ia bisa merasakan rasa amarah terpancar, juga bagaimana ia ditatap tajam oleh Halilintar.

"Halilintar?" gumam Yaya pelan, setelah bekapan mulutnya dilepas. Ia bergetar sedikit, genggaman di pergelangan tangannya sangat erat, sampai agak sakit.

"Kau ini ... Apa kau pikir bisa mempermainkan kita?"

Yaya hanya bisa mengerjapkan mata. Ia berusaha tidak terintimidasi, tapi jujur saja, ia ketakutan. Suaminya jauh lebih kuat darinya. Dan Gempa pernah mengatakannya, ia pernah mengatakan kalau Halilintar tak akan melukainya namun saat itu wajahnya tampak ragu.

Suaminya tak akan melukainya sekarang kan?

"Maksudmu apa?" tanya Yaya memberanikan diri.

"Jangan pura-pura tidak tahu!" teriak Halilintar keras, membuat Yaya terperanjat dan memekik kesakitan karena cengkeraman di pergelangan tangannya makin kuat.

Yaya hanya bisa panik, sambil berusaha memikirkan maksud dari perkataan Halilintar namun ia sama sekali tidak mengerti.

"Karena kau pikir kita menyedihkan makanya bisa kau permainkan sesukanya? Hanya karena yang lain begitu terpikat padamu, jangan besar kepala!" seru Halilintar lagi.

Yaya mulai gemetaran ketakutan dan meringis karena tangannya sakit.

"Halilintar ... lepaskan ...," rintih Yaya, merasa begitu kecil dan tak berdaya dibanding suaminya. Ini benar-benar pertama kalinya ia merasa takut pada Boboiboy, terutama Halilintar. Sebelumnya, biasanya hanya berupa perkataan dingin dan menyakitkan, namun dari cara Halilintar memandangnya, ia seperti akan benar-benar menyakiti Yaya.

"Kau pikir kau bisa mempermainkan kita seenaknya? Kau pikir kau yang memegang kontrol di sini, hah!?" gertak Halilintar keras. Yaya menutup matanya, sama sekali tak paham dengan apa yang dibicarakan suaminya.

Yaya terkejut dengan apa yang Halilintar perbuat selanjutnya.

Halilintar mencium bibirnya.

Keras.

Caranya menggenggam rahang Yaya dengan kasar membuat Yaya berjengit kesakitan. Apalagi bagaimana Halilintar mencium dirinya dengan kasar, membuat Yaya justru merasa makin takut.

Saat ada gigi yang menggigit bibirnya hingga berdarah, Yaya tersentak dan insting bertahan hidupnya sebagai manusia muncul.

Jadi, ia mendorong Halilintar sekuat tenaga kemudian menampar wajahnya.

Jelas, Halilintar sangat terkejut, ia terlihat terpaku dan Yaya sedikit terkejut saat mendapati dirinya sendiri sedang menangis.

"Kau ini kenapa sih!?" seru Yaya penuh rasa bingung juga amarah, ia berusaha menghapus air matanya, tak ingin menangis di depan Halilintar, namun gagal. Jadi, ia segera berlari menuju kamarnya meninggalkan Halilintar yang tampak terpaku di tempatnya.

Ada apa sebenarnya dengan Halilintar? Yaya membanting pintu kamarnya dan menjatuhkan diri ke tempat tidurnya. Ia menatap pergelangan tangannya yang memerah.

Ia tak percaya Halilintar menyakitinya seperti itu ...

Baru kali ini ia sadar, kalau suaminya bisa ...

Begitu menakutkan.

IoI

"Yaya?"

Yaya tersentak dan memandang ke arah pintu. Suara suaminya, namun kali ini bukan dengan nada rendah dan serak, lebih tinggi dan cempreng. Dari suaranya juga terdengar rasa khawatir dan kalut.

Yaya sempat ragu, namun akhirnya ia bangkit sambil berusaha menghapus air mata yang tersisa di pipinya dan kemudian membuka pintu kamarnya.

"Kamu nggak apa-apa Yaya?" Yaya menatap suaminya yang tampak panik dan begitu kalut. Sang istri sadar kalau ia sedang berhadapan dengan Api. Kenapa Api? Ia ingin berhadapan dengan Gempa atau Taufan. Tapi, ia berusaha untuk menerimanya.

Yaya tidak ingin berbohong, jadi ia hanya diam.

"Maafin Halilintar ya ... dia cuma ... cuma ...," Api terlihat begitu menyesal, membuat Yaya justru merasa bersalah.

"Aku cuma nggak ngerti apa maksudnya ... Kenapa dia marah sama aku?" tanya Yaya pada Api, berusaha menenangkan dirinya sendiri.

Api terdiam, untuk sesaat ia terlihat marah lalu kemudian sedih lalu kemudian bingung.

"... uhm ... kurasa, Halilintar cuma nggak mau kehilangan kamu," jawab Api dengan wajah bingung dan ragu. Yaya hanya mengerjapkan mata, jelas tidak percaya dengan apa yang dikatakan Api. Lagipula, ia masih tidak mengerti apa maksudnya.

"Maksudnya? Kenapa? Bukannya semalam udah jelas, kalau aku nggak bakal meninggalkan kalian?" tanya Yaya.

Api menggeleng. "Bukan ... bukan itu ... tadi, Halilintar datang jemput kamu ke restoran, terus lihat ..."

Yaya mengerjapkan matanya dengan terkejut. Apa? Tadi Halilintar datang menjemputnya tapi lalu pulang ... Apa yang sudah ia lihat?

"Oh, Fang?" Yaya baru sadar.

Api mengernyitkan dahinya tampak tak suka. "Oh, jadi itu namanya," katanya dengan wajah benci. Melihatnya, Yaya baru sadar apa yang sedang dirasakan suaminya.

Mereka semua cemburu?

Yaya ingin tertawa miris sekarang. Jadi ternyata itu masalahnya.

"Fang itu ... cuma teman masa kecil, teman SMP-ku. Dia itu pacarnya Ying, sahabatku. Kamu pernah lihat Ying di pernikahanku kan? Fang bukan siapa-siapa untukku ...," jelas Yaya, berharap suaminya percaya padanya.

Api tampak sangsi, namun tidak mengatakan apa-apa.

Yaya mendesah pelan dan membelai wajah Api. "Percayalah, aku nggak akan mengkhianati kalian ... Aku kan sudah bilang kemarin malam, aku nggak akan meninggalkan kalian ..."

Api hanya mengangguk kecil meski wajahnya masih ragu.

Yaya tidak tahu bagaimana membuat suaminya mau percaya padanya. Namun, yang pertama ia harus meluruskan masalah ini.

"Aku bisa bertemu Halilintar?" tanya Yaya. Sekarang ia sudah tahu pokok permasalahannya, ia sudah tidak merasa takut lagi.

Api terlihat terkejut kemudian menjadi bimbang. "Kamu yakin?" tanyanya.

Yaya mengangguk dengan pasti. Api menatapnya dalam-dalam kemudian mendesah dan menutup matanya.

"Aku nggak bakal maafin kamu kalau kamu nyakitin Yaya lagi, Halilintar," ucapnya membuat Yaya terdiam. Ia meraba pergelangan tangannya yang memerah dengan halus. Semoga cepat sembuh, meski ia tahu beberapa hari ke depan pergelangan tangannya akan membiru.

Sang istri tidak mengatakan apapun dan saat mata itu terbuka, Yaya tahu ia sudah berhadapan dengan Halilintar sekarang.

"Kamu udah denger 'kan penjelasanku tadi?" tanya Yaya pada Halilintar. Sang suami membuang wajahnya dan melipat lengannya, ia bersandar pada dinding dengan wajah kesal.

"Aku nggak tahu kamu mikir apa ... tapi aku nggak ada apa-apa sama Fang, titik," jelas Yaya lagi dengan tegas.

Halilintar mendengus keras.

"Aku nggak suka ...," gumamnya dengan nada rendah.

"... bagaimana dirimu bisa mempengaruhi kami semua begitu mudah ... seperti memegang kontrol kendali sepenuhnya.," lanjutnya.

Yaya mengernyitkan dahi, berusaha mencerna apa yang dikatakan Halilintar.

"Tapi, itu nggak berlaku sebaliknya ... kita sangat membutuhkan dirimu ... tapi nggak sebaliknya ... kenapa... ukh!" Halilintar memukul dinding dengan keras, membuat Yaya terperanjat. Ia tampak begitu marah dan kesulitan menahan emosinya.

Yaya hanya bisa diam di tempat, melihat Halilintar tampak begitu kesal dengan dirinya sendiri.

"Kamu tahu? Kamu bisa menghancurkan kami dengan sangat mudah! Itu yang aku nggak suka selama ini! Kita semua udah begitu bergantung sama kamu, terlalu bergantung ... makanya ... kadang aku cuma mau mengunci kamu di suatu tempat, supaya kamu nggak pernah bisa pergi."

Yaya mendesah dan menarik Halilintar ke dalam pelukannya, membuat sang suami terperanjat.

"Hubungan kita nggak berat sebelah Halilintar, kamu, kalian juga memegang kontrol besar pada diriku ... aku nggak bohong," gumam Yaya pelan. Ia tidak pernah mau dan tidak akan bisa membayangkan bagaimana hidupnya tanpa Boboiboy sekarang. Ia memang tak bergantung pada suaminya, tapi sang suami telah menjadi bagian besar dari hidupnya. Bagian besar yang tak akan tergantikan.

"Seperti waktu Gempa menghindariku ... aku kesepian ... Aneh 'kan? Padahal pernikahan kita hanya seumur jagung tapi... aku...," Yaya mendesah pelan dan tersenyum lembut pada Halilintar.

"Itu masih belum ada apa-apanya ...," gumam Halilintar dengan nada rendah, namun untuk kali ini tampaknya sudah lebih tenang dibanding sebelumnya.

Yaya tahu, suaminya mulai terobsesi padanya. Obsesi yang tidak sehat.

"Kamu, kalian harus percaya padaku," jelas Yaya dengan tegas.

Halilintar hanya diam.

"Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk menerima kalian apa adanya, percayalah ... Aku nggak akan meninggalkan kalian," ucap Yaya lagi dengan pandangan tulus. Ia menggenggam tangan Halilintar dengan erat.

Halilintar akhirnya mendesah panjang dan memeluk balik Yaya. Istrinya sedikit terkejut namun tersenyum tipis.

"Kalau kau sampai pergi ... kita nggak akan selamat untuk yang ke dua kalinya," gumamnya dengan nada rendah.

Yaya bergidik sedikit. Namun, sentuhan lembut di pergelagan tangannya yang sakit membuat Yaya tersenyum kecil. Ia bisa merasakan kalau Halilintar juga merasa bersalah. Meski tidak bisa meminta maaf secara gamblang, Yaya sudah memaafkannya.

"Maka dari itu, mulai dari sekarang ... Aku nggak akan pernah membiarkanmu pergi," lanjut Halilintar. Yaya menutup matanya dan mendengus sambil menahan senyum.

Posesif ... Tapi, Yaya tak bisa menyalahkan Halilintar. Mereka sudah terlalu lama menderita, terlalu lama kesepian. Rasanya mungkin seperti menemukan cahaya di lorong yang gelap. Yaya tak bisa menyalahkan mereka yang terus ketakutan dirinya akan pergi meninggalkan mereka. Karena mereka tak mau hal yang sama terulang kembali, tak mau kembali hancur, sendiri dan berjuang keras untuk dicintai lagi.

Tapi itu artinya ...

"Itu artinya, kamu memang cemburu sama Fang?" tanya Yaya dengan senyum geli. Selama ini ia selalu berpikir Halilintar tak peduli padanya.

Pelukannya menjadi semakin erat. "Jangan sebut nama dia lagi, aku nggak suka!"

Yaya tertawa kecil, puas karena tebakannya benar namun kemudian terkejut saat tiba-tiba bibirnya dicium lagi, tidak sekasar tadi namun tetap dalam dan membuat Yaya kehabisan napas.

Ketika akhirnya Halilintar melepaskan bibirnya, ia menyeringai lebar.

"Jangan pikir kamu yang pegang kendali di sini ... mengerti?" tanyanya.

Yaya hanya bisa mengangguk pelan, dalam hati membuat catatan untuk tidak bercanda di depan Halilintar.

Halilintar kemudian menciumnya lagi, membuat kaki Yaya terasa lemas dan jantungnya berdebar keras. Setidaknya, sebagian dirinya merasa lega, setelah tahu kalau Halilintar tidak membencinya. Rasa obsesi dan posesifnya mungkin akan menganggu di kemudian hari tapi setidaknya untuk sekarang ...

Yaya bisa menganggap itu adalah bukti perasaannya pada sang istri.

Dan kapan mereka akan mengerti? Kalau bukan hanya suaminya yang mulai tertarik pada Yaya, tapi Yaya pun sulit menghentikan perasaannya yang mulai tumbuh dan berkembang pesat terhadap suaminya ... Yaya harap suatu saat mereka akan mengerti.

Ya, suatu saat nanti.

TBC
——————————————

Mungkin feeling-nya kurang dapet. Maaf ya ...

Akhirnya ... Halilintar cium Yaya juga ...

Chapter depan apa yang akan terjadi? Yah, liat nanti ya, hehe

Tolong review-nya ^^

——————————
K O L O M  N U T R I S I
——————————

1. Kalau kamu cemburu, apa yang akan kamu lakukan?

2. Jika diadakan QnA (Quest and Answer), tetapi hanya seputar Love The Way You Are, adakah yang berminat? Silakan yang ingin berpartisipasi dapat lontarkan pertanyaan di sini dan akan dijawab++ (versi Cuzhae) pada bab selanjutnya.

3. Apa pendapatmu terhadap Chapter 12 di Love The Way You Are ini?

***

Mari terapkan budaya baca cermat, memberi masukan dengan santun juga bijak, serta menghargai keberagaman dalam berkarya dan perbedaan pendapat. Be wise.

***

Sudahkah kamu vote bab ini dan follow penulisnya?

Scroll/Swipe untuk membaca bab selanjutnya dari fanfict Love The Way You Are.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top