Reuni (Dua)


"Besok ada reuni SMA," kata Lia pada kedua sahabatnya Ica dan Tian, saat mereka sedang asyik ngorol di kantin universitas mereka.

Ketiga sahabat itu sudah lama tidak bertemu, karena meski satu kampus mereka kuliah di jurusan yang berbeda. Lia yang dari kecil udah tomboy kuliah di jurusan teknik mesin, Tian yang hobinya menggambar kuliah di jurusan teknik sipil dan Ica yang hobinya nyerocos kuliah di jurusan kesehatan masyarakat. Tian dan Ica yang mendengar kata-kata Lia itu diam dan berpikir.

"Wah sudah lama juga ya gak ketemu sama anak-anak SMA, kabar mereka gimana ya?" Kata Ica.

"Anak itu juga datang lho, Ti," kata Lia.

"Siapa?" tanya Tian.

"Itu loh, gebetanmu semasa SMA." Lia sambil tersenyum jahil.

"Oh." Tian Cuma ber-oh saja.

"Eh? Dia sudah pulang dari Jerman?" Ica tampak terkejut.

Gebetan Tian yang namanya Tio adalah salah satu dari cowok popular di sekolah mereka dulu karena kepandaiannya, dia bahkan mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Jerman.

"Mesti dandan cantik donk, Ti," goda Ica.

"Yang benar saja, buat apa?" Tian memalingkan wajahnya yang merona.

Lia dan Ica tersenyum melihat tingkah sahabat mereka itu. Saat masih kelas satu SMA, ketika hari valentine kelas satu SMA, atas dorongan dari Lia dan Ica, Tian diam-diam memberikan sepucuk surat cinta dan sebungkus coklat ke dalam tas Tio. Karena Tian orangnya pemalu, dia meminta Lia dan Ica merahasiakan hal tersebut dari Tio. "Kamu sendiri selalu mengirim SMS terror ke Andra!" Tian mengingatkan Lia.

"Bukan SMS terror kok, orang kata-katanya bagus begitu." Lia berkelit.

Sama seperti Tian, Lia saat SMA juga pernah menyukai seorang cowok. Bahkan sampai sekarang pun Lia masih sangat menyukai cowok itu. Namanya adalah Andra, teman sebangku Lia saat kelas dua. Kapten tim futsal SMA. Lia diam-diam sering mengirim SMS pada Andra dengan menyamar sebagai cewek misterius. SMS itu masih berlanjut sampai sekarang dan Andra tidak sadar bahwa cewek misterius itu sebenarnya adalah Lia, sahabatnya sendiri. Ica meminum vanilla late-nya kemudian tersenyum pada kedua sahabatnya itu.
"Aku iri sekali kalian," kata Ica. Tian dan Lia menoleh ke arah Ica dengan tatapan bingung.
"Mungkin seandainya aku punya sedikit keberanian, aku bisa mengalami kisah cinta SMA yang mendebarkan seperti kalian."

"Maksudmu apa?" tegur Lia.

"Saat SMA dulu aku juga pernah menyukai seorang cowok, tapi aku memendam sendiri perasaan itu dan tidak memberitahukannya pada siapa pun, pada kalian juga tidak."

"Serius?" Tian terkejut.

"Siapa?" desak Lia.

"Cerita dong!" kata dua cewek itu kompak.

Ica tersenyum melihat ekspresi penasaran dua sahabatnya itu. Mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk memberitahu kedua orang itu tentang perasaan yang selama ini dipendamnya seorang diri itu. "Akan kuceritakan, tapi kalian harus berjanji untuk tidak tertawa."

***

"Ica, pulang yuk, udah sore nih." Tian mengingatkan.

Tapi sahabatnya itu masih asyik saja di depan laptopnya. Dia sedang sibuk men-download drama korea favorite-nya dengan menggunakan wifi sekolah yang gratis. "Eh... masih kurang satu episode lagi nih, duluan saja deh," kata Ica.

"Huh, dasar miss download, yuk tian kita tinggal saja dia," olok Lia.

"Berisik ah, mending Miss Download kan dari pada miss copy." Ica kesal karena mendengar julukan Miss download dari mulut Lia yang hobinya cuma mengkopi.

"Duluan ya, Ca." Tian berpamitan.

"Oke, sampai besok." Ica melambaikan tangannya pada kedua orang itu.

Setelah kedua orang itu pergi, dia pun kembali sibuk dengan laptopnya. Dia cukup lama men-download, sampai tak sadar kalau matahari sudah meredup dan suasana di luar kelas sudah menjadi gelap. Ica melirik jam dinding di kelasnya yang menunjukkan pukul 19.00. Ica langsung kalang kabut.

"Astaga, sudah jam berapa ini gila aku gak sadar."

Dia segera mematikan semua program, kemudian mematikan laptop, dan berjalan keluar dari kelas. Suasana di luar benar-benar gelap karena hari memang sudah malam. Ica menelan ludah. Dengan agak takut-takut dia menyalakan lampu senter dari HP sebagai penerangan untuk menuju ke pintu gerbang. Sesampainya di sana Ica di kejutkan oleh pintu gerbang yang ternyata sudah di gembok. "Hah ... sudah di gembok?" keluh Ica ketakutan.

Dia mengedor-gedor pagar dan memanggil-manggil nama satpam, tapi tak ada yang muncul. Bagaimana ini, sudah sangat malam dan dia sendirian di sini. Menyesal sekali dia karena tidak mendengar nasehat kedua temannya untuk segera pulang tadi. Ica jongkok dengan sedih karena putus asa. Apa yang harus dilakukannya kalau sudah begini?

Angin semilir berhembus dan membuat bulu kuduk jadi merinding. Di saat seperti itu, Ica malah teringat akan cerita-cerita hantu yang pernah di dengarnya. Sekolah memang terkenal angker karena sudah didirikan sejak jaman belanda. Tiba-tiba ada sebuah tangan yang menepuk bahunya. Ica terkejut dan langsung menangis lemas. "Maaf, Mbah ... jangan makan saya, daging saya tidak." Ica tersedu-sedu.

"Ngomong apa sih?"

Ica terkejut mendengar suara yang dikenalinya itu. dia menoleh ke belakang dan melihat sosok Anas yang berdiri di belakangnya. Anas adalah musuh bebuyutan Ica di kelas, mereka selalu bertengkar karena Anas suka mengusilinya. Belum pernah Ica sesenang itu melihat Anas seumur hidupnya. "A-Anas, kenapa kamu bisa ada di sini? Kok belum pulang?"

"Aku ketiduran di atap sekolah tadi," katanya sambil menguap.

"Kamu sendiri ngapain di sini?"

"Aku keasyikan download, sadar-sadar sudah malam."

"Oh begitu."

"Gimana nih, kita terkunci di sini, kayaknya Pak satpam sudah pulang," keluh Ica.

Anas berjalan mundur ke belakang beberapa langkah kemudian melompati pagar dengan satu lompatan cantik yang tidak disangka-sangka. Ica ternganga melihatnya. "Da-da Ica, sampai besok. Hati-hati ya, di sana banyak hantunya loh." Anas menakut-nakuti.

"Cu-curang, jangan tinggal aku dong." Ica memelas. Anas tertawa.

"Lompat saja," usul Anas.

"Aku pakai rok!" Ica menunjuk seragamnya dengan kesal.

"Ya sudah, kalau begitu sampai besok," goda Anas lagi.

"Tu-tunggu, aku naik."

Ica melemparkan tasnya ke luar pagar yang ditangkap dengan baik oleh Anas. Kemudian dia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Dia memanjat pagar itu dengan agak ketakutan. Begitu berada di puncak pagar dia bingung gimana bisa turunnya. "I-ini gimana turunnya?" kata Ica bingung.

"Lompat saja nanti kutangkap," ujar Anas.

"Hah?" Ica terkejut, entah mengapa pipinya jadi memerah.

"G-gak usah."

"Dasar, ya sudah cepat turun dari sana, dari sini celana dalammu kelihatan lho."

Ica terbelalak mendengar kata-kata Anas itu.
"Apa? Jangan lihat, awas kamu!" umpat Ica kesal.

Anas tertawa. "Makanya cepat lompat, nanti kutangkap."

Mau tak mau akhirnya Ica melompat juga. Di luar dugaan ternyata Anas mengingkari janjinya dan tidak menangkapnya. Akibatnya Ica terjembab ke atas tanah. Anas ngakak. "Dasar bodoh," olok cowok itu.

Ica bangun dan memandang Anas dengan keki. "Kurang ajar, awas kamu ya!" ancam Ica. Kapan sih orang ini bisa berhenti membuatnya kesal? Ica bangkit dengan kaki yang tertatih-tatih, tampaknya kakinya terkilir. Anas tertegun. Gara-gara gurauannya itu Ica jadi begitu.

"Hei, kakimu kenapa? Terkilir?" tanya Anas.

"Bukan urusanmu," kata Ica ketus.

Tanpa babibu, Anas langsung menggendong Ica kayak pasangan pengantin baru. Ica jelas terkejut. "He-hei, turunkan!" Ica berteriak-teriak jengah.

"Gak mau, gara-gara aku kaki terkilirkan?" tolak cowok itu. "Kuantar kamu sampai ke rumah ya, rumahmu di dekat sini, kan?"

"Aku bisa jalan sendiri, turunkan!" Ica masih bersikeras.

"Orang terkilir mana bisa jalan sendiri," kata Anas.

Ica akhirnya hanya bisa diam saja. Anas mengantarnya pulang dengan kondisi seperti itu. Ica hanya diam, sudah lama sebenarnya Ica diam-diam menyukai Anas. Anas adalah teman sekelasnya yang baik dan ceria. Tapi Ica tak berani mengutarakannya perasaannya, karena Anas sudah punya pacar. Apalagi Reva, pacar Ana situ adalah cewek paling cantik di sekolah yang tak mungkin disainginya.

***

"Kasian ya Anas, dia sekarang sudah gak seceria dulu lagi," kata Lia duduk istirahat siang itu bersama Tian dan Ica di kantin.

"Iya, meski sudah sebulan tapi rasanya pasti masih sakit," Tian ikut menanggapi.

Ica memandangi kedua sahabatnya itu bingung.v"Lho memangnya Anas kenapa?"

"Lho? Kamu gak tahu, Ca, padahal kamu kan yang paling deket sama Anas, dia gak cerita ke kamu? Anas sudah putus dari Reva sebulan yang lalu gara-gara Reva selingkuh," jelas Tian.

"He? Masak?" Ica melongo tak percaya. Pantas saja akhir-akhir ini dia tak pernah melihat Anas jalan dengan cewek itu. Jadi dia sudah....

"Teman-teman Aku ke toilet sebentar ya," pamit Ica.

Dia lantas langsung berlari dari tempat itu menuju kelasnya. Dalam hati dia berharap, berharap Anas masih ada di sana. Karena ada sesuatu yang sangat ingin disampaikannya pada cowok itu. Kalau benar Anas sudah putus, itu artinya tidak apa-apa kan kalau dia mengatakan pada cowok itu tentang perasaannya sekarang ini? Ica membuka pintu kelasnya. Anas ada di sana berduduk sendirian di kelas dengan tatapan bingung karena melihat gadis masuk ke kelas dengan nafas yang ngos-ngosan."Ngapain lari-lari?"Tanya Anas.

"A ... bukuku, buku PR fisikaku ketinggalan." Ica tergagap. Setelah menatap Anas di depan matanya, keberaniannya justru menguap.

"Oh." Anas berjalan menuju meja Ica dan memberikan buku tulis bersampul ungu yang ada di dalam laci meja itu pada Ica."Ini?" tanyanya.

"Iya, terima kasih." Ica melirik ke arah Anas. Sudah waktunya dia mengatakan hal itu."A-aku dengar kau baru putus dari Reva ya? Hahaha... akhirnya dia sadar juga dan memutuskanmu!" ucap Ica sambil tertawa.

Dalam hati dia membodohi dirinya sendiri. Kenapa malah kalimat seperti itu yang keluar dari mulutnya.

"Ya, kamu benar," kata Anas.

Ica tertegun mendengar jawaban Anas itu. Dan menyadari kalau kata-katanya tadi memang keterlaluan."Sudah ya, aku pulang dulu." Anas menepuk bahu Ica. Gadis itu berlari mengejar Anas.

"Tung-tunggu, tadi aku Cuma bercanda, jangan di masukan di hati dong." Ica berupaya berjalan agar menyejajari Anas.

"Tidak, Kamu benar, untung dia segera sadar dan memutuskanku. Aku pacaran dengannya tapi menyukai cewek lain."

"Eh ... jadi kamu menyukai orang lain? Siapa?" Ica terkejut.

Anas menghentikan langkahnya dan memandang Ica. "Rahasia dong, mau tahu saja."

"Huh, dasar pelit!" Ica jadi kesal.

Di pertigaan jalan Ica berhenti, dia harus kembali pada teman-temannya yang sedang menunggunya di kantin."Aku ke kantin dulu ya."

"Oh ... Oke, aku pulang dulu."

Anas berjalan menjauh. Ica memandangi punggung cowok itu yang semakin menghilang kemudian memanggil namanya. "Anas."

Anas menoleh ke arahnya. Lidah Ica terasa kelu seketika. "Sampai besok," kata Ica akhirnya.

Anas tersenyum kemudian berjalan pergi sambil melambaikan tangannya. Ica terdiam. Sekarang dia harus mengakui bahwa dirinya memang pengecut. Dia tidak berani mengatakan perasaannya yang sebenarnya pada Anas setelah tahu bahwa Anas sudah menyukai gadis lain.

***

"APA?" Lia dan Tian sama-sama terkejut setelah mendengar seluruh cerita dari Ica. Mereka menatap Ica dengan tatapan tak percaya.

"Ja-jadi ... Kamu dan Anas dulu...."

Ica tersenyum. Rasanya lega sekali setelah menceritakan sebuah cerita yang selama ini selalu di pendamnya sendiri. "Karena itulah kubilang aku iri pada kalian. Aku ini pecundang sejati. Seandainya saja, aku punya sedikit keberanian," kata Ica sambil menerawang.

"Besok mungkin dia akan datang, Ca, bagaimana kalau besok kamu beritahu dia," usul Lia.

"Rasanya terlambat. Gosipnya seminggu yang lalu dia balikan lagi dengan Reva," ucap Ica.

"Karena itu, kalian juga cepat beritahu pada orang kalian suka, bahwa kalian menyukainya agar kalian tidak menyesal sepertiku, masalah jawabannya itu soal belakangan."

***

Di malam reuni yang ramai itu, Ica berdiri di depan meja tempat berbagai makanan dihidangkan. Dia mengambil lempernya yang kelima kemudian membukanya dan memasukannya ke dalam mulut. "Hei tukang makan!"

Ica terkejut mendengar suara yang sangat dikenalinya itu kemudian menoleh. Anas berdiri di belakangnya. Cowok itu terlihat tampan dengan celana jeans dan kemeja hitamnya. "Anas?"

"Hei, bagaimana kabarmu?" tanya Anas sambil nyengir.

"Buruk setelah melihatmu," jawab Ica.

"Dasar, kamu ini gak berubah ya, selalu saja ketus begitu kalau padaku," keluh Anas kesal.

Ica tidak menjawab dan memilih meminum minumannya.

"Padahal waktu SMA dulu, aku pernah menyukaimu lho, gara-gara sikap menyebalkanmu itu aku jadi gak berminat mengatakannya."

Ica hampir tersedak. Dia berhenti minum dan menoleh ke arah Anas. Anas hanya nyengir padanya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top