RICH ISN'T ABOUT MONEY

Cerpen ini pernah kuikutkan lomba menulis dan menang. Jalan yang sungguh berliku untuk menjadi penulis dan sampai sekarang belum sampai di tujuan.

Awalnya ada di blog, tapi karena nggak pernah ngeblog, aku pindah ke sini.

Meet Ervin, sebetulnya dia ini Kakak dari Gavin-nya Amia. Waktu itu mepet waktunya untuk menyusun nama hero dan heroine baru.

Enjoy. Nggak buruk-buruk amat kan, ya?

###

“Aku mau resign.” Ervin memutar-mutar gelas di tangannya.

Diandra diam melanjutkan makan malamnya.

“Di, aku ngomong sama kamu.”

Diandra meletakkan sendoknya dan menatap lurus ke wajah suaminya.
Dulu, kalau ditanya what's your goal?, jawaban Ervin adalah kerja di perusahaan multinasional dan mengumpulkan uang. Dua bulan ini kalau ditanya pertanyaan yang sama, jawabannya beda. Belajar mendirikan usaha. Tidak jadi buruh lagi.

“Kenapa kamu ngomongin sesuatu yang nggak masuk akal kaya gini, Vin?” Sudah dua bulan ini Ervin mengatakan hal yang sama dan meminta pendapat Diandra. Tentu saja Diandra tidak setuju.

“Kamu nggak lihat? Aku hamil. Anakmu. Anak kita. Udah bukan saatnya kamu main-main....”

“Aku nggak main-main. Aku sudah memikirkan ini berkali-kali.”

“Kita belum tahu apa kamu berhasil atau nggak, Ervin. Sedangkan kita perlu uang untuk anak kita nanti. Terus kalau kamu nggak kerja kita mau makan apa?” Walaupun Diandra bekerja juga sebagai programer di sebuah software house, tetap saja yang menopang hidup mereka adalah gaji Ervin.

“Aku masih ada uang tabungan buat kita. Kita akan baik-baik saja.”

Diandra menarik napas panjang. “Aku nggak setuju.”

“Aku tetep keluar.”

Diandra berdiri dan meninggalkan makan malam yang belum banyak disentuhnya itu.

Diandra duduk di pinggir tempat tidurnya. Ervin ingin keluar dari pekerjaannya di galangan kapal. Salah satu dari perusahaan besar di negara ini mengisi rekening Ervin dengan banyak uang setiap bulan. Banyak orang-orang di luar sana kesulitan mencari pekerjaan dengan gaji bagus. Banyak orang kesulitan mengasapi dapurnya dan berakhir dengan menerima pekerjaan apa saja. Pekerjaan dan hidup Ervin mungkin sesuatu yang dimimpikan orang lain. Why pursue a dream when he is already living a dream?

Bagi Diandra, Ervin sedang melakukan sesuatu yang tidak bisa diterima sama sekali oleh otak orang waras yang sudah berkeluarga. Dulu Ervin bilang ingin menunda punya anak karena ingin menunggu sampai kondisi keuangannya stabil lagi pasca pernikahan untuk menambah anggota keluarga. Sekarang, dia malah akan menghabiskan uangnya. Berakhir dengan mengerjakan sesuatu yang belum tentu menghasilkan uang. Kapan mereka akan mulai memikirkan hidup berkeluarga dengan tenang?

***

Diandra duduk diam di samping Ervin yang mengantarnya ke kantor pagi ini. Ini tahun ketiga pernikahannya dengan Ervin. Seminggu lagi ulang tahunnya yang ketiga puluh dan sekarang kehamilannya memasuki bulan ketujuh. Selama ini tidak ada masalah berarti dalam pernikahan mereka, selain bertengkar mengenai hal-hal kecil.

Kali ini Diandra tidak tahu lagi bagaimana caranya menghentikan Ervin, dari keinginannya untuk mencoba peruntungannya sebagai enterpreneur. Bagaimana kalau Ervin bangkrut sedangkan gaji Diandra tidak cukup untuk hidup mereka bertiga nanti? Bagaimana dengan bayi mereka? Diandra tidak sanggup membayangkan bagaimana perubahan hidupnya, dari double income menjadi single income untuk sementara waktu. Bisa tiga bulan, bisa enam bulan, dan bisa juga lebih, untuk menunggu Ervin punya penghasilan lagi.

Diandra lebih suka Ervin tetap bekerja di galangan kapal atau di tempat lain yang memberikan gaji tetap.

“Kenapa kamu ingin ninggalin hidup kita yang sudah enak ini? Amazing career ... good life....” Diandra menanyakan keputusan Ervin. Salah satu pertimbangannya menikah dengan Ervin dulu, karena Ervin punya pekerjaan tetap dengan gaji bagus.

“Aku punya mimpi dan ambisi.” Ervin menjawab saat menghentikan mobilnya karena lampu lalu lintas menyala merah.

"Nggak bisa sambil kerja sambil mulai jualan? Kan biar tetep ada pendapatan tetap," Diandra mengusulkan jalan tengah untuk mereka berdua.

"Aku nggak bisa hidup seperti ini, Di. Aku merasa aku seperti singa di kebun binatang. Hidup singa di kebun binatang itu enak, kan? Dia pasti dapat makan, sesuai jadwal, on time. Tidak punya musuh. Tidak pernah tahu apa itu sakit, karena ada dokter hewan yang selalu mengawasi. Tidak tahu bagaimana caranya beradaptasi pada perubahan iklim karena hidup di kandang. Dia cuma perlu makan, tidur, bernapas, berak, makan, tidur, bernapas, berak lagi. Lalu mati. Kalau bisa bicara, mereka juga akan bilang kalau mereka ingin hidup bebas di padang rumput.

"Karir tertinggi di antara para singa itu mungkin ... saat dia terpilih, di antara banyak singa,  untuk ditaruh dalam kerangkeng di kebun binatang. Tidak semua singa punya kesempatan itu. Tapi, apa harus kehilangan kesempatan mengatur hidupnya sendiri? Iya dia sejahtera, lahir saja. Batinnya tidak." Ervin mengakhiri penjelasannya. Dia ingin Diandra mengerti dan mendukung apa yang ingin dilakukannya.

Mobil Ervin berhenti di depan kantor Diandra.

“Nanti sore pulang jam berapa?” Ervin bertanya sebelum Diandra membuka pintu mobil.

“Aku ... pulang sendiri aja.” Biasanya Ervin pulang kerja menyesuaikan jadwal Diandra, jadi Diandra bisa naik mobil bersamanya. Diandra sedang ingin menyendiri dan berpikir.

Diandra membuka pintu dan keluar.

***

"Maaf ya, Di. Aku nggak ada gaji untuk dikasih ke kamu. Tapi uang di tabungan masih banyak. Kamu bawa kartunya, kan?” Ervin duduk di samping Diandra yang sedang membaca buku Pertanyaan Anak Yang Tidak Bisa Dijawab Orangtua di tempat tidur. Ervin sudah keluar dari galangan kapal tempatnya bekerja selama ini.

Urusan tidak memberi Diandra uang ini membuat Ervin merasa sedikit tidak nyaman. Egonya sebagai laki-laki terluka. Karena stereotip yang ada di masyarakat: laki-laki memberi nafkah dan wanita mengurus rumah. Mereka hidup di tengah masyarakat yang punya aturan tidak tertulis bahwa laki-laki sebaiknya punya pendapatan lebih besar daripada istri.

Bukankah sebenarnya tidak ada masalah dengan istri yang berpenghasilan lebih banyak daripada suami? Bukankah itu sama saja dengan apa yang dirasakan wanita jika dia punya suami yang lebih jago masak daripada dirinya? Apa egonya sebagai wanita akan terluka?

Bukan berarti Ervin lepas tanggung jawab dengan tidak memberi kesejahteraan untuk Diandra. Ervin menginginkan hidup Diandra lebih nyaman dan mudah setelah menikah dengannya. Lahir dan batin. Tapi Ervin belum bisa memberikannya sekarang.

Diandra belum sepenuhnya setuju Ervin meninggalkan pekerjaan kantorannya untuk melakukan hal lain yang membuatnya bahagia. Namun Diandra berusaha memahami. Seperti singa di padang rumput. Ervin perlu tantangan. Ervin perlu mimpi yang lebih besar lagi. Suaminya tidak bisa diam di sini.
Sekarang Diandra punya peran baru lagi, a very supportive and encouraging wife.

"Aku nggak papa, aku kerja juga, kan? Aku nggak akan kekurangan apa-apa." Diandra menutup bukunya sambil meyakinkan dirinya sendiri, semua akan baik-baik saja walaupun Ervin sudah tidak bekerja.

Uang banyak itu diperlukan kalau mereka liburan ke luar negeri, makan malam di hotel berbintang, dan shopping. Asal Diandra tidak berfoya-foya, mereka akan baik-baik saja. Mereka bisa tetap pergi liburan di dalam negeri. Mereka bisa selalu menghemat dengan makan di rumah. Tidak perlu shopping keperluan bayi yang mahal dan bermerk, yang penting nyaman dan aman untuk bayi mereka nanti.

Ervin menarik Diandra ke pelukannya.

“Aku nggak mau kamu merasa nggak diprioritaskan, Di. Bagiku ... kamu tetap yang paling penting dalam hidupku. Kebahagian kamu ... anak-anak kita ... aku akan memberikannya nanti. Maaf, aku harus ajak kamu susah dulu seperti ini....”

Diandra adalah hal terbaik yang pernah dimilikinya. Tidak pernah terpikirkan olehnya sebelum ini, bahwa dia mempunyai istri berhati luas, yang selalu mendukungnya dan mencintainya. Walaupun mereka akan hidup berhemat mulai dari sini.
Ervin mencium puncak kepala Diandra. Hanya dari Diandra dia mendapatkan suntikan semangat dan rasa percaya diri.

“Ervin.” Diandra melepaskan pelukannya.

“Ya, Di?”

"Jangan pernah menyerah. Karena kamu adalah Ervin. You are strong. Nothing can hurt you even a bee!” Diandra menatap dalam-dalam mata Ervin.

“Tentu saja.” Ervin menjawab dan memeluk Diandra lagi.

Secara emosional, kehadiran Diandra di sisinya adalah penghilang tekanan dan sumber kekuatannya. Hanya kepada istrinya ini, Ervin bisa menunjukkan ketakutan dan keragu-raguannya. Diandra selalu mau mendengarkan semua keluhannya. Dunia terasa lebih baik saat Ervin bersamanya. Hanya dengan melihat senyuman Diandra, saat Ervin merasa lelah dan ingin menyerah, Ervin merasa bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Ervin merasa yakin akan berhasil dengan usahanya, lalu keluarga mereka akan bahagia.

"Kamu nggak sendirian, Vin. Nggak akan pernah sendirian," Diandra berbisik di dada Ervin. Ini akan menjadi perjalanan hidup yang sangat melelahkan juga untuknya. Diandra harus berada di sisi Ervin seperti apapun keadaan di depan nanti. Semakin baik atau semakin buruk.

***

"Harusnya kita bisa kasih tahu user di mana posisi colokan onboard diagnostic di mobil mereka." Ervin duduk di samping Diandra di depan laptop.

"Dari mana dapet database semua jenis mobil di dunia kalau gitu?" Diandra bertanya. Dia membantu memperbaiki car diagnostic application yang akan dijual Ervin.

Ervin lulusan teknik mesin dan menyukai mobil, service yang dijualnya tidak jauh-jauh dari apa saja yang berhubungan dengan mobil, termasuk car diagnostic application ini.

"Nggak tahu."

"Kan nggak mungkin, Ervin, kita cek satu-satu sendiri."

"Iya. Nanti lagi aku pikirin itu."

"Kamu tidur sana!" Diandra menyuruh Ervin tidur. Ervin banyak bergadang beberapa malam ini menyelesaikan aplikasinya ini.

"Ntar, ah!"

"Nggak baik buat kesehatan, lho, kalau kurang tidur!"

"Tidurnya ditemenin kamu tapi."

"Nanggung ini." Diandra menunjuk layar.

"Ya udah, aku juga nggak usah tidur."

“Kamu jangan kaya anak-anak, deh."
Ervin hanya mengangkat bahu, tidak menunjukkan keinginan untuk pergi tidur.

"Astaga! Sini, kita tidur. Kamu kaya bocah aja minta dikelonin.” Diandra mematikan laptopnya.

"Aku seneng...." Ervin tiduran sambil memeluk Diandra.

"Aku stres. Kapan kamu mulai jualan?” jerit Diandra.

***

Diandra meletakkan Kale di crib. Satu bulan lagi cuti bersalinnya habis. Orangtuanya dan orangtua Ervin sama-sama tinggal di kota lain. Dia memikirkan kemungkinan anaknya akan dijaga oleh pengasuh. Atau penitipan anak. Akan ada pengeluaran tambahan untuk itu.

Ervin dan teman co-founder-nya sudah mulai melakukan tahap uji coba dan kalau sudah mendapatkan hasil yang diinginkan, mereka akan jualan aplikasi itu. Diandra duduk di sofa dan membuka mobile banking-nya, menghitung seberapa banyak sisa uang mereka untuk hidup sampai Ervin mulai menghasilkan uang lagi.

Selama ini Diandra rajin mencatat pengeluarannya, untuk pos apa saja uang mereka dihabiskan. Dia menandai bagian-bagian mana yang bisa dihindari atau diganti dengan sesuatu yang harganya lebih terjangkau. Tidak lagi langganan TV cable di rumah, memprioritaskan pemakaian AC di kamar Kale, atau memakai popok kain dan memilih mencuci daripada membeli popok habis pakai.

Sebisa mungkin Diandra berusaha untuk menutupi kebutuhan rumah tangganya dengan gajinya, sehingga tabungan mereka sebisa mungkin terjaga untuk dana keperluan tidak terduga. Tidak ada yang tahu musibah apa yang menghampiri mereka dan pasti akan berat kalau saat itu terjadi—walaupun Diandra tidak berharap akan terjadi—mereka tidak punya uang.

“Sayang.”

Diandra mematikan tabletnya saat mendengar Ervin masuk ke rumah kecil mereka. Rumah kecil yang dulu dibeli dengan uang Ervin dengan tambahan dari orangtua Ervin. Sesuatu yang sekarang sangat disyukuri Diandra, setidaknya mereka tidak ada beban cicilan KPR.

“Hei.” Diandra tersenyum saat Ervin menghampirinya.

“Aku sama Alder sudah selesai uji coban. Tiga ratus mobil. Dan oke. Semoga saja kami bisa promosi dan bisa capai target bulan pertama nanti.” Ervin melingkarkan lengannya di bahu Diandra.

“Congrats.” Diandra mencium pipi Ervin. Setiap kali Ervin menceritakan progres usahanya itu, Diandra ikut senang. Ervin tampak jauh lebih bersemangat dibandingkan saat menceritakan kapal tunda yang dipesan orang ke perusahaan tempat kerjanya dulu. Melihat antusiasme Ervin, Diandra merasa ikut tertular antusias juga.

“Gimana kamu sama Kale? Aku nggak sabar pengen cepet pulang dan ketemu kamu sama Kale.”

“Dia pinter, kangen papanya.”

“Mamanya nggak kangen? Makasih ya, Di, kamu udah sabar banget hidup sama aku yang lagi miskin ini.”

“Kita nggak pernah miskin, Ervin.”

“Hidup dengan mengencangkan irit gini pasti bikin kamu nggak nyaman. Aku janji nanti kamu dan Kale nggak akan susah lagi, aku akan memberikan yang terbaik untuk kalian.” Diandra dan Kale adalah hartanya yang paling berharga, yang akan sungguh-sungguh dijaganya.

Diandra tersenyum. True, money can buy them comfort. It allows people to give comfortable life to family. Hidup terasa nyaman dan tenang kalau punya cukup uang.

Dalam kehidupan modern seperti ini, uang kunci untuk bertahan hidup. Semuanya perlu uang. Semakin banyak uang, semakin mudah bertahan hidup. Mungkin itu benar. Berapa banyak orang yang berlomba-lomba memenuhi pundi-pundi uangnya, tidak peduli uang didapat dengan cara apa? Apa orang-orang seperti itu bahagia? Diandra tidak tahu.

Saat ini Diandra bahagia karena bisa mendukung Ervin untuk mewujudkan mimpinya. Dalam keterbatasan finansial yang sedang mereka hadapi, Diandra bahagia. Ervin tidak lagi nongkrong-nongkrong dengan temannya, Ervin lebih banyak di rumah bersamanya. Semakin banyak lagi menghabiskan waktu di rumah saat Kale hadir di antara mereka.

Jika dulu Ervin menganggap pekerjaan rumah adalah tanggung jawab Diandra, sekarang tidak lagi. Dia tidak keberatan membantunya mem-vacuum lantai atau mencuci piring.

Diandra lega karena keputusannya untuk mendukung Ervin tidak membuatnya menderita. Seandainya Diandra menentang keinginan Ervin, mungkin sekarang mereka tidak berpelukan seperti ini. Karena masalah uang, mungkin rumah kecilnya akan dipenuhi dengan pertengkaran dan teriakan saling menyalahkan. Tidak akan ada kedamaian.

Kondisi finansial Ervin yang stabil memang menjadi pertimbangannya untuk menikah, namun apakah Diandra akan meninggalkan Ervin kalau kondisi keuangannya tidak stabil lagi? Itu tidak pernah terpikir dalam benaknya.

Diandra mencintai Ervin. Dan percaya bahwa Ervin mencintainya, juga anak mereka, karena itu tentu Ervin akan mengusahakan kehidupan yang baik untuk mereka. Siapa saja tidak akan menginginkan orang yang dicintainya menderita, kan?

“I love you, Di....” Ervin menciumnya.

“Love you too.” Diandra tersenyum saat Ervin melepaskan bibirnya.

“Sepertinya ada yang cemburu.” Ervin tertawa dan berdiri untuk mengambil Kale yang menangis keras.

Diandra tersenyum, hatinya diliputi kebahagiaan melihat Ervin menggendong Kale. Orang memang perlu uang untuk bertahan hidup di rimba raya bernama dunia ini. Tapi untuk menjalani hidup dengan semestinya, orang perlu cinta.

####

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top